Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
Kornea adalah bagian anterior mata, merupakan selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapisan jaringan yang menutup bola
mata depan. Kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang
dilalui berkas cahaya menuju retina.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus,
dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang
terkena, seperti keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau
bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma. Bentuk klinis dari keratitis superfisialis antara lain adalah keratitis
pungtata superfisialis, keratitis flikten, keratitis sika, keratitis lepra, keratitis
nummular sedangkan bentuk-bentuk klinis keratitis profunda antara lain keratitis
interstisial luetik dan keratitis sklerotikans.1,3
Infeksi jamur pada kornea (keratomikosis, keratitis mikotik, atau keratitis
jamur) terjadi pada 40-50% kasus keratitis. Keratitis infektif yang disebabkan oleh
jamur merupakan diagnosis terbanyak pada negara India, sedangkan data
prevalensi di Indonesia belum tersedia. Jamur terkadang merupakan flora normal
eksternal di mata karena berhasil diisolasi dari sakus konjungtiva pada 3-28%
mata normal. Pada mata yang mengalami penyakit, angka isolasi jamur dapat
mencapai 17-37%. Jamur yang umumnya terdapat pada mata normal adalah
aspergillus sp., rhodotorula sp., candida sp., penicillium sp., cladosporium sp.,
dan alternaria sp. Insidensi keratomikosis di Amerika Serikat adalah 6-20% dan
umumnya terjadi di daerah pedesaan. Aspergillus sp. merupakan penyebab
terbanyak keratitis yang timbul di seluruh dunia. 4,5,6
Faktor risiko utama untuk keratomikosis ialah trauma kornea dengan bahan
dari tumbuhan atau organik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa trauma
organik dapat menyebabkan keratitis setelah 10-15 hari.7-13
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus keratomikosis yang disebabkan trauma
organik pada seorang pasien laki-laki, umur 39 tahun yang berobat ke Poliklinik
Mata RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado.
BAB II

LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki, umur 39 tahun, suku Minahasa, bangsa Indonesia,
agama Kristen Protestan, datang ke Poliklinik Mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado dengan keluhan utama mata kanan merah sejak satu bulan yang lalu.
Mata kanan merah dialami pasien sejak satu bulan yang lalu. Pasien mengaku
pernah terkena daun bambu pada mata kanannya dan tidak ada keluhan. Beberapa
hari kemudian, pasien merasa mata kanan menjadi gatal dan kemudian pasien
mengucak-ucak matanya akibatnya mata kanannya menjadi merah. Pasien juga
mengeluh mata kanannya seperti ada yang mengganjal, terasa nyeri, sering berair,
dan pandangannya perlahan-lahan menjadi lebih kabur, serta terasa silau bila
terkena cahaya. Pasien menyangkal penggunaan lensa kontak sebelumnya, trauma
pada mata kanan, darah tinggi, gula, ginjal dan alergi. Riwayat pengobatan tidak
ada dilakukan oleh pasien. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga pasien
tidak ada.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan status generalis dalam batas normal.
Status oftalmologis pemeriksaan subyektif didapatkan visus okulus dekstra
(VOD) 6/20, visus okulus sinistra (VOS) 6/6, tekanan intraokular dekstra et
sinistra normal/palpasi. Pemeriksaan obyektif dibagi menjadi dua yaitu segmen
anterior dan segmen posterior. Segmen anterior okulus dekstra didapatkan adanya
blefarospasme, palpebra edema, injeksi konjungtiva, injeksi siliar, infiltrat kelabu
gambaran satelit pada kornea, iris berwarna cokelat kehitaman, terdapat
perlekatan, lensa jernih, sedangkan okulus sinistra dalam batas normal. Segmen
posterior okulus dekstra et sinistra didapatkan refleks fundus uniform, papil
nervus kranialis optikus bulat batas tegas, tidak ada pelebaran pada pembuluh
darah retina, cup-disc ratio normal.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis, pasien didiagnosis
keratomikosis okulus dekstra et causa trauma organik dan emetropia okulus
sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan obat anti jamur natamisin 5% 5 x 1 tetes
okulus dekstra, siklopegik sulfas atropin 1 mg 2 x 1 tetes okulus dekstra, dan
artificial tears sodium hyaluronate 1 mg 6 x 1 okulus dekstra.
Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kepatuhan pasien,
kedalaman dan ukuran lesi, organisme penyebab, serta adanya komplikasi
penyakit. Prognosis pada pasien ini ialah dubia ad bonam.

BAB III
PEMBAHASAN
Keratomikosis adalah suatu infeksi kornea oleh jamur. Gejala klinis penyakit
ini seperti sakit mata yang hebat, berair, dan silau. Pada umumnya, jamur tidak
dapat melakukan penetrasi pada epitel kornea yang utuh, kecuali pada pasien

imunokompromais berat

yang disebabkan penggunaan antibiotik atau steroid

yang berkepanjangan atau faktor predisposisi lainnya. Biasanya, keratomikosis


dicetuskan oleh suatu trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian
tumbuh-tumbuhan, atau bahan organik lainnya. Trauma tersebut memfasilitasi
penetrasi jamur hingga lapisan terdalam kornea, bahkan sampai ke stroma.
Trauma kornea dengan bahan organik dapat membantu pembentukan spora
menjadi hifa pada kornea yang rusak. Hifa tersebut bersifat invasif dan dapat
menembus stroma hingga mencapai membran Descement dengan memproduksi
descemetokel. Infeksi tersebut dapat merusakan seluruh jaringan stroma yang
menyebabkan perforasi pada seluruh kornea dan organisme tersebut dapat
mencapai camera oculi anterior (COA) mencetuskan pembentukan hipopion,
bahkan hipopion dapat terbentuk sebelum terjadinya penetrasi jamur pada COA.
Selain pengaruh penetrasi jamur, kerusakan kornea dapat disebabkan respon
inflamasi tubuh terhadap toksin seperti enzim hemolisin, eksotoksin, dan
protease.7,8,14,15
Banyak jenis jamur yang menjadi penyebab keratomikosis seperti aspergillus
sp., fusarium sp., curvularia sp., helminthosporium sp., alternaria sp., penicillium
sp., dan bipolaris sp. Penyebab pasti keratomikosis sulit dibedakan apabila hanya
dinilai secara klinis sehingga dibutuhkan pemeriksaan

penunjang seperti

pemeriksaan mikroskopik dengan kalium hidroksida (KOH) 10% terhadap


kerokan kornea. Kerokan dilakukan setelah kornea dianastesi dengan larutan
propakain 0,5% dan ditunggu selama 2-3 menit. Selain kerokan pada kornea,
pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan ialah biopsi kornea dan
aspirasi COA sesuai dengan indikasi namun sebelumnya perlu dilakukan uji
fluoresein untuk melihat terdapat defek epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah
bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat
warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat
defek akan memberikan warna hijau. Uji fluoresein ini dilakukan dengan
meneteskan larutan pantokain satu tetes terlebih dahulu, kemudian zat warna
flouresein diteteskan pada mata atau kertas fluoresein ditaruh pada forniks
inferior. Penderita diminta untuk menutup mata selama dua puluh detik, beberapa
saat kemudian kertas ini diangkat dan dilakukan irigasi dengan garam fisiologik

sampai seluruh air mata tidak berwarna hijau lagi. Penilaian menggunakan slit
lamp dengan lampu berwarna biru sehingga pada epitel kornea yang terdapat
defek akan memberikan warna hijau.1,11,16-18
Penyakit ini ditandai kekeruhan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan
jelas berupa bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein dan dapat
memberikan gambaran satelit terutama di daerah pupil. Kekeruhan ini tidak
tampak dengan mata telanjang, namun dapat dilihat dengan slit lamp atau kaca
pembesar. Keratomikosis menunjukkan infiltrat kelabu, disertai hipopion,
peradangan, ulserasi superfisial, dan lesi gambaran satelit bila terletak di dalam
stroma.1
Terapi keratomikosis pada prinsipnya diberikan sesuai mikroorganisme
penyebab. Pengobatan obat anti jamur natamisin 5% diberikan pada keratitis
jamur filamentosa dan fusarium sp., sedangkan pengobatan anti jamur lainnya
amphoterisin B 0,15% - 0,30% diberikan pada keratitis yeast, aspergillus sp. Anti
jamur ketokonazol 200-600 mg/hari dan siklopegik dapat diberikan untuk
pengobatan sistemik. Terapi yang diberikan pada pasien ini obat anti jamur
natamisin 5%, siklopegik sulfas atropin 1 mg bersifat antikolinergik yang memicu
dilatasi pupil sehingga memecahkan sinekia posterior, dan artificial tears sodium
hyaluronat 1 mg yang berikatan dengan fibronektin yang bekerja secara langsung
pada proses penyembuhan dengan meningkatkan adhesi dan migrasi dari sel epitel
serta mempunyai kemampuan menyimpan air yang baik karena tiap molekulnya
dapat mengikat sejumlah molekul air. Apabila tidak terlihat perbaikan dengan
pemberian obat maka dilakukan keratoplasti.1
Edukasi pasien bertujuan agar pasien dapat memahami bahwa penyakit ini sulit
ditangani dan dapat menyebabkan kecacatan bola mata atau bahkan kebutaan
apabila tidak ditangani dengan baik. Pasien dianjurkan untuk meminum obat
secara teratur dan kembali kontrol ke poliklinik mata atau dokter spesialis mata
untuk melihat perkembangan penyakit. Selain itu, pasien dianjurkan untuk
menjaga kebersihan mata dan melarang pasien mengucek matanya karena dapat
memperberat lesi yang telah ada. Pasien juga dianjurkan menggunakan pelindung
mata seperti kaca mata hitam untuk menghindari mata terkena paparan debu dan
sinar ultraviolet.

Analisis multivariat memperlihatkan prognosis keratomikosis berhubungan


dengan ukuran lesi yang lebih dari 14 mm2, adanya hipopion, dan aspergillus sp.
sebagai organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki
respon yang baik terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan
keterlibatan sklera maupun intraokular lebih sulit untuk ditangani. Apabila pasien
meminum obat teratur dan tidak ditemukan komplikasi akibat keratomikosis,
maka prognosis pasien ialah dubia ad bonam.

PENUTUP
Trauma organik seperti ranting pohon, daun, bahan organik lainnya dapat
mempercepat pembentukan spora menjadi hifa pada kornea yang rusak. Infeksi
hifa tersebut dapat merusakan seluruh jaringan stroma bahkan perforasi pada
seluruh kornea.
Demikian telah dilaporkan kasus tentang pengaruh trauma organik terhadap
keratomikosis pada seorang laki-laki umur 39 tahun yang datang ke Poliklinik
Mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado tanggal 19 Oktober 2015. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis, pasien
didiagnosis keratomikosis okulus dekstra et causa trauma organik dan emetropia
okulus sinistra. Keratomikosis yang dialami oleh pasien ini dicetuskan oleh

trauma kornea mata terhadap daun bambu. Awalnya tidak ada keluhan, tetapi
setelah beberapa hari pasien merasa sakit hebat pada mata kanan dan silau.
Penanganan pada pasien ini ialah pemberian obat anti jamur natamisin 5% 5 x 1
tetes okulus dekstra, siklopegik sulfas atropin 1 mg 2 x 1 tetes okulus dekstra, dan
artificial tears sodium hyaluronat 1 mg 6 x 1 tetes okulus dekstra. Prognosis
dipengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan dan adanya
komplikasi yang ditemukan. Prognosis pada pasien ini ialah dubia ad bonam.

LAMPIRAN

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.

Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata, 4 ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2011.5-6.
Wijana N. Ilmu penyakit mata, 5 ed. Jakarta: EGC; 1989.83-4.
Vaughan, Deaniel. Ofthalmologi umum, ed 14. Jakarta: Widya Medika; 2000.4-6.
Agarwal V, Biswas J, Madhavan HN. Current perspectives in infectious keratitis. Indian J

5.

Ophthalmol. 1994;42 171-92.


Sharma S, Srinivasan M, George C. The current status of Fusarium species in mycotic
keratitis in South India. Indian J Med Microbiol. 1993;11:140-7.

6.

Kindo AJ, Suresh K, Premamalini, Anita, Kalyani J. Fungus as an etiology in keratitis-our


exprerience in SRMC. Sri Ramachandra Journa of Medicine. 2009;2:14-15.

7.

Zimmerman LE. Keratomycosis.Surv Ophthalmol.1963; 8:.1-25.

8.

Wilhelmus KR, Robinson NM, Font RA, Hamil MB, Jones DB. Fungal keratitis in contact
lens wearers. Amer J Ophthalmol. 1988;106: 708-14.

9.

Gunawerdena SA, Ranasinghe KP, Arseceuleratne SN, Scimon CR, Ajello L. Survey of
mycotic and bacterial keratiti in Sri Lanka. Mycopathologia. 1994;127:77-81.

10. Hagan M, Wright E, Newman M, Dolin P, Johnson G. Causes of suppurative keratitis in


Ghana. Brit J Ophthalmol.1995;79: 1024-8.
11. Vajpayee RB, Ray M, Panda A et al. Risk factors of pediatric presumed microbial keratitis: a
case control study. Cornea. 1999; 18: 565-9.
12. Panda A, Sharma N, Das G, Kumar N, Satpathy G. Mycotic keratitis in children :
epidemiologic and microbiologic evaluation. Cornea. 1997; 16: 295-9.
13. Rosa Jr RH, Miller D, Alfonso EC. The changing spectrum of fungal keratitis in South
Florida. Ophthalmology. 1994;101: 1005-13.
14. Wong TY, Ng TP, Fong KS, Tan DTH. Risk factors and clinical outcome between fungal
and bacterial keratitis. A comparative study. CLAO J. 1997; 23: 275-81.
15. Naumann G, Green WR, Zimmerman LE. Mycotic keratitis. A histopathological study of 73
cases. Amer J Ophthalmol. 1967; 64:668-82.
16. Harris DJ, Stulting RD, Wring G et al. Late bacterial and fungal keratitis after corneal
transplantation. Ophthalmol. 1998; 95:1450-7.
17. Nayak N. Fungal infections of the eye-laboratory diagnosis and treatment. Nepal Med Coll J.
2008;1-:48-63.
18. Winn W, Allen S, Janda. Mycology. In: Winn WC, Koneman EW, Janda WM, Koneman EW
eds. Konemans Colored Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, 6 ed. Philadelphia:
2006.1151-1243

Anda mungkin juga menyukai