Theofilio Leunufna
102012065
E5
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
theofilio.leunufna@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Zaman sekarang ini tidak jarang ditemui kasus-kasus antara dokter dan pasien,
dimana pasien menuntut sang dokter. Situasi tersebut bisa dikarenakan kesalahan seorang
dokter maupun bukan kesalahan dokter. Tidak jarang juga karena tindakan yang dilakukan
seorang dokter sampai menyebabkan pasien meninggal. Sebagai seorang dokter harus
melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar sesuai ketentuan yang berlaku. Meskipun
begitu sering kali sebagai seorang dokter lupa akan apa yang harus dilakukan dan yang tidak
harus dilakukan.
Definisi Malpraktek
Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai professional misconduct
or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional servicees to
exercise that degree of skill and learning commonly apllied under all the circumtances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the result injury,
loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them
(bahasa mudahnya: lalai).1
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intetional) seperti misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang beralasan.1
Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional
dibidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar
kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktek dalam pekerjannya masingmasing.1
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
1
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja
melanggar standar, dan lain-lain.1
Selain itu malpraktek juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian. Sementara itu
ketidak-kompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu kelalaian.1
Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya malpraktek
bukanlah dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus ditinjau dari
bagaimana proses tindakan medis tersebut dilaksanakan.1
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforseeable), atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya tetapi
dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan.1
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex, yang berarti hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.1
Tolak ukur culpa lata adalah:
1.
2.
3.
4.
bawah standar.1
Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai.
Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang
sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik (appendektomi,
histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk
2
Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi Res Ipsa Loquitur, yang berarti
faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut
pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang
harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.2
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil),
kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap
yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya
resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung
jawab terhadap tuntutan kriminal oleh negara.2
Macam-macam Malpraktek
Malpraktek dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik dan malpraktek
yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.3
Malpraktek Etik
3
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah kesalahan profesi karena kelalaian
dalam melaksanakan etika profesi, maka sanksinya adalah sanksi etika yang berupa sanksi
administrasi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Contoh konkrit yang merupakan malpraktek
etik ini antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan
bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium
memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan
pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
b. Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadangkadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada
pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak
sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.3
Malpraktek Yuridis
Malpraktek yuridis dibagi menjadi malpraktek perdata (civil), malpraktek pidana dan
malpraktek administratif.
a. Malpraktek perdata (civil malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan
kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
melaksanakannya,
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum
and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak
selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara
langsung menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari
malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi.
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang
seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan
orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila
dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan
telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.3
c. Malpraktek administratif (administrative malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap
hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi
atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan
praktek tanpa membuat catatan medik.
Dua macam pelanggaran administrasi tersebut adalah:
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, maka
dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai
adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).4
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin
res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai,
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter,
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.4
Kejadian Tidak Diharapkan
Ketika memberikan pelayanan kepada pasien, terjadilah hubungan yang disebut
kontrak terapeutik. Dalam hubungan tersebut timbul hak, kewajiban dan tanggungjawab yang
mengikat para pihak dengan dilandaskan pada niat baik, kepercayaan dan kesetaraan. Di satu
pihak pasien dengan jujur menjelaskan masalahnya dan mempercayakan pengobatannya
kepada dokter dan di pihak lain dokter akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk
menolong pasien tersebut. Dalam keterikatan ini, dokter harus berupaya sebaik mungkin
(inspannings verbintenis) sesuai standar profesi namun tidak dibenarkan untuk menjamin
hasil pengobatannya karena memang bukan perikatan hasil (resultaat verbintenis).5
Sekalipun dokter telah berupaya sebaik mungkin, adakalanya hasil pengobatan tidak
sesuai dengan harapan pasien ataupun dokter, ketidak-berhasilan itu dapat berupa antara lain
timbulnya nyeri kronik, kecacatan, koma atau bahkan kematian. Kejadian tidak diharapkan
(KTD) ini disebut dengan adverse event. KTD dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Perjalanan penyakit yang tidak dapat dihentikan misal karena keganasan atau stadium
yang sudah lanjut; atau karena komplikasi penyakit yang terjadi kemudian.
2.
3.
Merupakan risiko yang sudah dapat diketahui namun dapat diterima oleh pasien
(foreseeable but accepted).
4.
Akibat dari kegagalan dokter melaksanakan pelayanan yang layak (reasonable care)
dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tanpa alasan yang dapat dibenarkan.5
Dalam hal nomor 1, 2, 3 diatas, dokter tidak harus bertanggungjawab selama dokter
tersebut telah melakukan asuhan medis sesuai standar profesi. Bila terjadi yang nomor 4,
dokter dapat dimintai pertanggungjawaban karenanya.5
Mengingat adanya risiko pada tindakan pengobatan oleh dokter, maka dipandang
perlu diterbitkan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang
mengatur praktik kedokteran di Indonesia. Pengaturan Praktik Kedokteran dilaksanakan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai perwujudan otonomi profesi dalam melakukan
pengaturan diri (self regulation) pada profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Pengaturan
praktik kedokteran oleh KKI bertujuan 1) untuk melindungi masyarakat dan 2) untuk
meningkatkan mutu praktik kedokteran dan kedokteran gigi.5
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan dilakukan oleh KKI melalui berbagai
kegiatan diantaranya:
1.
2.
3.
fungsionalnya. Tugas pokok MKDKI adalah menegakkan disiplin profesi kedokteran, yang
meliputi keahlian profesional (professional expertise) dan perilaku profesional (professional
behaviour).6
Keluhan pasien pada umumnya adalah hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan
dan komunikasi yang tidak adekuat, baik karena pasien tidak memahami penjelasan dokter
atau karena informasi dokter yang tidak memadai sehingga pasien tidak memahami
permasalahannya dan kemudian menimbulkan respons emosional.5
Bila pasien tidak puas pada pelayanan dokter/dokter gigi, ada beberapa langkah yang
dapat dilakukan, yaitu:
1.
Menanyakan kepada dokter atau manajemen rumah sakit dalam rangka meminta
penjelasan tentang penanganan terhadapnya.
2.
Bila pasien menduga adanya pelanggaran disiplin yang serius, dan dalam rangka
meningkatkan kinerja dokter/dokter gigi, sebaiknya pasien mengadukan keluhannya
kepada MKDKI. Pengaduan tentang kinerja dokter/dokter gigi dapat disampaikan oleh
pasien atau keluarganya, atau oleh otoritas kesehatan seperti dinas kesehatan, departemen
kesehatan, sarana kesehatan, dan lain-lain.5
Setelah menerima laporan/pengaduan, MKDKI akan mengumpulkan fakta data dan
informasi untuk kemudian membentuk majelis yang akan melakukan pemeriksaan dalam
rangka menemukan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang telah dilakukan oleh
seorang dokter/dokter gigi.5
Bila ditemukan pelanggaran disiplin profesi maka MKDKI akan memberikan sanksi
disiplin dalam rangka memperbaiki kinerja yang bersangkutan berupa peringatan tertulis,
reedukasi, pencabutan sementara STR dan SIP, atau pencabutan selamanya bila dipandang
kinerja dokter/dokter gigi tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.5
MKDKI tidak berwenang menyelesaikan sengketa medik atau memerintahkan pihak
lain untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi, maka bila menginginkan hal tersebut
pengadu dapat memanfaaatkan lembaga mediasi atau peradilan umum.5
Upaya Pencegahan Malpraktek
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter, bidan dan ahli
kesehatan lainnya karena adanya malpraktek diharapkan para dokter, bidan dan ahli
kesehatan lainnya dalam menjalankan tugas selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.
b.
c.
d.
e.
Memperlakukan
pasien
secara
manusiawi
dengan
memperhatikan
segala
kebutuhannya.
f.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.5
Syok Anafilaktik
Syok
anafilaktik
adalah
suatu
respons
hipersensitivitas
yang
diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigenantibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah berhubungan
dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian mengeluarkan mediator kimia yang
selanjutnya bertanggung jawab terhadap simptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui
kompleks antigen dan IgE maupun tanpa kompleks dengan IgE yaitu melalui pelepasan
histamin secara langsung.
Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam arachidonat yang akan
menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis
tidak dapat dibedakan dengan mekanisme diatas. Hal ini dapat terjadi pada penggunaan obatobat NSAID atau pemberian gama-globulin intramuscular.
Segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman/comfortable dengan posisi kaki
ditinggikan (posisi trendelenberg), dengan ventilasi udara yang baik dan jangan lupa
melonggarkan pakaian.
2. Airways
Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10 IU/menit, dan jika penderita tak
bernafas disiapkan untuk intubasi.
3. Intravena access
Pasang IV line dengan cairan NaCl 0,9% / Dextrose 5% 0,5-1 liter/30 menit
4. Drug
Epinefrin/Adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan diberikan sesegera
mungkin jika mencurigai syok anafilaksis (TD sistolik turun < 90 MmHg). Namun harus
hati-hati dengan penderita yang dalam sehari-hari memang hipotensi.6
Untuk itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan tindakan.
Dosis: 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM (untuk anak-anak
dosis : 0,01 ml/KgBB/dose dengan maksimal 0,4 ml/dose). Bila anafilaksis berat atau tidak
respon dengan pemberian dengan cara SK/IM pemberian Epinefrin/Adrenalin dapat langsung
melalui intavena atau intratekal (bila pasien sudah dilakukan intubasi melalui ETT) dengan
dosis 1-5 ml (Epi 1 : 10.000, dengan cara membuatnya yaitu mengencerkan epinefrin 1 ml 1:
1000 dengan 10 ml NaCl). Dapat diulang dalam 5-10 menit. Jika belum ada respons
diberikan adrenalin perdrip dengan dosis ug/menit (cara membuat : 1 mg Epinefrin 1: 1000
dilarutkan dalam DX5% 250 cc).6
Selain pemberian Epinefrin/Adrenalin, pemberian antihistamin ternyata cukup efektif
untuk mengontrol keluhan yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi
yang terjadi. Dapat diberikan antihistamin antagonis H1 yaitu Dipenhidram dengan dosis 2550 mg IV (untuk anak-anak 2 mg/KgBB) dan bila dikombinasikan dengan antagonis H2
ternyata lebih superior yaitu dengan Ranitidin dosis 1 mg/kgbb IV atau dengan Cimetidine 4
mg/kgbb IV pemberian dilakukan secara lambat.6
Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan first line therapy.
Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek, lebih berefek untuk jangka panjang.
Dapat diberikan Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal prednisolon 50-100 mg IV.6
Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat diberikan
aminophylin dengan dosis 6 mg/KgBB dalam 50 ml NaCL 0.9% diberikan secara IV dalam
30 menit.6
Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan harus diobservasi minimal 6 jam
atau dirujuk ke RS bila belum menunjukan respons.
11
Penutup
Malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di
bawah standar. Malpraktek dapat dibagi menjadi malpraktek etik dan malpraktek yuridis.
Selain itu dalam pelayanan kedokteran meskipun dokter telah berusaha sebaik mungkin,
terkadang timbul kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) yang dapat berakibat
merugikan pasien. Apabila dokter sebenarnya dapat mencegah adverse event tetapi tidak
dilakukan maka dokter melakukan malpraktek.
Daftar Pustaka
1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Jakarta: EGC; 2009. h. 879.
2. Sage WM, Kersh R. Medical malpractice. New York: Cambridge University; 2006. p. 523.
3. McCellan FM. Medical malpractice:law, tactics, and ethics. Philadelphia: Temple
University; 2004. p. 39.
4. Isfandyarie, Anny. Malpraktek dan resiko medik dalam kajian hukum pidana. Jakarta:
Prestasi Pustaka; 2005. h. 46-7.
5. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2004. h. 178-180.
6. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2005. h. 128-9.
12
13