Anda di halaman 1dari 18

Program Penanganan dan Pencegahan HIV dan AIDS di

Puskesmas
Ardianti Matatula 102013083
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta 11510

Pendahuluan
AIDS pertama dilaporkan pada tanggal 5 juni 1981 di Los Angeles oleh Centers for
Desease control and prevention (Amerika Serikat), diderita oleh 5 laki-laki homoseksual yang
mengalami penurunan kekebalan dan terjangkit Pneumonia pneumosistis.

Di Indonesia,

kejadian HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga saat
ini HIV AIDS sudah tersebar ke 386 kabupaten atau kota di seluruh provinsi Indonesia.
Berbagai upaya penanggulangan yang sudah dilakukan oleh pemerintah berkerjasama dengan
berbabagai lembaga dalam negeri dan luar negeri.1
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang sel darah
putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome atau AIDS sekumpulan gejalan penyakit yang timbul kerana turunya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunya kekebalan tubuh,
maka orang yang tersebut sangat mudah untuk terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi
opportunistik) yang sering berakibat fatal. Pengobatan dengan kombinasi tiga atau lebih obat
anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly active anti-retroviral therapy (HAART), telah
menyebabkan penurunan dramatis kesakitan dan peningkatan harapan hidup. Namun,
manfaat ini dibatasi untuk negara-negara yang mampu regimen obat ini dan memiliki
infrastruktur untuk membebaskan mereka dengan aman dan efektif.1,2
Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang distribusi, frekuensi, dan
determinan penyakit pada populasi, yaitu: Distribusi yang terdiri dari orang, tempat, waktu;
Frekuensi yakni Insiden dan atau prevalen; Determinan faktor risiko yaitu faktor yang
mempengaruhi atau faktor yang memberi risiko atas terjadinya penyakit atau masalah
kesehatan.3
Definisi HIV dan AIDS

Pengertian HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV


adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia
dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam
melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan
defisiensi (kekurangan) sistem imun.2
Definisi AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam
tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS.2
Banyak bagian dari tubuh kita yang melindungi diri kita dari penyakit antara lain:
kulit, mulut, saluran pernapasan, usus dan aliran darah. HIV harus memasuki aliran darah
untuk dapat mengganggu kita. HIV menyerang sistem imun dengan menyerbu dan
menghancurkan jenis sel darah putih tertentu seperti T pembantu (helper T cell), sel T4 atau
sel CD4. Sel CD4 ini disebut sebagai panglima dari sistem imun. HIV mampu melawan sel
CD4, maka HIV berhasil melumpuhkan kelompok sel yang justru amat diandalkan untuk
menghadapi kelompok sel yang justry amat diandalkan untuk menghadapi HIV tersebut
beserta kuman-kuman jenis lainnya.2,4
Penularan HIV-AIDS
Cara penularan HIV-AIDS melalui 3 cara:2
1. Transmisi seksual. Penularan HIV_AIDS dengan cara transmisi seksual paling sering
terjadi. Penularannya terjadi melalui hubungan seksual melalui cairan semen, cairan
vagina dan serviks.
2. Transmisi non seksual. Yaitu transmisi parantal yaitu dengan Penggunaan jarum suntuk
dan akat tusuk yang terkontaminasi, terutama pada penyalahgunaan narkotik dengan
mempergunakan jarum suntik yang telah tercemar secara bersama-sama. Penularan
parental lainnya, melalui transfusi darah atau pemakai produk dari donor dengan HIV
positif, mengandung resiko yang sangat tinggi.
3. Penularan masa prenatal. HIV-AIDS yang ditularkan dari ibu ke bayi melalui 3 cara yaitu
dalam uterus (lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu.
Proses HIV Menjadi AIDS

Pada tahap awal : HIV masuk tubuh; disini tidak terdapat tanda khusus serta belum
dapat diketahui dari test HIV, tahap ini berkisar antara 1- 3 bulan (periode jendela). Tahap
kedua: HIV berkembang di dalam tubuh, pada tahap ini sudah dapat diketahui melalui test
HIV (befrkisar 5-10 tahun) disebut sebagai masa laten. Tahap ketiga : sistem kekbalan tubuh
mulai menurun dan gejala AIDS mulai timbul berkisar 1 bulan. Tahap akhir AIDS, sistem
kekebalan tubuh tidak dapat melawan berbagai penyakit dan kondisi penderita makin
lemah.2,4
Gejala AIDS
1.

Gejala-gejala utama yaitu demam berkepanjangan sampai dengan 3 bulan, diare


kronis (lebih dari 1 bulan), penurunan berat badan (lebih dari 1/10 berat badan semula
dalam 3 tahun).

2.

Gejala-gejala minor AIDS yaitu batuk kronis (lebih dari 1bulan), infeksi pada mulur
dan tenggorokan (candida albicans), pembengkakan kelenjar getah being, muncul
herpes zoster berulang, bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.2,4

Agent, Host, dan Environment

Agent : jumlah virus dalam cairan tubuh (darah : 18.000/ul, mani : 11.000/ul, cairan
vagina: 7000/ul, cairan amnion : 4000/ul, ASI dan air liur : 1/ul). HIV merupakan virus
penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk
membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV
tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin
banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya
juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya
sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai
temperatur 60 selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti
kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang
digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain. Faktor pembawa dari
penyakit AIDS adalah virus HIV (Immunodeficiency Virus).2,4

Host : Factor host atau factor pejamu dari penyakit HIV/AIDS adalah manusia. Manusia
yang menjadi korban penyakit ini tidak menentu bisa laki-laki bisa juga perempuan.
Namun biasanya penyakit ini menyerang lebih banyak pada perempuan karena faktor
anatomis biologis dan faktor sosiologis gender. Dari segi umur remaja lebih rentan
terjangkit virus HIV dibandingkan dengan anak-anak ataupun orang dewasa, hal ini
disebabkan karena pergaulan bebas. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik

homoseksual mapupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa


inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi terbesar terjadi pada
kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20-30 tahun faktor manusia yang
mempegaruhi penyebaran HIV antara lain prevalensi IMS yang tinggi, pengetahuan
tentang AIDS dan presepsi individu tentang resiko penularaan, berganti- ganti pasangan
seks, rendahnya penggunaan kondom.

Environment : lingkungan yang membantu penyebaran HIV yaitu Lingkungan biologis,


sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran AIDS. Lingkungan
biologis adanya riwata ulkus genitalis, Herpes Simpleks dan STS (Serum Test for
Sypphilis) yang positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini menjadi
tempat masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB. Pada para
WTS di Nairobi terbukti bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai
prevalensi HIV lebih tinggi. Lingkungan sosial yang buruk seperti pergaulan bebas dapat
meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS. Pergaulan bebas di pengaruhi oleh laju budaya
yang berpindah, yaitu budaya barat termasuk seks bebas yang masuk ke budaya timuran
termasuk Indonesia atau di sebut juga globalisasi.2,4

Strategi Promosi Kesehatan Menurut WHO


Berdasarkan keputusan WHO pada tahun 1994, strategi promosi kesehatan dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu sebagai berikut:5,6,7
a.

Advokasi
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar orang lain tersebut

membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks promosi kesehatan,
advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di
berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para penjabat tersebut mau mendukung
program kesehatan yang kita inginkan. Dukungan dari para pejabat pembuat keputusan
tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk undang-undang,
peraturan pemerintah, surat keputusan, surat instruksi dan sebagainya.
Kegiatan advokasi ini bermacam-macam bentuk, baik secara formal maupun
informal. Secara formal misalnya, penyajian atau presentasi dan seminar tentang issu atau
usulan program yang ingin dimintakan dukungan dari para pejabat yang terkait. Kegiatan
advokasi secara informal misalnya sowan kepada para pejabat yang relevan dengan program
yang diusulkan, untuk secara informal meminta dukungan, baik dalam bentuk kebijakan, atau

mungkin dalam bentuk dana atau fasilitas lain. Dari uraian dapat di advokasi adalah para
pejabat baik eksekutif maupun legislatif, di berbagai tingkat dan sektor yang terkait dengan
masalah kesehatan (sasaran tertier).
b.

Dukungan Sosial (Social support)


Strategi dukunngan sosial ini adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial

melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun informal.
Tujuan utama kegiatan ini adalah agar para tokoh masyarakat, sebagai jembatan antara sektor
kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat (penerima program)
kesehatan. Dengan kegiatan mencari dukungan sosial melalui toma pada dasarnya adalah
mensosialisasikan program-program kesehatan, agar masyarakat mau menerima dan mau
berpartisipasi dalam program kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat
dikatakan sebagai upaya bina suasana, atau membina suasana yang kondusif terhadap
kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini antara lain: pelatihan pelatihan para toma,
seminar, lokakarya, bimbingan kepada toma dan sebagainya. Dengan demikian maka sasaran
utama dukungan sosial atau bina suasana adalah para tokoh masyarakat di berbagai tingkat
(sasaran sekunder).
c.

Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)


Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan pada masyarakat

langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam


memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (visi promosi kesehatan).
Bentuk kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan,
antaralain:

Lembaga

Swadaya

Masyarakat

(LSM)

dan

Layanan

Komprehensif

Berkesinambungan (LKB).
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB)
Dalam rangka melaksanakan program pencegahan dan penangulangan HIV-AIDS,
Konsep Layanan yang komprehensif dan Berkesinambungan di gagas oleh Kementerian
Kesehatan melalui upaya-upaya promotif, preventif kuratif, dan rehabilitatif agar Masyarakat
yang belum terinfeksi tidak tertular HIV-AIDS. Bagi Masyarakat yang sudah terinfeksi dapat
meningkatkan kualitas hidupnya di masa yang akan datang. Secara teknis upaya-upaya
tersebut dilakukan dengan menyediakan layanan HIV yang komprehensif atau paripurna
sejak terjadi kasus HIV-AIDS di rumah/komunitas hingga ke layanan kesehatan seperti
Puskesmas/Rumah Sakit. Baik selama perjalanan infeksi HIV sampai dengan si pasien dapat
kembali lagi ke rumah.5,6

Dalam implementasinya LKB ini harus melibatkan seluruh pihak baik pemerintah,
swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, tokoh masyarakat
dan tokoh lainnya). Dari konsep-konsep tentang LKB diatas, dapat dipahami sebenarnya
program LKB ini merupakan suatu bentuk integrasi upaya penanggulangan HIV AIDS dalam
kerangka Sistem Kesehatan Nasional.
Konseling dan Tes HIV, layanan ini sebenarnya telah dilaksanakan sebelum program
Layanan Komprehensif Berkesinambungan. Puskesmas melalui klinik HIV IMS-nya
memberikan layanan Konseling dan Tes HIV secara sukarela (KTS) pada masyarakat yang
datang secara sukarela dan meminta untuk diberikan konseling tentang HIV/AIDS dan
melakukan pemeriksaan tes HIV. Dengan LKB ini, Puskesmas tidak hanya memberikan
layanan KTS tadi tetapi juga petugas kesehatan di Puskesmas dapat menawarkan konseling
dan tes HIV atas inisiatifnya bila mencurigai pasien tersebut, ini yang disebut KTIP
(Konseling dan Test HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan) yaitu petugas kesehatan yang ada
di poli-poli Puskesmas dapat menawarkan layanan ini ke pasien yang datang baik di Poli
Gigi, Poli Dewasa, Poli Lansia, Poli KIA-KB dan Poli Obgin yang ada di Puskesmas.
Anjuran tes HIV ini terutama ditujukan pada ibu hamil, pasien IMS, pasien TB, pasangan
ODHA, pasien hepatitis. Setelah mengetahui hasil tes, maka terhadap pasien tersebut
diberikan konseling pasca tes oleh konselor Puskesmas untuk mendapatkan layanan
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP). Bagi populasi kunci yang hasil tes HIV-nya
masih negatif, maka dapat dilakukan tes ulang minimal setiap 6 bulan.
Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP), sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes
HIV pemberian ARV dapat langsung diberikan tanpa memandang jumlah CD4nya kepada
mereka yang HIV (+) yaitu pada ibu hamil, pasien koinfeksi TB, pasien koinfeksi Hepatitis B
dan C, ODHA yang pasangan tetapnya memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan
kondom secara konsisten. 5
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan Sebaya (KDS)
untuk memberikan layanan konseling, pendampingan, perawatan dan untuk memastikan
kepatuhan pasien dalam minum obat seumur hidup dengan memberikan pendampingan
terutama pada awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang tepat dari keluarga,
komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan.Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak (PPIA) layanan ini mencakup pelayanan ANC dan melakukan tes HIV bagi
ibu hamil
Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS), puskesmas bekerjasama dengan
LSM/KDS dalam memberikan layanan konseling untuk perubahan perilaku dan penyediaan

kondom dan pelicin. LSM yang terlibat antara lain GSM dengan kelompok dampingan pada
waria, LSL dan pelanggan, H2O dengan kelompok dampingan pada WPS dan pelanggan,
Medan Plus dengan kelompok dampingan waria dan ODHA.
Program Terapi Rumatan Metadon, layanan ini dilaksanakan dalam rangka
mengurangi risiko penularan HIV melalui penggunaan jarum suntik pada kelompok Penasun.
Pencandu obat opiat yang menggunakan jarum suntik akan beralih meminum obat dan secara
perlahan-lahan diharapkan dapat terlepas dari kecanduan obat.
Dukungan sosial dan ekonomi, layanan ini tersedia dengan baik, dimana kerjasama lintas
sektoral Dinas Kesehatan/Puskesmas dengan pihak swasta maupun SKPD terkait belum
terimplementasi dengan baik terutama dalam anggaran yang mendukung program
penanggulangan HIV AIDS. Dukungan pada kelompok ODHA dan keluarganya misalnya
dengan memberikan pelatihan ketrampilan, hibah untuk modal usaha, yang seyogyanya dapat
melibatkan Dinas Sosial dan CRS dari pihak swasta belum terealisasi. Demikian juga
kerjasama dengan SKPD lainnya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, dan Dinas
Perhubungan masih sebatas komitmen menyokong kegiatan Dinas Kegiatan.3,5,6
Manajemen dan Administrasi Puskesmas
Dalam usaha melaksanankan program-program atau dimana saja pusat kesehatan
harus dimulai dengan manajemen atau administrasi. Manajemen adalah ilmu dan seni tentang
bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Tiga prinsip pokok penerapan
manajemen adalah; Efisien, dalam pemanfaatan sumberny; Efektif, dalam memilih alternatif
kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; Rasional, dalam pengambilan keputuan
manajerial.
Proses manajemen dapat dikaji dari proses pemecahan masalah yang dikembangkan
oleh semua unit kerja di dalam organisasi. Langkah praktisnya terdiri dari identifikasi
(perumusan) masalah dan langkah langkah pemecahannya. Untuk itu diperlukan
penguasaan teknik-teknik identifikasi masalah dan pemilihan alternatif terbaik pemecahan
masalah (analisis situasi). Untuk menganalisis masalah kesehatan masyarakat seorang
manajemen puskesmas dapat menggunakan ;Pendekatan epidemiologi; Prinsip prinsip
public health; Kedokteran pencegahan; Paradigma hidup sehat; dan Analisis sistem.5,6
Sedangkan administrasi adalah proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan secara
bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Administrasi baik dalam
pengertian luas maupun sempit didalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-

fungsi manajemen, yang terdiri dari prencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan


pengawasan.
Masukan merupakan suatu struktur yang berupa sumber daya manusia (man), dana
(money), sarana fisik perlengkapa dan peralatan (material), organisasi dan manajemen
(method).Proses meliputi perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan, pencatatan, dan
pelaporan, serta pengawasan.
Perencanaan merupakan proses penyusunan rencana tahuan Puskesmas untuk
mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas. Perencana akan memberikan pola
pandang secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang akan dijalankan, siapa yang akan
melakukan dan kapan akan dilakukan. Puskesmas merupakan unit pelaksana pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat 1 yang dibina oleh DKK, yang bertanggung kawab untuk
melaksanakan identifikasi kondisi maslah kesehatan masyarakat dan lingkungan serta
fasilitas pelayanan kesehatan meliputi cakupan mutu pelayanan, identifikasi mutu sumber
daya manusia dan provider, serta menetapkan kegiatan untuk menyelesaikan masalah.
Perencanaan meliputi kegiatan program dan kegiatan rutin puskesmas yang berdasarkan visi
dan misi puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan primer dimana visi dan misi
digunakan sebagai acuan dalam melakukan setiap kegiatan pokok puskesmas.
Budgeting dalam perencanaan manajemen keuangan dikelola sendiri oleh puskesmas
sesuai tatacara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan. Adapun sumber biaya
didapatkan dari pemerintah daerah, retribusi puskesamas, swasta ataupun lembaga sosial
masyarakat dan pemerintah yang ditujukan untuk jenis pembiayaan layanan kesehatan yang
mempunyai ciri-ciri barang atau jasa publik seperti penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi,
dan pelayanan kesehatan.
Pengorganisasian, Dinas Kesehatan Kota mempunyai tugas untuk menentukan
menetapkan struktur organisasi puskesmas dengan pertimbangan sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat 1. Pada organisasi meliputi kepala, wakil kepala, unit tata
usaha, unit fungsional agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksaaan kegiatan yang
nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas program yang ditangani.Struktur organisasi
puskesmas: Unsur pimpinan yaitu kepala Puskesmas; Unsur pembantu pimpinan yaitu Tata
usaha; Unsur pelaksana yaitu Unit I, II, III, IV, VI, VII.5,6
Pelaksanaan merupakan fungsi penggerak semua kegiatan yang telah dituangkan
dalam fungsi pengorganisasian untuk mencapai tujuan organisasi yang telah dirumuskan pada
fungsi perencanaan. Fungsi manajemen ini lebih menekankan tentang bagaimana manajer
mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah

disepakati. Dalam menggerakan dan mengarahkan sumber daya manusia dalam suatu
organisasi, peranan pemimpin, motivasi staf, kerjasama dan komunikasi antar staf merupakan
hal-hal pokok yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer.
Secara praktis fungsi pelaksanaan ini merupakan usaha untuk menciptakan iklim
kerjasama diatara staf pelaksana program sehingga tujuan organisasi tercapai secara efektif
dan efisien. Fungsi pelaksaan ini haruslah dimulai dari manajer, dimana manajer harus
menunjukan kepada stafnya bahwa ia mempunyai tekad untuk mencapai kemajuan dan peka
terhadap lingkungannya. Ia harus mempunyai kemampuan bekerjasama denga orang lain
secara harmonis.5
Pengawasan (controling) dalam manajemen puskesmas merupakan fungsi terakhir
yang berkait erat dengan fungsi manajemen yang lainnya. Melalui fungsi pengewasan dan
penegendalian, standar keberhasilan selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau
yang mampu dikerjakan. Jika ada penyimpangan maka diupayakan dapat terdeteksi sacara
dini, dicegah, dikendali atau dikurangi. Tindakan pengewasan ini bertujuan agar efisiensi
penggunaan sumber daya dapat lebih berkembang, dan efektifitas tugas-tugas staf untuk
mencapai tujuan program dapat lebih terjamin.
Tiga langkah untuk melakukan pengawasan: Mengukur hasil yang telah dicapai;
Membandingkan hasil yang dicapai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya;
Memperbaiki penyimpangan yang dijumpai berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya
penyimpangan. Jika ditemukan penyimpngan maka pimpinan lebih dulu berusaha untuk
mencari faktor penyebabnya dan mengatasinya.
Keluaran adalah hasil akhir dari kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional
terhadap pasien atau terhadap suatu program yang dilaksanakan.Sasaran merupakan golongan
yang menjadi tumpuan terhadap pelaksanaan suatu program yang direncanakan. Sasaran
dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Dampak adalah hasil dari pelaksaan yang dijadikan indikator apakah kebutuhan dan
tuntutan kelompok sasaran terpenuhi atau tidak. Dampak merupakan indikator yang sulit
untuk dinilai. Umpan balik, merupakan hasil dari keluaran yang menjadi masukan dari suatu
sistem. Lingkungan fisik (faktor kesulitan geografis, iklim, transport, dan lain-lain) dan non
fisik (sosial budaya, tingkat pendapatan ekonomi masyarakat, pendidikan masyarakat, dan
lain-lain).5,6

5 LEVEL OF PREVENTION
Terdapat 5 tingkatan preventif menurut Leavell dan Clark antara lain : 5,6
1.

Promosi kesehatan ( health promotion)


Dalam tingkat ini dilakukan pendidikan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan
kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas; dan
sebagainya. Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan pada
umumnya.

2. Perlindungan Umum dan Khusus khusus (General and Spesific Protection)


Perlindungan umum dan khusus merupakan usaha kesehatan untuk memberikan
perlindungan secara khusus atau umum kepada seseorang atau masyarakat untuk
mencegah terjadinya penularan penyakit tertentu. Tindakan ini dilakukan pada seseorang
yang sehat tetapi memiliki risiko terkena penyakit tertentu. Contoh dari perlindungan
umum dan khusus, misalnya melakukan imunisasi, peningkatan keterampilan remaja
untuk mencegah ajakan menggunakan narkotik Penggunaan kondom untuk mencegah
penularan HIV/AIDS.
3. Diagnosis awal dan Pengobatan yang capat dan tepat (Early Diagnosis and Prompt
Treatment)
Penegakan diagnosis secara dini dan pengobatan secara tepat dan cepat dilakukan
untuk mengurangi kesakitan dan penderitaan seseorang. Biaya dalam melakukan
penegakan diagnosis secara dini dan pengobatan secara tepat dan cepat tentunya lebih
murah dibandingkan apabila dilakukan ketika penyakit/ kondisi seseorang semakin parah.
Diagnosis dini dan pengobatan secara cepat dan tepat juga dilakukan untuk menemukan
penyakit sedini mungkin dan melakukan terapi dengan tepat dan cepat.
Berikut adalah cntoh dari diagnosis dini adalah : Tes reaksi berantai polimerase
(PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat
mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula
dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT).
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV
yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk
melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di
darah, saliva (liur), dan urin.
Melaksanakan program VCT , VCT ini dibutuhkan oleh semua orang yang ingin
melakukan tes HIV dan untuk orang yang pernah melakukan tindakan maupun perilaku

beresiko terjagkit HIV seperti aktifitas seksual, tindik tato, konsumsi narkoba melalui
jarum suntik dan salin lain dan ingin melakukan sesuatu untuk masa depannya.
Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk
mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel
dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan
alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul
dua pita berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%,
namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes
antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon
antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat
ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara
berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes
ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja
sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.3
Tes dan konseling HIV pada ibu hamil dilakukan atas inisiatif petugas kesehatan
(TIPK) atau provider-initiated HIV testing and counseling (PITC). Di daerah epidemi
meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan wajib menawarkan tes
HIV kepada semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya
saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan serta diprioritaskan pada ibu hamil
dengan IMS dan TB.
TIPK dilakukan dengan memberikan informasi pra-tes kepada ibu hamil tentang:
Risiko penularan penyakit kepada bayi. Cara mengurangi risiko penularan penyakit dari
ibu ke anaknya. Tes HIV atas inisiatif petugas kesehatandan konseling (TIPK) dilakukan
secaraoption out, yaitu bila ibu menolak, ibu hamil harus menyatakan ketidaksetujuannya
secara tertulis, dan diinformasikan serta ditawarkan kembali untuk menjalani tes pada
kunjungan/kontrol berikutnya. Bila ibu tetap menyatakan option out, maka diperkenalkan
Konseling dan Tes Sukarela (KTS) dan dilakukan rujukan ke KTS.
Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah
pemeriksaan serologis menggunakan rapid test HIVatau ELISA.
4.

Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan


bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (Disability limitation)
Pada tahap ini cacat yang terjadi diatasi, terutama untuk mencegah penyakit menjadi
berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya cacat yang lebih buruk lagi. Usaha ini

dilakukan dengan pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh
kembali dan tidak cacat. Bila sudah terjadi kecacatan maka dicegah agar kecacatan
tersebut tidak bertambah berat (dibatasi),dan fungsi dari alat tubuh yang menjadi cacat ini
dipertahankan semaksimal mungkin. Contoh beberapa usaha yang dapat dilakukan,
diantaranya : Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan. Pengadaan dan peningkatan
fasilitas kesehatan dengan melakukan pemeriksaan lanjut yang lebih akurat seperti
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya agar penderita dapat
sembuh dengan baik dan sempurna tanpa ad komplikasi lanjut.

Penyempurnaan

pengobatan agar tidak terjadi komplikas, masyrakat diharapkan mendapatkan pengobatan


yang tepat dan benar oleh tenaga kesehatan agar penyakit yang dideritanya tidak
mengalami komplikasi.
5. Pemulihan Kesehatan (Rehabilitation)
Rehabilitasi merupakan tahapan terakhir dalam lima level pencegahan yang
dikemukakan oleh Leavel dan Clark dalam lima tingkatan pencegahan penyakit.
Rehabilitasi atau pemulihan adalah usaha untuk mengembalikan bekas penderita kedalam
masyarakat, sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat disekitarnya, semaksimal-maksimalnya sesuai dengan
kemampuannya. Serta individu yang menderita dapat erfungsi secara fisik, mental maupun
kehidupan sosialnya. Contoh kegiatan - kegiatan rehabilitasi meliputi : Mengembangkan
lembaga-lembaga rehabilitasi dengan mengikut sertakan masyarakat. Menyadarkan
masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberikan dukungan moral
setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan.4,,5
Surveilans
Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk mengetahui tingkat masalah melalui
pengumpulan data yang sistematis dan terus menerus terhadap distribusi dan kecenderungan
infeksi HIV dan penyakit terkait lainnya. Tujuan surveilans HIV/AIDS adalah untuk
memperoleh gambaran epidemiologi tentang infeksi HIV/AIDS di Indonesia untuk keperluan
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.
Manfaat Surveilans HIV/AIDS: Melakukan pengamatan dini yaitu Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) HIV/AIDS di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya
dalam rangka mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) HIV/AIDS; Dapat menjelaskan pola
penyakit HIV/AIDS yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan tindakan
tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.

Contoh kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : Deteksi perubahan akut dari
penyakit HIV/AIDS yang terjadi dan distribusinya; Identifikasi dan perhitungan trend dan
pola penyakit HIV/AIDS; Identifikasi dan faktor risiko dan penyebab lainnya, seperi vektor
yang sebabkan HIV: Deteksi perubahan pelayanan kesehatan.3
Tahap kegiatan Surveilans
Tahap kegiatan surveilans sebagai berikut: (1) tahap persiapan dimana menetapkan
tujuan surveilans, tetapkan defenisi dari kasus, tentukan sumber data, (2) tahap pengumpulan
daat dimana data yang dikumpulkan harus sistematis, terus menerus, lengkap, tepat wktu,
benar serta jujur, (3) Tahap analisis dan interpretasi (4) diseminasi dan advokasi dimana hasil
analisi dan interpetasi di diseminasikan kepada orang-orang yang berkepentingan dan sebagai
umpan baik, untuk advokasi dilakukan kepada Bupati/Walikota dan DPRD, (5) tahap evaluasi
dimana yang dilievaluasi efektifitas sistem, jumlah penyakit yang diamati, dampak
deseminasi dan advokasi, waktu, dana, tenaga yang diperlukan. 3
Program puskesmas untuk HIV/AIDS
Voluntary, Counseling and Test adalah proses konseling pra testing, konseling post
testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidental dan secara lebih dini
membantu orang mengetahui status HIV. Dalam tahapan VCT, konseling dilakukan dua kali
yaitu sebelum dan sesudah tes HIV. Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi
tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian
konselor melakukan penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan
yang beresiko HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba suntik,
pernah menerima produk darah atau organ, dan sebagainya. Konseling pra testing
memberikan pengetahuan tentang manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan
perencanaan atas issue HIV yang dihadapi.8
Setelah tahap pre konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat melakukan tes,
darah akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara
setengah jam sampai satu minggu tergantung metode tes darahnya. Dalam tes HIV, diagnosis
didasarkan pada antibodi HIV yang ditemukan dalam darah. Tes antibodi HIV dapat
dilakukan dengan tes ELISA, Westren Blot ataupun Rapid. Setelah klien mengambil hasil
tesnya, maka klien akan menjalani tahapan post konstest HIVeling.8
Apabila hasil tes adalah negatif (tidak reaktif) klien belum tentu tidak memiliki HIV
karena bisa saja klien masih dalam periode jendela, yaitu periode dimana orang yang

bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan
terhadap HIV. Klien dengan periode jendela ini sudah bisa menularkan HIV. Kewaspadaan
akan periode jendela itu tergantung pada penilaian resiko pada pre konseling. Apabila klien
mempunyai faktor resiko terkena HIV maka dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga
bulan setelahnya. Selain itu, bersama dengan klien, konselor akan membantu merencanakan
program perubahan perilaku.
Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka dilakukan
pemeriksaan kedua dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas dan spesifisitas pada reagen
yang digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya dengan
konselor. Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan.
Misalnya, jika klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok sebaya.
Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan bagaimana
agar tidak menularkannya ke orang lain.
Pemeriksaan dini terhadap HIV/AIDS perlu dilakukan untuk segera mendapat
pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan bagi mereka yang diidentifikasi terinfeksi karena
HIV/AIDS belum ditemukan obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat. Memulai
menjalani VCT tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam VCT dijamin
kerahasiaannya dan tes ini merupakan suatu dialog antara klien dengan petugas kesehatan
yang bertujuan agar orang tersebut mampu untuk menghadapi stress dan membuat keputusan
sendiri sehubungan dengan HIV/AIDS.8
SistemPencatatandanPelaporanTingkatPuskesmas (SP2TP)
SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan
upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil
kegiatan Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan, serta
dilaporkannya data tersebut kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai kebutuhan secara
benar, berkala dan teratur, guna menunjang pengelolaan upaya kesehatan masyarakat. Tujuan
Sistem Informasi Manajemen di Puskesmas adalah untuk meningkatkan kualitas manajemen
Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya guna, melalui pemanfaatan secara optimal
data SP2TP dan informasi lain yang menunjang.3
Pelaporan terpadu Puskesmas menggunakan tahun kalender yaitu dari bulan Januari
sampai dengan Desember dalam tahun yang sama. Adapun formulir Laporan yang digunakan

untuk kegiatan SP2TP adalah: 1) Laporan bulanan, yang mencakup: Data Kesakitan (LB.1),
Data Obat-Obatan (LB.2), Gizi, KIA, Imunisasi dan Pengamatan Penyakit menular (LB.3)
serta Data Kegiatan Puskesmas (LB.4); 2) laporan Sentinel, yang mencakup: Laporan
Bulanan Sentinel (LB1S) dan, Laporan Bulanan Sentinel (LB2S); 3) Laporan Tahunan, yang
mencakup: Data dasar Puskesmas (LT-1), Data Kepegawaian (LT-2) dan, Data Peralatan (LT3).
Ada juga jenis laporan lain seperti laporan triwulan, laporan semester dan laporan
tahunan yang mencakup data kegiatan progam yang sifatnya lebih komprehensif disertai
penjelasan secara naratif. Yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan semua jenis data
yang telah dibuat dalam laporan sebagai masukan atau input untuk menyusun perencanaan
puskesmas ( micro planning) dan lokakarya mini puskesmas (LKMP).
Analisis data hasil kegiatan progam puskesmas akan diolah dengan menggunakan
statistic sederhana dan distribusi masalah dianalisis menggunakan pendekatan epidemiologis
deskriptif. Data tersebut akan disusun dalam bentuk table dan grafik informasi kesehatan dan
digunakan sebagai masukkan untuk perencanaan pengembangan progam puskesmas. Data
yang digunakan dapat bersumber dari pencatatan masing-masing kegiatan progam kemudian
data dari pimpinan puskesmas yang merupakan hasil supervisi lapangan. Dinas kesehatan
kabupaten/kota mengolah kembali laporan puskesmas dan mengirimkan umpan baliknya ke
Dinkes Provinsi dan Depkes Pusat. Feed back terhadap laporan puskesmas harus dikirimkan
kembali secara rutin ke puskesmas untuk dapat dijadikan evaluasi keberhasilan program.
Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan, puskesmas tidak wajib lagi mengirimkan laporan
ke Depkes Pusat. Dinkes kabupaten/kotalah yang mempunyai kewajiban menyampaikan
laporan rutinnya ke Depkes Pusat. 3
Sistem Rujukan Difusi
Sistem rujukan di Indonesia dibedakan atas 2 jenis yaitu rujukan medis dan rujukan
kesehatan. Rujukan medis adalah upaya rujukan kesehatan yang dapat bersifat vertikal,
horizontal atau timbal balik yang terutama berkaitan dengan upaya penyembuhan dan
rehabilitasi serta upaya yang bertujuan mendukungnya. Rujukan kesehatan adalah rujukan
upaya kesehatan yang bersifat vertikal dan horisontal yang terutama berkaitan dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta upaya yang mendukungnya. Sistem rujukan medis di
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mencakup 3 (tiga) aspek pelayanan medis yaitu
rujukan pasien, rujukan spesimen/penunjang diagnostik lainnya dan rujukan pengetahuan.

Sistem rujukan di puskesmas dapat dilaksanakan secara horisontal, vertikal atau keduaduanya dari tingkat bawah ke tingkat yang lebih tinggi.5,6
Pelayanan kesehatan telah tersedia pada semua tingkatan mulai dari tingkat dasar
seperti klinik pratama / klinik utama, puskesmas pembantu, puskesmas dan dokter praktek
swasta / bidan praktek swasta sampai ke tingkat yang lebih tinggi seperti rumah sakit.
Apabila klinik pratama / klinik utama, puskesmas Kelurahan, puskesmas, atau dokter praktek
swasta/bidan praktek swasta menerima atau merawat kasus gawat darurat atau non gawat
darurat (penyakit kronis) dan tidak berwenang atau tidak mampu memberikan penanganan
medis tertentu atau pelayanan kesehatan penunjang, maka harus merujuk pasien tersebut
kepada fasilitas kesehatan yang lebih mampu, misalnya rumah sakit pemerintah/swasta atau
fasilitas kesehatan terdekat dan merupakan fasilitas kesehatan rujukan. 5,6
Kerja sama Pemerintah Puskesmas
Pengembangan kemitraan di bidang kesehatan secara konsep terdiri 3 tahap yaitu:
Tahap pertama adalah kemitraan lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri;
Tahap kedua kemitraan lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah dan; Tahap ketiga
adalah membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sector.6
Kerja Sama Lintas Program
Kerja sama lintas program merupakan kerja sama yang dilakukan antara beberapa
program dalam bidang yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Kerja sama lintas
program yang diterapkan di puskesmas berarti melibatkan beberapa program terkait yang ada
di puskesmas. Tujuan khusus kerja sama lintas program adalah untuk menggalang kerja sama
dalam tim dan selanjutnya menggalang kerja sama lintas sektoral.
Contoh keterpaduan lintasprogram antara lain: Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS): keterpaduan KIA dengan P2M, gizi, promosi kesehatan, pengobatan;Upaya
Kesehatan Sekolah (UKS); keterpaduan kesehatan lingkungan dengan promosi kesehatan,
pengobatan, kesehatan gigi, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan jiwa
Kerja Sama Lintas Sektor
Kerja sama lintas sektor melibatkan dinas dan orang-orang di luar sektor kesehatan
yang merupakan usaha bersama mempengaruhi faktor yang secara langsung atau tidak
langsung terhadap kesehatan manusia. Prinsip kerja sama lintas sektor melalui pertalian
dengan program di dalam dan di luar sektor kesehatan untuk mencapai kesadaran yang lebih

besar terhadap konsekuensi kesehatan dari keputusan kebijakan dan praktek organisasi
sektor-sektor yang berbeda.1
Kerja sama lintas sektor harus dilakukan sejak perencanaan dan penganggaran,
pelaksanaan dan pengendalian, sampai pada pengawasan dan penilaiannya. Terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi kerjsasama lintas sektor penganggulangan yang meliputi
anggaran, peraturan, komunikasi, komitmen, peran, dan tanggung jawab. Masalah anggaran
sering membuat beberapa institusi membentu kerja sama. Pengendalian melalui manajemen
lingkungan memerlukan kejelasan yang efektif antara sektor klinis, kesehatan lingkungan,
perencanaan pemukiman, institusi akademis, dan masyarakat setempat.6
Dalam pengembangan kemitraan di bidang kesehatan terdapat tiga institusi kunci
organisasi atau unsur pokok yang terlibat di dalamnya, yaitu: Unsur pemerintah, yang terdiri
dari berbagai sektor pemerintah yang terkait dengan kesehatan, antara lain; kesehatan sebagai
sektor kunci, pendidikan, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, industri dan perdagangan,
agama, dan sebagainya.
Unsur swasta atau dunia usaha (private sector) atau kalangan bisnis, yaitu dari
kalangan pengusaha, industriawan, dan para pemimpin berbagai perusahaan. Unsur
organisasi non-pemerintah atau non-government organization (NGO), meliputi dua unsur
penting yaitu Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (ORMAS)
termasuk yayasan di bidang kesehatan.
Contoh keterpaduan lintas sektor antara lain;Upaya Kesehatan Sekolah: keterpaduan
sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama; Upaya promosi
kesehatan: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan,
agama, pertanian.6
Kesimpulan
Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS . Upaya pencegahan penyakit
ini terutama pada level promotif dan preventif. Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk
mengetahui tingkat masalah melalui pengumpulan data yang sistematis dan terus menerus
terhadap distribusi dan kecenderungan infeksi HIV dan penyakit terkait lainnya. Tujuan
surveilans HIV/AIDS adalah untuk memperoleh gambaran epidemiologi tentang infeksi
HIV/AIDS di Indonesia untuk keperluan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan
program. Diperlukan penanganan secara keseluruhan dalam seluruh lapisan masyarakat

karena HIV AIDS bukan hanya masalah nasional tetapi merupakan masalah global. Dalam
hal ini diperlukan kerja sama berbagai sector terutama dari pendidikan dan agama.
Daftar Pustaka
1. Muninjaya, Gde. Ebook Masalah AIDS di Indonesia : Masalah dan Kebijakan
Penanggulangannya. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.
2. Ardhiyanti Y, Lusiana N,Megasari K. Buku ajar AIDS.
Deepublish.Jakarta;2015.h.1-60
3. Rajab W. Buku ajar epidemiologi.

Jakarta;Penerbit

Buku

Penerbit

Kedokteran

EGC.2008.h.2-3,88-100,169-80
4. Anastasya G. Penelitian HIV/AIDS (Frekuensi dan Distribusi). Fakultas
Kedokteran:

Universitas

Sumatera

Utara,

2010.

Melalui

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364/4/Chapter%20II.pdf diakses 05
Juli 2015.
5. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.h.2659,274-7.
6. Ismainar

H. Administrasi

kesehatan

masyarakat.

Jakarta;Penerbit

Buku

Kedokteran EGC.2008.h.1-79.
7. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.74-90.
8. Nursalam, Kurniawati ND. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIVAIDS. Jakarta; Penerbit Salemba Medika.2007.h.76-80
9. https://akuproperty.files.wordpress.com/2011/01/alur_pengolahan_data.jpg?
w=450. Diunduh pada 15 Juli 2016.

Anda mungkin juga menyukai