Anda di halaman 1dari 63

ANATOMI DINDING ABDOMEN

Abdomen adalah yaitu bagian batang badan yang terdapat di kaudalis dada dan di bawah
dibatasi oleh lig.inguinale & panggul. Rongga yang terdapat di dalam abdomen disebut
cavum abdominis.

Alat tractus digestivus yang terdapat dalam cavum abdomen adalah:


1.

Gaster

2.

Duodenum

3.

Yeyenum

4.

Ileum

5.

Caecum & appendix vermiformis

6.

Colon Ascenden

7.

Colon Transversal

8.

Colon Descenden

9.

Colon Sigmoid

Dinding perut dibentuk oleh Di bentuk oleh :


1.

Depan, oleh Otot-otot lurus perut

2.

Samping, oleh Otot-otot serong perut.

3.

Belakang, oleh m.quadratus lumborum, Otot-otot punggung, Columna vertebralis

Otot-otot lurus perut adalah


1.

m.rectus abdominis

2.

M.pyranidalis

Otot-otot serong perut adalah


1.

m.obligus abdoninis externus (lapisan dinding luar perut)

2.

m.obligus abdominis internus. (lapisan tengah dinding perut )

3.

m.transversus abdominis (lapisan yang terdalam)

otot-otot dinding belakang perut adalah


1.

m.quadratus lumborum.

2.

m.psoas mayor.

3.

m.psoas minor.

Bidang khayal pada dinding abdomen adalah


1. Bidang Vertikal
Bidang Median
Bidang Vertikal Lateral (lanjutan dari thorak)
2. Bidang Horizontal
Bidang Transpylori, bidang melalui pertengahan antara pusat dengan junctura
xyphosternalis melalui lumbalis I.
Bidang Subcostalis, bidang yang melalui arcus costarum yang terendah kira-kira
setinggi bagian bawah cor.vert. LIII.
Bidang Umbilicalis, bidang yang melalui pusat kira 2 3 Cm. diatas bidang

transtubercularis.
Bidang Transtubercularis, bidang yang melalui crista iliaca tertinggi ki & ka.
melalui bagian bawah corpus vert.lumbal V.
Bidang Spinosi, bidang yang melalui spina iliaca ant. sup. ki-ka.

Regio abdomen adalah


.Regio ABD Cranialis, yaitu
Regio hypochondrica dextra.
Regio epigastrica.
Regio hypochondrica sinistra.
.Regio Mesogastrica
Regio abd lateralis dextra.
Regio umbilicalis
Regio abd lateralis sinistra
.Regio Hypogastrica
Regio inguinalis dextra.
Regio pubica.
Regio inguinalis sinistra
Atresia Ani
Definisi
Atresia (tresis) berarti keadaan tidak ada atau tertutupnya lubang badan normal atau
organ tubulur secara kongenital, disebut juga clausura. Sedangkan ani berarti anus.
Atresia ani atau anus imperforata, seringkali disebut sebagai malformasi anorectal atau
anomali anorectal, adalah suatu kelainan kongenital yang menunjukkan keadaan tanpa
anus atau dengan anus yang tidak sempurna. Atresia ani termasuk kelainan kongenital
yang cukup sering dijumpai, Angka kejadiannnya mencapai 1 dari 4000 - 5000 kelahiran.
Etiologi
Atresia anorectal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses pemisahan. Penyebab
pasti tidak diketahui. Beberapa dugaan dari faktor lingkungan yaitu paparan obat-obatan
tertentu selama kehamilan. Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius
yang terletak di depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang melakukan penetrasi
sampai perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra levator, septum urorectal turun
secara tidak sempurna atau berhenti pada suatu tempat jalan penurunannya
Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Gangguan pada perkembangan embriologik ini masih belum jelas hingga saat
ini. Gangguan embrional ini berupa tidak sempurnanya kanalisasi saluran pencernaan

bagian bawah, yaitu gangguan pertumbuhan septum urorectal. Septum ini memisahkan
rectum dan kanalis anal dengan bladder dan uretra. Pada minggu ke 7 kehamilan septum
ini menutup saluran yang menghubungkan traktus urinarius dan traktus digestivus dan
terbentuk sempurna pada usia kehamilan 8 minggu.
Setelah itu urogenital ventral membuka dan disusul oleh dorsal anal membrane. Namun
pada atresia ani dapat terjadi stenosis anal, pembukaan anal membrane tidak sempurna,
maupun pemisahan yang tidak sempurna dengan traktus urinarius yang menyebabkan
adanya fistula.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rectum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki2 biasanya letak tinggi , umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika) . pada letak rendah fistula
menuju ke urethra (rektourethralis)
Klasifikasi:
Klasifikasi yang digunakan berdasarkan letaknya terhadap muskulus levator ani yaitu :
Kelainan letak tinggi (supralevator), rektum tidak mencapai muskulus levator ani, jarak
ujung buntu rectum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm.
Kelainan intermediet, rectum mencapai muskulus levator ani namun tidak
menembusnya.
Kelainan letak rendah (infralevator), rectum menembus muskulus levator, jarak antara
ujung buntu rectum dengan kulit perineum kurang dari 1 cm.
Klasifikasi ini menentukan penanganan selanjutnya oleh karena itu penentuan letak
atresia ani sangat penting.
Penggolongan berdasarkan foto, bila bayangan udara pada ujung rektum dari foto di
bawah garis puboischias adalah tipe rendah, bila bayangan udara diatas garis
pubococcygeus adalah tipe tinggi dan bila bayangan udara diantara garis puboischias dan
garis pubococcygeus adalah tipe intermediet.
Gejala Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu
24-48 jam. Gejala yang didapatkan pada penderita atresia ani adalah:
Perut kembung
Mekoneum tidak keluar dalam waktu 24 - 48 jam setelah lahir.
Jika disusui, bayi akan muntah.
Inspeksi daerah perineum, tidak didapatkan anus, kemungkinan ada fistula.
Bayi/anak dengan atresia ani letak tinggi bahkan memiliki penampakan perineum yang
datar (flat), keadaan ini disebut dengan "rocker bottom" appearance.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan Foto Invertogram. Foto
Invertogram (Wangenstein Rice) adalah foto yang:
a. Dikerjakan 8 10 jam postpartum, sehingga diharapkan udara telah mencapai stom
distal usus
b. Tekniknya: bayi diletakkan posisi erect terbalik (kepala di bawah), atau posisi pronasi,
kemudian dengan sinar X horizontal diarahkan ke trochanter mayor. Dari gambaran yang
terbentuk, akan dapat dinilai ujung udara yang ada di distal rektum ke marka anus.
c. Sedangkan penilaian Foto Invertogram, yaitu dengan cara menarik garis imajiner
pubococcigeal, bila kontras udara proksimal dari garis ini berarti letak tinggi, bila tepat
pada garis letak intermediet, dan bila lebih distal dari garis ini berarti letak rendah.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang Foto Wangenstein Rice ini, dapat dibedakan
beberapa jenis atresia ani, sebagai berikut:
a. Atresia Ani membranosa
b. Atresia Ani Letak Rendah (< 1 cm)
c. Atresia Ani Letak Sedang (1 1,5 cm)
d. Atresia Ani Letak Tinggi (> 1,5 cm) dengan atau tanpa fistel
USG dapat menentukan secara akurat jarak antara anal dimple dan kantong rektum yang
buntu. Perneriksaan CT Scan dapat menentukan anatomi yang jelas otot-otot sfingter ani
dalam hubungannya dengan usus dan jumlah massa yang ada. Pemeriksaan ini berguna
untuk rencana preoperatif dan memperkirakan prognosa penderita.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Begitu diketahui, segera dirujuk ke
RS untuk dilakukan colostomy. Kolostomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuat
bukaan intestinal/kolon pada dinding abdomen. Ini memungkinkan bayi untuk dapat tetap
memiliki pasase kolon yang normal dan mencegah obstruksi kolon. Pada ujung muara
kolostomi ini dipasang sebuah kantong untuk menampung faeces yang keluar.
Manfaat kolostomi antara lain:
a. Mengatasi obstruksi usus
b. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi
yang bersih
c. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam
usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan
yang lain.
Tipe kolostomy yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah kolostomy
loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon yang dieksteriorisasi.
Teknik Pembedahan
1. Desinfeksi kulit
2. Insisi di kuadran abdomen yang paling dekat dengan lengkung usus
yang akan dieksteriorisasi.
3. Insisi bagian fat, fasia, otot dan perineum
4. Keluarkan lengkung kolon tanpa melipat atau memutarnya

5. Buat suatu lubang di mesokolon yang cukup besar untuk dilalui oleh sepotong batang
gelas atau teugel dengan kateter.
6. Lakukan fiksasi dengan menjahit peritoneum. Kemudian dilanjutkan dengan menjahit
fasia dan kulit dengan catgut.
7. Fasia yang dibuka terlalu lebar dijahit kembali dengan catgut chromic dengan kulitnya
pula.
8. Buatlah suatu insisi berbentuk salib di apeks dari lengkung usus tadi baik dengan pisau
atau diatermi.
9. Tutupi sekitar kolostomi dengan petrolatum dan penyeka yang sebelumnya diberi salep
zincoxyd/boor/vaseline.
10. Dipasang kantung kolostomi
Komplikasi Colostomy
1. Infeksi
2. Iritasi kulit
3. Prolaps pada stoma
4. Pendarahan stoma
Tahap ke-2 dilakukan Postero Sagital Ano-Rectoplasty (PSARP) usia 6 bulan dilanjutkan
bouginasi rectal. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan
prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen
feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorectoplasty.
Nama yang diberikan pada tindakan bedah yang satu ini mendeskripsikan secara anatomi
dan bagaimana prosedur medis dari operasi ini:
a. Postero : menunjukkan lokasi dari tubuh yang akan dilakukan tindakan, yaitu pada
posterior atau tubuh bagian belakang (pantat/bawah).
b. Sagital : mendeskripsikan secara anatomi suatu daerah dekat rektum yang baru.
c. Anorectal : menunjukkan hubungan antara anus dan rektum.
d. Plasty : termasuk bedah plastik atau tindakan bedah rekonstruksi.
Insisi dimulai dari ujung luar fistel ke arah rektum. Selanjutnya dilakukan identifikasi
Rectal sphincter yang sebenarnya, yang terdiri dari saraf-saraf rektum dan otot-otot, lalu
saluran fistel tadi dipindahkan dan diarahkan pada jalur ke arah rektum yang benar.
Setelah itu, dibuat bukaan anus, tepat di bawah otot-otot rektum dan saraf-saraf rektum
itu berada, dengan tujuan untuk mengoptimalkan kemampuan bayi/anak tersebut
mengendalikan BAB. Operasi ini sendiri, biasanya memakan waktu sekitar dua jam dan
umumnya pasien dapat diperbolehkan pulang pada hari yang sama. Diet selama sebelum
dilakukan tindakan haruslah diet lunak/halus, dengan harapan bayi/anak tersebut tetap
dapat melakukan BAB secara teratur, dan menekan ketegangan/konstipasi.
Kolostomi yang sebelumnya dilakukan tidak ditutup selama operasi PSARP ini. Lubang
kolostominya tetap dipertahankan beberapa waktu lagi untuk memberi kesempatan
pemulihan luka operasi PSARP yang baru dilakukan. Sehingga sebelum anus baru benarbenar siap pakai, bayi tetap harus BAB lewat lubang kolostominya. Waktu ideal yang
sering dipakai adalah sembilan minggu paska PSARP, baru dilakukan penutupan lubang
kolostomi dan bayi dimonitor untuk mulai BAB lewat anus barunya.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang,

meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma


psikis. Sebagai Goalnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik.
Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rectum yang
dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis
dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda
tergantung pada letak ketinggian akhiran rectum dan ada tidaknya fistula.
Perawatan Paska Operasi
BAB pasien harus dimonitor dengan sebaik-baiknya. Konstipasi harus dihindari,
harapannya agar bayi/anak itu merasa nyaman. Obat-obatan yang mengusahakan
lunaknya faeces yang dikeluarkan, sangat penting, sama pentingnya dengan pemberian
antibiotik unutuk beberapa hari lamanya paska operasi. Antibiotik intra vena diberikan
selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari. Businasi (bougination) untuk
membantu dilatasi rektal dapat dimulai beberapa hari paska operasi. Selanjutnya
dilakukan rutin dalam beberapa hari sekali (umumnya seminggu sekali). Businasi
dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.
FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dal;am 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa
nyeri dilakukan 2x selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara
bertahap frekuensi diturunkan.
Pada atresia ani tipe membranasea, biasanya disebut letak rendah dapat langsung
dilakukan insisi berbentuk X atau Y. Sedangkan pada kasus atresia ani letak tinggi
dilakukan operasi dengan teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini
punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti
dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya
resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.

GER (GASTROESOPHAGEAL REFLUX) dan GERD (GASTROESOPHAGEAL


REFLUX DISEASE)
Definisi
Refluks gastroesofagus (GER) didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke esofagus
atau lebih proksimal.Isi lambung tersebut bisa berupa asam lambung, udara maupun
makanan. RGE ini bisa murni akibat gangguan secara fungsional tanpa adanya kelainan
lain.Bisa juga akibat adanya gangguan struktural yang terdapat pada esofagus maupun
gaster yang mempengaruhi penutupan sfingter esofagus bawah (SEB), seperti kelainan
anatomi kongenital, tumor, komplikasi operasi, tertelan zat korosif dan lain-lain.
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) didefenisikan sebagai refluks yang meningkat,
baik dari frekuensi dan lamanya, jika terjadi regurgitasi bahan-bahan refluks dan
kehilangan kalori, atau bahan-bahan refluks merusak mukosa esofagus dan menyebabkan
esofagitis.
Etiologi
Penyebab terjadinya GER adalah sebagai berikut
1. Tekanan lambung lebih tinggi dari pada tekanan esofagus.
A. Obstruksi
Stenosis pylorus
Tumor abdomen
Makan terlalu banyak
B. Peningkatan peristalsis, karena gastroenteritis
C. Peningkatan tekanan abdomen
Obesitas.
Memakai pakaian terlalu ketat
Pemanjangan waktu pengosongan lambung
2. Tekanan lambung sama dengan tekanan esophagus
A. Gangguan faal, disebabkan saluran esophagus bawah longgar
Chalasia
Adult-ringed esophagus

Obatobat asma
Merokok
Pemakaian pipa nasogastric

Hiatal hernia

Sebagian isi lambung memasuki rongga dada dan menyebabkan posisi lambung tidak
normal.
3. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi

Penyakit gastrointestinal lain ( penyakit Crohn )

Eradikasi Helicobacter pylori

Faktor genetik

Reaksi respon imun berlebihan

Obatobat yang mempengaruhi asam lambung; NSAIDs, calcium

channel blockers, dan lainlain.

Gejala Klinis
Dengan mengamati gejala klinis yang timbul maka pemeriksaan penunjang untuk
diagnose dapat sangat selektif dilakukan pada penderita yang diduga kuat menderita
GER. Beberapa gejala klinis yang timbul pada GER ini adalah sebagai berikut:
1. Manifestasi klinis akibat refluks asam lambung.

Sendawa (pirosis)

Mual.

Muntah

Sakit uluhati

Sakit menelan

Hematemesis melena

Striktura

Iritabel (bayi)

Gangguan pada saluran pernafasan

Erosi pada gigi

2. Manifestasi klinis akibat refluks gas (udara)

Eructation

Cekukan

Rasa penuh setelah makan

Mudah merasa kenyang

Perut sering gembung

3. Manifestasi klinis akibat refluks makanan dan minuman

Muntah.

Menolak diberi makanan (pada bayi dan anak)

Aspirasi ke saluran pernafasan (apnu, SIDS)

Anemia

Penurunan berat badan

Gagal tumbuh

Retardasi psikomotor

Sandifer syndrome (dimana terjadi hiper-ekstensi leher dan torticolis pada bayi)

Tabel Perbedaan gambaran klinis GER dan GERD pada bayi dan anak
GER (Gastroesophageal Reflux)

Regurgitasi dengan BB normalGejala dan


tanda esofagitis tidak ada
Gejala gangguan pernafasan tidak ada
Gejala gangguan neurologis tidak ada

GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)


Regurgitasi dengan penurunan BBGelisah
persisten (persistent irritability) bayi terlihat
kesakitan
Sakit dada bawah, sakit menelan, pirosis pada
anak
Hematemesis, anemia defisiensi besi.
Apnu, sianosis pada bayi, mengalami Pnemonia
aspirasi dan berulang, Batuk kronis, Stridor
Posisi leher menjadi miring

Pemeriksaan Penunjang
1. Barium per Oral
Prinsip pemeriksaan adalah melihat refluks bubur barium. Pemeriksaan ini sangat
berguna untuk melihat adanya kelainan struktural dan kelainan anatomis dari esofagus,
adanya inflamasi dan esofagitis dengan erosi yang hebat (inflamasi berat). Ketika
pemeriksaan ini dilakukan pasien diberi minum bubur barium, baru foto rongen
dilakukan. Pada pemeriksaan ini dapat terlihat adanya suatu ulkus, hiatal hernia, erosi
maupun kelainan lain.
Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi ulkus ataupun erosi yang kecil. Pada
pemeriksaan ini bisa terjadi positif semu jika pasien menangis selama pemeriksaan,
peningkatan tekanan intraabdomen dan meletakkan kepala lebih rendah dari tubuh. Bisa
juga terjadi negatif semu jika bubur barium yang diminum terlampau sedikit. Kelemahan
lain, refluks tidak dapat dilihat jika terjadi transient low oesophageal sphincter relaxation
(TLSOR).
2. Manometri Esophagus
Manometri merupakan suatu teknik untuk mengukur tekanan otot. Caranya adalah
dengan memasukkan sejenis kateter yang berisi sejenis transduser tekanan untuk
mengukur tekanan. Kateter ini dimasukkan melalui hidung setelah pasien menelan air
sebanyak 5 ml. Ukuran kateter ini kurang lebih sama dengan ukuran pipa naso-gastrik.

Kateter ini dimasukkan sampai transduser tekanan berada di lambung. Pengukuran


dilakukan pada saat pasien meneguk air sebanyak 1015 kali. Tekanan otot spingter pada
waktu istirahat juga bisa diukur dengan cara menarik kateter melalui spingter sewaktu
pasien disuruh melakukan gerakan menelan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui
baik tidaknya fungsi esofagus ataupun SEB dengan berbagai tingkat berat ringannya
kelainan.
3. Pemantauan pH Esophagus
Pemantauan pH esofagus dilakukan selama 24 jam. Uji ini merupakan cara yang paling
akurat untuk menentukan waktu kejadian asidifikasi esofagus serta frekuensi dan
lamanya refluks. Prinsip pemeriksaan adalah untuk mendeteksi perubahan pH di bagian
distal esofagus akibat refluks dari lambung. Uji memakai suatu elektroda mikro melalui
hidung dimasukkan ke bagian bawah esofagus. Elektroda tersebut dihubungkan dengan
monitor komputer yang mampu mencatat segala perubahan pH dan kemudian secara
otomatis tercatat. Biasanya yang dicatat episode refluks yang terjadi jika terdeteksi pH <
4 di esofagus untuk jangka waktu 1530 detik. Kelemahan uji ini adalah memerlukan
waktu yang lama, dan dipengaruhi berbagai keadaan seperti: posisi pasien, frekuensi
makanan, keasaman dan jenis makanan, keasaman lambung, pengobatan yang diberikan
dan tentunya posisi elektroda di esofagus.
4. Uji Berstein
Uji Berstein termasuk uji provokasi untuk melihat apakah pemberian asam dalam jumlah
kecil ke dalam esofagus dapat membangkitkan gejala RGE. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan bahwa kelainan bersumber pada esofagus jika pemeriksaan lain
memberikan hasil negatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan garam
fisiologis melalui pipa nasogastrik sebanyak 7 8 ml per menit selama 10 menit diikuti
pemberian 0.1 N larutan asam hidroklorida (waktu maksimal untuk pemeriksaan adalah
20 menit). Kemudian pasien mengatakan setiap keluhan atau gejala yang timbul. Jika uji
Bernstein positif maka pasien dikatakan hipersensitif atau hiperresponsif terhadap
rangsangan asam.
5. Endoskopi dan Biopsi
Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi atau panendoskopi) memungkinkan
untuk melihat dan sekaligus melakukan biopsi epitel esofagus. Endoskopi dan biopsi
dapat menentukan ada dan beratnya esofagitis, striktura dan esofagitis Barret, serta dapat
menyingkirkan kelainan lain seperti penyakit Crohn. Tapi gambaran normal esofagus
selama endoskopi belum tentu tidak ada esofagitis secara histopatologi. Jika esofagitis
tidak terlihat maka perubahan mukosa menjadi hiperemis maupun pucat harus menjadi
perhatian. Oleh karena itu jika pemeriksaan endoskopi dilakukan, sebaiknya dilakukan
juga biopsi.

6. Scintigrafi
Pemeriksaan sintigrafi untuk mendeteksi adanya RGE sudah lama dikenal di kalangan
ahli radiologi. Selain karena sensitivitasnya yang lebih baik dari pemeriksaan barium
peroral, juga mempunyai radiasi yang lebih rendah sehingga aman bagi pasien. Prinsip
utama pemeriksaan sintigrafi adalah untuk melihat koordinasi mekanisme aktifitas mulai
dari orofaring, esofagus, lambung dan waktu pengosongan lambung. Kelemahan
modalitas ini tidak dapat melihat struktur anatomi. Gambaran sintigrafi yang terlihat pada
refluks adalah adanya gambaran spike yang keluar dari lambung. Tinggi spike
menggambarkan derajat refluks sedangkan lebar spike menggambarkan lamanya refluks.
7. Ultrasonografi
Pada beberapa sentra pemeriksaan USG sudah dimasukkan ke dalam pemeriksaan rutin
untuk mendeteksi adanya refluks. Malah dikatakan bahwa USG lebih baik dari
pemeriksaan barium per oral maupun sintigrafi. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan
bahwa USG tidak mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang baik sehingga tidak
dianjurkan. Kelemahan yang lain adalah lamanya waktu yang diperlukan dalam
pemeriksaan dan pada beberapa kasus terdapat kesulitan untuk melihat bentuk esofagus
(echotexture).
Tatalaksana
Tatalaksana pada GER adalah
1.Merubah gaya hidup dan kebiasaan
2. Obat-obatan

Antasida

Antagonis reseptor H2

Prokinetik

Proton pump inhibitor

3. Operasi

Indikasi operasi adalah jika GER menyebabkan:2,3

Muntah persisten dengan gagal tumbuh.

Esofagitis atau adanya striktur esofagus.

Penyakit paru kronis atau apneic spell yang tidak respon dengan pengobatan selama 23
bulan.

Anak berusia > 18 bulan, dengan hiatus hernia yang besar.

Anak dengan gangguan neurologis yang tidak respon dengan obat- obatan

HERNIA
Anatomi

Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis

Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia. Pada hernia
abdominalis berupa usus

Locus Minoris Resistence (LMR)

Cincin hernia: Merupakan bagian locus minoris resistence yang dilalui kantong hernia

Leher hernia: Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.

Definisi
Berasal dari bahasa Latin, herniae, yaitu menonjolnya isi suatu rongga melalui jaringan
ikat tipis yang lemah pada dinding rongga. Dinding rongga yang lemah itu membentuk
suatu kantong dengan pintu berupa cincin. Gangguan ini sering terjadi di daerah perut
dengan isi yang keluar berupa bagian dari usus.

Klasifikasi
1)

Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas :

hernia bawaan (kongenital)

hernia yang didapat (akuisita)


2)

Berdasarkan letaknya, hernia dibagi menjadi

Hernia interna

Hernia eksterna
3)

Berdasarkan sifatnya, hernia dibagi menjadi

Hernia reponible, yaitu terjadi jika isi hernia dapat keluar masuk, isi hernia keluar
biasanya pada saat berdiri atau mengedan (aktifitas) dan masuk pada saat tiduran
(istirahat) , hernia jenis ini biasanya tanpa keluhan.

Hernia irreponible, yaitu terjadi jika isi hernia tidak dapat keluar masuk karena sudah ada
perlekatan antara isi hernia dengan kantongnya, hernia jenis ini biasanya tanpa keluhan
nyeri maupun gangguan pasase usus.

Hernia inkaserata, yaitu terjadi jika isi hernia tidak dapat keluar masuk kerena adanya
jepitan isi hernia oleh cincin hernia sehingga timbul gejala gangguan pasase usus seperti
mual, muntah, kembung, tidak dapat BAB, tidak dapat flatus.

Hernia strangulata, yaitu terjadi jika isi hernia megalami jepitan oleh cincin hernia
sehingga timbul gejala gangguan pasase (obstruksi) dan gangguan vaskularisasi.
Gangguan pasase dapat berupa mual, muntah, kembung, tidak dapat BAB, tidak dapat
flatus dan gangguan vaskularisasi dapat berupa nyeri yang menyerupai cholik yang lama
kelamaan bisa menetap dan dapat diikuti dengan nekrosis daerah yang mengalami jepitan
bahkan dapat terjadi perforasi. Bila hernia strangulata hanya menjepit sebagian dinding
usus biasanya disebut hernia Richter.

Faktor Predisposisi
Hal-hal yang mempermudah terjadinya suatu hernia antara lain :

Riwayat batuk lama : TBC paru

Pekerja pengangkat beban berat

Trauma

Konstipasi lama

Usia tua

Hipertrofi prostat

Iatrogenik

Obesitas

Kebiasaan mengejan saat BAB

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hernia dapat dilakukan dalam beberapa tindakan, antara lain:
1. Konservatif
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian
penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.
2. Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional.
Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia
adalah hernioraphy, yang terdiri dari herniotomi dan hernioplasti.

Herniotomi
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya. Kantong
dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi, kantong
hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.

Hernioplasti
Pada hernioplasti dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasti lebih penting artinya
dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai
metode hernioplasti seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan
terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan m.
tranversus internus abdominis dan m. oblikus internus abdominis yang dikenal dengan
nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale poupart menurut metode Bassini, atau
menjahitkan fasia tranversa m. transversus abdominis, m.oblikus internus abdominis ke

ligamentum cooper pada metode Mc Vay. Bila defek cukup besar atau terjadi residif
berulang diperlukan pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau
marleks untuk menutup defek.
Pencegahan
Kelainan kongenital yang menyebabkan hernia memang tidak dapat dicegah, namun
langkah-langkah berikut ini dapat mengurangi tekanan pada otot-otot dan jaringan
abdomen:
1)
Menjaga berat badan ideal. Jika anda merasa kelebihan berat badan,
konsultasikan dengan dokter mengenai program latihan dan diet yang sesuai.
2)
Konsumsi makanan berserat tinggi. Buah-buahan segar, sayur-sayuran dan
gandum baik untuk kesehatan. Makanan-makanan tersebut kaya akan serat yang dapat
mencegah konstipasi.
3)
Mengangkat benda berat dengan hati-hati atau menghindari dari mengangkat
benda berat. Jika harus mengangkat benda berat, biasakan untuk selalu menekuk lutut
dan jangan membungkuk dengan bertumpu pada pinggang.
4)
Berhenti merokok. Selain meningkatkan resiko terhadap penyakit-penyakit serius
seperti kanker dan penyakit jantung, merokok seringkali menyebabkan batuk kronik yang
dapat menyebabkan hernia inguinalis.
INVAGINASI
Defenisi
Intususepsi atau invaginasi adalah suatu keadaan masuknya segmen usus ke segmen
bagian distalnya yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus strangulasi.
Epidemiologi
Intususepsi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Mansjoer. R. 2000).
Angka kejadian pada anak laki-laki 3 kali lebih besar bila dibandingkan anak perempuan
(kidshealth. org, 2001). Seiring dengan pertambahan umur, perbedaan kelamin menjadi
bermakna. Pada anak usia lebih dari 4 tahun, rasio insidensi anak laki-laki dengan anak
perempuan adalah 8 : 1.

Etiologi
Pada bayi lebih dari 3 tahun, bisa disebabkan faktor mekanik, seperti :

Meckel diverticulum

Polip pada untestinum

Lymposarcoma intestinum

Trauma tumpul pada abdominal dengan hematom

Hemangioma emedicine.com, 2003).


Selain itu beberapa penelitian menunjukkan peranan rotavirus pada penyebab invaginasi.
Gejala Klinis
Gejala yang tampak adalah nyeri perut yang hebat, mendadak dan hilang timbul dalam
waktu beberapa detik hingga menit dengan interval waktu 5-15 menit. Diluar serangan,
anak tampak sehat. (www.pediatrik.com, 2003). Bayi dengan intususepsi akan mengalami
nyeri abdomen yang sangat mendadak sehingga mereka menangis dengan sangat
kesakitan dan keras. Bayi tersebut akan menarik lututnya ke dada.
Anak sering muntah dan dalam feses sering ditemukan darah dan lendir. Secara bertahap
anak akan pucat dan lemas, bisa menjadi dehidrasi, merasa demam, dan perut
mengembung. Selain itu, ada gejala-gejala seperi anak menjadi cepat marah, nafas
dangkal, mendengkur, konstipasi.
Differensial diagnosis

Trauma Abdomen

Appendisitis Akut

Hernia

Gastroenteritis

Torsi testis

Perlengketan jaringan

Volvulus

Meckel diverticulum

Perdarahan G 1

Proses-proses yang menumbuhkan nyeri abdomen emedicine.com, 2003).

Diagnosis
Anamnesa dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari riwayat pasien
sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada riwayat dipijat, diberi
makanan padat padahal umur anak dibawah 4 bulan. kidshealth.org, 2001).Pemeriksaan
fisik, pada palipasi diperoleh abdomen yang mengencang, massa seperti sosis.
Pemeriksaan penunjang dilakukan X-ray abdomen untuk melihat obstruksi
kidshealth.org.2001).Pemeriksaan ultrasound bisa melihat kondisi secara umum dengan
menggunakan gelombang untuk melihat gambaran usus di layar monitor.
Penatalaksanaan

Terapi cairan intravena

Pemasangan nasogastrik tube

Barium enema untuk reduksi invaginasi

Operasi, jika tindakan dengan barium enema tidak berhasil

Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa komplikasi berat,
seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi dan kematian.
Prognosis
Invaginasi dengan terapi sedini mungkin memiliki prognosis yang baik. Terdapat resiko
untuk kambuh lagi.

HEMORRHOID
Definisi
Hemorrhoid adalah dilatasi varikosus vena dari pleksus hemoroidalis inf/sup.
Etiologi

Obstruksi vena

Prolaps bantalan anus

Keturunan

Diet dan geografis

Kebiasaan defekasi

Tonus sfingter anus

Klasifikasi

Stadium I
Pada stadium I terjadi perdarahan, tetapi tidak terjadi prolaps

Stadium II
Pada stadium II, terdapat bantalan prolaps seperti dibawah L.Dentata saat mengedan dan
hilang spontan, selain itu terdapat secret dan pruritus

Stadium III
Pada stadium III, terdapat bantalan anus yang keluar saat mengedan dan tetap diluar
sampai direposisi manual, selain itu biasanya terdapat kotoran dalam pakaian dalam.

stadium IV
Pada stadium IV, terdapat nyeri, prolaps tidak dapat direposisi secara manual, dan
terdapat bantalan interna yang ditutupi mukosa.

Gejala klinis

Perdarahan melalui anus

Prolaps atau benjolan anus

Nyeri dan rasa tidak aman

Secret, pruritus dan hygiene kurang

Diagnosis

Anamnesa

Pemeriksaan fisik

Inspeksi perianal

Palpasi

Anuskopi

Sigmoidoskopi

Penatalaksanaan

Pencegahan
1.
2.
3.
4.
5.

Memberikan nasehat
Menghindari konstipasi kronik
Mengkonsumsi makanan berserat tinggi
Menghindari makanan yang pedas
Menggunakan toilet jongkok

Medikamentosa
Obat yang digunakan adalah Obat simtomatik nyeri ,gatal ,salep antiseptik,analgetik,
vasokonstriktor.

Tindakan invasiv
Tindakan invasive yang dapat dilakukan adalah
1. Skleroterapi
2. Rubber Band Ligation
3. Cryotheraphy atau cryosurgery

4. Coagulation infra red


5. Bipolar diathermy
6. Tindakan operasi
Komplikasi

Trombosis dan infeksi bantalan vaskuler interna

Edema

Trombosis vaskuler ekterna

Anemia

Dermatitis perianal

PERDARAHAN SALURAN PENCERNAAN


Definisi
Perdarahan bisa terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut
sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah,tetapi
gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu.
Etiologi
Penyebab perdarahan pada saluran pencernaan :
a. Kerangkongan, di antaranya disebabkan oleh:

Robekan jaringan

Kanker
b. Lambung, di antaranya disebabkan oleh:

Luka kanker atau non-kanker

Iritasi (gastritis) karena aspirin atau Helicobacter pylori


c. Usus halus, di antaranya disebabkan oleh:

Luka usus dua belas jari non-kanker

Tumor ganas atau jinak


d. Usus besar, di antaranya disebabkan oleh:

Kanker

Polip non-kanker. Penyakit peradangan usus (penyakit Crohn atau kolitis ulserativa)

Penyakit divertikulum

Pembuluh darah abnormal di dinding usus (angiodisplasia)


e. Rektum, di antaranya disebabkan oleh:

Kanker

Polip non-kanker

Anus, di antaranya disebabkan oleh Hemoroid dan Robekan di anus (fisura anus)

Manifestasi Klinik

muntah darah (hematemesis)

mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)

mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)


Tinja yang kehitaman biasanya merupakan akibat dari perdarahan di saluran pencernaan
bagian atas, misalnya lambung atau usus dua belas jari. Warna hitam terjadi karena darah
tercemar oleh asam lambung dan oleh pencernaan kuman selama beberapa jam sebelum
keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan tinja yang berwarna
kehitaman.
Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-gejala anemia,
seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing. Jika terdapat gejala-gejala
tersebut, dokter bisa mengetahui adanya penurunan abnormal tekanan darah, pada saat
penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.
Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut nadi yang
cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan dan kaki
penderita juga akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena
kehilangan darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan bahkan
syok.

Gejala kehilangan darah yang serius bisa berbeda-beda, tergantung pada apakah penderita
memiliki penyakit tertentu lainnya. Penderita dengan penyakit arteri koroner bisa tibatiba mengalami angina (nyeri dada) atau gejala-gejala dari suatu serangan jantung. Pada
penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari penyakit lainnya, seperti
gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertmbah
buruk. Pada penderita penyakit hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan
pembentukan racun yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian,
perubahan kesiagaan dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).
Diagnosa
Pemeriksaan ditujukan untuk menemukan sumber perdarahan. Beberapa tindakan yang
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah

Endoskopi

Biopsy

Rontgen dengan menggunakan barium enema

Angiografi

Penatalaksanaan
Pada lebih dari 80% penderita, tubuh akan berusaha menghentikan perdarahan. Penderita
yang terus menerus mengalami perdarahan atau yang memiliki gejala kehilangan darah
yang jelas, seringkali harus dirawat di rumah sakit dan biasanya dirawat di unit perawatan
intensif.
Bila darah hilang dalam jumlah besar, mungkin dibutuhkan transfusi. Untuk menghindari
kelebihan cairan dalam pembuluh darah, biasanya lebih sering diberikan transfusi sel
darah merah (PRC/Packed Red Cell) daripada transfusi darah utuh (whole blood). Setelah
volume darah kembali normal, penderita dipantau secara ketat untuk mencari tanda-tanda
perdarahan yang berlanjut, seperti peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah
atau kehilangan darah melalui mulut atau anus.
Perdarahan dari vena varikosa pada kerongkongan bagian bawah dapat diobati dengan
beberapa cara. Diantaranya dengan memasukkan balon kateter melalui mulut ke dalam
kerongkongan dan mengembangkan balon tersebut untuk menekan daerah yang berdarah.
Cara lain ialah dengan menyuntikan bahan iritatif ke dalam pembuluh yang mengalami
perdarahan, sehingga terjadi peradangan dan pembentukan jaringan parut pada pembuluh
balik (vena) tersebut.

Perdarahan pada lambung sering dapat dihentikan melalui endoskopi. Dilakukan


kauterisasi pembuluh yang mengalami perdarahan dengan arus listrik atau penyuntikan
bahan yang menyebabkan penggumpalan di dalam pembuluh darah. Bila cara ini gagal,
mungkin perlu dilakukan pembedahan.
Perdarahan pada usus bagian bawah biasanya tidak memerlukan penanganan darurat.
Tetapi bila diperlukan, bisa dilakukan prosedur endoskopi atau pembedahan perut.
Kadang-kadang lokasi perdarahan tidak dapat ditentukan dengan tepat, sehingga sebagian
dari usus mungkin perlu diangkat.

Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar Perdarahan masif saluran cerna bagian atas.


(sumber dari: http://drugster.info/img/ail/874_879_3.jpg)

Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal
pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz. Yang
termasuk organ organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus,
lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Kejadian perdarahan
saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering ditemukan
dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah. Lebih dari 50%
kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan oleh penyakit erosif dan
ulseratif dari gaster dan/atau duodenum. (Shuhart, Kowdley, and Neighbor, 2002)
Epidemiologi

Data epidemiologik dari Eropa menunjukkan bahwa insidensi tahunan kejadian


perdarahan saluran cerna bagian atas terdapat pada 48 dari 145 per 100.000 populasi di
tahun 1960-an dan 1970-an. Di tahun 1978 didapatkan estimasi total dari jumlah rawat
inap rumah sakit akibat perdarahan saluran cerna bagian atas di Amerika Serikat
sebanyak 150 per 100.000 populasi. Penelitian HMO tunggal terbaru tentang kesehatan
dasar pada suatu populasi di Amerika Serikat, ditemukan sebanyak 102 kasus rawat inap
akibat perdarahan saluran cerna bagian atas per 100.000 populasi di tahun 1995. Pada
data 1992 1999 dari National Hospital Discharge Survey ditemukan angka rawat inap
tahunan akibat perdarahan saluran cerna bagian atas didapatkan sebanyak 149 172
kasus per 100.000.
Disamping perkembangan pengobatan di bidang endoskopi, kejadian mortalitas
yang berhubungan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meningkat secara
signifikan dari semula 5% hingga sekarang telah mencapai 11%. Faktor faktor yang
berhubungan dengan kejadian mortalitas akibat dari perdarahan saluran cerna bagian atas
telah diidentifikasi dalam penelitian prospektif. Dalam penelitian ini juga dikutsertakan
penyakit kelainan renal, hepar, neoplastik, penyakit sistem saraf pusat atau paru, dan
penyakit lain yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik yang telah dibuktikan melalui
pemeriksaan cardiorespiratori atau hemodinamik, atau gagal fungsi hati. Pasien dengan
perdarahan aktif saat ditemukan pada waktu endoskopi, transfusi darah diperlukan cukup
banyak dan lebih dari 5 kantong darah, dan kebutuhan terhadap pembedahan juga dapat
meningkatkan kejadian mortalitas. Sebagai tambahan, pasien yang membutuhkan
pembedahan darurat memiliki tingkat kejadian mortalitas yang cukup tinggi
dibandingkan dengan pasien yang membutuhkan pembedahan elektif. Pasien jenis lain
yang memiliki tingkat kejadian mortalitas yang tinggi termasuk di dalamnya pasien
dengan perdarahan berulang setelah rawat inap dan pasien dengan perdarahan saluran
cerna bagian atas yang semakin parah setelah rawat inap karena alasan alasan yang lain.
(Shuhart, Kowdley, and Neighbor, 2002).
Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2% oleh
gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6% oleh
karena sebab sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung, dan

Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas sama
dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS pemerintah di Ujung
Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan
saluran cerna bagian atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS Darmo
Surabaya, perdarahan karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif sebanyak
11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%, esofagitis 5.3%,
sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan penyebab penyebab
lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di urutan pertama sebagai
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan frekuensi sekitar 50%. Walaupun
pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah banyak berkembang namun
mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 10%. Hal ini dikarenakan
bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat komorbiditas yang
menyertai. (Adi, 2007)
Etiopatologi
Etiopatologi terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas menurut literatur
yang ditulis oleh Margaret Shuhart, M.D. , Kris Kowdley, M.D., and Bill Neighbor,
M.D., 2002, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Erosi/ulkus duodenum.
Erosi/ulkus gaster.
Stress gastritis.
Sindrom Mallory-Weiss.
Esofagitis / ulkus esofagus.
Varises esofagus/gaster.
Hipertensi portal gastropati.
Neoplasma
a. Karsinoma gaster.
b. Karsinoma esofagus.
c. Tumor stroma.
9. Anomalitas Pembuluh Darah
a. Angiodisplasia/Ektasia.
b. Lesi dieulafoy.
c. Gastric antral vascular ectasia (GAVE).
d. Telagiectasia hemorragik herediter (Sindrom Osler-Webber-Rendu).
e. Malformasi arteriovenosa.
10. Erosi aortoduodenale atau fistula.

11. Hemobilia.
12. Hemosuccus pancreatikus.
13. Epistaksis di luar saluran cerna.
14. Factitious bleeding.

Menurut literatur dalam Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010, penyebab


perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Ulkus peptikum.
Sindrome Mallory-Weiss.
Varises esofagus.
Erosi gastritis.
Penggunaan obat berupa NSAID, aspirin, steroid, trombolitik, dan antikoagulan.
Esofagitis.
Duodenitis.
Keganasan.
Idiopatik.

Dan penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang ditemukan
adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kelainan perdarahan.
Hipertensi portal gastropati.
Fistula aorto-enterikus.
Angiodisplasia.
Hemobilia.
Lesi dieulafoy.
Divertikulum Meckel.
Sindrome Peutz-Jegher.
Sindrome Osler-Weber-Rendu (Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010).
Dalam literatur yang ditulis oleh Pangestu Adi, 2007, penyebab timbulnya

perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah varises esofagus,
gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindrome Mallory-Weiss, dan
keganasan.
Varises Esofagus

Dalam ilmu gastroenterologi, varises esofagus adalah dilatasi berlebihan pada


vena vena di lapisan submukosa pada bagian bawah esofagus. Terjadinya varises
esofagus dikarenakan sebagai konsekuensi dari hipertensi porta akibat sirosis hepatis
sehingga pasien dengan varises esofagus sering sekali mengalami perdarahan. Penegakan
diagnosis varises esofagus dilakukan dengan endoskopi. (Biecker, Schepke, &
Sauerbruch, 2005)
Varises esofagus merupakan penyebab perdarahan yang paling sering dan paling
berbahaya pada sirosis hepatis yang merupakan penyebab dari sepertiga angka kematian
keseluruhan. Penyebab lain perdarahan pada saluran cerna atas yang sering ditemukan
juga adalah adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini
meningkat), erosi lambung akut, dan kecenderungan perdarahan (akibat masa protrombin
yang memanjang dan trombositopenia).
Penderita datang dengan melena atau hematemesis. Tanda perdarahan kadang
kadang adalah ensefalopati hepatik. Hipovolemia dan hipotensi dapat terjadi bergantung
pada jumlah dan kecepatan kehilangan darah.
Berbagai tindakan telah digunakan untuk segera mengatasi perdarahan.
Tamponade dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple-lumen) dan Minnesota
(quadruple lumen) dapat menghentikan perdarahan untuk sementara waktu. Vena
vena dapat dilihat dengan memakai peralatan serat optik dan disuntik dengan suatu
larutan yang akan membentuk bekuan di dalam vena, sehingga akan menghentikan
perdarahan. Sebagian besar klinisi beranggapan bahwa cara ini hanya berefek sementara
dan tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang. Vasopresin (Pitressin) telah
digunakan untuk mengatasi perdarahan. Obat ini menurunkan tekanan vena porta dengan
mengurangi aliran darah splangnikus, walaupun efeknya hanya bersifat sementara.
Kendati telah dilakukan tindakan darurat, sekitar 35% penderita akan meninggal akibat
gagal fungsi hati dan komplikasi.

Gambar 7. Varises pada esofagus dan gaster.


(sumber dari: http://www.hopkins-gi.org/Upload/200710290905_34615_000.jpg)

Bila penderita pulih dari perdarahan (baik secara spontan atau setelah pengobatan
darurat), operasi pirau porta kaval harus dipertimbangkan. Pembedahan ini mengurangi
tekanan porta (tekanan tinggi) dengan vena kava inferior (tekanan rendah). Pirau
merupakan terapi drastis untuk komplikasi utama sirosis ini. Operasi ini memperkecil
kemungkinan perdarahan esofagus selanjutnya, tetapi menambah resiko ensefalo hepatik.
Harapan hidup penderita tidak bertambah karena masih ditentukan oleh perkembangan
penyakit hati.
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu faktor penting yang mempercepat
terjadinya ensefalopati hepatik. Ensefalopati terjadi bila amonia dan zat zat toksik lain
masuk dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein oleh bakteri
pada saluran cerna. Ensefalopati hepatik akan terjadi bila darah tidak dikeluarkan melalui
aspirasi lambung, pemberian pencahar dan enema, dan bila pemecahan protein darah oleh
bakteri tidak dicegah dengan pemberian neomisin atau antibiotik sejenis. (Lindseth,
2002)

Gambar 8. Hasil gambaran gastroscopy pada varises esofagus yang disertai dengan cherry-red spot (sumber
dari: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Esophageal_varices_-_wale.jpg)

Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosal lambung
yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan didapatkan mukosa
memerah, edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta sering terjadi erosi kecil
dan perdarahan. Derajat perdarahan yang ada sangat bervariasi. Manifestasi klinis
gastritis erosif ini dapat bervariasi dari keluhan abodmen yang tidak jelas, seperti
anoreksia, bersendawa, atau mual, sampai gejala yang lebih berat seperti nyeri
epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis. Pada beberapa kasus tertentu, bila

gejala gejala tersebut menetap dan adanya resistensi terhadap pengobatan, maka akan
diperlukan tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa, dan analisis
cairan lambung untuk memperjelas penegakan diagnosis. (Lindseth, 2002).
Terjadinya gastritis erosif dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya:

Penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) yang memiliki efek
perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS yang dapat
menimbulkan gastritis erosif hingga menjadi ulkus ini adalah indometasin,
diklofenak, aspirin (terutama dosis tinggi), ibuprofen, naproksen, serta obat obat
yang lain berupa sulfonamida, steroid, dan digitalis. Selain itu, asam empedu,
enzim pankreas, dan etanol juga diketahui dapat mengganggu sawar mukosa
lambung. Efek anti inflamasi dan analgetiknya terutama didasarkan melalui
penghambatan siklo oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin
(dari asam arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak diinginkan adalah obat
ini menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk di epitel
lambung dan duodenum, serta menurunkan sekresi HCO 3- sehingga memperlemah
perlindungan lapisan mukosa dan juga menghentikan penghambatan sekresi asam.
Selain itu, obat ini juga merusak mukosa secara lokal melalui difusi non-ionik ke
dalam sel mukosa. Efek penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan

meningkatkan bahaya perdarahan ulkus.


Kejadian iskemia, misalnya vaskulitis atau saat melakukan lari maraton.
Stres, yakni kegagalan multi-organ, luka bakar, pembedahan, trauma sistem saraf

pusat.
Penyalahgunaan konsumsi alkohol dan zat kimia korosif.
Trauma akibat gastroskopi, tertelannya benda asing, rasa enek, muntah dan mual

berlebihan.
Trauma radiasi. (Silbernagl dan Lang, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 9. Gastritis erosif, tampak inflamasi pada lapisan mukosa gaster (sumber dari :
http://odlarmed.com/wp-content/uploads/2008/10/clip_image008-300x200.jpg)

Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)


Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum merupakan
penyakit yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam kelompok umur di
atas umur 45 tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas akibat tukak
peptik atau ulkus peptikum merupakan penyulit yang paling sering ditemukan, sedikitnya
ditemukan pada 15 hingga 25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun ulkus di
setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan yang paling sering
adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat terjadi erosi arteri
pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 10. Ulkus dan perforasi disertai perdarahan pada gaster (sumber dari :
http://altincekodhima.com/images/19235.jpg)

Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada kecepatan


kehilangan darah. Hematemesis atau melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif
dan perdarahan tersembunyi yang kronik sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia
defisiensi besi. Hasil pemeriksaan darah samar dari feses dapat memperlihatkan hasil
yang positif (tes guaiac positif) atau feses mungkin berwarna hitam dan seperti ter
(melena). Perdarahan masif dapat mengakibatkan hematemesis (muntah darah),
menimbulkan syok, dan dapat memerlukan transfusi darah serta pembedahan darurat.
Hilangnya nyeri sering menyertai perdarahan sebagai efek bufer darah. Mortalitas
berkisar hingga 10%, dan pasien yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki angka
mortalitas yang lebih tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 20 hingga 25% kematian
total dari ulkus peptikum. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 11. Ulkus peptikum pada gaster dan duodenum (sumber dari :
http://images.medicinenet.com/images/illustrations/peptic_ulcer.jpg)

Insiden perdarahan akibat tukak sebesar 15 25% dan cenderung meningkat pada
usia lanjut, yakni di atas usia 60 tahun akibat adanya penyakit degeneratif dan
meningkatnya pemakaian OAINS (20% tanpa simptom dan tanda penyakit sebelumnya).
Sebagian besar perdarahan dapat berhenti secara spontan, sebagian memerlukan tindakan
endoskopi terapi, bila gagal dilanjutkan dengan terapi operasi (5% dari pasien yang
memerlukan transfusi darah). Pemberian pantozol/PPI 2 amp/100cc NaCl 0.9 drips
selama 10 jam secara parenteral dan diteruskan beberapa hari dapat menurunkan kejadian
ulang perdarahan, pemberian transfusi dengan memperhatikan tanda tanda
hemodinamik, yakni:
1.
2.
3.
4.

Tekanan darah sistol < 100 mmHg


Hb < 10 gr%
Nadi > 100x/menit
Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan darah segar
hingga hematokrit mencapai > 30%. (Tarigan, 2007).

Gambar 12. Ulkus peptikum pada duodenum (sumber dari: http://altincekodhima.com/images/bleedingindication-picture.jpg)

Gastropati Kongestif

Perdarahan varises merupakan penyebab komplikasi perdarahan yang paling


sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal dan sebagian besar pasien tersebut
juga mengalami gastropati kongestif dikarenakan oleh hipertensi venosus.
Terjadinya gastropati kongestif dikarenakan akumulasi darah yang berlebihan
pada area gaster akibat dari hipertensi porta yang menyebabkan penekanan dan
pembendungan pada vena vena yang memperdarahi area gaster. Identifikasi terjadinya
gatropati kongestif melalui pemeriksaan endoskopi dimana ditemukan lapisan mukosa
yang menggembung bulat dan bersifat mudah rapuh. Munculnya perdarahan mukosa
pasif didahului dengan perdarahan aktif dari lokasi utama varises. Pemberian blok adrenergik dengan propanolol dapat mengurangi tekanan arteri splanknikus sama baiknya
pada tekanan vena porta dimana kadang kadang ameliorasi pada keadaan ini cukup
efektif untuk diterapkan. Pemberian proton pump inhibitor atau preparat lainnya yang
sejenis yang berguna dalam terapi penyakit penyakit peptik seringkali tidak bermanfaat
banyak dalam gastropati kongestif. (Mailliard and Sorrell, 2005)

Gambar 13. Endoskopi pada gastropati kongestif (sumber dari : http://api.ning.com/files/xmOwHsMn2BcfRGvO6fW*3lGyED3oG5kdyH7KkLekMnfa2pXcO8SRBF2XJN8Z8oZ/NSAIDInduced


Gastropathy.png?width=652&height=425)

Syndrome Mallory-Weiss
Syndrome Mallory-Weiss adalah suatu keadaan hematemesis atau melena yang
secara khas mengikuti muntah muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari,
dapat ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah, terletak
memanjang di atau sedikit di bawah persambungan esofagogastrikum. Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh G. Kenneth Mallory dan Soma Weiss di tahun 1929 pada 15
pasien alkoholik. (Dorland, 2005; Weiss and Mallory, 1932)

Gambar 14. Robekan mukosa pada pertautan gastroesofageal pada Sindrome Mallory-Weiss (sumber dari:
http://pds10.egloos.com/pds/200808/18/95/f0013595_48a9727b5b0c3.jpg)

Riwayat umum terjadinya Sindrome Mallory-Weiss dikarenakan oleh muntah,


mual, atau batuk yang disertai hematemesis, terutama pada pasien alkoholik. Perdarahan
akibat kejadian ini menyebabkan robekan lapisan mukosa pada area gastrik pada
pertautan gastroesofageal, berhenti secara spontan pada 80% hingga 90% pasien dan
kambuh hanya pada 0% hingga 5%. Pengobatan dengan endoskopi diindikasikan pada
perdarahan aktif akibat robekan Mallory-Weiss. Pengobatan dengan angiografi dengan
infusi vasopressin intraarterial atau embolisasi dan operasi dengan penjahitan pada area
robekan jarang diperlukan.

A.

B.

Gambar 15. Endoskopi pada robekan di mukosa pertautan gastroesofageal pada Sindrome Mallory-Weiss
(sumber dari: http://www.gangmed.com/images/es23.jpgA; http://cheilpkh.egloos.com/721213B)

Keganasan
Keganasan atau karsinoma yang dapat memicu timbulnya perdarahan saluran
cerna bagian atas berupa keganasan pada esofagus dan gaster.
Keganasan Pada Esofagus
Perdarahan saluran cerna bagian atas akibat dari keganasan pada esofagus
menjadi keluhan yang cukup sering ditemukan pada pasien dimana hematemesis bisa

terjadi dengan atau tanpa disertai melena. Akibat dari perdarahan ini dapat menimbulkan
anemia defisiensi besi pada pasien. (Abdurachman, 2007)

Gambar 16. Salah satu bentuk nidasi keganasan pada esofagus. (sumber dari:
http://www.riversideonline.com/source/images/image_popup/c7_esophageal_cancer.jpg)

Keganasan Pada Gaster


Salah satu keluhan yang diutamakan oleh pasien dengan keganasan pada gaster
adalah hematemesis (7%) sehingga menjadi faktor terjadinya perdarahan saluran cerna
bagian atas. Hal ini tidak lepas dari bentuk patologi dari keganasan gaster serta lokasi
tumbuhnya keganasan tersebut dalam lumen gaster.
Keganasan atau karsinoma gaster yang paling sering ditemukan adalah
adenokarsinoma (90 99%), sedangkan jenis yang lain berupa limfoma, leiomiosarkoma,
adenoxanthoma, dan lainnya cukup jarang ditemukan. Kebanyakan lokasi karsinoma
terletak pada daerah antropilorik dengan kurvatura minor lebih sering daripada kurvatura
mayor.

Gambar Adenokarsinoma ulseratif pada mukosa gaster. (sumber: http://www.hopkinsgi.org/Upload/200802291411_54331_000.jpg)

Karsinoma gaster berasal dari perubahan epitel pada membran mukosa gaster,
yang berkembang pada bagian bawah gaster, sedangkan pada atrofi gaster didapatkan
bagian atas gaster dan secara multisenter. Bentuk benturk dari karsinoma gaster, antara
lain:
1. Seperempatnya berasal dari propia yang berbentuk fungating dan tumbuh ke
2.
3.
4.
5.

lumen sebagai massa.


Seperempatnya berbentuk tumor yang berulserasi.
Massa yang tumbuh melalui dinding menginvasi lapisan otot.
Penyebarannya melalui dinding yang dicemari penyebaran pada permukaan (8%).
Berbentuk linitisplastika (10 15%). (Julius, 2007)

Gambar Tampilan endoskopik dari adenokarsinoma yang menginfiltrasi area kardia dan fundus. (sumber:
http://www.gastrointestinalatlas.com/English/
Stomach/Gastric_Cancer_II_/gastric_cancer_ii_.html)

Gejala dan Tanda Klinis


Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah:
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung
lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa
gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan
pasien. (Adi, 2007)
Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan
saluran cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna bagian
bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi, nyeri pada
epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual, muntah dan rasa enek. (Sabatine, 2011)
Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Pengelolaan dasar pasien perdarahn saluran cerna sama seperti perdarahan pada
umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan
pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan,
dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI PEGI PPHI
menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan
harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk
ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah langkah praktis pengelolaan
perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan dan
mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah
terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya. (Adi, 2007)

Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna


Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya
meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.


Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.
Kelayakan nafas.
Tingkat kesadaran.
Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan

mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda tanda sebagai berikut:

1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih
dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih
3.
4.
5.
6.

dari 20 mmHg.
Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
Akral dingin.
Kesadaran menurun.
Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi

hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:


1.
2.
3.
4.
5.

Hematemesis.
Hematoskezia.
Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih.
Hipotensi persisten.
Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 1000 ml.
(Adi, 2007)

Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan Saluran


Cerna.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya
cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar
(minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya
memulihkan tanda tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai
memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia
berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar
hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu
segera ditindaklanjuti dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu
perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari jumlah
darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan
berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada
perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.

2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter


atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10 g
% atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan
kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari
cairan ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah onset perdarahan.
Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang dihadapi,
untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 25%, usia lanjut sebanyak
30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi hingga 27 28%. (Adi, 2007)

Melanjutkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Lain Yang Diperlukan.


Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilisasi hemodinamik, maka bisa
dilengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.
Riwayat perdarahan sebelumnya.
Riwayat perdarahan dalam keluarga.
Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.
Penggunaan obat obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti koagulan.
Kebiasaan minum alkohol.
Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam

tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi obat obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan:
1. Stigmata penyakit hati kronik.
2. Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.
3. Tanda tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan
saluran cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:


1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.
2. BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran cerna bagian
atas, pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN,
sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat.
3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit bisa
terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.
4. Dan pemeriksaan pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan
tergantung jenis kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi.
(Adi, 2007).
Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas atau Bawah
Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau
saluran cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Bawah.
Perdarahan Saluran
Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Atas
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/melena

Cerna Bagian Bawah


Hematoskezia

umumnya
Aspirasi nasogastrik
Rasio (BUN/Kreatinin)
Auskultasi usus

Jernih
< 35
Normal

Berdarah
Meningkat > 35
Hiperaktif

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti kopi
karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya berasal dari
saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak hitam lengket dengan bau busuk, bila
perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50 100 ml atau lebih. Untuk lebih
memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan
pemeriksaan digital rektum. Perdarahan saluran cerna bagian atas dengan manifestasi
hematoskezia dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi 1000 ml dan
disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau syok.

Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan pipa
nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang sudah
jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas
akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda bahwa perdarahan
masih aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak
awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap
terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut hanya ditemukan
cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan saluran cerna bagian atas.
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk memperkirakan
asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga 48 jam sejak terjadinya
perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35 kemungkinan perdarahan berasal dari
saluran cerna bagian atas, dibawah 35 kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna
bagian bawah. Pada kasus yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya,
langkah pemeriksaan selanjutnya ialah endoskopi saluran cerna bagian atas. (Adi, 2007)
Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2% oleh
gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6% oleh
karena sebab sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung, dan
Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas sama
dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS pemerintah di Ujung
Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan
saluran cerna bagian atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS Darmo
Surabaya, perdarahan karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif sebanyak
11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%, esofagitis 5.3%,
sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan penyebab penyebab
lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di urutan pertama sebagai
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan frekuensi sekitar 50%. Walaupun
pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah banyak berkembang namun

mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 10%. Hal ini dikarenakan
bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat komorbiditas yang
menyertai.
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna
adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan angiografi.
Pada semua pasien dengan tanda tanda perdarahan saluran cerna bagian atas atau yang
asal perdarahannya masih meragukan, maka pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis
penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan
upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit
diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi
yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan
endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat keahlian, keterampilan, dan
pengalaman operator pelaksana.
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi
perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan
tindakan selanjutnya. (Adi, 2007)
Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest.
Forest Ia
Forest Ib
Forest II
Forest III

Aktivitas Perdarahan
Perdarahan aktif.

Kriteria Endoskopis
Perdarahan arteri
menyembur.
Perdarahan aktif.
Perdarahan merembes.
Perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada
masih terdapat sisa sisa dasar tukak atau terlihat
perdarahan.
pembuluh darah.
Perdarahan berhenti
Lesi tanpa tanda sisa
tanpa sisa perdarahan.
perdarahan.

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis
Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan
adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini

diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun


demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini
sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk
membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung
dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi
dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian
tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena
porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun
1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan
tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang
mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung
vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan
sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 1 mg/menit/iv
selama 20 60 menit dan dapat diulang tiap 3 6 jam; atau setelah pemberian pertama
dilanjutkan per infus 0.1 0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping
serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan
bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40
mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan
tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.
Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah
splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada
perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat
menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70 80% kasus, dan dapat pula
digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali dengan
bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 24 jam atau sampai

perdarahan berhenti; ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam
selama 8 24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah
inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok
plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan omeprazol yang
beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus adalah
persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada
perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat obatan seperti antasida, sukralfat, dan
antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa
penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran
cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.

Gambar 19. Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) (sumber dari:


http://img.tfd.com/dorland/thumbs/tube_Sengstaken-Blakemore.jpgA;
http://img.tfd.com/dorland/tamponade_esophagogastric.jpgB)

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus


dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)
yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing masing untuk esofagus dan lambung.
Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemonia aspirasi,
laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam.
Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan
ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat. (Adi, 2007)

Gambar 20. Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)


(sumber dari: http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au/five/images/sbtube2.jpg)

Gambar 21. Mekanisme pemasangan dan penggunaan SB-tube.


(sumber dari: http://www.heart-intl.net/HEART/011507/Portal9.gif)

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopis


Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate,
atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan
oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat
diterapkan pada 90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, sedangkan 10% sisanya
tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga
pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%
perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan yang
berasal dari arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang relatif
mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000 sebanyak 0,5 1 ml tiap kali suntik

dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan
bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya tidak dianjurkan
karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi
penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa
mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya
sekitar 15 20%.

Gambar 22. Endoscopic variceal band ligation of esophageal varices.


(sumber dari: http://www.hopkins-gi.org/Upload/200812241302_05212_000.jpg)

Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises


esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises
esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan,
lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai dari distal
mendekati cardia bergerak spiral setiap 1 2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang
berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah
yang melekat, bilur bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi
endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan
yang masif, terus berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan. Sklerosan yang
bisa digunakan antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0.9%, dan
alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan
dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak
spiral sampai sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan
cyanoacrylate sebab skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik. (Adi,
2007)

Gambar 23. Contoh alat ligasi varises esofagus. (sumber dari:


http://www.cookmedical.com/esc/content/lg_thumbnail/esc_mbl.jpg)

Gambar 24. Skleroterapi pada varises esofagus.


(sumber dari: http://www.hopkins-gi.org/Upload/200812241254_22934_000.jpg)

Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan
belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan
pembedahan sangat beresiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan
penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan
fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).
(Adi, 2007)

Gambar 25. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).


(sumber dari: http://bookbing.org/wp-content/uploads/TIPS.jpg)

Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi
dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim
multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan saluran cerna bagian atas untuk
menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan. (Adi, 2007)

Perdarahan saluran cerna bawah


Definsi dan Insidensi
Perdarahan saluran cerna bawah atau Lower gastrointestinal bleeding (LGIB)
didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari organ traktus gastrointestinalis yang
terletak distal dari Ligamentum Treitz yang menyebabkan ketidakseimbangan
hemodinamik dan anemia simptomatis.
Lebih dari 95% sampai 97% kasus, sumber perdarahan berasal dari kolon,
sedangkan 3 sampai 5% sisanya berasal dari usus halus, LGIB memegang 15% dari
episode perdarahan gastrointestinal. Insidensi LGIB meningkat dengan bertambahnya
usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat pada colon sehingga terjadi perdarahan
yang berasal dari kolon yaitu pada diverticulosis dan angiodisplasia.
LGIB yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit di Amerika adalah sebesar
kurang dari 1 %. Penyebab LGIB yang paling sering adalah diverticulosis yaitu sekitar
30-50% dan angiodisplasia sekitar 20-30% dari seluruh kasus. Para ahli juga mengatakan
bahwa angiodisplasia dialami lebih sering oleh pasien dengan usia lebih dari 65 tahun.
Hemorrhoid merupakan penyebab tersering LGIB pada pasien dengan usia kurang
dari 50 tahun, tetapi perdarahan biasanya ringan. Penyebab utama LGIB adalah
divertikulosis sebesar 33% kasus, diikuti dengan kanker dan polip yaitu sebesar 19 %.
Menurut penelitian yang dilakukan di RSCM, tingkat kematian karena perdarahan
saluran cerna bagian atas juga cukup tinggi hampir mencapai 26%. Penelitian yang

dilakukan terakhir di RSCM dari 4.154 endoskopi saluran cerna atau selama 5 tahun
(2001-2005) didapatkan 837 kasus dengan perdarahan saluran cerna.
Etiologi
Pada studi retrospektif rekam medis yang dilakukan oleh Gayer et al, sekitar 1100
pasien dengan LGIB akut yang mendapatkan terapi bedah, penyebab utama terjadinya
LGIB diantaranya adalah diverticulosis (33.5%), hemorrhoids (22.5%), and carcinoma
(12.7%). Para ahli juga menemukan bahwa sebagian besar pasien (55.5 %) mengalami
hematochezia, yang kemudian diikuti dengan ditemukannya feses yang berwarna merah
marun (16.7%) dan melena (11%).
Vernava dan kolega menemukan bahwa pasien dengan LGBI yang memerlukan
perawatan di rumah sakit hanya 0.7 % (17,941). Rata-rata usai pasien adalah 64 tahun.
Hanya 24 % dari seluruh pasien yang dilakukan colonoscopy, barium enema, dan atau
mesenteric angiography diketahui penyebab paling sering dari LGIB adalah diverticular
disease (60%), IBD (13%), and anorectal diseases (11%). Walaupun beberapa studi
menyebutkan arteriovenous malformation sebagai penyebab tersering, tapi pada studi ini
hanya sebesar 3 %.
Dengan demikian penyebab dari perdarahan saluran cerna bawah pada orang
dewasa diantaranya diverticular disease,inflammatory bowel disease,benign anorectal
diasease, neoplasia, coagulopathy, dan arteriovenous malformation, yang dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Penyebab LGIB pada orang dewasa dan persentasenya
LOWER GI HEMORRHAGE IN ADULTS PERCENTAGE OF
PATIENTS
Diverticular disease
60%
-Diverticulosis/diverticulitis of small intestine
-Diverticulosis/diverticulitis of colon
IBD
13%
-Crohn's disease of small bowel, colon, or
both
-Ulcerative colitis
-Noninfectious gastroenteritis and colitis
Benign anorectal diseases
11%
-Hemorrhoids
-Anal fissure
-Fistula-in-an
Neoplasia
9%
-Malignant neoplasia of small intestine
-Malignant neoplasia of colon, rectum, and
anus
Coagulopathy
4%
Arteriovenous malformations (AVM)
3%
Total
100 &

Sedangkan, penyebab LGIB yang sering pada anak-anak dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Penyebab LGIB pada anak-anak dan dewasa muda
LOWER GI HEMORRHAGE IN CHILDREN & ADOLESCENTS
Intussusception
Polyps and polyposis syndromes
-Juvenile polyps and polyposis
-Peutz-Jeghers syndrome
-Familial adenomatous polyposis (FAP)
IBD
-Crohn's disease
-Ulcerative colitis
-Indeterminate colitis
Meckel diverticulum
Penyebab lain, yang jarang, juga telah ditemukan, diantaranya adalah perdarahan dari
diverticulosis usus halus, Dieulafoy lesions pada colon dan usus halus, portal colopathy
dengan varices colon dan rectal, endometriosis, solitary rectal ulcer syndrome, dan
vasculitides dengan ulserasi usus halus dan kolon, radiation-induced disorders,
nonsteroidal anti-inflammatory drugassociated disorder, Osler-Weber-Rendu syndrome,
aortoenteric fistula, vasculitis, dan mesenteric ischemia.
Penilaian berat ringannya perdarahan yang diakibatkan dari penyebab-penyebab diatas
sangat diperlukan dalam menentukan perlunya terapi operatif.
Divertikulitis
Diverticulosis adalah kondisi yang diperoleh secara umum pada kalangan
masyarakat Barat. Sekitar 50% orang dewasa yang lebih tua dari 60 tahun memiliki bukti
radiologis dari diverticulosis. Diverticulosis colon merupakan penyebab yang paling
umum dari perdarahan saluran cerna bagian bawah, yang bertanggung jawab untuk 40%
sampai 55% dari kasus perdarahan dari semua kasus. Divertikula kolon merupakan lesi
yang diperoleh secara umum dari usus besar pada perut. Meskipun 40% pasien setelah
hidup selama 5 dekade memiliki divertikula, kejadian ini terus meningkat menjadi 80%
pada usia kehidupan dekade ke-9. Perdarahan merupakan faktor penyulit sebanyak 3%
sampai 5% dari pasien dengan diverticulosis. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan
ialah pecahnya secara asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri marginal
pada kubah divertikulum atau pada margin antimesenterikus. Divertikula paling sering
terletak pada kolon sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya disebabkan oleh
faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan abrasi dari pembuluh darah,
sehingga terjadi perdarahan.
Perdarahan jarang diakibatkan oleh peradangan diverlikulitis klinis. Perdarahan
divertikular berhenti secara spontan pada 90% pasien. Jarang terjadi dilakukannya
transfusi lebih dari 4 unit sel darah merah (Packed Red Cells= PRC). Meskipun
divertikula colon sebelah kiri lebih umum terjadi, namun perdarahan cenderung lebih
umum terjadi pada divertikular kolon kanan. Perdarahan dari lesi kolon kanan dapat lebih
banyak dan menghasilkan volume yang lebih besar daripada divertikula sisi sebelah kiri.

Setelah terjadinya episode awal pendarahan, perdarahan ulang (rebleeding) mungkin


terjadi kembali pada 10% pasien pada tahun pertama, setelah itu, risiko untuk perdarahan
ulang (rebleeding) meningkat menjadi 25% setalah 4 tahun. Dengan prevalensi
diverticulosis kolon, dan fakta bahwa sebagian besar episode perdarahan cenderung
berhenti secara spontan, banyak episode dari perdarahan saluran cerna bagian bawah
yang disebabkan diverticulosis kolon dianggap sebagai dugaan, bukan diagnosis definitif.
Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang terletak di submukosa, yang
dapat pecah pada bagian puncak atau leher dari divertikulum tersebut. Sampai dengan
20% dari pasien dengan penyakit divertikular mengalami pendarahan. Sebanyak 5%
pasien, pendarahan karena penyakit divertikular dapat terjadi secara massif. Perdarahan
dari penyakit divertikular berhenti secara spontan pada 80% pasien. Meskipun
diverticulosis terjadi pada kolon kiri, sekitar 50% dari perdarahan divertikular berasal
dari divertikulum yang terletak proksimal dari fleksura lienalis. Divertikula yang terletak
pada sisi kanan dapat mengekspos bagian yang lebih besar dari vasa recta menjadi luka,
karena mereka memiliki bagian leher yang lebih luas dan bagian kubah yang lebih besar
dibandingkan dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri.
Arteriovenous Malformation (Angiodysplasia)
Angiodisplasia bertanggung jawab atas 3% sampai 20% dari kasus perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia, yang juga disebut sebagai malformasi
arteriovenosa, adalah distensi atau dilatasi dari pembuluh darah kecil pada submukosa
saluran pencernaan. Pada pemeriksaan histologis spesimen pembedahan atau otopsi dari
angiodisplasia diketahui bahwa mukosa diatasnya sering tipis, dan terjadi erosi dangkal.
Angiodisplasia diidentifikasi terjadi pada 1% sampai 2% kasus dari evaluasi otopsi dan
terjadi peningkatan jumlah seiring dengan bertambahnya usia pasien. Angiodisplasia
dapat terjadi sepanjang saluran pencernaan dan merupakan penyebab paling umum dari
perdarahan dari usus kecil pada pasien berusia di atas 50 tahun.
Angiodisplasia tampak jelas pada kolonoskopi berwarna merah, lesi rata dengan
diameter sekitar 2 sampai 10 mm. Lesi tampak seperti bintang, oval, tajam, atau tidak
jelas. Meskipun angiografi mampu mengidentifikasi lesi, namun colonoskopi adalah
metode yang paling sensitif untuk mengidentifikasi angiodisplasia. Penggunaan
meperidin selama kolonoskopi dapat menurunkan kemampuan untuk mengidentifikasi
angiodisplasia karena terjadi penurunan aliran darah mukosa. Studi lain telah
mengidentifikasi bahwa penggunaan antagonis narkotika dapat meningkatkan ukuran
angiodisplasia dan meningkatkan tingkat deteksi. Pada angiografi, angiodisplasia tampak
sebagai suatu dilatasi atau distensi, secara perlahan mengosongkan vena atau sebagai
malformasi arteri dengan cepat, mengisi vena lebih awal. Lebih dari setengah
angiodisplasia terdapat pada lokasi colon kanan, dan pendarahan dari angiodisplasia
berhubungan dengan distribusi ini. Angiodisplasia dapat berhubungan dengan kondisi
medis, termasuk stadium akhir dari penyakit ginjal, stenosis aorta, penyakit von
Willebrand, dan lain-lain. Masih belum jelas apakah hubungan ini mencerminkan
kecenderungan perdarahan yang lebih besar pada angiodisplasia dalam kondisi ini atau
apakah, sebenarnya, perdarahan angiodisplasia lebih umum terjadi karena penyebab
strukturalnya.
Angiodisplasia usus merupakan malformasi arteri yang terletak di sekum dan
kolon ascenden. Angiodisplasia usus merupakan lesi yang diperoleh dan mempengaruhi

orang tua berusia lebih dari 60 tahun. Lesi ini terdiri dari kelompok-kelompok pembuluh
darah yang berdilatasi, terutama pembuluh darah vena, pada mukosa dan submukosa
kolon. Angiodisplasia colon yang diduga terjadi sebagai akibat dari proses yang kronis,
intermiten, obstruksi bagian rendah dari submukosa vena sambil mereka menembus
lapisan otot dari colon. Temuan karakteristik angiographik meliputi adanya kelompokkelompok kecil arteri arteri selama tahap penelitian, akumulasi media kontras dalam
lempeng vaskular, opacification awal, dan opacification persisten karena keterlambatan
pengosongan vena. Jika angiografi mesenterika dilakukan pada saat pendarahan aktif,
ekstravasasi media kontras dapat dilihat.
Tidak seperti pendarahan divertikular, angiodisplasia cenderung menyebabkan
pendarahan dengan episode lambat tetapi berulang. Oleh karena itu, pasien dengan
angiodisplasia muncul dengan anemia dan episode pingsan. Angiodisplasia yang
menyebabkan hilangnya darah dalam jumlah besar jarang didapat. Angiodisplasia dapat
dengan mudah diketahui oleh kolonoskopi dengan gambaran potongan kecil berwarna
merah dengan ukuran 1.5-2-mm pada mukosa. Pendarahan lesi aktif dapat diobati dengan
elektrokoagulasi colonoskopi.
Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna
bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan
berkembang dalam perjalanan penyakitnya, dan penyebabnya diduga berdasarkan riwayat
pasien. Sampai dengan 20% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah akut
disebabkan oleh salah satu kondisi peradangan. Kebanyakan pendarahan berhenti secara
spontan atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya.
Perdarahan merumitkan jalannya kolitis ulserativa hingga 15% kasus. Kolektomi
darurat pada kasus pendarahan terus-menerus terjadi sebanyak 6% sampai 10% dari
kolektomi darurat bedah pada pasien dengan penyakit ini. Penyakit Crohn, cenderung
kurang menyebabkan perdarahan colon dan terjadi pada sekitar 1% dari pasien dengan
kondisi ini. Penyebab infeksi meliputi Escherichia coli, tifus, sitomegalovirus, dan
Clostridium difficile. Cedera radiasi paling umum terjadi pada rectum setelah radioterapi
panggul untuk prostat atau keganasan ginekologi. Pendarahan biasanya terjadi 1 tahun
setelah pengobatan radiasi, tetapi dapat juga terjadi hingga 4 tahun kemudian. Pasien
dengan imunosupresi atau mempunyah immunodeficiency syndrome (AIDS) beresiko
terjadinya perdarahan saluran cerna bagian bawah karena penyebab yang unik.
Sitomegalovirus adalah penyebab paling umum; sarcoma Kaposis, histoplasmosis, dan
perianal fistula dan fissures juga menjadi masalah dan lebih cenderung terjadi perdarahan
pada pasien dengan trombositopenia akibat AIDS.
Perdarahan masif karena IBD jarang terjadi. Colitis menyebabkan diare berdarah
pada banyak kasus. Pada hingga 50% pasien dengan kolitis ulserativa, perdarahan
gartointestinal bagian bawah ringan-sedang muncul, dan sekitar 4% pasien dengan kolitis
ulserativa terjadi perdarahan yang masif.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada pasien dengan penyakit Crohns
jarang terjadi, tidak seperti pada pasien dengan kolitis ulserativa, hanya 1-2% pasien
dengan penyakit Crohns terjadi perdarahan yang masif. Pada sumber lain mengatakan
hanya kurang dari 1% pasien saja. Walaupun begitu, kejadian tersebut membutuhkan
operasi darurat. Frekuensi perdarahan pada pasien dengan penyakit Crohns, lebih umum

terjadi secara signifikan dengan adanya keterlibatan kolon dibandingkan dengan hanya
keterlibatan usus kecil saja.
Kolitis iskemik, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera iskemik pada
sistem pencernaan, sering melibatkan daerah batas air (watershed), termasuk fleksura
lienalis dan rectosigmoid junction. Pada kebanyakan kasus, faktor presipitasinya tidak
dapat diketahui. Iskemia kolon merupakan penyakit pada orang tua lanjut usia dan
umumnya terjadi setelah dekade keenam pasien. Iskemia menyebabkan peluruhan
mukosa dan peluruhan ketebalan parsial dinding kolon, edema, dan pendarahan. Kolitis
iskemik tidak berhubungan dengan kehilangan darah yang signifikan atau hematochezia,
walaupun sakit perut dan diare berdarah adalah manifestasi klinis yang utama.
Benign Anorectal Disease
Penyakit anorektal jinak (misalnya, hemorrhoid, fissure ani, fistula anorektal)
dapat menyebabkan perdarahan rektum intermiten. Pendarahan anus yang masif
disebabkan penyakit anorektal jinak juga telah dilaporkan. Tinjauan database VA
menunjukkan bahwa 11% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah
terjadi dari penyakit anorektal. Pasien yang memiliki varises rektum dengan hipertensi
portal dapat membuat pendarahan masif saluran cerna bagian bawah tanpa rasa sakit,
sehingga pemeriksaan awal anorectum menjadi penting. Jika diketahui terjadi pendarahan
aktif, mengobatinya harus agresif. Perhatikan bahwa penemuan penyakit anorektal jinak
tidak mengenyampingkan kemungkinan pendarahan yang lebih proksimal dari saluran
cerna bagian bawah.
Hemorrhoid biasanya dicatat pada pemeriksaan fisik lebih dari separuh pasien
dengan perdarahan saluran cerna bawah. Kurang dari 2% perdarahan disebabkan oleh lesi
ini. Kecuali tanda tegas perdarahan yang jelas pada anoscopi, dan pemeriksaan pasien
untuk pendarahan saluran cerna bagian bawah yang disebabkan oleh sumber lain harus
dihilangkan. Pasien dengan hipertensi portal dapat membuat perdarahan yang masif dari
hemorrhoid, seperti juga pada pasien trombositopenia terkait HIV dengan hemorrhoid.
Skin tag anal mempunyai ciri-ciri terdiri dari lipatan kulit yang berbatasan dengan
anus. Ciri-ciri tersebut menghasilkan haemorrhoid eksternal trombosis, atau jarang
dikaitkan dengan penyakit radang usus. Haemorrhoid internal berada di atas linea dentata
yang dilapisi oleh sel epitel transisional dan slindris.
Neoplasma
Neoplasma kolon, termasuk polip adenomatosa, polip juvenile, dan karsinoma,
muncul dalam bentuk dan sifat yang bermacam-macam. Biasanya, perdarahan dari lesi
ini lambat, ditandai dengan pendarahan samar dan anemia sekunder. Neoplasma ini juga
dapat berdarah dengan cepat, namun, dan pada beberapa bentuk, sampai dengan 20% dari
kasus perdarahan akut pada akhirnya ditemukan muncul karena polip kolon atau kanker.
Sedangkan, Polip juvenile merupakan penyebab perdarahan kedua paling umum pada
pasien lebih muda dari usia 20 tahun.
Adenokarsinoma kolorektal adalah kanker paling umum ketiga di Amerika
Serikat. Karsinoma kolorektal menyebabkan perdarahan samar, dan pasien biasanya
dating dengan anemia dan episode syncop. Insidensi terjadinya perdarahan yang masif
disebabkan karsinoma kolorektal bervariasi 5-20% dalam bentuk yang berbeda.
Perdarahan postpolipektomi dilaporkan terjadi hingga 1 bulan berikutnya yang diikuti

reseksi kolonoskopi. Insidensi yang dilaporkan adalah antara 0,2-3%. Perdarahan


postpolipektomi dapat dikelola oleh elektrokoagulasi pada letak polipektomi/pendarahan
dengan menggunakan baik snare maupun forsep biopsi panas atau dengan suntikan
epinefrin.
Penyakit vascular
Penyebab vaskuler dari pendarahan saluran cerna bagian bawah akut meliputi
vasculitides (polyarteritis nodosa, granulomatosis Wegeners, rheumatoid arthritis, dan
lain-lain), yang disebabkan oleh ulserasi punktata dari usus besar dan usus kecil. Iskemia
kolon dengan ulserasi dan kerapuhan mukosa dapat juga menyebabkan perdarahan akut,
yang sering kali muncul pada sakit perut akut dan sepsis. Iskemia mesenterika akut dapat
didahului dengan sebuah episode hematochezia yang muncul dengan sakit perut yang
parah, penyakit pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya, risiko emboli arteri, atau
hiperkoagulabilitas. Meskipun pendarahan merupakan unsur dalam pengelolaan klinis
pasien ini, namun jarang kontrol perdarahan menjadi fokus utama dari terapinya.
Sebaliknya pemulihan perfusi visceral adalah tujuan terapi utama.
Klasifikasi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah dibagi menjadi 3 jenis, berdasarkan
jumlah perdarahan, yaitu massive bleeding, moderate bleeding, occult bleeding, yang
dapat dilihat pada Gambar berikut
Massive bleeding merupakan suatu keadaan yang mengancam jiwa yang
memerlukan sedikitnya 5 unit labu tranfusi darah. Pemeriksaan yang didapatkan pada
pasien dengan keadaan seperti ini adalah tekanan darah sistol kurang dari 90 mmHg dan
kadar hemoglobin darah kurang atau sama dengan 6 gr/dl. Kasus ini lebih sering terjadi
pada pasien dengan usia lebih atau sama dengan 65 tahun, ada penyakit penyerta, dengan
risiko kematian karena perdarahan akut atau komplikasi perdarahan. Tingkat kematian
LGIB jenis massive bleeding sebesar 0-21%. Occultbleeding menunjukkan adanya
anemia hipokrom mikrositer dan reaksi guaiac intermiten.
Definisi massive bleeding adalah adanya darah dalam jumlah yang sangat banyak
dan berwarna merah marun yang melewati rectum, adanya ketidakseimbangan
hemodinamik dan syok, penurunan initial hematokrit kurang atau sama dengan 6 gr/ dl,
tranfusi minimal 2 unit labu transfuse PRC, perdarahan yang berlangsung terus menerus
selama 3 hari.
Manifestasi Klinis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan sumber
perdarahan dan berat riangannya perdarahan. Sebagian besar kasus LGIB disebabkan
oleh angiodisplasia dan divertikutlitis. Pada kedua kelainan ini tidak memberikan gejala
sampai perdarahan pertama kali terjadi. Pada anamnesis juga harus ditanyakan tentang
riwayat penggunaan NSAID atau obat antikoagulan, adanya sakit perut atau tidak, adanya
diare dan demam yang dialami sebelumnya yang dapat mengarah pada colitis baik infeksi
atau iskemi. Pasien yang pernah mempunyai operasi aorta harus terlebih dahulu dianggap
memiliki fistula aortoenteric sampai dibuktikan bukan.

Baru-baru ini ditemukan bahwa kolonoskopi dapat menyebabkan perdarahan dari


daerah yang pernah di biopsy atau pernah mengalami polypectomy. Penyebab perdarahan
sebelumnya harus ditelusuri, yang pada sebagian besar kasus adalah inflammatory bowel
disease. Riwayat penyakit keluarga berupa sindrom poliposis atau keganasan kolon juga
dapat dipertimbangkan. Perdarahan Saluran Cerna Bawah pada pasien yang berusia
kurang dari 30 tahun biasanya berhubungan dengan polip usus dan Meckel diverticulum.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital untuk mengetahui
adanya syok, oropharynx, nasopharynx, abdomen, perineum, and anal canal. Semua
pasien harus diresusitasi. Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah luka bekas operasi
terdahulu, adanya masa di abdominal, lesi pada kulit dan mulut yang menunjukkan
sindrom poliposis.
Perdarahan yang berasal dari hemorrhoid atau varices yang disebabkan hipertensi
portal pada pasien sirosis sebaiknya dipertimbangkan. Pemeriksaan rectum diperlukan
untuk mengetahui adanya kelainan pada anorectal, yaitu tumor, ulser, atau polip. Warna
pada daerah anorectal, dan adanya bentuk atau gunpalan darah harus diperhatikan.
Nasogastric tube (NGT) harus dipasang untuk menyingkirkan penyebab perdarahannya
adalah bukan dari saluran cerna atas yang menunjukkan adanya gambaran coffee ground.
Pada 50 % kasus pasien yang dipasang NGT, hasil aspirasinya adalah false negative. Oleh
karena itu diperlukan pemeriksaan lain yaitu esogastroduodenoscopy (EGD) untuk
mengetahui lokasi sumber perdarahan. Pasien dengan hematochezia dan hemodinamik
yang tidak seimbang, dilakukan emergency upper endoscopy.
Perdarahan saluran cerna bawah yang massive merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Terkadang manifestasi LGIB yang massive adalah feses yang berwarna
merah marun atau merah muda yang berasal dari rectum juga muncul pada perdarahan
saluran cerna bagian atas. Salah satu penanganan yang penting pada pasien LGIB yang
massive adalah resusitasi. Pasien ini dipasang infuse dengan cairan kristaloid dan
dipanatu tekanan darah sistolik, pulse pressure, urine output. Hipotensi ortostatik
(tekanan darah menurun > 10 mmHG) menandakan adanya kehilangan darah lebih dari
1000 ml.
Diagnosis
Intervensi bedah darurat untuk perdarahan masif yang sedang berlangsung jarang
diperlukan sebelum upaya untuk menentukan lokasi sumber perdarahan yang pasti,
dimana penentuan lokasi sumber perdarahan adalah penting untuk memilih jenis terapi
mana yang akan dilakukan. Setelah keadaan pasien stabil baru akan dilakukan uji
diagnostic yaitu colonoscopy, Selective Visceral Angiography, dan Technetium 99m-Red
Blood Cell Scintigraphy. Sebuah algoritma untuk diagnosis perdarahan akut
gastrointestinal bagian bawah.
Colonoscopy dapat dilakukan Setelah episode perdarahan berhenti secara spontan
dan tidak didapatkan stigmata perdarahan. Colonoscopy yang harus dilakukan segera,
diindikasikan pada pasien yang telah 12 jam dirawat dirumah sakit dengan perdarahan
yang telah berhenti, telah mendapat resusitasi disertai dengan keadaan hemodinamik
yang stabil. Pada keadaan ini colonoscopy dapat dilakukan setelah proses pembersihan
kolon. Temuan pada colonoscopy pada LGIB diantaranya adalah daerah sumber
perdarahan aktif,, bekuan darah yang menempel pada orificium divertikel yang

mengalami ulserasi, bekuan darah yang menempel pada focus dan mukosa atau darah
segar yang berada pada segmen kolon.
Penting untuk diperhatikan bahwa lesi incidental, yaitu bekuan darah pada
orificium divertikular multiple, AVM tanpa perdarahan, polip tanpa perdarahan, dan
divertikule tanpa perdarahan bukan merupakan penyebab perdarahan yang baru terjadi.
Perdarahan hanya terjadi pada lesi yang menunjukkan tanda-tanda perdarahan yang jelas.
Colonoscopy tidak dilakukan pada pasien LGIB dengan massive bleeding.
Prosedur yang akan dilakukan secara teknis akan menjadi sangat sulit karena permukaan
mukosa tidak dapat terlohat dengan jelas. Pasien ini juga mengalami ketidakseimbangan
hemodinamik yang dapat menyebabkan risiko terjadinya hipoksemia dan komplikasi
lainnya meningkat. Reusitasi juga diperlukan jika dilakukan prosedur ini.
Jadi, colonoscopy merupakan prosedur pilihan pada pasien yang telah mengalami
perdarahan yang telah dilakukan colonoscopy polypectomy.
polypectomy.
Selective Visceral Angiography
Mesenteric arteriography telah banyak digunakan dalam evaluasi dan pengobatan
pasien dengan perdarahan gastrointestinal bagian bawah. injeksi selektif radiografi
kontras ke arteri superior mesenterika atau inferior mesenterika mengidentifikasi
perdarahan pada pasien perdarahan mulai dari 0,5 ml/min atau lebih. Penelitian dapat
secara akurat mengidentifikasi pendarahan arteri di 45% sampai 75% dari pasien jika
pasien mengalami perdarahan pada saat injeksi kontras.
Metode ini bukan merupakan pilihan pada pasien dengan perdarahan yang terjadi
pertama kalo atau perdarahan berulang yang waktunya tidak pasti. Karena 90% dari
kasus perdarahan berhenti secara spontan, dan hanya 10% yang mengalami perdarahan
yang berulang, dan metode ini tidak cock untuk sebagian pesar pasien.
Angiografi perlu dilakukan, mengingat insidensi tertinggi terjadinya perdarahan
saluran cerna bagian atas adalah pada pasien dengan usia lebih atau sama dengan 60
tahun, yang biasanya telah mengidap penyakit penyerta, diantaranya adalah stroke,
penyakit pembuluh darah, insuffisiensi renal. Kondisi ini akan meningkatkan risiko
komplikasi dari prosedur. Jadi, angiografi dilakukan pada pasien dengan perdarahan yang
sedang berlangsung dengan tanda-tanda yang jelas.
Technetium 99m-Red Blood Cell Scintigraphy
99m Tc-red blood cell scintigraphy merupakan prosedur pencitraan nuklir yang
non invasive dengan cara menempelkan sel darah merah pasien dengan isotop techtenium
yang kemudian akan beredar ke dalam sirkulasi darah. Setiap perdarahan terjadi, sel
darah merah yang telah diberi label akan ditumpahkan ke dalam lumen colon yang akan
menbuat focus isotop yang dapat dicitrakan dengan whole abdominal scintigraphy.
Perdarahan sebanyak 0.1 ml/min dapat terdeteksi oleh metode ini. Gambar dapat
diperoleh pada dua waktu yang berbeda yaitu pada 2 jam setelah injeksi dan 4-6 jam
kemudian atau adanya tanda-tanda terjadinya perdarahan berulang. Setelah memenuhi
lumen, darah akan bergerak dari kolon kanan ke kolon kiri atau bergerak mundur karena
adanya kontraksi dari kolon.
Jika perdarahan terjadi pada saat injeksi dan pencitraan awal, 99m Tc-red blood
cell scans secara akurat dapat mengidentifikasi sumber pendarahan di hingga 85% kasus.

Jika perdarahan tidaksedang berlangsung pada saat deteksi awal, atau jika terjadi
pendarahan tertunda, pencitraan untuk mendeteksi isotop dapat lumen tidak akurat.
Penelitian ini akurat hanya pada 40% sampai 60% dari pasien, sedikit lebih baik dari
rasio 50:50, untuk mengisolasi pendarahan ke kolon kiri atau kolon kanan. Oleh karena
itu, pasien yang pernah dilakukan reseksi bedah untuk mencegah perdarahan berulang
atau persisten harus di periksa dengan memiliki pendarahan dikonfirmasikan dengan baik
angiogram positif atau kolonoskopi positif. positive angiogram or a positive colonoscopy.
Terapi
Endoskopi
Thermal heater probe, elektrokoagulasi, dan sclerotherapy telah banyak
digunakan. terdapat laporan yang menunjukkan bahwa elektrokoagulasi bdapat berhasil
diterapkan untuk pendarahan divertikula kolon, meskipun terapi ini belum banyak dianut.
Terapi dengan endoscopy ini juga dapat memicu perdarahan berulang yang lebih
signifikan. Sebaliknya, angiodysplasias dapat segera diobati dengan tindakan endoskopik.
Perdarahan akut dapat dikontrol dalam hingga 80% dari pasien dengan perdarahan
angiodysplasias, meskipun perdarahan berulang juga dapat terjadi hingga 15%. Terapi
endoskopi ini juga sesuai untuk pasien dengan perdarahan dari daerah yang telah
dilakukan polypectomy. Pendarahan dapat terjadi pada 1% sampai 2% pasien setelah
polypectomy dan mungkin terjadi hingga 2 minggu setelah polypectomy dimana terapi
endoskopik dianjurkan.
Angiographic
Angiography dipakai sebagai metode perioperatif, terutama pada pasien-pasien
dengan risiko gangguan vascular, sementara menunggu terapi bedah definitive. Pada
metode ini dilakukan katerisasi selektif dari pembuluh darah mesentrika yang langsung
menuju ke lokasi sumber perdarahan yang akan dilanjutkan dengan pemberian
vasokontriktor intra-arteridengan vasopressin yang dapat menghentikan perdarahan
sekitar 80 % kasus. Perdarahan berulang mungkin terjadi jika terapi tidak dilanjutkan.
Komplikasi yang sering dan serius pada metode ini adalah iskemi miokard, edema paru,
thrombosis mesenterika, dan hiponatremia. Transarterial vasopressin tidak boleh
digunakan pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau penyakit vaskular lainnya.
Peran utama dari terapi ini adalah untuk mengehentikan perdarahan sebagai terapi darurat
sebelum bedah definitif. Embolisasi transkateter pendarahan massive dapat juga
dilakukan pada pasien yang tidak mempunyai cukup biaya untuk menjalani operasi.
Embolisasi dari gelatin spons atau microcoils dapat menghentikan pendarahan sementra
yang disebabkan angiodysplasias dan divertikula. Metode ini juga dapat menyebabkan
demam dan dan sepsis yang disebabkan oleh kurangnya pasokan darah ke kolon sehingg
aterjadi infark kolon.
Pembedahan
Indikasi dilakukannya tindakan bedah diantarnya pasien dengan perdarahan yang
terus menerus berlangsung dan berulang, tidak sembuh dengan tindakan non operatif.
Transfusi lebih dari 6 unit labu transfusi PRC, perlu transfusi, ketidakseimbangan
hemodinamik yang persisten merupakan indikasi colectomy pada perdarahan akut.

Pembedahan emergensi dilakukan pada pasien dengan LGIB sebanyak 10%


kasus, dilakukan pada saat setelah ditemukannya lokasi sumber perdarahan. Tingkat
kejadian perdarahan yang berulang adalah 7% (0-21%) dan tingkat mortalitas sebesar
10% (0-15%). Pada sebagian besar studi segmental colectomy tidak mempunyai tingkat
mortalitas, morbiditas dan perdarahan berulang yang tinggi. Segmental colectomy
diindikasikan pada pasien dengan perdarahan colon persisten dan rekuren. Pasien dengan
LGIB rekuren juga sebaiknya dilakukan colectomy karena risiko meningkatnya beratnya
perdarahan dengan berjalannya waktu.
Jika pasien mengalami ketidakseimbangan hemodinamik pembedahan emergensi
ini dilakukan tanpa uji diagnostic dan lokasi sumber perdarahan ditentukan pada
intraoperatif dengan cara EGD, surgeon-guided enteroscopy, and colonoscopy. Dengan
melihat kondisi dan peralatan yang ada, dapat dilakukan subtotal colectomy dengan
inspeksi distal ileal daripada dengan ketiga metode yang telah disebutkan.
Subtotal colectomy dilakukan jika sumber perdarahan tidak diketahui dengan
studi diagnostic perioperatif dan intraoperatif. Jika lokasi sumber perdarahan tidak dapat
didiagnosis dengan endoscopy intraoperatif dan dengan pemeriksaan dan jika terdapat
bukti perdarahan berasal dari kolon, subtotal colectomy dilakukan dengan anastomosis
iloerectal. Subtotal colectomy adalah pilihan yang tepat karena berhubungan dengan
tingkat perdarahan berulang yang rendah dan tingkat morbiditas (32%) dan tingkat
mortalitas (19%).
Hemicolectomy lebih baik dilakukan daripada blind subtotal abdominal
colectomy, apabila bertujuan untuk mengetahui lokasi sumber perdarahan. Saat lokasi
sumber perdarahan diketahui, operasi dengan positive 99m Tc-red blood cell scan. juga
dapat menyebabkan perdarahan berulang pada lebih dari 35% pasien.Blind total
abdominal colectomy tidak dianjurkan karena memiliki perdarahan berulang 75% tingkat
morbiditas 83%, tingkat mortalitas 60%. Sekali lokasi sumber perdarahan diketahui,
lakukan segmental colectomy.
Diare setelah total abdominal colectomy juga dapat terjadi pada pasien dengan
dengan usia yang lebih tua. Jenis operasi ini hanya dilakukan pada pasien dengan tingkat
perdarahan berulang sebanyak 75%. Mortalitas setelah colectomy rata-rata adalah kerang
dari 5%.
Pasien dengan riwayat perdarahan berulang dengan lokasi sumber perdarahan
yang tidak diketahui harus dilakukan elective mesenteric angiography, upper and lower
endoscopy, Meckel scan, Foto serial saluran cerna atas dengan usus halus, and
enteroclysis. Pemeriksaan seluruh bagian saluran cerna diperlukan untuk mendiagnosis
lesi yang jarang dan AVM yang tidak terdiagnosis.
Jika lokasi sumber perdarahan telah diketahui dengan mesenteric angiography,
infuse vasopressin dapat digunakan secara berkala untuk control perdarahan dan
penstabilan pasien untuk antisipasi apabila harus dilakukan segmental colectomy semi
urgent. Embolisasi mesenteric selektif digunakan pada pasien dengan risiko tinggi apabila
dilakukan operasi, dan perhatikan iskemi dan perforasi. Subtotal colectomy dengan
ileoprostostomy dilakukan pada pasien dengan perdarahan berulang dengan lokasi
sumber perdarahan tidak diketahui, dan pada pasien dengan perdarahan yang berasal dari
kedua bagian colon.
Tidak ada kontraindikasi terhadap pembedahan pada pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil dan perdarahan yang berlangsung terus menerus. Pembedahan juga

diperintahkan walaupun pada pasien yang membutuhkan 5 unit labu transfuse atau lebih
pada 24 jam dan penentuan lokasi sumber perdarahan secara perioperatif tidak akurat.
embedahan juga perlu dilakukan pada pasien dengan perdarahan berulang selama dirawat
di rumah sakit.
Preoperatif
Perdarahan Saluran cerna bawah akut merupakan masalah kesehatan yang serius
yang berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tingkat
mortalitas adalah sebesar 10-20% dan tergantung pada usia (> 60 tahun), penyakit
multiorgan, kebutuhan transfuse (> 5 labu), perlu dilakukan operasi, dan stress
(pembedahan, trauma, sepsis).
Tiga aspek utama yang berperan dalam penanganan LGIB adalah perawatan
initial syok, mecari lokasi sumber perdarahan, dan rencana intervensi. Pasang NGT pada
semua pasien, aspirasi cairan yang jernih tanpa cairan empedu menyingkirkan perdarahan
yang berasal dari proximal Ligamentum Treitz. Setelah resusitasi inisial, sumber
perdarahan dapat dicari dengan cara angiogram, perdarahan dapat terkontrol sementara
dengan embolisasi angiographic atau infuse vasopressin. Segmental colectomy dilakukan
12-24 jam kemudian.
Intraoperatif
Intervensi pembedahan yang diperlukan memiliki persentase yang kecil pada
kasus LGIB. Pilihan dilakukanyya tindakan bedah tergantung dari sumber perdarahan
yang telah diidentifikasi pada saat preoperative sebelumnya.setelah itu baru dapat
dilakukan segmental colectomy.
Jika sumber perdarahan tidak diketahui, dilakuakan endoscopy saluran cerna
bagian atas. Jika tidak berhasil lakukan intraoperative pan-intestinal endoscopy dan jika
gagal, lakukan subtotal colectomy dengan end ileostomy.
Postoperatif
Hipotensi dan syok biasanya terjadi akibat kehilangan darah, tetapi tergantung
dari tingkat perdarahan dan respon pasien. Syok dapat mempresipitasi infark miokard,
kelainan cerecrovaskular, gagal ginjal dan gagal hati. Azotemia biasanya muncul pada
pasien dengan perdarahan saluran cerna.
Komplikasi pembedahan
Komplikasi dini postoperative yang paling sering adalah perdarahan
intraabdomina dananastomose, ileus, obstruksi usus halus mekanik, sepsis
intraabdominal, peritonitis local dan diffuse, infeksi luka operasi, Clostridium difficile
colitis, pneumonia, retensi urin, infeksi saluran kemih, deep vein thrombosis, dan emboli
paru. Sedangkan komplikasi lanjut biasanya muncul lebih dari 1 minggu setelah operasi,
yaitu sriktur anastomosis, hernia insisional, dan incontinens.
Prognosis
Identifikasi letak pendarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam
pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara
langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak perdarahan
yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan

perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber pendarahannya.
Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan
teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak
terdiagnosis dan tidak terobati.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Dorland. Kamus Kedokteran. EGC: Jakarta. 2002.

2.

Supriatmo.2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Refluks


Gastroesofagus Pada Anak Usia Sekolah Dasar. http://www.USU.ac.id. Diunduh pada
tanggal 28 September 2009.

3.

Sri Mayarni Sutadi.2003.Pola Keganasan Saluran Cerna Bagian Atas dan Bawah secara
Endoskopi di H.Adam Malik Medan. http://www.USU.ac.id. Diunduh pada tanggal 28
September 2009.

4.

Prof. DR. dr. Yanwirasti. Slide kuliah pengantar: Abdomen

5.

Dr. H. Asri Zahari, Sp.BD (K). Slide kuliah pengantar: Diagnosis dan penatalaksanaan
Hemorrhoid

6. Abdurachman, S.A. Tumor Esofagus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2007. Hal: 327.
7. Adi, Pangestu. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289 292.
8. Akil, H.A.M. Tukak Duodenum. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2007. Hal: 345, 347.
9. Julius. Tumor Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2007. Hal: 350.
10. Lindseth, Glenda N. Gangguan Lambung dan Duodenum. PATOFISIOLOGI
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 417-419, 423, 428.
11. Lindseth, Glenda N. Gangguan Usus Halus. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
2003. Hal: 437-439.
12. Mailliard, Mark E., Michael F. Sorrell. Alcoholic Liver Disease. Harrisons
Principles of Internal Medicine. Volume II. 16thEdition. McGraw-Hill Medical
Publishing Division, USA. 2005. p:1865.
13. Sabatine, Marc S. Gastrointestinal Bleeding. Pocket Medicine: The Massachusetts
General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth Edition. Wolters Kluwer
Health and Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 3.
14. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Gastritis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007. Hal: 142, 146.
15. Tarigan, Pengarapen. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2007. Hal: 341.
16. Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. Gangguan Esofagus.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6.
EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 404-405.
17. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
18. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. Jakarta: 2007
19. Biecker, Erwin, Michael Schepke, Tilman Sauerbach. The Role of Endoscopy in
Portal Hypertension. Journal of Digestive Diseases Clinical Reviews, Vol.23, No.1.
Department of Internal Medicine I, University Hospital of Bonn, Bonn, Germany.
2005.
20. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
Gastrointestinal
Bleeding.
Medline
Article,
Vol.41,

http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27 Oktober


2011)
21. Weiss S, Mallory GK. Lesions of the cardiac orifice of the stomach produced by
vomiting. Journal of the American Medical Association,1932;98:1353-55.

Anda mungkin juga menyukai