Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.1.1 Jenis-jenis diabetes melitus
2.1.1.1 Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi otoimun.
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu
sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somastatin. Namun
demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel .
Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defesiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon
yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia
akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM

Universitas Sumatera Utara

tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,
hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapatkan terapi insulin.
2.1.1.2 Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang
dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul
gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel langerhans secara autoimun
sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian
besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan
kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar
dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu
defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel terhadap
glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.1.3 Diabetes mellitus gestasional


Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama
masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi
karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin
(Tandra, 2008).
2.1.2 Diagnosis diabetes mellitus
Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126
mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus
Glukosa plasma

Glukosa Plasma 2 jam

puasa

setelah makan

Normal

<100 mg/dl

<140 mg/dl

Diabetes

126 mg/dl

200 mg/dl

2.1.3 Penatalaksanaan diabetes mellitus


Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah
raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,
dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi
obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.1 Terapi non farmakologi


1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus,
yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang
optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1,
perhatian utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel
terhadap stimulus glukosa.
2. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal
dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah

Universitas Sumatera Utara

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
2.1.3.2 Terapi farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.
Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng
atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:
Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan


memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien
yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah
insulin (Waspadji, 2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian
senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa
baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati.
Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung,
2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini
diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan
Suharto, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,


masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan
masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam
hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat
albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa
hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
Sulfonilurea generasi kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali
lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak
efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu
menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan)
(Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit
diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko
dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme
dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan
melalui ginjal (Katzung, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling


rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya
waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk
yang tidak aktif (Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga
berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang
overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin

dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan

glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan


dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel pankreas.
Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase
alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia
postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose
(Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2 Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan
tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg lama). Menurut
WHO, tidak bergantung pada usia, pada keadaan istirahat batas normal teratas
untuk tekanan sistolik 140 mmHg, sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah
batas yang harus diamati bila sistolik 140-149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg
(Anonim, 2008).
2.2.1 Jenis-jenis hipertensi
2.2.1.1 Hipertensi primer (essensial)
Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien
hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Oleh karena itu,
upaya penanganan hipertensi primer lebih mendapatkan prioritas. Peninggian
tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer.
Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda,
kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala
setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung.
2.2.1.2 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular
adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung atupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat

Universitas Sumatera Utara

hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006).
2.2.2 Klasifikasi tekanan darah
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC
KlsifikasiTekanan
Darah
Normal

TDS (mmHg)

TDD (mmHg)

< 120

< 80

Prehipertensi

120 139

80 89

Hipertensi derajat 1

140 159

90 99

Hipertensi derajat 2

160

100

Keterangan : TDS = Tekanan Darah Sistolik


TDD = Tekanan Darah Diastolik
2.2.3 Pengelolaan hipetensi
2.2.3.1 Terapi non farmakologi
Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seseorang.
Semua pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu dinasehati
mengenai gaya hidup, seperti menurunkan kegemukan, asupan garam (total, < 5
g/hari), asupan lemak jenuh dan alkohol (pria < 21 unit dan perempuan < 14 unit
per minggu), banyak makan buah dan sayuran, tidak merokok dan berolah raga

Universitas Sumatera Utara

yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah dapat
menurunkan penggunaan obat-obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2.2.3.2 Terapi farmakologi
Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah
obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan
beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan
organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau
faktor risiko lain.
Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor), Angiostensin Reseptor Blocker
(ARB), Beta Blocker (BBs), Calcium Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes, 2006).
2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi
Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada
populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan
memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,
stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat
diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi
merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes
dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes
khususnya.
Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi
insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin

Universitas Sumatera Utara

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi


natrium (Saseen dan Carter, 2005).
Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak
berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali
bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul
selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul.
Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan
ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada
sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui
hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg)
mengurangi perkembangan komplikasi

makrovaskular dan mikrovaskular

(Saseen dan Carter, 2005).


2.3.1 Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi
hipertensi
2.3.1.1 Terapi non farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam
penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus
seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia,
hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati
autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan
asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga
(Saseen dan Carter, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.3.1.2 Terapi farmakologi


Penanggulangan

farmakologi

dilakukan

secara

individual

dengan

memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus


mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.
Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus
sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Efektif menurunkan tekanan darah.
2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipohiperglikemia.
3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.
4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,
tidak meningkatkan risiko impotensi.
5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes
mellitus adalah senagai berikut:
1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan
angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah
vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2006).
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini
merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.
Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi yang
berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan

Universitas Sumatera Utara

penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan
antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,
2005).
ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi
arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat
mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek
pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril,
Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)
ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung
reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006).
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat
pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai
sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara
farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent
arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray,
dkk., 2006).
ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,
diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB

Universitas Sumatera Utara

merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal


pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan,
Telmisartan, Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
3. Diuretics
Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus
kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat
kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa
menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Anonim, 2009).
4. Beta Bocker (-blocker)
Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,
dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling
tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal
perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan
Carter, 2005).
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang
kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada
penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi
penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada
dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas
relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif
memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Universitas Sumatera Utara

5. CCB (Calcium Chanel Blocker)


CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada
pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme
glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes
dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular
dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif
yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter,
2005).
CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB
dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB.
Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena
kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk
mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,
khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin,
Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien dimana
dalam pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan pasien terkait obat.
Pelaksanaan pelayanan kefarmasian bertanggung jawab dalam terapi obat pasien
untuk mencapai hasil (outcomes) yang lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas
hidup pasien (Cipolle, dkk., 2004).
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang beorientasi kepada pelayanan

Universitas Sumatera Utara

pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi klinik.


Pelayanan kefarmasian terus berkembang tidak terbatas hanya penyiapan obat dan
penyerahan obat pada pasien tapi juga memerlukan interaksi dengan pasien dan
professional kesehatan lainnya.
Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang
paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat
kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien diharapkan juga mendapatkan
pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh farmasi sehingga pasien
mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional bermutu, dan
terjangkau (Anomim, 2011).
2.5 Drug Related Problems (DRPs)
DRPs adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh
pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan cenderung
mengganggu kesembuhan yang pasien inginkan. Drug Related Problems
mempunyai dua komponen utama:
1. Peristiwa yang tidak diharapkan atau resiko dari peristiwa yang dialami oleh
pasien. Kejadian ini dapat memberikan bentuk dari keluhan medis, gejala,
diagnosis, penyakit, ketidakmampuan, atau sindrom. Peristiwa tersebut dapat
disebabkan oleh kondisi psikologi, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.
2. Adanya gejala antara kejadian yang tidak diharapkan pasien dan terapi obat.
Keterkaitan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, saran yang berkaitan
dengan sebab dan efek atau kejadian yang memerlukan terapi obat untuk
resolusi dan pencegahannya (Cipolle, dkk., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Jenis-jenis Drug Related Problems (DRPs) dan penyebabnya menurut


Cipolle, dkk., (2004) disajikan sebagai berikut:
1. Membutuhkan terapi tambahan obat
a. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada
obat.
b. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat
berkesinambungan.
c. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan parmakoterapi
kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi.
d. Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang
dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat
dan / atau tindakan pramedis.
2. Terapi obat yang tidak perlu
a. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada
waktu itu.
b. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari
obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.
c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.
d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.
e. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya
satu terapi obat yang terindikasi.
f. Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat
dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan
lainnya.

Universitas Sumatera Utara

3. Terapi obat salah


a. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.
b. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.
c. Bentuk sediaan obat tidak tepat.
4. Dosis terlalu rendah
a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada
pasien.
b. Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang
diharapkan.
c. Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan respon
yang diinginkan.
5. Reaksi obat yang merugikan
a. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.
b. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau
makanan pasien.
c. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki
yang tidak terkait dengan dosis.
d. Penggunaan obat yang kontraindikasi.
6. Dosis terlalu tinggi
a. Dosis terlalu tinggi untuk pasien.
b. Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik obat
yang diharapkan.
c. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.
d. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

Universitas Sumatera Utara

7. Kepatuhan
a. Pasien tidak

menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan,

pengobatan, pemberian, pemakaian).


b. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.
c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.
d. Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang
mengerti.
e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah
merasa sehat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai