Anda di halaman 1dari 10

[Type the document title]

ORGAN TUBUH HATI


KELAS IX.8, SMP NEGERI 2 PADANG.
KELOMPOK IV
ANGGOTA KELOMPOK IV :
CUT MUTHIA ANGGRAINI
SALSABILLA RIFANI
SYIFA NUR HANIFAH
WANDA SABILA AZUKHRUF

ORGAN HATI
Hati (bahasa Yunani: , hpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam
rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga
termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara
memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat
dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut
proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal.[2] Sel parenkimal pada hati disebut
hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel
hati terdapat pada lobus sinusoidal. Hepatosit merupakan sel endodermal yang terstimulasi oleh
jaringan mesenkimal secara terus-menerus pada saat embrio hingga berkembang menjadi sel
parenkimal.[3] Selama masa tersebut, terjadi peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai stimulan
proliferasi dan diferensiasi sel endodermal menjadi hepatosit. [4]
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel Kupffer, sel Ito,
limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati sekitar 6,5% volume hati dan
memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan banyak fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan permukaan hepatosit
dari darah, SEC memiliki kapasitas endositosis yang sangat besar dengan berbagai ligan seperti
glikoprotein, kompleks imun, transferin dan seruloplasmin. SEC juga berfungsi sebagai sel presenter
antigen yang menyediakan ekspresi MHC I dan MHC II bagi sel T. Sekresi yang terjadi meliputi
berbagai sitokina, eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin-1, nitrogen monoksida dan
beberapa komponen ECM.
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan banyak vesikel lemak di dalam
sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga memberikan lapisan ganda pada lumen lobus
sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi normal, sel Ito menyimpan vitamin A guna mengendalikan
kelenturan matriks ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga merupakan kelenturan dari
lumen sinusoid.
Sel Kupffer berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga dengan kemampuan endositik
dan fagositik yang mencengangkan. Sel Kupffer sehari-hari berinteraksi dengan material yang
berasal saluran pencernaan yang mengandung larutan bakterial, dan mencegah aktivasi efek toksin
senyawa tersebut ke dalam hati. Paparan larutan bakterial yang tinggi, terutama paparan LPS,
membuat sel Kupffer melakukan sekresi berbagai sitokina yang memicu proses peradangan dan dapat
mengakibatkan cedera pada hati. Sekresi antara lain meliputi spesi oksigen reaktif, eikosanoid,
nitrogen monoksida, karbon monoksida, TNF-, IL-10, sebagai respon kekebalan turunan dalam fase
infeksi primer.

Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang bermukim di hati. Sel pit dapat
menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa bergantung pada ekspresi antigen pada
kompleks histokompatibilitas utama. Aktivitas sel pit dapat ditingkatkan dengan stimulasi
interferon-.
Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-, sel T- dan sel NKT.

1.

Sel Punca

Selain hepatosit dan sel non-parenkimal, pada hati masih terdapat jenis sel lain yaitu sel intrahepatik yang sering disebut sel oval,[5] dan hepatosit duktular.[6] Regenerasi hati setelah hepatektomi
parsial, umumnya tidak melibatkan sel progenitor intra-hepatik dan sel punca ekstra-hepatik
(hemopoietik), dan bergantung hanya kepada proliferasi hepatosit. Namun dalam kondisi saat
proliferasi hepatosit terhambat atau tertunda, sel oval yang berada di area periportal akan
mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi hepatosit dewasa. [5][7] Sel oval merupakan bentuk
diferensiasi dari sel progenitor yang berada pada area portal dan periportal, atau kanal Hering,[8] dan
hanya ditemukan saat hati mengalami cedera.[9] Proliferasi yang terjadi pada sel oval akan membentuk
saluran ekskresi yang menghubungkan area parenkima tempat terjadinya kerusakan hati dengan
saluran empedu. Epimorfin, sebuah morfogen yang banyak ditemukan berperan pada banyak organ
epitelial, nampaknya juga berperan pada pembentukan saluran empedu oleh sel punca hepatik. [10]
Setelah itu sel oval akan terdiferensiasi menjadi hepatosit duktular. Hepatosit duktular dianggap
merupakan sel transisi yang terkait antara lain dengan: [11]

metaplasia duktular dari hepatosit parenkimal menjadi epitelium biliari intra-hepatik

konversi metaplasia dari epitelium duktular menjadi hepatosit parenkimal

diferensiasi dari sel punca dari silsilah hepatosit

tergantung pada jenis gangguan yang menyerang hati.


Pada model tikus dengan 70% hepatektomi, dan induksi regenerasi hepatik dengan
asetilaminofluorena-2, ditemukan bahwa sel punca yang berasal dari sumsum tulang belakang dapat
terdiferensiasi menjadi hepatosit,[12][13] dengan mediasi hormon G-CSF sebagai kemokina dan mitogen.
[14]
Regenerasi juga dapat dipicu dengan D-galaktosamina.[15]

2.Sel imunologis
Hati juga berperan dalam sistem kekebalan dengan banyaknya sel imunologis pada sistem
retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis antigen yang terbawa ke hati melalui sistem portal hati.
Perpindahan fase infeksi dari fase primer menjadi fase akut, ditandai oleh hati dengan menurunkan
sekresi albumin dan menaikkan sekresi fibrinogen. Fasa akut yang berkepanjangan akan berakibat
pada simtoma hipoalbuminemia dan hiperfibrinogenemia.[16]

Pada saat hati cedera, sel darah putih akan distimulasi untuk bermigrasi menuju hati dan bersama
dengan sel Kupffer mensekresi sitokina yang membuat modulasi perilaku sel Ito.[17] Sel TH1
memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan selular seperti IFN-gamma, TNF, dan IL2. Sel TH2 sebaliknnya akan memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan humoral
seperti IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 dan meningkatkan respon fibrosis. Sitokina yang disekresi oleh sel
TH1 akan menghambat diferensiasi sel T menjadi sel TH2, sebaliknya sitokina sekresi TH2 akan
menghambat proliferasi sel TH1. Oleh sebab itu respon kekebalan sering dikatakan terpolarisasi ke
respon kekebalan selular atau humoral, namun belum pernah keduanya.

3.Fungsi hati
Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga saat ini belum
ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu menggantikan semua fungsi hati.
Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan proses dialisis hati, namun teknologi ini masih terus
dikembangkan untuk perawatan penderita gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati menghasilkan:

empedu yang mencapai liter setiap hari. Empedu merupakan cairan kehijauan dan terasa
pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua, yang kemudian disimpan di
dalam kantong empedu atau diekskresi ke duodenum. Empedu mengandung kolesterol, garam
mineral, garam empedu, pigmen bilirubin, dan biliverdin. Sekresi empedu berguna untuk
mencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah
zat yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut dalam air. Apabila saluran empedu di hati
tersumbat, empedu masuk ke peredaran darah sehingga kulit penderita menjadi kekuningan.
Orang yang demikian dikatakan menderita penyakit kuning.

sebagian besar asam amino

faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI

protein C, protein S dan anti-trombin

kalsidiol

trigliserida melalui lintasan lipogenesis

kolesterol

insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang berperan penting dalam
pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan tetap memiliki efek anabolik pada orang
dewasa.

enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang terbentuk
dapat mengikat NH dan CO yang bersifat racun.

trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping darah oleh
sumsum tulang belakang.

Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel darah merah,
hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu mengambil alih tugas ini.

albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.

angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah ketika
diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal saat ditengarai kurangnya
tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.

enzim glutamat-oksaloasetat transferase, glutamat-piruvat transferase dan laktat


dehidrogenase

Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada umumnya, hati juga
berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:

Glukoneogenesis, sintesis glukosa dari beberapa substrat asam amino, asam laktat, asam lemak
non ester dan gliserol. Pada manusia dan beberapa jenis mamalia, proses ini tidak dapat
mengkonversi gliserol menjadi glukosa. Lintasan dipercepat oleh hormon insulin seiring dengan
hormon tri-iodotironina melalui pertambahan laju siklus Cori.[18]

Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk kemudian dilepaskan ke


darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh. Hormon glukagon merupakan
stimulator utama kedua lintasan glikogenolisis dan glukoneogenesis menghindarikan tubuh dari
simtoma hipoglisemia. Pada model tikus, defisiensi glukagon akan menghambat kedua lintasan
ini, namun meningkatkan toleransi glukosa.[19] Lintasan ini, bersama dengan lintasan
glukoneogenesis pada saluran pencernaan dikendalikan oleh kelenjar hipotalamus.[20]

Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa.

dan pada lintasan katabolisme:

degradasi sel darah merah. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya dipecah menjadi zat besi,
globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang, sedangkan heme dirombak menjadi
metabolit untuk diekskresi bersama empedu sebagai bilirubin dan biliverdin yang berwarna
hijau kebiruan. Di dalam usus, zat empedu ini mengalami oksidasi menjadi urobilin sehingga
warna feses dan urin kekuningan.

degradasi insulin dan beberapa hormon lain.

degradasi amonia menjadi urea

degradasi zat toksin dengan lintasan detoksifikasi, seperti metilasi.

Hati juga mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:

vitamin A (cadangan 12 tahun)

vitamin D (cadangan 14 bulan)

vitamin B12 (cadangan 1-3 tahun)

zat besi

zat tembaga.

4.Regenerasi sel hati


Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang sangat penting agar hati
dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan dari proses detoksifikasi dan imunologis. Regenerasi
tercapai dengan interaksi yang sangat kompleks antara sel yang terdapat dalam hati, antara lain
hepatosit, sel Kupffer, sel endotelial sinusoidal, sel Ito dan sel punca; dengan organ ekstra-hepatik,
seperti kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, pankreas, duodenum, hipotalamus.[21]
Hepatosit, adalah sel yang sangat unik. Potensi hepatosit untuk melakukan proliferasi, muncul pada
saat-saat terjadi kehilangan massa sel,[22] yang disebut fase prima atau fase kompetensi replikatif [23]
yang umumnya dipicu oleh sel Kupffer melalui sekresi sitokina IL-6 dan TNF-. Pada fase ini,
hepatosit memasuki siklus sel dari fase G0 ke fase G1.
TNF- dapat memberikan efek proliferatif atau apoptotik, bergantung pada spesi oksigen reaktif
dan glutathion, minimal 4 faktor transkripsi diaktivasi sebelum hepatosit masuk ke dalam fase
proliferasi, yaitu NF-B, STAT-3, AP-1 dan C/EBP-beta.[24]
Proliferasi hepatosit diinduksi oleh stimulasi sitokina HGF dan TGF-, dan EGF[24] dengan dua
lintasan. HGF, TGF-, dan EGF merupakan faktor pertumbuhan yang berasal dari substrat serina dan
protein logam[25] yang menginduksi sintesis DNA.[23] Lintasan pertama adalah lintasan IL-6/STAT-3
yang berperan dalam siklus sel melalui siklin D1/p21 dan perlindungan sel dengan peningkatan rasio
FLIP, Bcl-2, Bcl-xL, Ref1, dan MnSOD. Lintasan kedua adalah lintasan PI3-K/PDK-1/Akt yang
mengendalikan ukuran sel melalui molekul mTOR, selain sebagai zat anti-apoptosis dan antioksidan.
Hormon tri-iodotironina, selain menurunkan kadar kolesterol pada hati,[26] juga memiliki kapasitas
dalam proliferasi hepatosit sebagai mitogen yang berperan pada siklin D1,[27] mempercepat konsumsi
O2 oleh mitokondria dengan mengaktivasi transkripsi pada gen pernafasen hingga meningkatkan
produksi spesi oksigen reaktif.[28] Sekresi ROS ke dalam sitoplasma hepatosit akan mengaktivasi
faktor transkripsi NF-B.[29] Pada sel Kupffer, ROS dalam sitoplasma, akan mengaktivasi sekresi
sitokina TNF-, IL-6 dan IL-1 untuk disekresi. Ikatan yang terjadi antara ketiga sitokina ini dengan
hepatosit akan menginduksi ekspresi pencerap enzim antioksidan, seperti mangan superoksida
dismutase, i-nitrogen monoksida sintase, protein anti-apoptosis Bcl-2, haptoglobin dan fibrinogen-
yang diperlukan hepatosit dalam proliferasi.[30] Stres oksidatif yang dapat ditimbulkan oleh ROS
maupun kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai sitokina, dapat dilenyapkan dengan asupan

tosoferol (100 mg/kg) atau senyawa penghambat gadolinium klorida (10 mg/kg) seperti yang dimiliki
oleh sel Kupffer, sebelum stimulasi hormon tri-iodotironina, [31] sedangkan laju proliferasi hepatosit
dikendalikan oleh kadar etanolamina sebagai faktor hepatotrofik humoral.[32]
Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi telah diketahui semenjak zaman Yunani kuno dari cerita
mitos tentang seorang titan yang bernama Prometheus.[33] Kemampuan ini dapat sirna, hingga
hepatosit tidak dapat masuk ke dalam siklus sel, walaupun kehilangan sebagian massanya, apabila
terjadi fibrosis hati. Lintasan fibrosis yang tidak segera mendapat perawatan, lambat laun akan
berkembang menjadi sirosis hati[34] dan mengharuskan penderitanya untuk menjalani transplantasi
hati atau hepatektomi demi kelangsungan hidupnya.
Regenerasi hati setelah hepatektomi parsial merupakan proses yang sangat rumit di bawah pengaruh
perubahan hemodinamika, modulasi sitokina, hormon faktor pertumbuhan dan aktivasi faktor
transkripsi, yang mengarah pada proses mitosis. Hormon PRL yang disekresi oleh kelenjar hipofisis
menginduksi respon hepatotrofik sebagai mitogen yang berperan dalam proses proliferasi dan
diferensiasi.[35] PRL memberi pengaruh kepada peningkatan aktivitas faktor transkripsi yang
berperan dalam proliferasi sel, seperti AP-1, c-Jun dan STAT-3; dan diferensiasi dan terpeliharanya
metabolisme, seperti C/EBP-alfa, HNF-1, HNF-4 dan HNF-3. c-Jun merupakan salah satu protein
penyusun AP-1.[36] Induksi NF-B pada fase ini diperlukan untuk mencegah apoptosis dan memicu
derap siklus sel yang wajar.[37] Pada masa ini, peran retinil asetat menjadi sangat vital, karena
fungsinya yang menambah massa DNA dan protein yang dikandungnya.[38]

4.Penyakit Pada Hati


Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di dalam tubuh.
Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-dimensional, hati menjadi sangat rentan
terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai penyakit tersebut dengan
meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati,[39]
dengan simtoma paraklinis berupa peningkatan rasio plasma laminin, sebuah glikoprotein yang
disekresi sel Ito, asam hialuronat dan sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe III,[40] dan CEA.[41]
Fibrosis hati dapat disebabkan oleh rendahnya rasio plasma HGF,[42][43] atau karena infeksi viral,
seperti hepatitis B, patogen yang disebabkan oleh infeksi akut sejenis virus DNA yang memiliki fokus
infeksi berupa templat transkripsi yang disebut cccDNA yang termetilasi,[44] atau hepatitis C,
patogen serupa hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus infeksi berupa
metilasi DNA, terutama melalui mekanisme ekspresi genetik berkas GADD45B, sehingga
mengakibatkan siklus sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.[45][46]
Fibrosis hati memerlukan penangan sedini mungkin, seperti pada model tikus, stimulasi proliferasi
hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis B, [47] sebelum berkembang menjadi sirosis
hati atau karsinoma hepatoselular. Setelah terjadi kanker hati, senyawa siklosporina yang memiliki
potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan mempercepat perkembangan sel kanker,[48]
oleh karena sel kanker mengalami hiperplasia hepatik, yaitu proliferasi yang tidak disertai aktivasi

faktor transkripsi genetik. Hal ini dapat diinduksi dengan stimulasi timbal nitrat (LN, 100
mikromol/kg), siproteron asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin (NAF, 200 mg/kg).[49]
Hepatitis juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria di dalam hepatosit, yang disebut
steatohepatitis. Disfungsi mitokondria akan berdampak pada homeostasis senyawa lipid dan
peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang menginduksi TNF-.[50] Hal ini akan berlanjut pada
pengendapan lemak, stres oksidatif dan peroksidasi lipid,[51] serta membuat mitokondria menjadi
rentan terhadap kematian oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria, atau
oleh apoptosis melalui pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitas membran mitokondria
dengan mekanisme Fas/TNF-. Permintaan energi yang tinggi pada kondisi ini menyebabkan
mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicu sirosis hati,[51] sedangkan
peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan membran mitokondria sisi
dalam yang disebut sardiolipin, dengan peningkatan laju oksidasi-beta asam lemak, akan terjadi
akumulasi elektron pada respiratory chain kompleks I dan III yang menurunkan kadar antioksidan.[50]
Sel hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi fibrinogen dengan reaksi fibrogenesis
setelah diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang tinggi. Apoptosis kronis
kemudian dikompensasi dengan peningkatan laju proliferasi hepatosit, disertai DNA yang rusak oleh
disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan kanker.
Pada model tikus, melatonin merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis hati,[52] sedang pada model
kelinci, kurkumin merupakan senyawa organik yang menurunkan paraklinis steatohepatitis,[53] sedang
hormon serotonin[54] dan kurangnya asupan metionina dan kolina[55] memberikan efek sebaliknya
dengan resistansi adiponektin.[56]
Disfungsi mitokondria juga ditemukan pada seluruh patogenesis hati, dari kasus radang hingga kanker
dan transplantasi.[57] Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama dengan GSH bersinergis
sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil serina hingga mencegah terjadinya
sirosis hati.[58]

5.Pengaruh Alkohol
Alkohol dikenal memiliki fungsi immunosupresif terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk meredam
ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam pertahanan hati terhadap infeksi
viral, terutama HCV.[59] Alkohol juga meredam rasio kemokina IFN pada lintasan transduksi sinyal
selular, selain meningkatkan resiko terjadinya fibrosis. [60]
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi terhadap alkohol untuk menginduksi stres
oksidatif.[61] Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh etanol adalah induksi enzim
sitokrom P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion superoksida
dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat toksik termasuk etanol menjadi produk yang
lebih reaktif dan toksik. Sel dendritik tampaknya merupakan sel yang paling terpengaruh oleh
kandungan etanol di dalam alkohol. Pada percobaan menggunakan model tikus, etanol meningkatkan
rasio plasma IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, AST, ALT, ADH, -GT, TG, MDA dan meredam rasio IL-10,
GSH,[62] faktor transkripsi NF-B dan AP-1.[63]

6.Pengaruh Alkaloid
Kopi, salah satu kompleks senyawa alkaloid dari golongan purina xantina dengan asam klorogenat dan
lignan,[64] pada studi epidemiologis, disimpulkan sebagai salah satu faktor penurun risiko terjadinya
diabetes mellitus tipe 2,[65][66] penyakit Parkinson, sirosis hati dan karsinoma hepatoselular,[67] dan
perbaikan toleransi glukosa.[64] Konsumsi kopi secara kronis terbukti tidak menyebabkan tekanan
darah tinggi namun secara akut mengakibatkan peningkatan tekanan darah sementara dalam selang
waktu singkat,[68] dan plasma homosisteina[67] sehingga dapat menjadi ancaman bagi penderita
gangguan kardiovaskular.[65]
Konsumsi kopi secara teratur dapat menurunkan rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada
lintasan metabolisme hati,[69] yang sering disebabkan oleh[70] infeksi viral, induksi obat-obatan,
keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol, diabetes, obesitas), penyakit otoimun,[71] dan
resistansi insulin, sindrom metabolisme,[72] dan kelebihan zat besi.[73] Selain ALT, kopi juga
menurunkan enzim hati yang lain, yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase.[74] dan memberikan efek
antioksidan dan detoksifikasi fase II oleh karena senyawa diterpena, kafestol dan kahweol,[75]
sehingga mencegah terjadinya proses karsinogenesis.[76][77] Proses tersebut disertai dengan gammaGT sebagai indikator utama.[78]

7.Pengaruh Kegemukan, Trigeliserida Tinggi Dan Diabetes


Kegemukan, trigliserida tinggi (hipertrigliseridemia) dan diabetes dapat menyebabkan pelemakan hati
dan kalau dibiarkan akan menjadi sirosis hati. 10-15 orang dari 100 orang dengan pelemakan hati
dapat menderita sirosis, sedangkan 30 orang dari 100 orang dengan peradangan hati kronis akibat
virus (biasanya Hepatitis B) dapat menderita sirosis. Pelemakan hati dapat diperiksa di laboratorium
klinik menggunakan tes bio kimia atau secara visual menggunakan USG. [79]
8.

Transplantasi Hati

Teknologi transplantasi hati merupakan hasil yang dikembangkan dari penelitian pada beberapa
bidang studi kedokteran. Pada tahun 1953, Billingham, Brent, dan Medawar menemukan bahwa
toleransi kimerisme[80] dapat diinduksi oleh infus sel hematolimfopoietik donor pada model tikus.[81]
Pada tahun 1958 studi canine mengembangkan suatu teori mengenai molekul hepatotrofik pada portal
pembuluh balik pada hati dan menemukan hormon insulin sebagai faktor hepatotrofik utama dari
beberapa faktor lain yang ada.[82] Pada saat yang hampir bersamaan teori mengenai transplantasi
multiviseral dan hati juga berkembang dari studi imunosupresi yang mempelajari algoritma empiris
dari pengenalan pola dan respon terapis. Pada awal 1960, dibuktikan bahwa canine dan allograft
manusia memiliki toleransi kimersime yang dapat terinduksi otomatis dengan bantuan imunosupresi,
hingga pada akhir 1962 disimpulkan dengan keliru, bahwa transplantasi melibatkan dua sistem
kekebalan yang berbeda. Konsekuensi kesimpulan tersebut menjadi dogma bahwa tolerogenisitas hati,
pada dasarnya, berbeda, tidak hanya dengan sumsum tulang belakang, tetapi dengan seluruh organ
tubuh yang lain.[81] Kekeliruan ini tidak terkoreksi dengan baik hingga tahun 1990. [80]

Transplantasi hati yang pertama dilakukan di Denver pada tahun 1963,[83] keberhasilan pertama
tercatat pada tahun 1967 dengan azatioprina, prednison dan globulin anti-limfoid, oleh Thomas E.
Starzl dari Amerika Serikat, disusul oleh keberhasilan transplantasi sumsum tulang belakang manusia
pada tahun 1968.[80] Rentang waktu antara 1967 hingga 1979 mencatat 84 kali transplantasi hati pada
anak dengan 30% daya tahan hidup hingga 2 tahun.[83]
Perkembangan studi imunosupresi kemudian memberikan perbaikan dan harapan hidup lebih panjang
bagi pasien, antara lain dengan pergantian azatioprina dengan siklosporina pada tahun 1979, lalu
tergantikan dengan takrolimus pada tahun 1989.[82]
Pada tahun 1992, dikembangkan teori mikrokimerisme leukosit donor[84] dengan cakupan donor dari
silsilah berlainan, yang memberikan harapan hidup yang sangat panjang bagi penerima donor organ,
setelah diketahui hubungan antara aspek imunologis dari transplantasi, infeksi, toleransi oleh sumsum
tulang belakang, neoplasma dan kelainan otoimun, yang disebut sebagai mekanisme seminal. Respon
kekebalan dan toleransi kekebalan antara organ donor dan tubuh ditemukan merupakan fungsi dari
migrasi dan lokalisasi leukosit.[81] Salah satu temuan adalah aktivasi sistem kekebalan turunan oleh sel
NK dan interferon- segera setelah transplantasi selesai dilakukan. [85] Pada model tikus, sel hepatosit
donor ditemukan bersifat sangat antigenik sehingga memicu respon penolakan, yang dapat dilakukan
secara mandiri atau bersama-sama antara sel T CD4 dan sel T CD8.[86]
Untuk itu diperlukan terapi imunosupresif yang intensif sebelum transplantasi dilakukan, yang
disebut preparative regimen atau conditioning untuk mencegah penolakan organ donor oleh sistem
kekebalan inang.[87] Terapi imunosupresif tersebut ditujukan untuk menekan sel T dan sel NK inang
guna memberikan ruang di dalam sumsum tulang belakang untuk transplantasi sel punca hematopoietik
dari organ donor melalui terapi mielosupresif, untuk keseimbangan repopulasi sel donor dengan sel
hasil diferensiasi dari sel punca inang.
Dewasa ini, transplantasi hati dilakukan hanya pada saat hati telah memasuki jenjang akhir suatu
penyakit, atau telah terjadi disfungsi akut yang disebut fulminant hepatic failure. Kasus
transplantasi hati pada manusia umumnya disebabkan oleh sirosis hati akibat dari hepatitis C kronis,
ketergantungan alkohol, hepatitis otoimun dll.
Teknik umum yang digunakan adalah transplantasi ortotopik, yaitu penempatan organ donor pada
posisi anatomik yang sama dengan posisi awal organ sebelumnya. Transplantasi hati berpotensi dapat
diterapkan, hanya jika penerima organ donor tidak memiliki kondisi lain yang memberatkan, seperti
kanker metastatis di luar organ hati, ketergantungan pada obat-obatan atau alkohol. Beberapa ahli
berpedoman pada kriteria Milan untuk seleksi pasien transplantasi hati.
Organ donor, disebut allograft, biasanya berasal dari manusia lain yang baru saja meninggal dunia
akibat cedera otak traumatik (kadaverik). Teknik transplantasi lain menggunakan organ manusia yang
masih hidup, operasi hepatektomi mengangkat 20% hati pada segmen Coinaud 2 dan 3 dari orang
dewasa untuk didonorkan kepada seorang anak, pada tahun 1989.

Anda mungkin juga menyukai