Anda di halaman 1dari 19

BAB I

ILUSTRASI KASUS
Identitas
Nama

: Ny. L

Usia

: 26 tahun

Alamat

: Pulo Gadung RT 01/05 Jakarta Timur

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Tanggal masuk: 18 April 2007. Pukul 21.10


No. RM

: 311 43 09

Anamnesis
Didapatkan dari hasil anamnesis dengan pasien dan dari rekam medik.
Keluhan utama
Merasa mules-mules sejak 1 hari SMRS. (Dirujuk bidan puskesmas dengan keterangan
G2P1A0 dengan gawat janin DJJ 66 dpm)
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT 17 Juli 2006. TP 24 April 2007. ANC dilakukan teratur
di bidan Puskesmas. Belum pernah dilakukan USG sebelumnya. Selama hamil tidak pernah
mengalami keputihan, sakit ketika BAK, pusing-pusing, nyeri di ulu ati, dan pandangan
kabur. Mual-mual hanya diarasakan pasien pada awal kehamilan.
Pasien merasa mulas-mulas sejak 1 hari SMRS. Saat itu belum ada keluar air-air dan keluar
darah dari kemaluan. Pasien datang pukul 01.00 satu hari SMRS. Di bidan tidak diberikan
perangsang dan tidak ada tindakan manipulasi. Pasien dikirim ke RSCM dengan
menggunakan ambulans dalam waktu setengah jam, pembukaan saat itu 6 cm, dan gawat
janin.
1

Riwayat penyakit dahulu


Darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, asma, dan sakit kuning disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, asma, dan sakit kuning disangkal.
Riwayat menstruasi, pernikahan, KB, dan Obstetri
-

Pasien mendapat mens pertama saat usia 1 tahun, siklus teratur 30 hari, lama 6 hari, 3-

4 pembalut per hari, tidak ada nyeri haid.


Pasien menikah usia 20 tahun dan ini merupakan pernikahan pertama.
Pasien belum pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun
G2P1A0
I. , usia 5 tahun, BL (?), lahir spontan, ditolong bidan
II. ini

Pemeriksaan fisik (saat masuk 18 April 2007)


KU: TSR, CM.
TD: 100/60 mmHg, FN: 120x/menit, FP: 20x/menit, S: 36,70C
Status generalis
Mata

: konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-.

Jantung

: BJ I & II normal, bising (-), derap (-).

Paru

: vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.

Abdomen

: lemas, BU (+) normal

Ekstremitas

: akral hangat, pp cukup, edema -/-.

Status obstetrikus (saat pasien datang, bayi sudah lahir seluruhnya).


I

: tampak janin diluar vagina tidak menangis (bayi sudah lahir seluruhnya dengan tali
pusat (+) belum dipotong)

Pasien segera dibawa ke kamar bersalin untuk penanganan lebih lanjut.


2

Pemeriksaan penunjang.
Laboratorium
18-04-07
Hb

: 10,5 g/dL

Ht

: 31 %

Leukosit

: 18.400/uL

Trombosit

: 109.000/uL

19-04-07
Hb

: 6,8 g/dL

Leukosit

: 14.500/uL

Trombosit

: 60.000/uL

PT

: 22,7

APTT

: 48,2

Konsul anestesi
ASA II
Daftar masalah
P2 partus spontan di luar.
Rencana diagnosis
-

Cek DPL, UL, GDS

Observasi TNP/5 menit, S/jam

Obaservasi kontraksi dan perdarahan pervaginam/15 menit.

Rencana terapi
-

Resusitasi janin
3

Manajemen aktif kala III

Rencana edukasi
Menjelaskan masalah dan rencana tatalaksana kepada pasien dan keluarga.
Follow up
18-04-07
Pukul 21.10
Masalah diterima. P2 partus spontan di luar. Kemudian tali pusat dipotong. Bayi laki-laki,
berat lahir 3040 gram, AS 2/4/7. Dilakukan resusitasi oleh anestesi.
Setelah bayi lahir, ibu disuntik dengan oksitosin 10 IU im. Dilakukan peregangan tali pusat
terkendali. Lahir plasenta lengkap (pukul 21.20).
Melakukan masase fundus simultan dengan pemberian oksitosin 20 IU drip dan metergin
0,2mg im. Kontraksi uterus baik. Perdarahan pervaginam (+). Dilakukan eksplorasi terdapat
robekan fornix posterior 8 cm berdarah aktif dilakukan hemostasis.
Pukul 21.35
Kontraksi uterus atoni, perdarahan aktif (+). Pasien syok, TD 60/40, N 120x/menit, dilakukan
kompresi bimanual 15 menit, simultan dengan pemberian resusitasi cairan 2000 cc RL
dengan 3 iv line dan pemberian misoprostol.
Pukul 21.45
Kontraksi masih atoni, perdarahan aktif (+). Direncanakan untuk ligasi arteri hipogastrika.
Pukul 21.45-21.55
Persiapan operasi sambil dilakukan kompresi bimanual

Pukul 22.00-23.50
Berlangsung histerektomi subtotal. Pasien dalam anestesi umum. Mengingat kondisi TD
90/40, N 120x/menit, diputuskan untuk dilakukan histerektomi subtotal.
4

Laporan operasi
-

Pasien terlentang diatas meja operasi dalam anestesi umum

Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya.

Insisi mediana.

Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravida pucat dan atoni.

A. uterina dan a. ovarica dijepit . Dilakukan kompresi bimanual interna selama 15


menit. TD 90/60, FN 120x/menit. Mengingat pasien tak stabil diputuskan untuk
dilakukan HT subtotal.

Ligamentum rotundum kanan dan kiri dijepit, dipotong dan diikat 1 lembar
ligamentum latum, ligamentum ovarii proprium kanan dan kiri dijepi, dipotong dan
diikat. Vasa uterina dipotong dan diikat.

Uterus dipancung setinggi SBU. Tunggul vagina dijahit jelujur dengan vicryl no 1.
Saat pemeriksaan selanjutnya terdapat perdarahan aktif dari robekan rektouterina
diameter 2 cm dilakukan hemostasis.

Pada luka tusuk terdapat perdarahan, kesan DIC, dipasang drain intraabdomen.

Diyakini tidak ada perdarahan, rongga abdomen dicuci dengan aqua 500cc. Tidak ada
oozing.

Diyakini tidak ada perdarahan, dinding abdomen ditutup lapis demi lapis, fascia
dengan vicryl no 1 jelujur, kulit dijahit subkutikular dengan vicryl 3.0.

Perdarahan selama operasi kira-kira 300 cc, urin 100 cc.

Keadaan pos op
KU baik, CM, muntah (-), reflex (+), sianosis (-), sesak (-), TD 110/70 mmHg, N
90x/menit, P 22x/menit, S 36,70C.
Instruksi post op
1. Obs. TNSP, perdarahan, kontraksi per setengah jam selama 2 jam, selanjutnya tiap jam.
2. Periksa DPL post op, transfusi bila Hb <7g/dL.
5

3. Realimentasi dini
5. Medikamentosa : -viaclaf 1,3 iv post op.
-ketoprofen supp 3x200mg
Tanggal 19-04-07
S

: nyeri luka op (+).

: TD 120/70mmHg, N 90, P 18x/menit, S afebris.


Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Jantung

: BJ I & II normal, bising (-), derap (-).

Paru

: vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

: lemas, datar, BU(+) normal, luka mediana tertutup kassa,terpasang

drain.
Ekstremitas : akral hangat, pp cukup, edema -/-.
St.obstetrikus.
I

: v/u tenang, perdarahan pervaginam (-), darah di kateter (-), FC urin jernih

: post histerektomi subtotal ai HPP ec atonia uteri

: Dx

: obs. TNP/jam, S/4 jam.


Obs. Tanda akut abdomen dan perdarahan pervaginam.

Terapi : antibiotik

ceftriaxone 1x2 g
Metronidazole 3x500 mg

Cairan 3000 cc/24 jam balans seimbang


Diet lunak 1700 kkal
Profenid 3x1 supp
20-04-07
6

:-

: KU baik, CM
TD 100/70mmHg, N 70x/menit, P 20x/menit, S 35,10C.
Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Jantung

: BJ I & II normal, bising (-), derap (-).

Paru

: vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

: lemas, datar, BU(+) normal, luka mediana tertutup kassa,terpasang

drain.
Ekstremitas : akral hangat, pp cukup, edema -/-.
St.obstetrikus.
I

: v/u tenang, perdarahan pervaginam (-), darah di kateter (-), FC urin jernih

Luka operasi kering, tertutup kassa.


A

: post histerektomi subtotal ai HPP ec atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

: Dx/ observasi tanda vital, akut abdomen, dan perdarahan pervaginam


Th/

cairan 2500cc/24 jam balans seimbang


Diet TKTP
AB:

ceftriaxone 1x2 g
Metronidazole 3x500 mg

Profenid supp. 1
Asam mefenamat 3x500 mg
Aff drain
mobilisasi
Rawat ruangan
7

21-04-07
S

: nyeri berkurang, menyusui (+).

: KU baik, CM
TD 110/70mmHg, N 88x/menit, P 18x/menit, S afebris.
St.obstetrikus.
Luka operasi tertutup kassa kering (mediana)
ASI +/+
I

: v/u tenang

: post histerektomi subtotal ai HPP ec atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

: Dx/ observasi tanda vital, akut abdomen, dan perdarahan pervaginam


Th/

motivasi ASI eksklusif


Higiene luka operasi
Coamoxiclav 3x625 mg
Asam mefenamat 3x500 mg

22-04-07
S

: keluhan (-), menyusui (+).

: status generalis: dbn


status obstetrikus
ASI +/+
luka operasi baik, pus (-), serum (-).
I

: v/u tenang

: H3 post histerektomi subtotal ai HPP ec atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

: GV hari ini, jika baik boleh pulang


8

23-04-07
S

: keluhan (-). BAK spontan.

: status generalis: dbn


status obstetrikus
ASI +/+
luka operasi tenang.
I

: v/u tenang

: H4 post histerektomi subtotal ai HPP ec atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

: boleh pulang

24-04-07
S

: keluhan (-).

: status generalis: dbn


status obstetrikus
ASI +/+
luka operasi tenang.
I

: v/u tenang

: H5 post histerektomi subtotal ai HPP ec atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

: boleh pulang

Prognosis
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad sanactionam : bonam


Quo ad functionam

: dubia ad malam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Persalinan kala III secara normal identik dengan perdarahan uterus. Kehilangan darah yang
eksesif terjadi pada 2-10% proses persalinan, namun perdarahan yang berat dapat terjadi pada
10

sekitar 1% dari seluruh kehamilan. Hemoragi postpartum (HPP) menurut definisi adalah
perdarahan yang timbul setelah persalinan sebanyak lebih dari 500 mL. Penelitian
menunjukkan bahwa pada persalinan normal dapat terjadi kehilangan darah sebanyak 500 mL
hingga 1 L darah. Sedangakan pada operasi caesar darah yang hilang dapat mencapai sekitar
1 L. Hemoragi postpartum dikategorikan menjadi HPP akut/primer dan HPP lambat/sekunder.
HPP primer adalah HPP yang terjadi dalam 24 jam pertama. Sedangkan HPP sekunder adalah
perdarahan yang terjadi antara hari pertama hingga hari ke enam. HPP sekunder lebih sulit
untuk ditegakkan karena belum ada jumlah normal perdarahan hingga hari ke 6
pascapersalinan. Namun dapat diasumsikan bahwa perdarahan yang lebih banyak dari
sekedar bercak darah khas lokia setelah minggu persalinan dianggap tidak normal.
Etiologi dan faktor resiko
Faktor resiko untuk terjadinya HPP dapat berasal dari proses persalinan itu sendiri maupun
faktor maternal. Faktor obstetri antara lain sectio caesaria, persalinan dengan menggunakan
instrumen, korioamnionitis, persalinan disfungsional, pemberian oksitosin, luka jalan lahir,
kala III yang lama, plasenta previa, plasenta akreta, kehamilan multipel, leiomyoma uteri,
hydramnion, penggunaan obat tokolitik, anestesi inhalasi, plasenta letak rendah, anomali
plasenta, inversio uteri. Sedangkan faktor maternal antara lain kelainan koagulasi bawaan,
riwayat HPP sebelumnya, malformasi uterus, grande multipara, distrofi myotonik,
dermatomyositis, penggunaan antikoagulan/antiplatelet, kandung kemih yang teregang,
malformasi arteriovena di uterus, koagulopati yang didapat. Usia ibu yang cukup lanjut,
paritas, dan adanya resiko perdarahan masa nifas pada kelahiran sebelumnya merupakan
faktor resiko. Jika terdapat komplikasi pada kala III persalinan sebelumnya maka terdapat
paling tidak 20% muncul pada persalinan selanjutnya. Kondisi-kondisi yang menimbulkan
overdistensi uterus (polihidramnion, kehamilan multipel, makrosomia fetus), yang
mempengaruhi kontraktilitas uterus (korioamnionitis, obat tokolitik, leiomyomata, dan
inversio uteri) juga merupakan faktor predisposisi. Abnormalitas koagulasi bawaan dan
didapat meningkatkan kemungkinan perdarahan pascapersalinan yang eksesif. Faktor resiko
lain berupa persalinan lama, induksi persalinan, dan penyakit-penyakit yang berpotensi untuk
menurunkan kontraktilitas otot polos.
Persalinan dengan forseps dan sectio caesaria dapat menyebabkan kehilangan darah melalui
tindakan yang disengaja (episiotomi besar, insisi uterus), maupun yang trauma jalan lahir
yang tidak dapat diantisipasi. Intervensi operatif selama kala II yang sangat lama
11

meningkatkan resiko HPP. Adanya faktor predisposisi hemoragi antepartum (HAP) seperti
palsenta previa dan abrupsio plasenta juga dihubungkan dengan HPP.
Ketika diketahui adanya faktor-faktor resiko tersebut, maka harus diambil persiapan dalam
mengantisipasi kehilangan darah yang banyak dan cepat pascapersalinan. Penting untuk
merencanakan persalinan di institusi dengan sumber daya dan personel yang dapat
menangani perdarahan serius dan terbiasa untuk menggunakan obat-obatan guna mencegah
perdarahan secara aktif.

Persiapan ini dapat memperkecil resiko HPP dan membuat

penanganan HPP yang muncul menjadi efektif. Sayangnya perdarahan tidak selalu dapat
diramalkan dan dihindari. Paling tidak dua pertiga kasus HPP terjadi tanpa adanya faktor
predisposisi.
HPP primer
Sumber yang paling sering adalah trauma saluran genital, atonia uteri, dan retensio plasenta.
Yang lebih jarang ditemui adalah abnormalitas koagulasi yang menjadi sebab ataupun
kontributor perdarahan. Setiap selesai proses persalinan harus dilakukan inspeksi yang
menyeluruh dan sistematik pada serviks, vagina, labia, dan perineum meskipun tidak ada
perdarahan yang banyak. Banyak permasalahan yang dapat dihindari dengan melakukan
deteksi dan perbaikan bagian bawah genital sebelum pasien meninggalkan kamar bersalin.
Trauma serviks dan vagina paling sering ditemui setelah persalinan disfungsional atau partus
pervaginam operatif, namun dapat juga muncul pada berbagai keadaan lain.
Ruptur uteri jarang ditemui namun menyebabkan perdarahan yang serius. Walaupun pasien
dengan ruptur menunjukkan gejala perdarahan dan nyeri perut yang jelas, parut uterus dapat
terbuka dengan gejala awal perdarahan yang minimal. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi
uterus pada pasien dengan resiko ruptur uteri jika memungkinkan, tidak adanya gejala tidak
menyingkirkan diagnosis ruptur karena diskontinuitas kecil pada dinding uterus tidak selalu
dapat dideteksi.
Retensio plasenta
Retensio plasenta ada beberapa bentuk, mulai retensi seluruh plasenta yang masih menempel
ataupun yang telah terpisah hingga fragmen kotiledon atau membran yang tertinggal setelah
ekspulsi plasenta. Plasenta biasanya keluar spontan dalam 15 menit setelah kelahiran, hanya
2-3% plasenta yang tetap tertahan setelah 30 menit. Jika lebih dari 30 menit belum keluar
hendaknya dilakukan intervensi.
12

Ketika plasenta tidak bisa dilahirkan, biasanya plasenta sudah terlepas namun tertahan oleh
kontraksi segmen bawah uterus. Kadang kala plasenta sudah terlepas dari dinding uterus,
namun membran desidua sekitarnya yang menahan. Adanya kemungkinan plasenta akreta
harus selalu dipertimbangkan.
Penanganan retensio plasenta dapat dengan menggunakan oksitosin jika keterlambatan
lepasnya plasenta dikarenakan kontraksi yang tidak adekuat. Teknik ini didasarkan fakta
bahwa pada kala III normal terdapat pelepasan oksitosin endogen. Namun pemberian obat
uterotonik dapat membuat eksplorasi uterus manual menjadi sulit.
Ekstraksi plasenta manual harus dilakukan secara hati-hati agar jaringan plasenta terambil
seluruhnya, meminimalkan ketidaknyamanan pasien, dan menghindari trauma jalan lahir.
Seringkali cukup hanya digunakan analgesi/anestesi minimal, namun kadang diperlukan
diperlukan relaksan uterus atau beta mimetik agar relaksasi myometrium cukup sehingga
tangan pemeriksa dapat masuk. Uterus yang dalam keadaan relaksasi dapat mudah ruptur.
Perlu dipersiapkan darah untuk transfusi jika ditemukan adanya plasenta akreta.
Tindakan lain untuk melepaskan plasenta adalah dengan injeksi oksitosin ke dalam vena
umbilikalis. Hal ini dapat memacu pelepasan plasenta pada kala III normal maupun yang
memanjang. Dosis yang dibutuhkan antara 20-100 U. Namun efikasi dan resiko teknik ini
belum sepenuhnya diyakini.

Atonia uteri
Perdarahan hebat dapat muncul karena gangguan mekanisme normal kontraksi uterus
pascapersalinan. Atonia uteri menjadi penyebab terbesar HPP dan sekitar 40% histerektomi
karena perdarahan obstetri. Faktor predisposisinya adalah overdistensi uterus, persalinan
disfungsional, penggunaan oksitosin, leiomyomata, dan infeksi uterus. Jika ditemukan tanda
adanya atonia uteri atau riwayat masalah kala III kehamilan sebelumnya, maka harus segera
diberikan oksitosin setelah plasenta lahir dan dilakukan pijatan lembut pada uterus.
Segera diberikan infus oksitosin dengan kecepatan minimal 50 mU/menit, dikombinasi
dengan stimulasi uterus manual, karena pijatan uterus kadang memacu kontraksi. Sebagai
tambahan, dilakukan kompresi uterus untuk memperlambat perdarahan sambil menunggu
13

efek terapi obat. Jika abdomen terbuka dengan sectio caesaria maka kompresi dilakukan
dengan menempatkan salah satu tangan di kavum Douglas dan jari menggenggam segmen
bawah uterus dan ligamentum yang lebar agar terjadi kontraksi arteri uterina, sedangkan
tangan satu lagi menekan fundus.

Jika abdomen tertutup, uterus harus dalam keadaan

antefleksi dan tertekan dengan cara salah satu tangan pemeriksa dalam vagina dan yang lain
menekan dinding abdomen.
Jika tidak ada respon dengan pijatan uterus dan pemberian oksitosin, maka dilakukan
reevaluasi jalan lahir untuk menyingkirkan laserasi sebagai penyebab perdarahan. Kuretase
kadang kala dapat menimbulkan kontraksi uterus walaupun tanpa adanya jaringan plasenta
yang tertinggal. Kadang diperlukan anestesi untuk melakukan eksplorasi uterus dan kuretase,
sehingga diperlukan komunikasi dengan ahli anestesi untuk menghindari agen uterus
relaksan.
Pemberian derivat ergot, seperti ergonovine atau ergometrine, dapat dipertimbangkan jika
oksitosin dan kompresi uterus tidak efektif. Pemberian dapat melalui intramuskular tanpa
menyebabkan kenaikan tensi seperti pada melalui intravena. Namun pemberian intramuskular
absorbsinya tidak dapat diprediksi terutama ketika prefusi perifer menurun pada pasien
hipotensi. Derivat ergot tidak diberikan pada pasien hipertensi dan hemodinamik tidak stabil.
Jika perdarahan terus berlangsung setelah pijatan uterus, kuretase, dan infus oksitosin dan
uterus masih atonik, maka diberikan terapi farmakologik lebih lanjut. Pemberian analog 15metil prostaglandin F2 (carboprost tromethamine) melalui intramuskular dan intramyometrial
dapat menghentikan 60-85% atonia uteri yang tidak responsif terhadap pemberian terapi
standar. Sebagian besar memberi respon dengan pemberian satu atau dua dosis 250 g
intramuskuler. Injeksi ulang diberikan 15-90 menit kemudian tergantung kebutuhan.
Pemberian intramyometrial dosis kedua dilakukan pada menit ke 5 tanpa adanya efek
samping. Kadar plasma puncak tercapai pada 15-60 menit, dan saat itu baru nampak efek
obat. Efek samping obat berupa gejala gastrointestinal sebanyak 15-25%, pyrexia 5%. Jarang
menimbulkan hipertensi. Obat ini dikontra indikasikan pada wanita dengan penyakit
kardiovaskular dan pulmoner, karena potensi hipertensi dan efek bronkokonstriksi. Sebaiknya
pasien yang mendapat carboprost dimonitor secara hati-hati.
Jika pijatan, kuretase, dan obat uterotonik tidak memberi hasil, maka dapat dipertimbangkan
terapi bedah atau angiografik. Terapi penyuntikan vasopresin (15 IU dalam 19 mL normal
saline) pada tempat menempelnya plasenta dapat mengontrol perdarahan uterus pada
14

beberapa pasien. Penekanan uterus manual dapat dilakukan dengan menekan aorta.
Penekanan aorta dilakukan dengan memberi tekanan menggunakan kepalan tangan diatas
tempat lewatnya aorta. Manuver ini dikatakan berhasil jika terjadi penurunan pulsasi arteri
femoral, hal ini dapat berguna sambil mempersiapkan terapi definitif.
Penyebab-penyebab lain
Perdarahan masif dapat terjadi tanpa adanya atoni uterus dan trauma genital ataupun tanda
kelainan koagulasi. Tipe perdarahan ini berasal dari segmen bawah uterus (SBU) yang
menjadi tempat implantasi plasenta. Perdarahan terjadi meskipun bagian fundus berkontraksi
dengan baik, hal ini terjadi karena SBU lebih tipis dan lebih sedikit kontraksi untuk
hemostasis. Perdarahan dari kanalis servikalis, korpus, atau fundus uteri yang berkontraksi
sulit ditentukan penyebabnya. Ligasi dengan benang di daerah yang berdarah kadang efektif,
namun terapi seringkali harus mengurangi aliran darah uterus secara keseluruhan.
HPP dapat pula berasal dari komplikasi sectio caesaria. Insisi uterus yang berlebihan
mengenai vaskuler ligamentum dan bagian lain dari uterus dapat menimbulkan perdarahan.
Kadang sectio caesar menyertai faktor-faktor predisposisi HPP lain seperti plasenta previa,
abruptio plasenta, ataupun persalinan lama.

HPP sekunder
Perdarahan masif yang terjadi setelah hari pertama masa nifas disebabkan oleh hal yang sama
dengan HPP primer. Perdarahan yang terlambat sering terjadi dalam waktu hingga 2 minggu
dengan puncak insiden pada 7 hari. Hal ini lebih sering ditemui pada primipara dan seringkali
ditemukan adanya retensi fragmen plasenta. Trofoblas persisten ini menyebabkan subinvolusi
dari situs plasenta dan menyebabkan hilangnya atau rekanalisasi trombi yang terbentuk
setelah persalinan. Prinsip penanganan jenis perdarahan ini sama seperti HPP primer. Namun
kuretase uterus harus menjadi terapi yang utama.

15

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pasien Ny. L, usia 26 tahun, datang ke RSCM dirujuk dari puskesmas dengan keterangan
G2P1A0 dengan gawat janin DJJ 66 dpm. Pada saat pasien datang, bayi telah berada diluar
vagina dengan tali pusat yang belum dipotong. Bidan yang ikut mengantarkan pasien tidak
tahu mengenai kelahiran ini. Bayi tidak menangis, namun denyut jantung masih teraba.
Segera dilakukan resusitasi bayi. Setelah resusitasi, kondisi bayi membaik dan stabil.
Kemudian dilakukan manajemen aktif kala III, tali pusat direganggkan secara terkendali dan
diberikan suntikan oksitosin 10 U intra muskuler. Plasenta dilahirkan dalam waktu 10 menit,
dan setelah diperiksa tidak ada bagian yang tertinggal. Hal ini menyingkirkan kemungkinan
retensio plasenta sebagai penyebab HPP primer pada pasien ini. Dilakukan pemberian infus
16

oksitosin 20 IU dan masase fundus uteri untuk merangsang kontraksi. Dengan langkah ini
didapatkan uterus berkontraksi baik namun perdarahan tetap ada. Kemungkinan perdarahan
berasal dari adanya trauma jalan lahir. Kemudian dilakukan eksplorasi dan ditemukan adanya
robekan di forniks posterior sepanjang 8 cm. Setelah dilakukan jahitan hemostasis, ternyata
masih ada perdarahan. Setelah dilakukan pemeriksaan kontraksi uterus, ditemukan uterus
yang atoni.
Faktor resiko untuk terjadinya HPP pada pasien ini antara lain riwayat persalinan lama pada
kehamilan sebelumnya yang menyebabkan persalinan harus dibantu dengan ekstraksi vakum.
Kemudian pada persalinan yang sekarang hal tersebut kembali terulang. Sehingga pasien
terpaksa dirujuk. Seharusnya perujuk sudah memperkirakan hal ini. Dalam literatur dikatakan
bahwa adanya masalah pada persalinan sebelumnya akan menjadi faktor resiko untuk
terulang di kehamilan berikutnya, sehingga sebaiknya dirujuk kepada pusat yang memiliki
sumber daya dan kemampuan dalam menggunakan farmakoterapi dan fasilitas untuk
mengatasi komplikasi.
Atonia uteri yang terjadi pada Ny. L ini kemungkinan terbesar disebabkan oleh karena
persalinan yang lama. Adanya pemberian obat uterotonik disangkal oleh bidan perujuk.
Penggunaan obat anestesi yang bersifat utero relaksan juga disangkal. Uterus yang atoni akan
teraba kenyal tidak keras, dan fundus uteri masih berada di atas umbilikus. Hal ini akan
menyebabkan pembuluh darah tetap terbuka, sehingga darah terus keluar. Pada kasus Ny. L,
darah yang keluar menyebabkan tekanan darah turun menjadi 60/40 mmHg, nadi cepat
120x/menit, pasien jatuh dalam keadaan syok. Syok pada pasien diatasi dengan resusitasi
cairan menggunakan kristaloid sebanyak 2000 mL.
Usaha untuk menghentikan perdarahan, dilakukan kompresi bimanual. Kompesi ini dapat
dilakukan dengan salah satu tangan melalui vagina menekan kavum Douglasi setinggi
segmen bawah uterus dan satu tangan menekan fundus. Selain teknik ini, dapat juga
dilakukan penekanan aorta abdominal dengan menggunakan kepalan tinju di atas tempat
lewatnya aorta
Misoprostol diberikan pada pasien ini dengan harapan akan terjadi vasokonstriksi arteri di
uterus. Kedua tindakan tidak memberi hasil, pasien masih dalam keadaan syok. Sehingga
dipertimbangkan untuk dilakukan ligasi arteri uterina untuk menghentikan perdarahan.

17

Selama persiapan operasi tetap dilakukan kompresi bimanual dan resusitasi cairan. Akhirnya
dilakukan subtotal histerektomi untuk menghentikan perdarahan, karena keadaan pasien
yang tidak stabil. Pascaoperasi tidak ditemukan adanya perdarahan pervaginam. Luka operasi
baik, tidak ditemukan tanda infeksi. Bayi Ny. L kondisi baik, mau menyusu pada ibunya.
Setelah 5 hari perawatan pasien diperbolehkan pulang.
Prognosis pada pasien ini secara umum baik. Untuk quo ad vitam bonam, karena dengan
histerektomi subtotal perdarahan berhenti. Sedangkan untuk ad sanactionam juga bonam,
karena sudah dilakukan koreksi sumber perdarahan. Untuk ad functionam malam karena
uterus sudah diangkat sehingga fungsi reproduksi menjadi hilang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen, WR. Postpartum Hemorrhage and Hemorragic Shock. Cherry and Merkatzs
Complications of Pregnancy 5th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia,
1999. pp 803-13.
2. Bennet, WA. Cowan BD. Uterus from birth to maturity. Seifer BD, Samuels P, Kniss
DA ed, The Physiologic Basis of Gynecologic and Obstetric. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia, 2001. pp 206-9.
3. Rizvi F, Mackey R, Barret T, McKenna P, Geary M. Succesfull reduction of massive
postpartum hemorrhage by use of guidelines and staff education. BJOG. May 2004,
Vol 111, pp. 495-8.
18

4. Martohoesodo S, Abdullah MN. Gangguan dalam Kala III Persalinan. Wiknjosastro

H editor, Ilmu Kebidanan edisi ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo. Jakarta, 2002, hal 653-63.

19

Anda mungkin juga menyukai