Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Status
MRS
MR
Perawatan

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Ny.I
Perempuan
47 tahun
Bumi Tamalanrea
Tidak bekerja
Sudah menikah
7 Februari 2016
744576
CVCU RSWS

B. ANAMNESIS
Keluhan utama
Anamnesis terpimpin

: Nyeri dada
:

Dialami sejak 2,5 jam sebelum masuk UGD Rumah Sakit Wahidin.
Nyeri dada sebelah kiri dirasakan seperti tertekan benda berat, durasi
kurang lebih 30 menit, nyeri dada dirasakan menembus sampai belakang,
disertai keringat dingin. Keluhan disertai rasa mual, muntah tidak ada.
Sesak napas ada, dirasakan muncul bersamaan dengan keluhan
nyeri dada dan terasa memberat saat beraktifitas. Pasien tidak dapat tidur
dengan 1 bantal dan pasien pernah terbangun pada malam hari karena
sesak.
Demam (-), riwayat demam (-), nyeri ulu hati (-), pusing (-), nyeri
kepala (-), Mual (+) , muntah (-), bengkak pada kaki (-), batuk (-), lendir
(-), pusing (-), nyeri kepala (-).
Buang air kecil lancar
Buang air besar biasa

Riwayat penyakit sebelumya:


Riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun dan tidak berobat teratur
Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada
Riwayat minum alkohol tidak ada
Riwayat merokok ada

Riwayat asma tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIS
Status generalis
Keadaan umum:
Sakit sedang/Gizi Cukup/Compos mentis (GCS 15 E4M6V5)
BB: 70 kg, Tb: 165 cm, IMT: 25,73 kg/m2
Tanda vital
Tekanan darah : 150/90 MmHg
Nadi
: 80 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36,50C
Pemeriksaan Kepala danLeher
Mata
: Anemis (-), ikterus (-)
Bibir
: Sianosis (-)
Leher
: JVP R+2 cm H2O, limfadenopati (-),
Pembesaran gondok (-)
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi
: Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris
kesan normal
Perkusi
:
Paru kiri
Paru kanan
Batas paru-hepar
Batas paru belakang kanan
Batas paru belakang kiri
Auskultasi

: Sonor
: Sonor
: ICS IV dekstra
: CV Th. VIII dekstra
: CV Th. IX sinistra
: Bunyi pernapasan: vesikuler,
Bunyi tambahan: ronki -/- basal paru,
wheezing -/-

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak
Palpasi
: Apeks jantung tidak teraba
Perkusi
: Batas jantung atas: ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas Batas jantung kanan: ICS IV Linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri: ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II reguler, murmur (-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi
: Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
Perkusi

teraba
: Timpani (+) Ascites (-)

Pemeriksaan Ekstremitas
Extremitas hangat
Edema pretibial -/Edema dorsum pedis -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

Interpretasi:
Ritme

: Sinus Ritmik
3

Heart Rate
Axis
PR Interval
QRS kompleks
ST Segmen
Gelombang T
Kesimpulan

: 100 bpm
: LAD
: 0,12 sec
: 0,08 sec
: ST Elevasi pada V1-V4
: T inverted pada V3-V4
: Sinus Ritmik, Heart Rate 100 bpm, infark

anteroseptal

Laboratorium
(07/02/2016)
Test

Result

WBC

7,8 x 103/uL

RBC

3,85 x 106/uL

HGB
HCT
PLT

13,4 g/dL
39 %
277 x 103/mm3

Na

143

3,8

Cl

107

GDS

173 mg/dl

Ureum

23 mg/dl

Creatinine

0,72 mg/dl

SGOT

22 U/L

SGPT

20 U/L

PT

10.4

APTT

20,3

INR

1,00

CK

154,00 U/L

CK-MB

12,3 U/L

Troponin I

0,01 ng/ml

Foto Thoraks : (07/02/2016)

Kesan :
Cardiomegaly disertai Dilatatio aortae

E. DIAGNOSIS
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) inferior onset <6 jam

F. TERAPI
Bed rest
5

Oksigen 4-6 LPM via nasal kanul


IVFD NaCl 0,9 % 500 cc/24 jam
Actilyse ;
15 mg bolus intravena
50 mg/ syringepump/ habis 30 menit
35 mg/syringepump/habis 60 menit
Aspilet 80 mg/24 jam/ oral
Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral
Captopril 12,5 mg/8jam/oral
Simvastatin 40mg/24jam/oral
Alprazolam 0,5mg/24jam/oral
Kateter Urin

DISKUSI
Infark Miokard Akut
1. Definisi
Berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marker jantung, Sindrom Koroner


Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
2.

elevation myocardial infarction)


Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST

segment elevation myocardial infarction)


3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan


indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi
tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan
marka jantung.
Infark miokard akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat
iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini berhubungan erat
dengan adanya penyempitan arteri koronaria oleh plak ateroma dan trombus
yang terbentuk akibat rupturnya plak ateroma.
Secara anatomi arteri koronaria dibagi menjadi cabang epikardial yang
memperdarahi epikard dan bagian luar dari miokard, dan cabang profunda
yang memperdarahi endokard dan miokard bagian dalam.
Apabila A. Koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark
miokard transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh
dinding miokard. Pada EKG biasanya dimulai dari depresi segmen ST dengan
T terbalik, kemudian berubah menjadi elevasi segmen ST dan menghilangnya
gelombang R sampai terbentuk gelombang Q patologis yang disebut dengan
ST elevation miocard infarction (STEMI)
Apabila hanya cabang profunda yang tersumbat, atau mungkin tidak
tersumbat namun tiba-tiba terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang hebat,
maka kerusakan miokard terjadi hanya terbatas pada subendokard sehingga
disebut non ST elevation myocardial infarction (STEMI), karena pada EKG
tidak tampak elevasi dari segmen ST.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

2. Patofisiologi
Sebagian besar Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah manifestasi akut dari
plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini
berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang
menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli
yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan

zat vasoaktif yang

menyebabkan

vasokonstriksi sehingga

memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah


koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti
diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koronaria epikardial

(Angina Prinzmetal).

Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat


diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA
pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat
utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral
arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik
dengan proses yang sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait.
Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis
merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi
beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive
extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan
kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses
inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada
lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous
cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak
stabil. Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi
memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada
penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak
hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.

Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication


pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda
bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak
garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan
lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak
atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau
penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi
perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat
sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif.
Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis
yang bersifat tidak stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA.
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding
arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag
dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi
trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau

proses

trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total


atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada
plak aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak
stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya
transien/labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10
20 menit. Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh
kolateral atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan
trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan
miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih
dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka
keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau
dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan
persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang
berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.

10

Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah sebagai
dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama
disebabkan oleh pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat fibrous cups
yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups
bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling
akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi,
gangguan matriks ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM) akibat
aktivitas matrix metallo proteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan
kolagen dan aktivitas inflammatory cytokines.
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses
inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses potobiologis SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses
inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat
bersifat

sistemik.

Inflamasi

juga

dapat

mengganggu

keseimbangan

homeostatik. Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi


fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi
juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena
tergganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada
patogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi
itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan
faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium
Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti
endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor
kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami
disrupsi terjadi platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh
serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction
diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos
pembuluh darah.

11

3. Faktor Resiko
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih
dapat diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik,
antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi
glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.
Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA.Penelitian
angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh
trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada
(pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus.
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran
patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu,
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
atas agregat trombosit dan fibrin.

12

Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli


arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria
terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.
4. Gejala Klinik
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri
dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar
pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada
angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini
merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada
yang spesifik angina sebagai berikut :
Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran

ke

leher,

lengan

kiri,

mandibula,

gigi,

punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.


Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah

makan
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,

dan lemas.
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara
gejala NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tandatanda gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang
tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan
muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien
lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.
5. Diagnosis
Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar

13

ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau


epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaphoresis,mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa
gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.dapat juga ditanyakan apakah pasien

mempunyai

faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes


mellitus dan riwayat PJK dini dalam keluarga.

Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang

dan

regurgitasi

katup

aorta

akibat

diseksi

aorta,

pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang

perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.


Pemeriksaan marka jantung

14

Creatine kinase (CK) adalah enzim miokard yang meningkat apabila


terjadi IMA, mencapai konsentrasi maksimal setelah 24 jam serangan,
kemudian kembali ke nilai normal setelah 72 jam serangan. Walaupun
demikian false positive dapat teradi pada miokarditis, perikarditis,
trauma miokard, penyakit kolagen yang mengenai miokard, dan
trauma pada otot seperti miositis, luka bakar atau setelah dikerok.
Dilaporkan juga enzim ini dapat meningkat pada hipotiroidisme, gagal
ginjal, dan subarachnoid hemorrahge creatine Kinase Myocardial Band
(CKMB) adalah isoenzim dari CK yang lebih spesifik mewakili enzim
miokard, maka beberapa laboratorium mendiagnosis IMA bila
kenaikan nilai CKMB melebihi 6% dari CK.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia,
trauma

kardiak,

gagal

miokarditis/perikarditis.

jantung,
Keadaan

hipertrofi

ventrikel

kiri,

nonkardiak

yang

dapat

meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal


napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan
ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin
T.

Pemeriksaan elektrokardiografi
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. EKG
memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Rekaman EKG
penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya

No

Lokasi

Gambaran EKG
15

1
2
3
4

Anterior

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-

Anteroseptal
Anterolateral

V4/V5
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6

Lateral

dan I dan aVL


Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I

Inferolateral

dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,

Inferior

aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).


Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,

Inferoseptal

dan aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,

True posterior

aVF, V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST

8
9

RV Infraction

depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2


Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

6. Penatalaksanaan

16

Umum
1. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan
saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
2. Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
3. Pantau tanda vital: setiap jam sampai stabil, kemudian tiap 4
jam atau sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung
< 60 kali/mnt atau > 110 kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg
atau > 150 mmHg; frekuensi nafas < 8 kali/mnt atau > 22
kali/mnt.
4. Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di
samping tempat tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12
jam.
5. Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya
diet jantung (kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori,

17

monounsaturated dan unsaturated fats < 30% dari kalori),


termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah), magnesium
(sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur,
sereal)
6. Medika mentosa :
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
5.1. Anti Iskemia
5.1.1. Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada
efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya

konsumsi

oksigen

miokardium.

Terapi

hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan


konduksi

atrio-ventrikler

yang

signifikan,

asma

bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada


kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai
dibandingkan injeksi.

6.1.2 Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi
vena yang mengakibatkan berkurangnya preload

dan

volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi


oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat
adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

18

6.1.3

. Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator
arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau
AV Node.

Sebaliknya

verapamil

dan

diltiazem

mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang


menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang
seimbang.

5.2. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda
indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan
dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan
yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama
aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12
bulan

kecuali

ada

indikasi

kontra

seperti

risiko

perdarahan berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau

19

ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan


beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia 65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau
steroid.
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau
permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak
disarankan kecuali ada indikasi klinis.
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan
risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya
peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian
ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel

(pemberian

clopidogrel

kemudian

dihentikan).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak
bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel
adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis
loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP)
direkomendasikan

untuk

pasien

yang

dijadwalkan

menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan


ticagrelor.
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150
mg setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari
pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat.
9. Pada pasien yang telah
penghambat

reseptor

ADP

menerima
yang

perlu

pengobatan
menjalani

pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG),


perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5
hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau

20

clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila


terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk
diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG
begitu dianggap aman.
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID
(penghambat COX-2 selektif dan NSAID non-selektif ).

7. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul
dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau
Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer)
diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala
telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki
fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik.
BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang
atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2
jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat dengan fasilitas IKP.
8. Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim
yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis
21

pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal


jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila
pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting
lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP
primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin
pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah
awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang
telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak
memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual
antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh
terhadap

pengobatan,

drug-eluting

stents

(DES)

lebih

disarankan daripada bare metal stents (BMS)


9. Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting,
terutama pada tempat- tempat yang tidak dapat melakukan IKP
pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila
IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasienpasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan
infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis
perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama
dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus
dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase,
reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak
spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan
sebagai

tambahan

untuk

aspirin.

Antikoagulan

22

direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati


dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau
selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari.
Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang


mampu melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada
semua pasien. IKP rescuediindikasikan segera setelah
fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50%
setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP
emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren
atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil.
Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok
setelah dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan,
angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
(pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk
pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.
7. Prognosis
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas

Definisi

Mortalitas (%)

23

Tak ada tanda gagal


jantung
+S3 dan atau ronki basah
Edema Paru
Syok kardiogenik

II
III
IV

6
17
30-40
60-80

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut
Kelas

Indeks Kardiak

PCWP (mmHg)

Mortalitas (%)

I
II
III
IV

(L/min/m2)
>2,2
>2,2
<2,2
<2,2

<18
>18
<18
>18

3
9
23
51

8. Komplikasi
a) Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan
IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi,
namun

apabila

mikrovaskular,

terjadi

jejas

terutama

pada

transmural
dinding

dan/atau

anterior,

obstruksi

dapat

terjadi

komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis


disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai
konsekuensi

dari

aritmia

yang

berkelanjutan

atau

sebagai

komplikasimekanis.
b) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah
90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat
juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi
mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan
ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output.
c) Kongesti paru
24

Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen


basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada
Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi
vasodilator.
d) Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang
buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi
urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang
buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.
\
e) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit
mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah
awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien
pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we
emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan
75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok
kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat
tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien
biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas
dingin) dan kongesti paru.
f) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam
15 hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium
awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok
AV derajat tinggi sebesar 10% (30 detak per menit selama 8 detik),
sinus bradikardi sebesar 7% (30 detak per menit selama 8 detik),
henti sinus sebesar 5% (5 detik),VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF
sebesar 3%.
25

DAFTAR PUSTAKAOVASKULAR
1. Perhimpunan

Dokter

Spesialis

Kardiovaskular

Indonesia.

Pedoman

Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications. 2015.


2. Depkes RI. Buku Saku Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut.
3. Syukri K, Peter Kabo. Buku Ajar EKG dan penanggulangan beberapa
penyakit jantung untuk dokter umum. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
4. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.2007
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
6. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 2005; 147: 6-9
7. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition

Harrisons Principles of Internal

Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.


8. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the
ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with STelevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
2008;51:210247.
9. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected acute
myocardial infarction. American College of Emergency Physicians Clinical
Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion Therapy in
Emergency Department Patients with Suspected Acute Myocardial Infarction.
Ann Emerg Med. 2006;48:358383.

26

10. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT)


Evidence of Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial
Infarction. Am J Cardiol.2000; 85 : 147-153
11. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized,
Double-blind Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with
Streptokinase in Acute Myocardial Infarction. Lancet.1995; 346 : 329-336.
12. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York.
2004. p.227.
13. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment
elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute
Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J
2008;29:29092945.
14. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous streptokinase,
oral aspirin, both or neither among 17.187 cases of suspected AMI.
Lancet.1986; 1:397.

27

28

Anda mungkin juga menyukai