Anda di halaman 1dari 22

NASKAH UJIAN

I.

IDENTITAS PASIEN
Tn. N, laki-laki, 34 tahun, lahir pada tanggal 13 Oktober 1982, Islam, belum
menikah, tidak bekerja, pendidikan terakhir SMA, suku Jawa, tinggal di Dusun
Tirtoyoso Gang Gunung Agung No 08 Sukabumi, masuk rumah sakit pada
tanggal 22 Desember 2015 dengan nomor CM. 02XXXX. Dilakukan
pemeriksaan pada tanggal 27 Januari 2016 pada pukul 14.00 WIB.

II.

PEMERIKSAAN PSIKIATRI
Dilakukan autoanamnesis dari pasien dan alloanamnesis dari Tn. P, 55 tahun
pendidikan terakhir S1 (paman pasien).
II.1
II.2

Keluhan Utama
Marah tanpa sebab yang jelas hingga menyakiti ibu pasien
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSJ Provinsi Lampung diantar keluarga dengan
keluhan sering marah tanpa sebab yang jelas hingga menyakiti ibu pasien,
mudah tersinggung, gelisah dan sulit tidur, sering mondar-mandir.
Menurut keluarga pasien, sebelum pasien sakit sekitar 13 tahun yang lalu
keluhan/ perubahan sikap tersebut timbul, pasien sering berbicara sendiri
tentang masalah agama dan sering berkotbah di depan keluarga mengenai
semua hal tentang agama serta merasa mengenal beberapa tokoh ulama
selama dia pergi untuk ikut mengaji di Jakarta dan Tanggerang. Keluhan ini
pertama kali muncul pada tahun 2003. Pasien sempat menempuh kuliah di
IAIN sampai semester 6, namun tidak sampai selesai karena pasien ikut
jihad dengan belajar mengaji dan meninggalkan kuliah. Kejadian ini sekitar
tahun 2000. Pasien pergi selama kurang lebih tiga tahun.
Pada tahun 2003 pasien kembali ke rumah dan mulai muncul gejala aneh
seperti berbicara tentang agama. Kemudian keluarga merasa ada yang aneh
1

dengan pasien lalu pasien dibawa berobat ke seorang ustad untuk diobati
karena keluarga yakin bahwa ini adalah penyakit kiriman karena pasien baru
pulang dari daerah Jawa. Saat itu pasien tidak mengamuk namun berbicara
banyak dan kacau. Pasien juga susah tidur dan sering bingung. Setelah
pulang dari rumah ustad tersebut pasien tidak ada perbaikan. Pasien tidak
bekerja hanya berada dirumah dan sering main ke rumah tetangga. Pasien
tetap berbicara mengenai agama seperti khotbah namun tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
Pada tahun 2005 pasien kemudian dibawa ke orang pintar di Provinsi
Banten karena pasien makin sering berbicara melantur dan mulai
mengganggu tetangga sekitar rumah pasien. Orang tua pasien awalnya tidak
mau untuk membawa anaknya ke orang pintar namun paman pasien
memaksa dan akhirnya pasien dibawa ke Banten. Menurut keluarga, pasien
sudah tidak terlalu banyak bicara. Keluarga mulai menganggap pasien
sembuh. Namun beberapa hari kemudian keluhan mulai muncul kembali.
Orang tua sempat meminta pasien untuk bekerja namun pasien tidak mau.
Orang tua juga meminta pasien untuk melanjutkan kuliah namun pasien
menolak dengan alasan sudah belajar mengaji di Tanggerang dan sudah
hebat tentang agama.
Pada tahun 2008 pasien kembali dibawa berobat ke orang pintar bernama
Abang Anom yang juga dipercaya sebagai orang pintar yang bisa
menyembuhkan penyakit. Pasien sempat disuruh minum ramuan semacam
jamu yang terbuat dari campuran tanaman tertentu namun keluarga lupa apa
jenis tanaman tersebut. Setelah sampai dirumah pasien tetap berbicara kacau
dan sering minta uang kepada ibu pasien untuk membeli rokok. Pasien
sering pergi keluar rumah dan main ke rumah tetangga kemudian pulang
sendiri.
Tahun 2010 karena keluarga sudah merasa kewalahan akhirnya dibawa ke
rumah ustad untuk di ruqiyah. Setelah di ruqiah pasien tidak sembuh juga.

Menurut paman pasien tidak ada perubahan dari pasien. Namun pasien
mulai sering minta uang dan berbicara keras serta membentak saat tidak
dikasih uang. Pasien juga sering mengamuk dan marah saat keinginannya
tidak dituruti. Pasien sering tidak tidur saat malam karena terus merokok.
Barulah pada tanggal 8 Juli 2014 pasien dibawa ke Rumah Sakit Jiwa untuk
berobat. Menurut keluarga pasien sudah 1 minggu pasien mulai mengamuk,
berbicara keras dan membentak, sering marah kepada ibu pasien, berbicara
kacau, tampak bingung, selalu minta uang untuk membeli rokok bahkan
sampai 3-4 bungkus per hari serta pasien sulit tidur. Pasien berobat ke poli
dan langsung dirawat di RSJ. Pasien dirawat selama 1 bulan kemudian
setelah dirasa sembuh pasien pulang. Saat berada dirumah pasien tidak
bekerja, hanya membantu pekerjaan sehari-hari di rumah. Kemudian pasien
sempat kontrol ke poli RSJ pada tanggal 12 Agustus 2014. Pasien hanya
kontrol 1 kali saja. Kemudian tidak pernah berobat lagi.
Pada tanggal 12 Juni 2015 Pasien kembali berobat ke RSJ masuk melalui
UGD sekira pukul 20.05 WIB dengan keluhan gelisah terus menerus,
mondar-mandir, sulit tidur, senyum-senyum sendiri, mudah emosi dan
marah, serta merokok terus bisa 3 bungkus per harinya. Selama ini pasien
tidak pernah mengambil obat ke poli atau putus obat. Keluhan ini sudah 1
minggu dikeluhkan oleh keluarga. Namun saat ditanya pasien menjawab
tidak ingat dan selama ini tidak pernah marah-marah ke siapa pun karena
agama melarang. Pasien dirawat selama kurang lebih 4 bulan. Pasien
dipulangkan pada tanggal 1 Oktober 2015. Pasien juga tidak rutin kontrol ke
poli setelah dipulangkan.
Pada 22 Desember 2015 pasien masuk ke RSJ kembali. Pasien tidak ingat
kenapa dibawa ke RSJ. Sekitar 3 hari SMRS pasien tidak mau makan dan
minum dan tidak mau minum obat. Pasien tampak gelisah, tidak bisa tidur,
pasien sering mondar-mandir, sering marah-marah sampai memukul ibunya.
Pasien tampak gampang marah pada hal-hal yang kecil, misalnya pasien

meminta sesuatu namun tidak diturutin oleh keluarga. Pasien juga tampak
labil.
Menurut pasien, pasien tidak gila dilakukan wawancara pada tanggal 27
Februari 2016 pukul 14.00WIB, pasien mengaku yang dilakukan dirumah
sakit adalah suatu proses dalam hidup untuk menjadi orang yang lebih baik
dari sebelumnya dan untuk bisa memiliki kekuatan dan kelebihan dibanding
orang lain. Pasien mengatakan bahwa dia punya panglong kayu dan uang
dari panglong itu dia titipkan ke Ibunya. Pasien mengaku punya banyak
uang dari situlah dia bisa menaikkan dolar hingga seperti sekarang. Jaman
dahulu hidup susah sekarang sudah jaman Jokowi hidup sudah enak, seperti
itulah perkataan pasien. Pasien merasa dia adalah orang inceran nomor
wahid pada jaman sekarang ini. Karena dahulu saat belajar mengaji ke
Tanggerang diajarkan oleh gurunya ilmu tertentu, jika gurunya tidak bisa
maka dialah pengganti utama guru tersebut. Pasien juga mengaku selama
belajar mengaji pernah bertemu malaikat jibril atau menurut orang-orang
disebut ruhul kudus. Perasaan saat bertemu dengan malaikat adalah terasa
nyaman dan pasien pernah bergabung dengan para malaikat tersebut. Setelah
itu pasien memiliki sebuah

kekuatan dan kelebihan berupa bisa

menyembuhkan kelainan kejiwaan, berbagai macam penyakit. Bahkan


pasien juga sedang menanggung penyakit orang yaitu penyakit murid-murid
nya karena pasien punya kelebihan tersebut.
Pasien juga mengaku bahwa dia adalah keturunan yang bagus dan punya
kekuatan khusus menjadi orang pilihan serta bisa dibuktikan dengan
pemeriksaan secara kedokteran dan pasien juga sudah terdata disana.
Kemudian orang-orang juga percaya dengan pasien serta kekuatan pasien ini
masuk akal. Pasien juga memiliki wilayah kekuasaan terutama di Benua
Australia kalau gurunya di wilayah Indonesia. Pasien mengaku di sini
karena perlu petugas karena merasa lelah mengurus daerah kekuasaannya.
Pasien juga mengaku memegang belati limako, yaitu anggota-anggota
pemerintah yang sekarang sudah menjabat sesuai tuntunan Al-Quran.

Semua pejabat yang pakai seragam maupun yang tidak pakai seragam dia
semua yang memegang dan memiliki kekuasaan atas mereka. Pasien merasa
dialah yang memegang belati limako karena sudah dipercaya oleh orang
banyak mampu memegang itu. Pasien merasa bahwa dialah dulu yang
membiayai pemerintahan. Pasien juga bisa mengatur segala urusan dari
jarak jauh atau memiliki kemampuan yang disebut acagol. Kemampuan
yang dimiliki karena Nabidir (malaikat jibril) yang sudah membersihkan dan
mengganti akal dia menjadi bersih.
Pasien juga mengaku pernah melihat malaikat jibril dalam bentuk ruhul
kudus dan Nabidir. Ruhul kudus tidak seperti manusia. Bentuk sempurna
malaikat jibril adalah Nabidir sebagai manusia. Pasien tidak pernah
mendengar suara-suara. Pasien juga tidak pernah mencium bau wangiwangian atau bau busuk. Pasien tidak merasa curiga kepada siapaun, tidak
merasa was-was atau takut.
II.3
Riwayat Penyakit Sebelumnya
II.3.1
Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien memiliki riwayat penyakit gangguan jiwa seperti ini
sebelumnya. Pasien di rawat di RSJ Prov. Lampung 2 kali pada tahun
2014 selama 1 bulan. Kemudian dirawat lagi pada tahun 2015 selama
4 bulan, kembali masuk RSJ pada tahun 2015 bulan Desember tanggal
22, pasien sering keluar masuk rumah sakit karena putus obat karena
tidak mau minum obat.
II.3.2

Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif


Ada riwayat penggunaan merokok, namun tidak ada riwayat untuk
penggunaan zat psikotropika dan minuman beralkohol.

II.3.3

Riwayat Penyakit Medis Umum


Pasien pernah terkena penyakit demam tifoid pada kelas 5 SD, tidak
ada riwayat sakit yang rawat inap.

II.4
Riwayat Tumbuh Kembang
II.4.1
Periode Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)

Menurut keluarga pasien, ia lahir secara normal, cukup bulan, dibantu


oleh dokter, tidak ada kecacatan waktu lahir.
II.4.2

Periode Sebelum Masa Kanak (1-6 tahun)


Tidak didapatkan penyakit/kelainan selama sebelum masa kanak.

II.4.3

Periode Masa Kanak awal - akhir (6-12 tahun)


Tidak didapatkan penyakit/kelainan selama masa kanak-kanak.

II.4.4

Periode Masa Remaja awal- akhir (12-18 tahun)


Tidak didapatkan penyakit/kelainan selama masa remaja.

II.5
Periode Dewasa
II.5.1
Riwayat Pendidikan
Pasien merupakan lulusan SMA, pernah menempuh pendidikan S1 di
IAIN sampai semester 6 lalu pasien keluar dari kuliah karena ikut
jihad ke Tanggerang. Pasien bersekolah SD dalam kurun waktu 6
tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Selama ini pasien terlihat sama
seperti anak yang lain saat bersekolah. Berdasarkan anamnesis dengan
keluarga, pasien termasuk orang yang rajin dan pintar dikelas karena
selalu mendapat peringkat saat masih sekolah. Saat masih sekolah
pasien tidak pernah ikut bergaul dengan teman yang nakal, pasien
tidak pernah merokok saat sekolah, tidak pernah terlibat dalam
tawuran atau perkelahian. Pasien juga tidak pernah minum alkohol dan
tidak pernah memakai narkoba.
II.5.2

Riwayat Pekerjaan
Setelah keluar dari perkuliahan pada tahun 2000 pasien langsung ikut
jihad untuk belajar mengaji ke Tanggerang dan Jakarta selama 3 tahun
lalu pulang 3 tahun kemudian. Setelah itu mulai muncul gejala pada
tahun 2003, hingga tahun 2014 sebelum masuk rumah sakit pasien
tidak bekerja. Pernah disuruh bekerja namun menolak, tetapi
kemudian pasien mulai semakin kacau dalam berbicara sehingga
orang tua membiarkan pasien menganggur dirumah. Pasien pernah
disuruh melanjutkan sekolah namun menolak.

II.5.3

Riwayat Hukum
Pasien tidak pernah terjerat masalah hukum.

II.5.7

II.5.4

Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah

II.5.5

Riwayat Kehidupan Beragama


Pasien beragama islam dan taat mengerjakan ibadah sholat 5 waktu.

II.5.6

Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak kekempat dari empat bersaudara. Saat ini
pasien tinggal dengan kedua orang tua dan kakak pasien yang ke 3,
bersama istri dan ketiga anaknya. Di dalam keluarga ada yang
memiliki keluhan serupa yakni secara kejiwaan dianggap memiliki
masalah.

Skema pedigree

Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Keluarga dengan gangguan jiwa
: Satu rumah

Riwayat Sosial Ekonomi Keluarga


Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan kakak ke-3 bersama istri
dan ketiga anaknya. Biaya hidup ditanggung oleh orang tua dan kakak
pasien. Pasien merasa tidak pernah memiliki musuh, tidak pernah

curiga sama orang lain. Pasien juga tidak pernah merasa ada yang
berniat jahat kepada pasien.
II.5.8

Situasi Kehidupan Sekarang


Pasien tinggal bersama orang tua dan kakak ke-3 bersama istri dan
ketiga anaknya, rumah pasien berlantai keramik , berdinding tembok,
seluas 7M X 15 M, dengan ventilasi yang cukup. Sebuah kamar

II.5.9

mandi dan WC yang ada di dalam.


Persepsi PasienTentang Dirinya
Pasien merasa dirinya tidak sakit, tujuan ke rumah sakit adalah
sebagai proses untuk melanjutkan hidup menjadi manusia lebih baik.

III.
STATUS MENTAL
III.1
Deskripsi Umum
III.1.1 Penampilan
Seorang laki-laki sesuai dengan usia, berperawakan tinggi dengan tinggi
sekitar 175 cm, kesan gizi cukup baik, terlihat rapi, memakai pakaian
seragam RSJ Provinsi Lampung berwarna biru dengan celana training
warna biru, memakai alas kaki, kulit sawo matang, kuku rapi,
perawatan diri cukup.
III.1.2 Sikap terhadap pemeriksaan : kooperatif
III.1.3
Kesadaran: jernih (compos mentis)
III.1.4 Perilaku dan aktivitas psikomotor
Selama wawancara pasien dalam keadaan tenang, dengan sesekali
menoleh ke arah samping kanan dan kiri, kontak mata baik, sesekali
menggerakkan kedua matanya untuk melirik orang disekitarnya, tidak
merubah posisi arah badannya. Pasien terlihat bersemangat apabila
pemeriksa mengajak pasien berbicara. Tampak sesekali tersenyum saat
merasa bangga dengan dirinya.
III.1.5

Pembicaraan
Spontan, lancar, intonasi normal, volume keras, kualitas buruk,
artikulasi jelas, kuantitas banyak atau logore, amplitudo baik.

III.1.6

Keadaan Afektif
a. Mood
: ekspansif
b. Afek
: Terbatas
c. Keserasian
: appropriate

III.1.7

Persepsi :
Halusinasi : Auditorik (-), Visual (+),Taktil (-)
Ilusi : tidak ditemukan
Depersonalisasi : Tidak ditemukan
Derealisasi: tidak ditemukan

a.
b.
c.
d.
III.1.8

Proses Berpikir :
a. Produktivitas
b. Kontunuitas
c. Arus pikiran
d. Isi pikiran

: Cukup
: Koheren
: Asosiasi longgar dengan flight of idea
: Preokupasi (-), Obsesif (-), waham kebesaran (+),

waham agama (+), waham dikendalikan (-), waham curiga (-)


III.1.9

Kognisi
a. Kesadaran: Compos mentis.
b. Orientasi (tempat, orang, waktu): cukup.
c. Daya ingat: segera, jangka pendek dan jangka panjang baik. Jangka
menengah cukup.
d. Konsentrasi dan perhatian: cukup.
e. Kemampuan visuospasial: cukup.
f. Abstraksi: buruk (konkret)
g. Intelegensi: kurang
h. Kemampuan menolong diri sendiri: baik.
i. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan : tidak sesuai
dengan taraf pendidikan pasien

III.1.10

Daya Nilai
a. Norma sosial
b. Uji daya nilai

: baik
: baik

III.1.11

Tilikan
Tilikan 1 (satu). Penyangkalan total terhadap penyakitnya.
III.1.11 Penilaian terhadap realitas
Buruk

III.1.12

Taraf dapat dipercaya


dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


IV.1 Tanda-tanda vital:

Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 20x/menit, dan


suhu 36,8 C.
IV.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pemeriksaan Fisik
Mata
: Tidak ditemukan kelainan
Hidung
: Tidak ditemukan kelainan
Telinga
: Tidak ditemukan kelainan
Paru
: Tidak ditemukan kelainan
Jantung
: Tidak ditemukan kelainan
Abdomen
: Tidak ditemukan kelainan

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Tn. N, laki-laki, 34 tahun, Islam, belum menikah, tidak bekerja, pendidikan
terakhir SMA, suku Jawa, masuk UGD RSJ pada tanggal 22 Desember 2015
dengan keluhan marah tanpa sebab yang jelas hingga menyakiti ibu dan keluarga
pasien. Keluhan mulai muncul pada tahun 2003 hingga sekarang. Sebelumnya
diawali dengan ikut jihad dan mengaji ke Tanggerang pada tahun 2000 dan
pulang pada 2003 saat pulang pasien langsung memiliki gejala berupa berbicara
terus menerus mengenai agama dan sering khotbah didepan keluarga bahkan
kerumah tetangga. Selama 13 tahun ini pasien berobat ke ustad, ke orang pintar
sampai ke provinsi Banten untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Setelah itu
pasien baru berobat ke RSJ masuk melalui UGD sekira pukul 23.30 WIB dengan
keluhan tidak mau makan dan minum dan tidak mau minum obat. Pasien tampak
gelisah, tidak bisa tidur, pasien sering mondar-mandir, sering marah-marah
sampai memukul ibunya. Pasien tampak gampang marah pada hal-hal yang
kecil, misalnya pasien meminta sesuatu namun tidak diturutin oleh keluarga.
Pasien juga tampak labil.
Menurut pasien, pasien tidak gila. Waham kebesaran (+), waham agama (+).
Halusinasi visual (+), halusinasi auditorik (-) dan olfaktori (-).Pasien memiliki
riwayat penyakit gangguan jiwa seperti ini sebelumnya. Pasien di rawat di RSJ
Prov. Lampung 2 kali pada tahun 2014 selama 1 bulan. Kemudian dirawat lagi
pada tahun 2015 selama 4 bulan, kembali masuk RSJ pada tahun 2015 bulan
Desember tanggal 22, pasien sering keluar masuk rumah sakit karena putus obat

10

karena tidak mau minum obat. Pasien lulusan SMA tidak pernah tinggal kelas,
tidak bekerja dan belum menikah. Pasien anak kekempat dari empat bersaudara
tinggal dengan kedua orang tua dan kakak pasien yang ke 3, bersama istri dan
ketiga anaknya. Faktor herediter (+).
VI. FORMULASI DIAGNOSIS
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan persepsi dan isi pikir yang
bermakna serta menimbulkan suatu distress (penderitaan) dan disability
(hendaya) dalam pekerjaan dan kehidupan sosial, sehingga dapat disimpulkan
bahwa mengalami gangguan metal dan emosional.
Berdasarkan data-data yang didapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisikdan
rekam medik, tidak ditemukan riwayat trauma kepala, demam tinggi atau kejang
sebelumnya ataupun kelainan organik. Tidak pernah ada riwayat penggunaan zat
psikoaktif. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis
gangguan mental organik (F0) dan penggunaan zat psikoaktif (F1).
Pada pasien didapatkan waham kebesaran dan waham agama. Selain itu
ditemukan pula gangguan persepsi berupa halusinasi visual. Pembicaraan dan
perilaku pasien menjadi kacau. Data ini menjadi dasar untuk mendiagnosis
bahwa pasien menderita skizofrenia paranoid (F.20.0).
Pada tahun 2014 pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama sudah 2 kali
masuk RSJ karena putus obat. Dari data ini diagnosis gangguan psikotik akut
(F.23) dapat disingkirkan.
Pasien dapat menyelesaikan pendidikan hingga lulus SMA, bahkan sudah masuk
universitas sampai semester 6, tidak pernah tinggal kelas, kemudian setelahnya
tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pendidikan bahkan beberrapa
kali pasien pun mendapat peringkat. Sehingga dapat disingkirkan kemungkinan
diagnosis retardasi mental (F70).
Pada aksis II tidak dapat dinilai adanya gangguan kepribadian akibat dari
diagnosis pada Aksis I.
Pada anamnesis tidak terdapat

keluhan medis yang sampai menimbulkan

penyakit. Hanya 1 kali sakit saat SD kelas 5 karena demam tifoid itupun tidak

11

dirawat. pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium darah lengkap serta SGOT dan
SGPT didapatkan hasil dalam keadaan normal. sehingga aksis III tidak
ditemukan sampai saat ini.
Pemahaman keluarga terhadap kondisi pasien masih kurang, hal ini ditandai
dengan pasien kurangnya kepatuhan pasien minum obat serta keluarga pasien
yang tidak perhatian dengan jam minum obat setiap harinya. Hal ini timbul
karena kurangnya pengawasan dari keluarga. Oleh karena itu didapatkan aksis
IV masalah berkaitan dengan pemahaman keluarga terkait dengan
primary support group.
Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya
menggunakan GAF (Global Assessment of Functioning) Scale. Menurut PPDGJ
III, pada aksis V didapatkan GAF saat dirawat (GAF current) adalah 70-61,
yaitu

beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi,

secara umum masih baik. GAF HLPY (Highest Level Past Year) adalah 50-41
yaitu gejala berat (serious), disabilitas berat.
EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I : Skizofrenia paranoid (F20.0)
DD/ Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)

Aksis II
Aksis III
Aksis IV
Aksis V

: Tidak ada
: Tidak ada untuk saat ini
: Masalah primary support group (keluarga)
: GAF 60 51 (current)
GAF 80 71 (HLPY)

VII. DAFTAR PROBLEM


a. Organobiologik: Tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna,
tetapi diduga terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter. Oleh karena itu
pasien memerlukan psikofarmakologi.
b. Psikologik: Ditemukan hendaya dalam menilai realita berupa halusinasi
visual membutuhkan psikoterapi.
c. Psikoedukasi: Ditemukan adanya hendaya dalam pemahaman keluarga
terhadap keadaan pasien sehingga keluarga membutuhkan psikoedukasi.
VIII. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam

: Dubia ad bonam
12

b. Quo ad functionam
c. Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam

IX. RENCANA TERAPI


a. Psikofarmaka :
Antipsikotik atypical (Risperidone 2 x 2 mg)
Risperidone 2 x 1 mg diberikan selama 5 hari, dipertimbangkan
peningkatan dosis berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan
Anti syndrom ekstrapiramidal (Trihexyphenydil 2 x 2 mg)
Trihexyphenydil 2 x 2 mg diberikan selama 5 hari
Anti Mania (Terapi Mania Akut)
Lithium Carbonate 2 x 200 mg sesuai dengan pemberian antipsikotik
b. Psikoterapi
Ventilasi :
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan keluhan

dan isi hati serta pikiran sehingga mengurangi beban pasien.


Konseling:
Memberikan pengertian kepada pasien tentang penyakitnya dan
memahami kondisinya lebih baik dan menganjurkan untuk berobat

teratur.
Psikoedukasi:
Pasien
Membina hubungan

dengan

pasien

dan

membuat

pasien

nyaman sehingga pasien merasa diperhatikan dan dipedulikan

sesuai dengan terapi yang komprehensif.


Memberikan informasi penting kepada pasien untuk meminum

obatnya secara teratur jangan sampai terjadi lagi putus obat.


Keluarga
Memberikan perhatian kepada pasien dan menciptakan suasana
yang nyaman agar pasien nyaman dan dapat terbuka kepada

keluarga tentang masalah yang sedang dihadapi.


Diberikan kegiatan bermanfaat dirumah yang tidak berisko

membahayakan pasien maupun orang lain.


Memberikan penjelasan pada keluarga pasien dan orang sekitar
pasien untuk memberikan dorongan dan menciptakan lingkungan
yang kondusif.

13

X.

DISKUSI
1. Bagaimanakah agar pasien tidak dirawat kembali karena masalah putus
obat?
Setiap pasien yang mengalami gangguan jiwa harus ada yang disebut
dengan Pengawas Minum Obat (PMO). Fungsi dari PMO ini adalah orang
memegang obat serta memberikan dan mengawasi pasien saat minum
obat. Karena kecil kemungkinan orang dengan gangguan jiwa dengan suka
rela minum obat secara mandiri. Untuk gangguan psikiatri skizofren akan
memakan waktu lama untuk minum obat yaitu minimal 5 tahun bebas
gejala. Pasien akan merasa bosan dan lama-lama tidak mau minum obat
lagi. Sehingga terjadilah kasus putus obat yang memicu kasus
kekambuhan. Oleh karena itu dukungan keluarga dalam hal ini sangat
dibutuhkan. Keluarga harus benar-benar mau merawat pasien hingga
sembuh. Mengingat fungsi dari keluarga itu sendiri. Serta juga dibutuhkan
peran dari pasien agar tetap rutin minum obat.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya.
Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan
mental anggota keluarga, juga

dapat menjadi sumber problem bagi

anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya


(Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Friedman (2010) mendefinisikan fungsi dasar keluarga adalah untuk
memenuhi kebutuhan anggota keluarganya dan masyarakat yang lebih
luas, meliputi :

Fungsi afektif adalah fungsi mempertahankan kepribadian dengan


memfasilitasi kepribadian orang dewasa, memenuhi kebutuhan
psikologis anggota keluarga, peran keluarga dilaksanakan dengan baik
dengan penuh kasih sayang.

Fungsi sosial adalah memfasilitasi sosialisasi primer anggota keluarga


yang bertujuan untuk menjadikan anggota keluarga yang produktif dan

14

memberikan

status

pada

anggota

keluarga,

keluarga

tempat

melaksanakan sosialisasi dan interakasi dengan anggotanya.

Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan


menjaga kelangsungan hidup keluarga, dan menambah sumber daya
manusia.

Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan


keluarga secara ekonomi dan mengembangkan untuk meningkatkan
penghasilan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.

Fungsi perawatan mempertahankan keadaan kesehatan anggota


keluarga agar memiliki produktivitas yang tinggi, fungsi ini
dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan.

Keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan (Friedman, 2010) yang


meliputi:

Mengetahui kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan


keluarga pasien dengan perilaku kekerasan, keluarga perlu mengetahui
penyebab tanda-tanda pasien kambuh dan perilaku maladaftifnya
meliputi keluarga perlu mengetahui pengertian prilaku kekerasan,
tanda dan gejalanya, cara mengontrol prilaku kekerasaannya dengan
cara minum obat dan cara spiritual.

Mengetahui kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan


mengenai tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota
keluarga dengan prilaku kekerasan, menanyakan kepada orang yang
lebih tahu, misalnya membawa kepelayanan kesehatan atau membawa
untuk dirawat ke rumah sakit jiwa.

Mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga dalam merawat


anggota keluarga dengan riwayat prilaku kekerasan yang perlu dikaji
pengetahuan tentang akibat lanjut perilaku kekerasan yang dilakukan,
pemahaman keluarga tentang cara merawat anggota keluarga dengan
riwayat perilaku kekerasan yang perlu dilakukan oleh keluarga,
pengetahuan keluarga tentang alat-alat yang membahayakan bagi
anggota keluarga dengan riwayat prilaku kekerasan, pengetahuan
15

keluarga tentang sumber yang dimiliki keluarga dalam merawat


anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, bagaimana
keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku
kekerasan yang membutuhkan bantuan.

Mengetahui kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan,


yang perlu dikaji : pengetahuan keluarga tentang sumber-sumber yang
dimiliki keluarga dalam memodifikasi lingkungan khususnya dalam
merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan,
kemampuan keluarga dalam memanfaatkan lingkungan yang asertif.

Mengetahui kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan


kesehatan yang berada di masyarakat, yang perlu dikaji pengetahuan
keluarga tentang fasilitas keberadaan pelayanan kesehatan dalam
mengatasi perilaku kekerasannya. Pemahaman keluarga tentang
manfaat fasilitas pelayanan yang berada di masyarakat, tingkat
kepercayaan keluarga terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, apakah
keluarga mempunyai pengalaman yang kurang tentang fasilitas
pelayanan kesehatan, apakah keluarga dapat menjangkau pelayanan
kesehatan yang ada di masyarakat.

Berdasarkan penelitian dari bahan National Mental Health Assosiation


(NHMA, 2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun
kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap
bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah
sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali
melakukan aktivitasnya.

NMHA mengemukakan hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar


dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam menghadapi anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, yaitu :

16

Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada


penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan
tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa.

Pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi


penderita gangguan jiwa.

Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya


dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan jiwa.

Komunikasi sangat penting untuk membangun kepercayaan antara


keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik
secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat
mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan
mengerti bahwa kondisi yang mereka alami.

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan keluaraga?


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga meliputi:
a. Usia
Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Friedman
1998) adalah bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa
keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan
pengalaman perkembangan. Dukungan keluarga dapat ditentukan oleh
faktor usia dalam hal ini pertumbuhan dan perkembangan, dengan
demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan
respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
Salah satu faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah faktor
usia, usia yang dianggap optimal dalam mengambil keputusan adalah
usia yang diatas umur 20 tahun keatas, usia tersebut akan memberikan
dukungan kepada anggota keluarganya yang mengalami riwayat
perilaku kekerasan (Notoatmodjo, 2003). Menurut penelitian Gierveld
dan Dykstra bahwa orang dewasa tidak hanya menjadi penerima
dukungan tetapi juga memberikan dukungan pada keluarga (2008).

17

b. Jenis kelamin
Komar dan Muhanti (2007) menemukan bahwa jenis kelamin memilik
pengaruh yang besar terhadap beban keluarga dalam mendukung
keluarga dengan skizoprenia, dimana perempuan memiliki beban yang
lebih berat jika dibandingkan dengan laki-laki. Misrha, Trivedi dan
Sinha (2005) juga melaporkan bahwa tingkat stres keluarga lebih tinggi
jika penderita adalah laki-laki. Dimana laki-laki merupakan salah satu
tulang punggung pada keluarga, apabila berperan sebagai suami atau
bapak, ini akan berdampak pada beban ekonomi keluarga apabila peran
sebagai pencari nafkah tidak lagi produktif akibat mengalami penyakit
yang parah.
c. Sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan
keluarga pasien, semakin tinggi tingkat ekonomi keluarga akan lebih
memberikan dukungan dan pengambilan keputusan dalam merawat
anggota pasien perilaku kekerasan. Selain itu keluarga dengan kelas
sosial ekonomi yang berlebih secara finansial mempunyai tingkat
dukungan keluarga, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada
keluarga dengan kelas sosial ekonomi kurang secara finansial
(Friedman, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian dari Suwardiman (2011) bahwa hubungan
dukungan sosial ekonomi dengan beban keluarga menunjukan
hubungan yang kuat dan ada hubungan yang signifikan antara
dukungan sosial ekonomi dengan beban keluarga, semakin bertambah
dukungan sosial ekomomi semakin berkurang beban keluarga.
d. Pendidikan
Salah satu faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga terbentuk
oleh variabel pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman

18

masa lalu. Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang


telah mencapai jenjang pendidikan formal tertentu, seseorang dengan
pendidikan yang baik akan memiliki pemahaman yang baik terhadap
suatu permasalahan, sehingga akan lebih mudah untuk menerima
pengaruh dari luar baik yang positif maupun negatif, obyektif dan lebih
terbuka terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesehatan
dalam memberikan dukungan keluarga (Notoatmodjo, 2003).
Pendidikan keluarga sangat menunjang dalam memberikan dukungan
keluarga, pendidikan keluarga yang tinggi dapat mengetahui kebutuhan
anggota keluarganya sehingga keluarganya akan memberikan dukungan
support, masukan, memberikan bimbingan dan saran yang berkualitas
(Puspitasari, 2009).
Keliat (2003) dalam penelitiaanya tentang pemberdayaan pasien dan
keluarga dalam pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di Rumah
Sakit Jiwa Pusat Bogor. menyimpulkan peran dan fungsi keluarga salah
satunya adalah keluarga memberikan perawatan kesehatan melalui
pendidikan, keluarga yang mempunyai pendidikan tinggi akan
memberikan dukungan keluarga baik dukungan informasi cara merawat
anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan.
e. Hubungan keluarga dengan pasien
Faktor dukungan keluarga dipengaruhi oleh hubungan pasien dengan
keluarga, keluarga inti akan memberikan dukungan terhadap anggota
keluarga, dengan pasien perilaku kekerasan. Salah satu fungsi keluarga
adalah

memberikan

pelayanan

kesehatan

didalam

keluarganya,

sehingga keluarga akan memberikan dukungan dalam menangani


perawatan anggota keluarganya dengan riwayat pasien perilaku
kekerasan (Friedman, 2010).
3. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?
Prognosis berdasarkan Kaplan tahun 2013
19

Prognosis baik
Awitan lambat
Ada faktor presipitasi yang

Prognosis buruk
Awitan muda
Tidak ada faktor presipitasi

jelas
Awitan akut
Riwayat sosial, seksual, dan

Awitan insidious
Riwayat sosial, seksual, dan

pekerjaan pramorbid buruk


Perilaku autistic, menarik

(depresif)
Menikah
Riwayat keluarga dengan

diri
Lajang, cerai, duda
Riwayat keluarga

gangguan mood
Sistem pendukung baik
Gejala positif

skizofrenia
Sistem pendukung buruk
Gejala negatif

pekerjaan pramorbid baik


Gejala bangguan mood

Nilai

Nilai

Berdasarkan tabel prognosis diatas pada pasien masih disebut dubia ad


bonam.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. DSM-V. Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorders (5th Ed). Washington, DC.
Elvira, Silvia.2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta : FK UI
Fitria MS, 2013. Hubungan Antara Faktor Kepatuhan Mengkonsumsi Obat,
Dukungan Keluarga Dan Lingkungan Masyarakat Dengan Tingkat

20

Kekambuhan Pasien Skizofrenia Di RSJD Surakarta. Fakultas Ilmu


Kesehatan:Universitas Muhammadiyah Surakarta
Friedman, M.M, Bowden, O & Jones,M. 2010. Keperawatan Keluarga: Teori dan
Praktek: Alih Bahasa, Achir Yani S, Hamid et al: Editor Edisi Bahasa
Indonesia, Estu Tiar Ed.5. Jakarta :EGC.
Friedman, M.M, Bowden, O & Jones, M. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori
dan Praktek: Alih Bahasa, Ina Debora R.L., Yoakin Asy: Editor Yasmin
Asih, Setiawan, Monica Ester,-Ed.3,Jakarta :EGC
Gierveld, Jenny De Jong & Dykstra, Pearl A. 2008. Virtue is its own reward?
Support-giving in the family and loneliness in middle and old age, 28, 271287.
Kaplan dan Sadock. 2013. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta : EGC
Keliat, B.A. 2003. Peran serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa.
Jakarta: EGC.
Komar, S & Mohanty, S. 2007. Spousal Burden of care schizophrenia. Journal of
The Indian Academy of Applied Psychology, 33(2), 189-194.
Maslim, Rusdi. 2007. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasdari PPDGJIII. Jakarta: BagianIlmuKedokteranjiwa FK UnikaAtmajaya.
Maslim, Rusdi. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinik Obat Psikotropik.
Edisi Ketiga.Jakarta: BagianIlmuKedokteranjiwa FK UnikaAtmajaya.
Mishra, M, Trivedi, J.K., & Sinha, P.K. 2005. Burden of care of key relatives of
chronic depressives. SAARC Psychiatric Foundation Souvenir, 56.

21

National Mental Health Assosiation/ NHMA. 2001. A literature review report.


www.nhma.org.
Notosoedirdjo & Latipun. 2005. Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan.
Malang: UMM Press.
Puspitasari. 2009. Peran dukungan keluarga pada penanganan penderita
skizofrenia. Skripsi Universitas muhammadiyah Surakarta.
Suwardiman. 2011. Hubungan antara dukungan keluarga dengan beban keluarga
untuk mengikuti regimen terapeutik pada keluarga klien halusinasi RSUD
Serang. Tesis. Jakarta. FIK.

22

Anda mungkin juga menyukai