Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

RADIKULOPATI LUMBAL

Pembimbing:
dr. Zam Zanariah, Sp.S, M.Kes

Oleh :
Yuda Ayu Kusuma Wardani, S.Ked
111801141

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT Dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya
Penulis dapat menyelesaikan case report dengan judul Radikulopati Lumbal.
Adapun case report ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Lampung di RSUD DR. Hi.
Abdoel Moeloek Periode 11 Januari 2016 06 Februari 2016 dan juga bertujuan
untuk menambah informasi bagi Penulis dan pembaca.
Penulis sangat bersyukur atas terselesaikannya tugas ini. Hal ini tidak
terlepas dari dukungan serta keterlibatan berbagai pihak dan pada kesempatan ini
penulis ingin berterima kasih kepada dr. Zam Zanaria, Sp.S., M.Kes selaku
pembimbing Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD DR. Hi.
Abdoel Moeloek
Penulis menyadari bahwa case report ini masih jauh dari sempurna.Oleh
karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak. Akhir kata, Penulis mengucapkan terimakasih dan semoga case
report ini dapat memberikan manfaat.

Bandar Lampung, 17 Januari 2016


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I STATUS PASIEN .................................................................................. 4
BAB II ANALISA KASUS................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama

: Ny. MD

Umur

: 50 tahun

Alamat

: Jl. Hayam Wuruk Gang Danu Ansor No. 12


Kampung Sawah Bandar Lampung

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status

: Menikah

Suku Bangsa

: Jawa

Tanggal Masuk

: 15 Januari 2016

Tanggal pemeriksaan

: 15 Januati 2016

Perawatan hari ke

: Pasien Poliklinik

Dirawat ke

: Tidak dirawat di RSAM

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Anamnesis

: Alloanamnesis

Keluhan Utama

: nyeri pada pinggang kanan belakang menjalar


ke tungkai kanan

Keluhan Tambahan

: nyeri pada jari ke-4 tangan kiri

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada pinggang kanan belakang yang
menjalar hingga tungkai kanan. Keluhan ini sudah dirasakan kira-kira 3 tahun
yang lalu. Keluhan ini dirasakan juga pada tungkai kiri namun tidak seberat
tungkai kanan. Nyeri ini dirasakan hilang timbul dan timbul secara tiba-tiba.
Nyeri dirasakan terutama pada pagi hari dan sore hari terutama saat terlalu sering
berdiri atau duduk. Nyeri diperberat oleh aktivitas. nyeri dirasakan seperti
ditusuk-tusuk. Hal ini juga dirasakan hingga pasien sulit berjalan sehingga pasien
sering berbaring. Pasien masih dapat bekerja sehari-hari.
3 hari SMRS, os mengeluh nyeri di pinggang kanan belakang yang
menjalar ke tungkai kanan bawah dirasakan makin memberat. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk dan makin lama makin sakit. Nyeri ini mengakibakan pasien
mengalami keluhan saat berjalan atau duduk terlalu lama. Pasien merasakan kaki

kesemutan dan baal hanya saat nyeri hebat saja. Ketika berobat ke poli pasien
tidak merasakan baal atau kesemutan R/ hipertensi (-) R/ DM (-) R/ Trauma (+)
BAK normal BAB normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
3 tahun SMRS, os pernah jatuh terpleset di kamar mandi dengan posisi
terduduk. Setelah itu os mengeluh nyeri pada pinggang belakang dan merasa nyeri
saat berjalan. Karena dianggap tidak terlalu mengganggu aktivitas sehingga os
tidak langsung berobat ke dokter. Os lalu dipijat oleh dukun sehingga pasien tidak
mengeluhkan keluhan tersebut. Pasien lalu bekerja seperti biasa dan tidak ada
keluhan apa-apa setelah itu.
1 tahun yang lalu os merasakan nyeri yang hebat sampai tidak bisa
berjalan disertai dengan kesemutan dan baal pada kedua kaki lalu os berobat dan
dirawat di RS Kota di Bandar Lampung.
Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat darah
tinggi dan kencing manis dalam keluarga disangkal.
Riwayat Sosio Ekonomi

Pasien merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki 3 orang anak, pasien
tinggal bersama suami dan seorang pembantu. Pasien berasal dari keluarga dengan
tingkat ekonomi menengah ke atas.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present

Keadaan umum
Kesadaran
GCS
Vital sign
Tekanan darah
Nadi
RR
Suhu

: Tampak sakit sedang


: Compos Mentis
: E4V5 M6 = 15
: 120/80 mmHg
: 80 x/menit
: 20 x/menit
: 36,8 o C

Gizi

: BB 50 kg TB 154 IMT 21,08

Status Generalis
-

Kepala
Rambut

: Hitam keputihan, lurus, tidak mudah dicabut

Mata

: sklera tidak kuning, konjungtiva palpebra


tidak pucat

Telinga

: Liang lapang, simetris, sekret (-/-)

Hidung

: Septum tidak deviasi, sekret (-), pernafasan


cuping hidung (-)

Mulut
-

: Bibir lembab, tampak simetris

Leher
Pembesaran KGB

: tidak ada pembesaran KGB

Pembesaran kelenjar tiroid

: tidak ada pembesaran

JVP

: 5 2 cmH2O

Trakhea

: di tengah

Toraks
(Cor)
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba

Perkusi

: redup
Batas Kanan : Linea Parasternalis Dextra ICS IV

Auskultasi

Batas Kiri

: Linea Midclavicula Sinstra ICS V

Batas Atas

: Linea Parasternalis Sinistra ICS III


: BJ I/II murni reguler, bunyi tambahan :
bising (-)

(Pulmo)
Inspeksi

: pergerakan simetris kiri = kanan, retraksi -

Palpasi

: fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi
-

: Vesikuler +/+ Rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi

: datar, simetris

Palpasi

: massa teraba (-), nyeri tekan (-), hepar dan


lien tidak teraba

Perkusi

: timpani (+)

Auskultasi

: Bising usus normal

Extremitas
Superior

: oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik

Inferior

: oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik.

Status Neurologis
-

Saraf Cranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung : normosmia/normosmia
N.Opticus (N.II)
Tajam penglihatan

: Normal / Normal (bed side)

Lapang penglihatan

: sama dengan pemeriksa

Tes warna

: sama dengan pemeriksa

Fundus oculi

: Tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI)


Kelopak Mata
- Ptosis

: (-/-)

- Endophtalmus

: (-/-)

- Exopthalmus

: (-/-)

Pupil
- Ukuran

: (3mm/3mm)

- Bentuk

: (Bulat / Bulat)

- Isokor/anisokor

: isokor

- Posisi

: (Sentral / Sentral)

- Refleks cahaya langsung

: (+/+)

- Refleks cahaya tidak langsung

: (+/+)

Gerakan Bola Mata


- Medial

: baik

- Lateral

: baik

- Superior

: baik

- Inferior

: baik

- Obliqus superior

: baik

- Obliqus inferior

: baik

- Refleks pupil akomodasi

: baik

- Refleks pupil konvergensi

: baik

N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus

: simetris

- Ramus maksilaris

: simetris

- Ramus mandibularis

: simetris

Motorik
- M. masseter

: (+/+)

- M. temporalis

: (+/+)

- M. pterygoideus

: (+/+)

Refleks
- Refleks kornea

: (+/+)

- Refleks bersin

: sulit dinilai

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam

: simetris

- Tertawa

: simetris

- Meringis

: simetris

- Bersiul

: simetris

- Menutup mata

: simetris

Pasien disuruh untuk


- Mengerutkan dahi

: simetris

- Menutup mata kuat-kuat

: simetris

- Mengangkat alis

: simetris

Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah

: baik

N. Vestibulocochlearis/ N. Acusticus(N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran

Test Rinne

: ( normal / normal)
: kondisi tulang lebih baik dari kondisi
udara

Test Weber

- Tinitus

: lateralisasi (-)
: (-/-)

N.vestibularis
- Test vertigo

: Test Kordinasi (+), Test Romberg (+),


Tandem (+).

- Nistagmus

: (-)

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)

- Suara bindeng/nasal

: -

- Posisi uvula

: Ditengah

- Palatum mole

: simetris

- Arcus palatoglossus

: simetris

- Arcus palatoparingeus

: simetris

- Refleks batuk

: (+)

- Refleks muntah

: (+)

- Peristaltik usus

: Normal

- Bradikardi

: (-)

- Takikardi

: (-)

N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus

: (+/+)

- M.Trapezius

: (+/+)

N.Hipoglossus (N.XII)

- Atropi

: (-)

- Fasikulasi

: (-)

- Deviasi

: (-)

Tanda Perangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk

: (-)

Kernig test

: (-)

Laseque test

: (+)

Brudzinsky I

: (-)

Brudzinsky II

: (-)

Sistem Motorik
Gerak
Kekuatan otot
Tonus

Superior ka/ki

Inferior ka/ki

(aktif/aktif)

(aktif/aktif)

5/5

5/5

(Normotonus/normotonus) (Normotonus/normotonus)

Klonus

(-/-)

(-/-)

Atropi

(-/-)

(-/-)

10

Refleks fisiologis
Refleks patologis

Biceps (+/+)

Pattela (+/+)

Triceps (+/+)

Achiles (+/+)

Hoffman Trommer (-/-)

Babinsky (-/-)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gordon (-/-)
Gonda (-/-)

Pada jari ke-4 kiri terasa nyeri saat tes menggenggam


-

Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba

: normal/normal

- Rasa nyeri

: normal/normal

- Rasa suhu panas

: normal/normal

- Rasa suhu dingin

: normal/normal

Proprioseptif / rasa dalam


- Rasa sikap

: normal

- Rasa getar

: normal

- Rasa nyeri dalam

: normal

Fungsi kortikal untuk sensibilitas


- Asteriognosis

: normal

Koordinasi
Tes telunjuk hidung

: Normal

Tes pronasi supinasi

: Normal

Susunan Saraf Otonom


Miksi

: Normal

Defekasi

: Normal

11

Salivasi
-

: Normal

Fungsi Luhur
Fungsi bahasa

: Baik

Fungsi orientasi

: Baik

Fungsi memori

: Baik

Fungsi emosi

: Baik

D. Resume
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada pinggang kanan belakang yang
menjalar hingga tungkai kanan. Keluhan ini sudah dirasakan kira-kira 3 tahun
yang lalu. Keluhan ini dirasakan juga pada tungkai kiri namun tidak seberat
tungkai kanan. 3 hari SMRS, os mengeluh nyeri di pinggang kanan belakang
yang menjalar ke tungkai kanan bawah dirasakan makin memberat. Pasien
merasakan kaki kesemutan dan baal hanya saat nyeri hebat saja. Ketika berobat ke
poli pasien tidak merasakan baal atau kesemutan R/ hipertensi (-) R/ DM (-) R/
Trauma (+) BAK normal BAB normal. 1 tahun yang lalu os merasakan nyeri
yang hebat sampai tidak bisa berjalan lalu os berobat lalu dirawat di RS Kota di
Bandar Lampung. R/ trauma (+).
Kesadaran pasien kompos mentis, Tekanan darah
80 x/menit, RR 20 x/menit Suhu 36,8

120/80 mmHg, Nadi

C BB 50 kg TB 154 IMT 21,08. Pada

pemeriksaan motorik, sensibilitas tidak ada kelainan. Saat tes menggenggam


terasanyeri pada jari ke-4 tangan kiri. Lasseque test (+)
E. Diagnosis
Klinis

: Radikulopati

Topis

: Lumbal

Etiologis

: Trauma

F. Diagnosis Banding
Radikulopati thorakal
12

Radikulopati Servical
G. Penatalaksanaan
Umum:
-

Tirah baring posis datar


Edukasi tentang penyakit dan kemungkinan yang akan terjadi
Kurangi aktivitas berat.

Peroral/Diet
- Diet TKTP
Medikamentosa:
- Paracetamol 500 mg
- Tramadol 37 mg
3x1 caps
- Codein 10 mg
- Vit B kompleks 2x1 tab
Rehabilitasi
-

Fisioterapi

H. Pemeriksaan Penunjang

I.

Ro Thoracolumbal (tahun 2013)


Kesan: Tidak ada kelainan
Rencana: MRI
Prognosa

Quo ad vitam

= Dubia ad bonam

Quo ad functionam

= Dubia

Quo ad sanationam

= Dubia

13

BAB II
ANALISA KASUS
Berdasarkan data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan pasien menderita suspek radikulopati
lumbal, karena dari rontgen thorakolumbal tidak ada kelainan sehingga
direncanakan untuk dilakukan MRI.
2.1 Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
Diagnosis ditegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri pada
pinggang kanan belakang yang menjalar ke tungkai kanan. Nyeri juga
dirasakan pada tungkai kiri tetapi tidak seberat tungkai kanan . rasa nyeri

14

berupa nyeri tajam dan bersifat menjalar serta diperberat oleh adanya aktifitas
seperti berdiri terlalu lama atau duduk terlalu lama. Pasien pernah dirawat
dirumah sakit kota sekitar satu tahun yang lalu dengan keluhan serupa. Saat
itu pasien mengeluhkan nyeri sampai tidak bisa berjalan. Keluhan nyeri
tersebut juga disertai dengan adanya rasa kesemutan dan baal pada kedua
tungkai. Berdasarkan pengakuan pasien kelainan sensorik tersebut dirasakan
hanya saat nyeri yang hebat. Pasien mengaku keluhan akan berkurang dengan
posisi berbaring. Pasien pernah jatuh terpleset di kamar mandi dengan posisi
terduduk. Setelah itu pasien mengeluh nyeri pada pinggang belakang dan
merasa nyeri saat berjalan. Karena dianggap tidak terlalu mengganggu
aktivitas sehingga tidak langsung berobat ke dokter. Pasien mengaku dipijat
oleh dukun sehingga pasien tidak mengeluhkan keluhan tersebut. Pasien lalu
bekerja seperti biasa dan tidak ada keluhan apa-apa setelah itu. Selama ini
pasien sering mengeluh nyeri yang hilang timbul namun membaik dengan
istirahat. Setelah 2 tahun kemudian barulah nyeri dirasakan makin memberat
lalu berobat ke RS Kota. Pasien berobat ke poliklinik RSAM setelah 3 hari
yang lalu mengeluh nyeri mulai kembali dirasakan

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, secara umum tampak


sakit ringan, pasien sadar, orientasi baik, tanda vital baik. Sudah dilakukan
pemeriksaan sensoris dan motorik namun tidak ada kelainan. Pada tes
menggenggam pasien mengeluh nyeri pada jari ke-4 tangan kiri. Saat
dilakukan tes rangsang meningeal laseque sign didapatkan hasil positif. Saat
kaki pasien diangkat belum sampai 70 derajat sudah mengeluhkan nyeri.
Pemeriksan penunjang yang dilakukan adalah rontgen thorakolumbal pada
tahun 2013. Didapatkan hasil bahwa tidak ada kelainan pada hasil rontgen
tersebut. Oleh karena itu pasien disarankan untuk melakukan MRI untuk
mengetahui lebih jelas tentang keluhan yang selama ini dialami pasien.
Berdasarkan teori yang ada Radikulopati lumbal sering juga disebut Skiatika.
Radikulopati adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan
fungsi dan struktur radiks akibat proses patologis yang dapat mengenai satu

15

atau lebih radiks saraf dengan pola gangguan bersifat dermatomal (Dorlan,
2011).

Radikulopati lumbal merupakan bentuk radikulopati pada daerah

lumbal yang disebabkan oleh iritasi atau kompresi dari radiks saraf lumbal.
Pada radikulopati lumbal, keluhan nyeri punggung bawah (low back pain)
sering didapatkan (Adams, 2000).
Radikulopati sering ditandai oleh satu atau lebih dari gejala berikut:
(Rowlan, 1984)
1. Rasa nyeri berupa nyeri tajam yang menjalar dari daerah parasentral dekat
vertebra hingga ke arah ekstremitas. Rasa nyeri ini mengikuti pola
dermatomal dan diperhebat oleh gerakan, batuk, mengedan, atau bersin.
2. Paresthesia yang mengikuti pola dermatomal.
3. Hilang atau berkurangnya sensorik (hipesthesia) di permukaan kulit
sepanjang distribusi dermatom radiks yang bersangkutan.
4. Kelemahan otot-otot yang dipersarafi radiks yang bersangkutan. Refles
tendon pada daerah yang dipersarafi radiks yang bersangkutan menurun
atau bahkan menghilang.
Gejala radikulopati tergantung pada lokasi radiks saraf yang terkena (yaitu
pada servikal, torakal, atau lumbal). Nyeri radikular yang bangkit akibat lesi
iritatif di radiks posterior tingkat servikal dinamakan brakialgia, karena
nyerinya dirasakan sepanjang lengan. Demikian juga nyeri radikular yang
dirasakan sepanjang tungkai dinamakan iskialgia, karena nyerinya menjalar
sepanjang perjalanan n.iskiadikus dan lanjutannya ke perifer. Radikulopati
setinggi segmen torakal jarang terjadi karena segmen ini lebih rigid daripada
segmen servikal maupun lumbal. Jika terjadi radikulopati setinggi segmen
torakal, maka akan timbul nyeri pada lengan, dada, abdomen, dan panggul
Pada Radikulopati Lumbal terdapat nyeri punggung bawah disertai nyeri pada
kaki, tapi nyeri pada kaki lebih menjadi pertanda daripada nyeri punggung
bawah. Berikut gejala umum yang biasa muncul: (Rowlan. 1984)
1. Nyeri punggung bawah.
2. Sakit terus-menerus pada satu sisi pantat atau kaki, tapi jarang kedua sisi
kanan dan kiri
3. Nyeri yang berasal dari pinggang atau pantat dan berlanjut di sepanjang

jalur saraf siatik di bagian belakang paha dan ke tungkai bawah dan kaki
4. Nyeri yang biasanya digambarkan sebagai tajam.
5. Beberapa pengalaman sensasi mati rasa atau kelemahan, atau tusukantusukan bawah kaki
16

6. Sakit parah yang dapat membuat sulit untuk berdiri atau duduk, nyeri yang
terasa lebih baik ketika pasien berbaring.
Secara anatomi tulang belakang dibagi menjadi 5 bagian yaitu :

Gambar 1. anatomi vertebra


Kolumna vertebralis dibentuk oleh serangkaian 33 vertebra : (Snell, 2006)

7 servikal
12 thorakal
5 lumbal
5 Sakral
4 coccygeus

Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang
terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang
terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua "kaki" atau
pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni
procesus articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus
tersebut membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang
punggung disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat
sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua tulang punggung
dapat ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale (Mardjono, 2004).

17

Gambar 2. anatomi lumbal

Gambar 3. Pola dermatom


Pola dermatom berguna untuk mengingat bahwa : (Snell, 2006)
-

selangkangan, lumbal ke-1


sisi medial lutut, lumbal ke-3
jari kaki besar, lumbal ke-5
jari kaki kecil (kelingking), sakrum ke-1
belakang paha, sakrum ke-2
area genitor-anal, sakrum ke-3, 4, dan 5

18

Gambar 4. Anatomi Lumbal

Gambar 5. Penjalaran Nyeri radikulopati lumbal


Pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan adalah salah satunya yaitu tes laseque
sign, pada kelainan lumbal tes ini bisa menjadi positif. Namun ini bukan
merupakan tanda utama (Snell, 2006). Tes yang bisa dilakukan adalah Tes
Lasegue (Straight Leg Raising Test). Pemeriksaan dilakukan dengan cara :
a. Pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya.
b. Secara pasif, satu tungkai yang sakit diangkat lurus, lalu dibengkokkan
(fleksi) pada persendian panggulnya (sendi coxae), sementara lutut ditahan
agar tetap ekstensi.
c. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan lurus (ekstensi).
d. Fleksi pada sendi panggul/coxae dengan lutut ekstensi akan menyebabkan
stretching nervus iskiadikus (saraf spinal L5-S1).
e. Pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat atau lebih
sebelum timbul rasa sakit dan tahanan.
f. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan di sepanjang nervus iskiadikus
sebelum tungkai mencapai sudut 70 derajat, maka disebut tanda Lasegue
positif (pada radikulopati lumbal).

19

Gambar 6. Lasegues Sign (SLRs Test)


Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan adalah Radiografi atau Foto Polos
Roentgen. Tujuan utama foto polos Roentgen adalah untuk mendeteksi adanya
kelainan structural. Berikutnya adalah MRI dan CT-Scan. MRI merupakan
pemeriksaan penunjang yang utama untuk mendeteksi kelainan diskus
intervertebra. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi medulla spinalis
dan radiks saraf, juga dapat digunakan untuk mengetahui beratnya perubahan
degenerative

pada

diskus

intervertebra.

MRI

memiliki

keunggulan

dibandingkan dengan CT-Scan, yaitu adanya potongan sagital dan dapat


memberikan gambaran hubungan diskus intervertebra dan radiks saraf yang
jelas,sehingga MRI merupakan prosedur skrining yang ideal untuk
menyingkirkan diagnose banding gangguan structural pada medulla spinalis
dan radiks saraf. CT-Scan dapat memberikan gambaran struktur anatomi
tulang vertebra dengan baik, dan memberikan gambaran yang bagus untuk
herniasi diskus intervertebra. Namun demikian, sensitivitas CT-Scan tanpa
myelography dalam mendeteksi herniasi masih kurang bila dibandingkan
dengan MRI (De Jong, 1979).
Pemeriksaan lain adalah Myelography. Pemeriksaan ini memberikan
gambaran

anatomis

yang

detail,

terutama

elemen

osseus

vertebra.

Myelography merupakan proses yang invasif, karena melibatkan penetrasi


pada ruang subarakhnoid. Secara umum myelogram dilakukan sebagai tes

20

preoperative dan seringkali dilakukan bersamaan dengan CT-Scan. Berikutnya


ada Nerve Conduction Study (NCS) dan Electromyography (EMG). NCS dan
EMG sangat membantu untuk membedakan asal nyeri atau untuk menentukan
keterlibatan saraf, apakah dari radiks, pleksus saraf, atau saraf tunggal.Selain
itu, pemeriksaan ini juga membantu menentukan lokasi kompresi radiks saraf.
Namun bila diagnosis radikulopati sudah pasti secara pemeriksaan klinis,
maka pemeriksaan elektrofisiologis tidak dianjurkan (Rowland, 1984).

Gambar 7. Pola Dermatom

21

2.2 Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat?


Pada pasien ini diberikan obat Paracetamol dengan dosis 500 mg sebanyak 3
kali per hari. Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non
narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di
Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai
negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik
maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep
dokter atau yang dijual bebas. Parasetamol adalah paraaminofenol yang
merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893.
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta
peradangan lambung (Smitt,2009).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat
peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan
peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol
berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri
paska melahirkan dan keadaan lain. Parasetamol, mempunyai daya kerja
analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak
berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja
antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai
obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol. Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek
samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di
bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada
pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak
dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih
efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri (Katzung,
2011).
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme
di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan

22

80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian


diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi
menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi
metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan
sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2002)
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan
efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa
(WHO, 2012).
Semua

obat

analgetik

non

opioid

bekerja

melalui

penghambatan

siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi


asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase
pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol
menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang
ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin.
Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa
prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin
tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti
latihan fisik (Gunawan, 2009).

23

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan


nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang
ringan sampai sedang. Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan
penderita hipersensitif terhadap obat ini. Parasetamol tersedi sebagai obat
tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup yang mengandung 120mg/5ml.
Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk
tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali,
dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali,
dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada
keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Nasution, 2009).
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4 g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa
dapat

menyebabkan

hepatotoksitas

berat

sehingga

terjadi

nekrosis

sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20 g bersifat fatal. Pada alkoholisme,


penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati,
kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit
meningkat (WHO, 2012).
Pada pasien diberikan dosis 500 mg / 8 jam. Untuk satu hari dosis nya 1500
mg. Dosis ini tidak melebihi dosis maksimum, jadi pemberian paracetamol
sesuai.
Tramadol adalah analgesik sintetik yang bekerja sentral dengan daya ikat
lemah terhadap reseptor opioid (opioid lemah). Merupakan suatu analog
sintetik 4-phenyl piperidine dari kodein yang bekerja sebagai analgesik murni
untuk nyeri sedang sampai berat (AHFS, 2002).
Termasuk analgesik opioid sintesis golongan amino sikloheksanol yang
bekerja sentral dan berefek pada neurotransmitter noradrenergik dan
serotonergik. Aktivitas seperti opioid disebabkan karena daya ikat lemah
terhadap komponen reseptor -opioid dan daya ikat yang kuat metabolit aktif,
o-desmethyltramadol terhadap reseptor -opioid. Tramadol merupakan
analgesik yang memiliki sifat analgesik seperti opiat tetapi tanpa efek samping
opiat, khususnya depresi pernapasan pada neonatus. Tramadol bekerja

24

menghambat re-uptake noradrenalin dan serotonin in vitro, seperti analgesik


opioid. Tramadol bekerja dengan dua macam mekanisme yang saling
memperkuat yaitu : (AHFS, 2002)
a. Berikatan dengan reseptor opioid yang ada di spinal dan otak sehingga
menghambat transmisi sinyal nyeri dari perifer keotak.
b. Meningkatkan aktivitas saraf penghambat monoaminergik yang berjalan
dari otak ke spinal sehingga terjadi inhibisi transmisi sinyal nyeri. Tramadol
diabsorbsi ditraktus gastrointestinal lebih dari 96% setelah pemberian awal.
Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan dan bioavailabilitas sistemik
setelah pemberian awal dosis tunggal sekitar 70%, sedangkan setelah
pemberian ulangan mencapai 90 100%. Hanya 20% berikatan dengan
protein plasma sehingga interaksi obat menjadi sangat minim.
Konsentrasi tertinggi dalam serum (peak serum level) pada pemberian
intramuskular dicapai setelah 45 menit (bervariasi 50-90 menit) dihitung sejak
waktu pemberian obat. Hal ini berbeda pada pemberian per-oral, peak serum
level dicapai 2 jam setelah pemberian obat. Rerata bioavailabilitas absolut
pemberian oral 68-72%. Mula kerjanya sangat cepat,hanya sekitar 20 menit
(AHFS, 2002).
Tramadol didistribusikan secara cepat di seluruh tubuh dengan volume
distribusi 2-3L/kg pada dewasa muda. Volume distribusi akan berkurang 25%
pada usia diatas 75 tahun. Dua puluh persen berikatan dengan protein plasma,
dengan konsentrasi 10 g/ml. Tramadol melewati sawar plasenta dan sawar
darah otak. Sejumlah kecil ditemukan dalam ASI. (0.1% dari dosis pemberian)
(AHFS, 2002).
Tramadol dimetabolisme oleh dementilasi N dan O via sitokrom P450 isoezim
CYP3A4 dan CYP2D6 dan glukoronidasi atau sulfasi di hepar (85%). Hanya
o-desmethyltramadol (M1) yang aktif secara farmakologis. Produksi M1
bergantung pada ikatan isoenzym CYP2D6 pada sitokrom P450. Demetylasi
Nitrogen dikatalisasi isoenzym CYP3A4 pada sitokrom P450.36-40 Tramadol
dan metabolitnya diekskresikan terutama melalui ginjal. Pada dewasa muda,
waktu paruh tramadol 5-7 jam. Total klirens
mencapai 430-610 mL/min (AHFS, 2002).

25

Untuk mengatasi nyeri sedang tramadol 50-100 mg dapat diberikan 2-3 kali
sehari. Untuk nyeri sedang-berat, 100 mg diberikan untuk mengatasi nyeri,
dan dapat diulang setiap 4-6 jam. Untuk nyeri berat dosis 100 mg dianggap
lebih efektif. Dosis maksimum tidak boleh melebihi 400mg/hari. Dapat
diberikan secara injeksi intervena, infus intravena atau intramuskular. Untuk
nyeri pasca operasi, dosis yang dianjurkan adalah 100 mg. Dosis selanjutnya
50 mg atau 100mg, dapat diulangi setiap empat sampai enam jam kemudian.
Total dosis yang dapat diberikan dalam sehari adalah 600 mg (AHFS, 2002)
Efek samping yang sering timbul adalah sakit kepala,dan mulut kering. Efek
samping yang jarang timbul adalah takikardi, depresi pernafasan, dispepsia,
pusing. Tramadol merupakan obat dengan kategori C ( tidak menyebabkan
efek teratogenik dan toksik pada penggunaan dosis terapeutik) (Keskin, 2003).
berdasarkan literature dosis yang diberikan adalah minimal 50mg. pada pasien
hanya diberikan 37 mg. hal ini berarti dosis yang diberikan kurang atau
underdose.
Codein atau methylmorphine merupakan suatu obat digunakan sebagai
analgesik, antitusif, dan antidiare. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein
sulfate dan codein phosphate. Codein adalah alkaloid yang ditemukan dalam
opium, sekitar 0,3 3,0 %. Meskipun codein bisa diekstrak dari opium,
sebagian besar codein yang ada saat ini disintesa dari morfin melalui proses
O-methylation. Codein juga tersedia dalam preparat kombinasi dengan
parasetamol sebagai co-codamol, dengan aspirin sebagai co-codaprin, atau
dengan ibuprofen. Kombinasi ini mengurangi nyeri yang lebih besar
ketimbang penggunaan masing-masingnya. Kolaborasi codein ini juga
memungkinkan penggunaanya untuk nyeri yang hebat, semisal nyeri akibat
penyakit kanker (Farmakologi UI, 2007).
Codein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi
morfin. Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin
itu sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi
morfin. Oleh karena itu, obat ini juga menyebabkan ketergantungan yang lebih
rendah dari morfin. Secara teoritis, agar memberikan efek analgesia setara

26

dengan morfin oral 30 mg, dosis oral codein yang harus diberikan adalah
sekitar 200 mg. Namun pada praktiknya cara ini tidak digunakan. Pasalnya,
pada pemberian dosis tunggal besar dari 60 mg dan tidak lebih dari 240 mg
per hari ada suatu ceiling effect (Farmakologi UI, 2007).
Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya,
mual, muntah, mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic
hypotension, retensi urin, dan konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek
codein bisa terjadi pada penggunaan jangka panjang, termasuk efek terapeutik.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa codein termasuk dalam golongan morfin
dan alkaloid opium. Efek farmakologiknya sama secara kualitatif akan tetapi
berbeda secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas
mencerminkan adanya efek analgesik, hipnotik, depresi nafas, dan obstipasi
(Farmakologi UI, 2007).
Dosis kodein yang harus diberikan adalah 60 mg, namun pada pasien hanya
diberikan 10 mg.
Vitamin B kompleks dikenal sebagai vitamin neurotropik, yang artinya
berfungsi untuk melindungi sel-sel saraf. Kekurangan vitamin-vitamin
tersebut menyebabkan gejala seperti, pegal-pegal atau tegang pada otot, atau
badan terasa kaku. Pada kekakuan otot, pasien merasa badan sangat berat
sehingga diperlukan tenaga lebih untuk bergerak. Vitamin B kompleks dapat
digunakan untuk mengurangi gejala di atas. Setiap 1 tablet suplemen
mengandung vitamin B1 sebanyak 100 mg (miligram), vitamin B6 sebanyak
200 mg, dan vitamin B12 200 mcg (mikrogram). Dosis konsumsi yang
dianjurkan yaitu 1 tablet sehari (Murray, 2000). Pada pasien di berikan 2 tablet
sehari.
Penatalaksanaan berdasarkan teori adalah :
1. Informasi dan edukasi
2. Farmakoterapi
a.

Akut : asetaminofen, NSAID, muscle relaxant, opioid


(nyeri berat), injeksi epidural.

27

b.

Kronik : antidepresan trisiklik (amitriptilin), opioid (kalau


sangat diperlukan).

3. Terapi nonfarmakologik
a.

Akut : imobilisasi (lamanya tergantung kasus),


pengaturan berat badan, posisi tubuh dan aktivitas, modalitas termal
(terapi panas dan dingin), masase, traksi (tergantung kasus), alat bantu
(antara lain korset, tongkat).

b.

Kronik : terapi psikologik, modulasi nyeri


(akupunktur, modalitas termal), latihan kondisi otot, rehabilitasi
vokasional, pengaturan berat badan, posisi tubuh dan aktivitas.

4. Invasif nonbedah
a. Blok saraf dengan anestetik lokal.
b. Injeksi steroid (metilprednisolon) pada epidural untuk mengurangi
pembengkakan edematous sehingga menurunkan kompresi pada radiks
saraf.
5. Bedah
a. Skiatika dengan terapi konservatif selama lebih dari 4 minggu : nyeri
berat / intractable / menetap / progresif.
b. Defisit neurologik memburuk.
c. Sindroma kauda.
Stenosis kanal : setelah terapi konservatif tidak berhasil. Terbukti adanya
kompresi radiks berdasarkan pemeriksaan neurofisiologik dan radiologik.

2.3 Apakah diagnosis banding kasus tersebut?


a. Radikulopati Servikal
Radikulopati servikal umumnya dikenal dengan saraf terjepit merupakan
kompresi pada satu atau lebih radiks saraf pada leher. Gejala pada
radikulopati servikal sering disebabkan oleh spondilosis servikal. Ciri khas
radikulopati servikal adalah rasa nyeri radikuler pada leher dan bahu yang
menyebar ke lengan, yang akan bertambah pada perubahan posisi leher

28

dan dapat diikuti terbatasnya gerakan leher dan rasa sakit pada penekanan
tulang dan kadang-kadang disertai parestesi pada lengan.
b.

Radikulopati Torakal
Radikulopati torakal merupakan bentuk yang relatif jarang dari kompresi
saraf pada punggung tengah. Daerah ini strukturnya tidak banyak
membengkok seperti pada daerah lumbal atau servikal. Hal ini
menyebabkan area torakal lebih jarang menyebabkan sakit pada spinal.
Kasus yang sering ditemukan pada bagian ini adalah nyeri pada infeksi
herpes zoster.

c.

Radikulopati Lumbal
Radikulopati lumbal merupakan problema yang sering terjadi yang
disebabkan oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. 2 level
terendah (L4-L5) dan (L5-S1) memiliki tegangan gerakan yang paling
fleksi dan ekstensi, serta merupakan lokasi cedera yang paling sering.
Gejala radikulopati lumbal dapat berupa nyeri yang biasanya terjadi tibatiba, bersifat hebat dan tajam, menjalar ke belakang tungkai kadangkadang sampai tumit. Nyeri pada radikulopati lumbal dapat diperberat
dengan batuk atau bersin. Radikulopati lumbal sering juga disebut siatika.

DAFTAR PUSTAKA

Adams and Victors. 2000. Principle of Neurology 8th Edition


AHFS Drug Information. Analgestic and Antipyretics. American Society of
Health system Pharmaticsts. 2002 : 2081 4
Darsono, I., 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol.
Available From: http://cls.maranatha.edu. Diakses pada 17 Januari 2016.
De Jong R. The neurologi examination. 4th ed. Hagerstown: Harper & Row,
1979:446-448, 566-568

29

Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi
5. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Gunawan A, 2009. Perbandingan Efek Analgesik antara Parasetamol dengan
kombinasi Parasetamol dan Kafein pada Mencit. Available from:
http://eprints.ums.ac.id. Diakses pada 17 Januari 2016.
Hartanto. H, 2011. Kamus Kedokteran Dorland edisi ke 29 ECG.
Keskin HL, Keskin EA, Avsar AF, Tabuk M, Caglar GS. Pethidine versus
Tramadol For Painrelief during Labor. Int. J. gynecol & Obstet. 2003; 82:
11 16
Mardjono M, 2004. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta. 322
Murray R K, et al. Harpers Biochemistry 25th ed. Appleton & Lange. America
2000 ,page
Nasution, Y.A., 2009. Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol Dalam Obat
Sediaan Oral Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Available
from: http://repository.usu.ac.id. Diakses pada 17 Januari 2016.
Rowland LP. Merritts textbook of neurology. 7th ed. Philadelphia : Lea &Febiger,
1984: 304-309
Smith, Howard MD. Potential Analgesic Mechanisms of Acetaminofen. Pain
Physician Journal. 2009
Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik. EGC.Jakarta : 2006.
WHO. Guidelines on the pharmacological treatment of persisting pain in children
with medical illness. France. 2012

30

Anda mungkin juga menyukai