Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih tetap merupakan problem utama kesehatan di Indonesia.Penyakit
infeksi jamur paru atau yang disebut dengan mikosis paru selama ini masih merupakan penyakit
yang relatif jarang dibicarakan. Akan tetapi akhir-akhir ini perhatian terhadap penyakit ini
semakin meningkat dan kejadian infeksi jamur paru semakin sering dilaporkan. 1 Hal ini
mungkin akibat dari , meningkatnya kesadaran dan usaha penemuan infeksi jamur dengan
berbagai cara menggunakan teknik yang tepat, bertambahnya kecepatan tumbuh jamur sebagai
akibat cara pengobatan modern, terutama penggunaan antibiotik, berspektrum luas, atau
kombinasi dari berbagai antibiotik, penggunaan kortikosteroid dan obat imunosuppressif lainnya
serta penggunaan sitostatika, terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat
termasuk penyakit kegananasan, dengan meningkatnya umur harapan hidup akan meningkatkan
insiden penyakit jamur paru, mobilitas dari manusia tinggi sehingga kemungkinan memasuki
daerah endemis fungi patogen semakin tinggi.2,3,4,5,6
Peranan infeksi ditambah dengan meningkatnya umur harapan hidup dari sekitar 45 tahun
pada tahun tujuh puluhan, diperkirakan menjadi sekitar 70 tahun pada tahun 2000 akan
meningkatkan insiden penyakit jamur paru di Indonesia.7
Walaupun masih relatif jarang bila dibandingkan dengan infeksi bakterial atau virus,
infeksi jamur paru penting karena dapat diobati dan keterlambatan pengobatan dapat berakibat
fatal.8 Permasalahannya ialah bahwa baik gambaran klinik maupun radiologik penderita mikosis
paru tidak khas.7,9
Jamur paru sering tidak lekas didiagnosa secara dini. Pasien baru tertegakkan
diagnosanya sebagai penderita jamur paru dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat, sehingga
pengobatan sering tidak berhasil.9
Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi primer maupun sekunder. Timbulnya infeksi
sekunder pada paru disebabkan terdapatnya kelainan atau kerusakan jaringan paru seperti pada
TB paru berupa kavitas, bronkiectasis, destroyed lung dan sebagainya.2

Gejala umum infeksi jamur paru sama dengan infeksi mikroba lainnya, antara lain batukbatuk, batuk darah, banyak dahak, sesak, demam, nyeri dada dan bisa juga tanpa gejala.
Oleh karena infeksi jamur paru sering menyertai penyakit lain dan tidak ada gejala yang
khas sehingga infeksi jamur paru sering tidak terdiagnosa, sehingga pengobatan terhadap infeksi
jamur paru sering terlambat diberikan.2
Infeksi jamur paru sebagai infeksi sekunder pada penderita TB paru akan menambah
permasalahan dalam pengobatan TB paru. Berbagai masalah yang dijumpai dalam pengobatan
penyakit TB paru antara lain: kesalahan diagnosa, perlukah semua kasus diobati, obat yang
adekuat, lama pengobatan, tata laksana pada yang gagal serta pengobatan pada penderita dengan
BTA negatif. 10,11,12
Dengan adanya infeksi jamur paru pada penderita TB paru akan menambah permasalahan
dalam pengobatan penyakit TB paru dan penderita bekas TB paru.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Hemaptoe
2.1.1. Definisi
Hemaptoe adalah batuk yang mengeluarkan darah atau dahak bercampur darah,
yang berasal dari saluran pernafasan bawah.13
2.1.2. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan derajat ringan beratnya hemaptoe: 13
- Ringan (Mild) : darah <100 ml dalam 24 jam
- Sedang (Moderate) : 100-600 ml dalam 24 jam
- Masif (Massive) : >600 ml dalam 24 jam atau >30 ml per jam
b. Klasifikasi menurut Pusel : 14
+
: batuk dengan perdarahan hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
++
: batuk dengan perdarahan 1-30 ml
+++
: batuk dengan perdarahan 30-150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan >150 ml
Catatan : + dan ++ dikatakan masih ringan, +++ sedang, dan ++++ hemoptysis
masif
2.1.3. Diagnosa banding penyakit dengan hemaptoe
Adapun diagnosa banding penyakit dengan hemaptoe antara lain: 14
1. Infeksi : tuberkulosis, abses paru, pneumonia, kaverne karena jamur,
bronkiektasis, dsb
2. Kardiovaskuler : stenosis mitral, hipertensi, gagal jantung, infark paru, dan
aneurisma aorta
3. Neoplasma : karsinoma bronkogenik, poliposis bronkus, adenoma, metastasis
endobronkial dari massa tumor ekstratorakal
4. Gangguan pembekuan darah (sistemik) : hemofilia, hemosiderosis, sindrom
Goodpasture, SLE, diathesis hemoragik,
dan pengobatan dengan antikoagulan
5. Cedera pada dada/trauma : Kontusio pulmonal, transbronkial biopsi, transtorakal
biopsi memakai jarum
6. Kelainan pembuluh darah : malformasi arteriovena, hereditary haemorrhagic,
teleangiectasis
7. Benda asing di saluran pernafasan
8. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba
2.1.4. Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari
cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan

paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk
pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang
merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya
perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi
beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus
yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe.13
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah
menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk
menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada
dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpastures
syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan
aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang
pembuluh darah bronkial.Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran
pembuluh darah cabang bronkial.Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya
anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal.Pecahnya pembuluh darah
pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke
dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
2.2.
Jamur Paru
2.2.1. Defenisi
Jamur paru atau mikosis paru adalah gangguan paru (termasuk saluran nafas) yang
disebabkan oleh infeksi/kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.15

2.2.2. Epidemiologi
Frekuensi mikosis paru semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan
meningkatnya jumlah pasien yang mengalami gangguan system imun misalnya pasien
keganasan, transplantasi organ, infeksi HIV/AIDS, dan penyakit kronik sistemik.
Epidemi AIDS merupakan salah satu faktor penting yang berperan pada peningkatan
kejadian mikosis paru.15
2.2.3. Faktor risiko
Faktor risiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang mempermudah pasien
mengalami mikosis paru.Beberapa faktor risiko yang sering dilaporkan antara lain:
kolonisasi

jamur, penggunaan

jangka

panjang

antimikroba

berspektrum

luas,

kortikosteroid sistemik,obat sitostatika, serta alat-alat kesehatan invasif.15


2.2.4. Gejala Klinis16
a) Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA)
1 Demam
2 Malaise
3 Sesak
4 Sakit dada
5 Wheezing
6 Dahak yang purulen
7 Batuk darah
b) Aspergiloma
Pada penyakit ini ternyata jamur tidak menembus sampai ke jaringan parenkim
paru, secara klinis, hemoptisis ( batuk darah) merupakan gejala utama yang dapat
masif sehingga mengancam jiwa pasien.
2.2.5. Patogenesis16
Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan aneka
ragam reaksi keradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia epitel, granuloma
histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik dan granulomatous,
granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasis Hampir dapat dikatakan bahwa jamur
apapun bila menginfeksi baik diparu atau pada jaringan manapun didalam tubuh
menimbulkan gambaran granuloma yang secara patologik sulit dibedakan dengan
granuloma yang terjadi pada TBC ataupun sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa
diagnosa patologik ditegakkan dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat,

namun ini masih mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti H Capsulatum,
Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces clan Coccidioides mempunyai
sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang secara histologik sukar dibedakan satu
dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan demikian memerlukan pemeriksaan kultur
(biakan) dan pemeriksaan serologik.
lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur
oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini terdapat
dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan pemakaian obat antibiotik
secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup lama, kortikosteroit, disamping
munculnya faktor predisposisi seperti penyakit kronis dan penyakit keganasan.
Timbulnya infeksi skunder pada jamur paru disebabkan terdapatnya kelainan paru
seperti kavitas tuberkulosa, bronkiektasis, krasinomabronkus yang sering menurunkan
daya tahan tubuh.
Jamur kandida albikans merupakan flora normal dalam rongga mulut, saluran
cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi penderita dengan
imunokompromi atau keadaan netropenia yang lamar Koloni akan meningkat pada
penderita dengan mendapat pengobatan antibiotika secara luas yang menekan flora
normal dan penyakit yang menimbulkan defek anatomi maupun defek imunologi.
Kandidiasis paru dapat disebabkan oleh invasi langsung infeksi pada bronkopulmoner
atau terjadi secara endogen karena jamur telah ada dalam tubuh penderita terutama di
usus, selanjutnya mengadakan invasi ke alat-alat dalam diseluruh tubuh melalaui aliran
darah.
Perkembangan penyakit kandidiasis ditentukan oleh interaksi yang kompleks
antara patogenisitas internal organisme tersebut dan mekanisme pertahanan pejamu.
Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan adalah imun dan non Imun.Faktor imun
yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral dan seluler.
Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Bukti-bukti ini
didapat dari pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV, adanya
defek imunitas selurer tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas,
walaupun sistem imunitas humoral normal.
Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan flora-flora mikrobial
lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif terhadap pertumbuhan patogen
jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat merupakan anti fungal alamiah.

Pada penderita Tb.Paru dengan defek anatomi paru disertai pemberian obat anti
tuberkulosa dalam waktu lama yang akan menekan flora normal sehingga pertumbuhan
jamur oportunistik tidak terhambat.
Penyakit granulomatous kronik juga merupakan predisposisi terhadap aspergilosi
invasif paru. Terinhalasi spora jamur aspergilus dalam jumlah banyak dapat menimbulkan
peneunitis akut, divus dan dapat sembuh dengan sendirinya.
Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas paru dengan
latar belakang penyakit Tb. Paru. Bola jamur bisa terdapat pada rongga kista atau kavitas
yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada lobus atas paru dengan diameter
beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada foto dada.
2.2.6. Diagnosis17
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat merupakan langkah penting dalam
prosedur diagnosis mikosis paru.Langkah tersebut harus diikuti pemeriksaan penunjang
yang tepat, yaitu pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi, dan mikologi.
1. Anamnesis
Pada anamnesis pasien mikosis paru, keluhannya mirip dengan keluhan penyakit
paru pada umumnya dan tanpa keluhan patognomonik. Demam, batuk, sesak napas
perlu diwaspadai sebagai gejala mikosis paru pada pasien dengan keadaan sebagai
berikut: pasien imunosupresi dan imunokompromis, penggunaan alat kesehatan
invasive jangka panjang, penyakit kronik, pasien dengan gambaran infiltrat paru
dengan demam yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik adekuat, pasien
dengan manifestasi mikosis kulit seperti eritema nodosum ekstremitas bawah, dan
pasien terpajan atau bpergian ke daerah endemik jamur.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, mikosis paru sulit dibedakan dengan penyakit paru lain,
tergantung kelainan anatomi yang terjadi di paru. Beberapa gejala berikut ini dapat
ditemukan pada pasien dengan mikosis paru: peningkatan temperatur, takikardia,
ronkhi, pleural rub, dan respiratory distress.
3. Radiologi
Gambaran foto toraks pada sebagian besar mikosis paru tidak menunjukkan ciri
khas, dapat ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul multiple, kavitas, dan
efusi pleura.Gambaran yang khas dapat ditemukan pada aspergilloma yaitu terdapat
fungus ball dalam kavitas. Hasil lebih baik didapat dari pemeriksaan CT Scan
thoraks.

4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk diagnosis mikosis paru
adalah pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan lab rutin, dapat ditemukan
peningkatan jumlah eosinofil.Pemeriksaan lab mikologi merupakan prosedur
diagnosis mikosis paru yang sangat penting.Spesimen dapat diperoleh dari sputum,
bilasan bronkus, BAL, jaringan biopsy, darah, cairan pleura, atau pus.Dalam waktu
dua jam, specimen harus segera diproses di lab.Jika tidak memungkinkan pemrosesan
dalam 2 jam, specimen harus disimpan pada suhu 4oC.
Sputum diambil sebaiknya pada pagi hari sebelum makan, dilakukan 3 hari
berturut-turut.Pasien harus berkumur dengan air matang 2-3 kali, lalu berusaha
membatukkan sputum.Jumlah sputum yang diperlukan sekitar 10-15 ml. Bilasan
bronkus atau BAL memiliki arti klinik lebih tinggi dibandingkan sputum.
Jaringan biopsy memiliki arti klinik paling tinggi karena penemuan jamur dalam
jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis.Spesimen sebaiknya diambil dari
tengah dan tepi lesi.
Metode laboratorium untuk diagnosis mikosis paru dilakukan melalui 3
pendekatan penting, yaitu: pemeriksaan mikroskopik, isolasi jamur pada biakan, serta
deteksi serologis terhadap jamur atau penandanya.
4.1.
Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung ataupun dengan pewarnaan harus
selalu dilakukan karena dapat mendiagnosis kemungkinan terdapatnya infeksi jamur
secara cepat, mudah, dan murah.Nilai diagnostik sangat bervariasi (10% sampai
>90%) tergantung pada spesies jamur yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik
langsung dilakukan dengan menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau
tinta india. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan giemsa, gomori methenamin
silver, ataupun deteksi antibody monoclonal dengan pewarnaan fluoresens.
Pada pemeriksaan langsung sputum, bilasan bronkus, BAL atau spesimen lain
dapat ditemukan spora ataupun hifa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal dan
BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam mendeteksi kriptokokosis.
Pewarnaan imunofluoresens antibody monoclonal memiliki sensitivitas lebih
baik dibandingkan pewarnaan biasa.
4.2.

Isolasi Jamur pada Biakan

Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen memiliki nilai
diagnostik bervariasi, tergantung spesies jamur, asal specimen, serta derajat penyakit

yang dialami pasien.Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik tinggi dan bahkan
menjadi gold standard diagnosis infeksi jamur tertentu.Misalnya biakan darah
menjadi gold standard infeksi Candida sp.
4.3.

Uji Serologis

Nilai diagnostiknya sangat terbatas sehingga perlu berhati-hati dalam


menginterpretasi hasil.Uji serologis digunakan untuk mendeteksi reaktivitas antibody
pejamu terhadap elemen-elemen jamur.
Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh hasil klinis yang optimal.
Keterlambatan diagnosis akan mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan yang
dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Dalam penegakan diagnosis
sistemik/invasive dikenal beberapa istilah yang menentukan derajat diagnostis, yaitu:
proven, probable, dan possible.

Perlu diketahui 3 kriteria penting untuk menentukan derajat diagnosis mikosis


paru:

faktor pejamu, meliputi faktor risiko (pemberian antibiotik jangka panjang,


kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang) serta penyakit yang diderita pasien (DM,

keganasan)
gambaran klinis (mayor: terdapat 1 atau lebih kondisi berikut pada CT Scan: lesi
padat dengan atau tanpa halo sign, air crescent sign, atau kavitas. Minor: gejala
infeksi saluran napas bawah seperti batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis,
pemeriksaan fisis ditemukan pleural rub, gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai

kriteria mayor).
hasil pemeriksaan mikologi.

Untuk kriteria diagnosis proven, yaitu: ditemukan faktor pejamu dan gambaran
klinis serta hasil pemeriksaan mikologi positif (pemeriksaan histologi atau sitokimis
menujukkan elemen jamur positif ditambah bukti kerusakan jaringan secara mikroskopik
atau radiologik, atau biakan positif dari specimen yang diambil dari tempat steril serta
secara klinis dan radiologis menunjukkan kelainan, atau pemeriksaan mikroskopik/
antigen dari cairan serebrospinal).
Untuk kriteria diagnosis probable, yaitu: ditemukan paling sedikit satu kriteria
faktor pejamu dan satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dari lokasi lesi
abnormalyang sesuai kondisi klinis atau radiologi, dan satu kriteria mikologi.

Untuk kriteria diagnosis possible, yaitu: paling sedikit terdapat satu kriteria faktor
pejamu dan satu kriteria klinis mayor atua dua kriteria klinis minor dari lokasi lesi
abnormalyang sesuai kondisi klinis atau radiologi tanpa kriteria mikologi atau hasil
pemeriksaan mikologi negative.
2.2.7. Penalataksanaan
Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan jenis jamur, status imun
pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap obat, terapi antijamur sebelumnya,
penanganan sumber infeksi dan faktor risiko. Penatalaksanaan ini terdiri atas
medikamentosa dan bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan memberikan obat
anti jamur (OAJ), yang terdiri atas beberapa golongan obat: polien, flusitosin, azol dan
ekinokandin.18
1. Golongan polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan natamisin. Cara
kerjanya adalah merusak membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehinga permeabilitas selular meningkat dan terjadi
kebocoran isi sel yang berakibat kematian jamur (efek fungisidal). Saat ini golongan
polien yang tersedia di Indonesia adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan
nistatin.
2. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida, Cryptococcus. Cara
kerjanya dengan mengganggu sintesis asam nukleat. Mudah mengalami resistensi.
Absorpsi oral baik, disekresi dalam urin. Obat ini terdistribusi baik dalam SSP dan
dapat dikombinasikan dengan amfoterisin-B untuk infeksi jamur sistemik. Efek
samping meliputi neutropenia, trombositopenia. Perlu dilakukan pengawasan
terhadap kemungkiman terjadinya gangguan fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di
Indonesia.
3. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah digunakan dalam
praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan menjadi dua kelas berbeda:
a. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol)
b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan posakonazol)
Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu sintesis ergosterol,
suatukomponen penting dalam membran sel jamur. Efek ini terjadi melalui
penghambatan enzim lanosterol 14-alfa demetilase yang berperan mengubah

lanosterol menjadi ergosterol, sehingga terjadi gangguan struktur dan fungsi normal
membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan terhambat (efek fungistatik),
meskipun beberapa penelitian in vitro melaporkan efek fungisidal beberapa obat
golongan azon pada dosis standar.
Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh tubuh. Efek samping
yang pernah dilaporkan adalah gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare),
hepatotoksisitas. Obat golongan azol tidak boleh diberikan pada perempuan hamil.
Obat ini dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom P-450, sekaligus merupakan
inhibitor poten sitokrom P-450 yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan
berbagai obat, misalnya rifampisin, barbiturat, karbamazepin, statin.
4. Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara kerjanya melalui
penghambatan sintesis enzim 1,2-beta-D dan 1,6-beta-D-glucansynthase. Enzim itu
penting dalam produksi glukan (komponen penting dinding sel jamur) yang
mengakibatkan

ketidakstabilan

osmotik

sehingga

sel

jamur

tidak

dapat

mempertahankan bentuknya dan berujung pada kematian jamur. Glukan tidak


ditemukan pada dinding sel mamalia sehingga efek samping ekinokandin terhadap sel
manusia sangat sedikit. Semua golongan ekinokandin memiliki keterbatasan
bioavailabilitas oral dan hanya tersedia dalam sediaan intravena.
Obat anti jamur dapat diberikan sebagai: terapi profilaksis, empiris, pre-emptive
(targeted prophylaxis), dan definitif. 18
1. Terapi profilaksis
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi,
dengan tujuan mencegah timbulnya infeksi jamur. Terapi profilaksis biasanya
diberikan pada awal periode risiko tinggi terkena infeksi.
2. Terapi empirik
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai tanda infeksi
(misalnya persisiten dengan neutropenia biasanya selama 4-7 hari) yang
etiologinya belum diketahui dan tidak membaik setelah tearpi antibiotika adekuat
selama 3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan diagnosis
possible.

3. Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis)


Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai gejala klinis, dan
hasil pemeriksaan radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan infeksi
jamur. Terapi pre-emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable.
4. Terapi definitif
Pemberian OAJ kepada pasien yang terbukti (proven) mengalami infeksi
jamur sistemik.
Pembedahan merupakan terapi definitif aspergiloma. Pada pasien dengan
hemoptisis ringan dianjurkan bed rest, postural drainage atau terapi simtomatik lain.
Pada pasien dengan hemoptisis berulang atau hemoptisis masif, pembedahan dilakukan
dengan mempertimbangkan risiko/toleransi operasi. Jika toleransi operasi tidak
memungkinkan, dipertimbangkan embolisasi, atau pemberian OAJ transtorakalintrakavitas.
Lama terapi OAJ bersifat individual, tergantung kepada jenis penyakit/infeksi
jamur yang diderita pasien, berat-ringannya penyakit, perkembangan penyakit selama
terapi, serta jenis OAS yang diberikan. Evaluasi pengobatan harus dilakukan untuk
melihat respons terapo dan toksisitas yang ditimbulkan OAJ. Evaluasi radiologi
dilakukan setelah pemberian OAJ 2 minggu. Evaluasi toksisitas obat dilakukan dengan
melihat gejala klinis (mual, muntah, ikterus, dll) dan pemeriksaan laboratorium sesuai
indikasi.

Tabel 2. Respons terapi OAJ 18


Luaran klinis, respons

Kriteria

Sukses
Respons komplit

Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua gejala


klinis dan kelainan radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi
jamur).

Respons parsial

Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala klinis


dan kelainan radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau
penurunan beban/jumlah jamur yang ditentukan secara
kuantitatif dengan petanda laboratorium.

Gagal
Respons menetap (stable)

Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor atau


tanpa perbaikan dalam penyakit jamur, tetapi tidak ada bukti
progresif

berdasarkan

kriteria

klinis,

radiologis

dan

laboratoris.
Progresif

Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klonis,


radiologis dan laboratoris.

Kematian

Kematian dalam periode pengamatan oleh sebab apapun.

Algoritma Penatalaksanaaan Mikosis Paru


Gejala, faktor risiko
Fungus ball

FOTO TORAKS

Lesi lain

Operasi (bila mungkin)


CT-scan,
+OAJ
induksi sputum, bronkoskopi (BAL), biopsi, TTNA, pemeriksaan mikologi

eriksaan lain termasuk pemeriksaan mikologi (konfirmasi jamur).

Bila operasi tidak mungkin FR (+) Infeksi (-) Possible


in
Infeksi (-)

Probable

Proven

Profilaksis Terapi empirik


Terapi pre-emptive
Terapi definitif

Evaluasi respons

(+)

OAJ

Usahakan tatalaksana invasif minimal (kevemostomi, kavemoplasti)

(-)

Terapi OAJ

OAJ sesuai jenis jamur

Evaluasi toksisitas dan respons terapi

OAJ sampai faktor risiko teratasi


OAJ dilanjutkan
>> 3-4 minggu
2 minggu setelah perbaikan klinis, radiologi dan mikolo

2.2.8. Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
imunodefisiensi atau imunocompromized.Bila PCP (Pneumocystis carinii) ditemukan pada penderita
dengan imunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100%. Namun bila infeksi dapat
didiagnosa sejak dini dan diberikan terapi yang adekuat, persentase kematian akan turun hingga 10%.19

BAB 3
LAPORAN KASUS
Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik Medan
Rekam Medik
No

: 00.54.68.35

Tanggal: 03-02-2013

Hari

: Minggu

Nama Pasien : Iriani

Umur : 33 tahun

Seks

: Pr

Pekerjaaan

:-

Alamat : Dusun VIII Angsana Bandar Khal

Agama

: Islam

Tlp

:-

HP

:-

Keluhan Utama

: Batuk Darah

Anamnesa

: Batuk darah dialami o.s 3 tahun terakhir, namun dirasakan o.s


memberat dalam 2 minggu ini. Vol: 1sdm/kali batuk, warna merah
segar, frekuensi sering (250 cc/hari). Riwayat batuk darah (+) sejak 3
tahun yang lalu, bersifat hilang timbul.
Sesak napas dialami os sejak 3 tahun yang lalu dan memberat dalam 2
minggu ini. Sesak napas tidak berhubungan dengan aktifitas dan cuaca.
Sesak napas terasa memberat jika os batuk.
Batuk berdahak dialami os sejak 3 tahun yang lalu, warna putih dengan
vol sdt/x batuk, frekuensi sering dan tidak dijumpai bau.Riwayat
napas berbunyi (-), Mengi (-), Nyeri dada kiri dialami os 3 tahun dan
memberat dalam 2 minggu ini, seperti ditusuk tusuk, penjalaran (-).
Demam (-). Riwayat demam dijumpai 2 minggu yang lalu, demam tidak
terlalu tinggi, menggigil (-). Keringat malam (+) sejak 3 tahun yang lalu,
penurunan nafsu makan disertai penurunan BB (+) 10 kg/3tahun.
Riwayat OAT (+) pada tahun 2010 dari Sp.P berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan dahak dan foto toraks. Diberikan OAT kategori I, diminum


lengkap selama 6 bulan, namun os tidak kembali untuk kontrol. pada
tahun 2011 os kembali mendapatkan OAT dari puskesmas berdasarkan
gejala klinis dan pemeriksaan dahak (hasilnya BTA (-)) diberikan FDC
(1 x 3 tab) tanpa suntikan selama 6 bulan, namun belum pernah
dinyatakan sembuh. Riw merokok (-), suami os perokok aktif.
Sebelumnya os dirawat di RS Haji Mina Medan selama 2 minggu. OS
sempat kritis 1 hari dan telah ditransfusi darah 4 kantong. Sejak tahun
2010 OS sudah 9 kali dirawat/opname di RS. Dan juga rutin berobat
jalan ke Poli Paru RS. Haji Mina Medan. Os di rujuk ke RSUP-HAM
untuk penatalaksanaan selanjutnya.

Riwayat penyakit terdahulu: TB paru, Hemoptisis


Riwayat pemakaian obat

: Rifampicin, INH, Pirazinamide, Ethambutol.

Status Presens:
KU: lemah

Kesadaran: CM

TD: 100/70 mmHg

RR: 24 x/i

Suhu: 37,0 C

Sianosis: (-)

Ortopnu (-)

Dispnu (-)

Ikterus (-)

Edema (-)

HR: 80 x/i
Pucat (-)

Pemeriksaan Fisik:
Kepala

: Tidak tampak deformitas

Mata

: Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-); sklera ikterik (-/-)

Leher

: Pembesaran kelenjar tiroid (-); Pembesaran KGB (-), Tekanan vena


jugularis R-2 cm H2O

Abdomen

: Soepel, Scar (-), Dilatasi vena (-), Pulsasi (-)

Ekstremitas Atas

: Palmar eritem (-), Clubbing finger (-), Nicotin staining (-), HPOA (-),
Tremor (-), sianosis (-)

Ekstremitas bawah : Edema (-), Clubbing finger (-), HPOA (-), Sianosis (-).

Dinding toraks

:Inspeksi

: Asimetris, ketinggalan bernapas dada kiri,


Venektase (-), Vena kolateral (-), pernapasan ThorakoAbdominal

Palpasi : SF Kiri < Kanan, kesan kiri mengeras


Perkusi

: Sonor memendek pada lapangan paru kiri

Auskultasi

: Sp : Bronkial pada paru kiri


St : Ronchi basah halus pada paru kiri (+), Wheezing (-)

Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik :
Tanggal

3/02/2013

6/02/2013

9/02/2013

14/02/2013

16/02/2013

19/02/2013

24/02/2013

HGB

8,9gr%

7,6gr%

10,1gr%

10,4 gr%

10,10

10,5 g%

10,10 gr%

gr

%
WBC

13,55x

14,85

103/mm

103/mm

103/mm

103/mm

103/mm

103/mm

3,65x

3,4x

4,18x

4,37x

4,3x

4,43x

4,18x

106/mm

106/mm

106/mm

106/mm

106/mm

106/mm

106/mm

HT

26,8 %

25,7 %

31,90 %

32,8 %

32,6%

33,3 %

29,8 %

PLT

553

652x

553x

488x

513x

507x

RBC

15,19x

14,82

103/mm

648

15,32

17,13

20,87

10/mm

10/mm

10/mm

10/mm

10/mm

10/mm

10/mm

66,60%

70,10%

69,10%

78,10%

76%

88,90%

77,20%

Limfosit

18,60 %

15,70 %

15,30%

11,60%

11,80%

7,50%

9,40%

Monosit

12,80%

10,00%

10,60%

8,60%

10,10%

3,40%

9,80%

Eosinofi

1,8%

4%

4,8%

1,4%

1,80%

0,10%

3,50%

Basofil

0,200 %

0,200 %

0,200%

0,300%

0,300%

0,100%

0,100%

KGD ad

102,90

87,20

117

202,4

252

random

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/dL

Ureum/

12,9

11,6/0,56

11,4/0,61

19,4/0,56

Neutrofi
l

10/0,52

12,5/0,59

Kreatini

0,48

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/dL

Na/K/Cl

129/3,5/1

133/3,5/1

138/3,7/1

133/3,5/95

132/3,3/95

115/2,7/83

03

02

01

mEq/L

mEq/L

mEq/L

mEq/L

mEq/L

mEq/L

Tanggal

3/02/2013

24/02/2013

pH

7,477

7,562

pCO2

37,6 mmHg

34,3 mmHg

pO2

158,4 mmHg

146,8 mmHg

Bikarbonat(HCO3)

27,2mmol/L

30,1 mmol/L

Total CO2

28,3 mmol/L

31,2 mmol/L

BE

3,6 mmol/L

7,6 mmol/L

Saturasi O2

98,7 %

99,6 %

Kesan:

Alkalosis Metabolik

Alkalosis Metabolik

AGDA (FiO2=0,32)

Tanggal

3/02/2013

9/02/2013

14/02/2013

- Kontrol

14.30/s

13.90/s

12.50/s

- Pasien

15.0/s

18.1/s

14.0/s

INR

1.05/s

1.34/s

1.13/s

- Kontrol

32.0/s

32.5/s

33.3/s

- Pasien

31.8/s

36.5/s

34.8/s

Faal Hemostasis
PT + INR
Waktu Protombin

APTT

Waktu Trombin

- Kontrol

14.2

14.0/s

18.0/s

- Pasien

12.3

14.5/s

15.2/s

D- Dimer

Tanggal

6/02/201
3

9/02/2013

14/02/201
3

16/02/2013

19/02/2013

B. Total

0.19
mg/dL

0.23
mg/dl

0.35
mg/dL

0.31
mg/dL

0.39
mg/dL

B. Direct

0.09
mg/dL

0.11
mg/dl

0.14
mg/dL

0.14
mg/dL

0.10
mg/dL

A.Fosfatase

115 U/L

127 U/L

128 U/L

148 U/L

145 U/L

SGOT

16 U/L

15 U/L

15 U/l

26 U/L

20 U/L

SGPT

14 U/L

13 U/L

14 U/L

15 U/L

21 U/L

Protein
Total

7.2 g/dL

7.5 g/dl

8.1 g/dl

8.2 g/dL

8.7 g/dL

Albumin

3.2 g/dL

3.2 g/dl

3.7 g/dl

3.7 g/dL

3.8 g/dL

Globulin

4.0 g/dL

4.3 g/dl

4.4 g/dl

4.5 g/dL

4.9 g/dL

Hati

Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi :


Tanggal

4/02/2013

Mikrobiologi Sputum
Pewarnaan langsung

Dijumpai struktur jamur

Hasil Kultur

Bakteri Aerob

Bakteri Aerob

Dijumpai Staphylococcus epidermis

Direct BTA I/II/ III

-/-/-

Kultur BTA
Sensivity test OAT

Sensivity AB

Clindamycin, Doxycycline, Gentamycin, Nitrofurantoin,


Tigecycline, Linezolid, Tetracycline, Vancomycin

Resisten AB

Amoxicillin, Azithromycin, Carbenicillin, Cefadroxil,


Cefaklor, Cefalexin, Cefazolin, Cefixim, Cefotaxime,
ceftazidime, Ceftriaxone, Cefuroxime,
Ertapenem,Cefepime, Imipenem, Ciprofloxacin,
Dicloxacillin, Erythromycin, Levofloxacin, Meropenem,
Methicillin, Oxacillin, Piperacillin, PiperacillinTazobactam, Ticarcilin

Pemeriksaan Radiologi :
Foto toraks PA di Klinik Swasta tgl : 14-9-2011

Interpretasi Foto Thotax:


Posisi
Inspirasi
KV
Trakea
Klavikula
Skapula
Tulang
Paru
Jantung
Diafragma

PA Erect
Posisi pasien simetris
Inspirasi maksimum
Iga anterior memotong diafragma pada iga ke 7
Kurang
Di tengah
Normal, V shaped, tidak tampak fraktur
Tidak superposisi
Tidak tampak destruksi iga.
Gambaran infiltrat pada lapangan Atas s/d bawah paru kanan dan kiri
CTR< 50%
Sulit di nilai

Foto toraks PA di Klinik Swasta tanggal : 3-3-2012

Interpretasi Foto Thorax:


Posisi

PA Erect
Posisi pasien simetris

Inspirasi

Inspirasi maksimum
Iga anterior memotong diafragma pada iga ke 7

KV

Kuat

Trakea

Di tengah

Klavikula
Skapula
Tulang

Normal, V shaped, tidak tampak fraktur


Superposisi
Tidak tampak destruksi iga.
Gambaran infiltrat pada lapangan Atas s/d bawah paru kanan dan kiri
Gambaran kavitas pada lapangan bawah paru kanan, atas s/d tengah
paru kiri
CTR< 50%
Sulit dinilai

Paru
Jantung
Diafragma

Foto toraks Lateral di RSUP HAM tanggal : 3-2-2013

Interpretasi Foto thorax lateral :

Tampak konsolidasi inhomogen pada lapangan tengah paru kiri

Foto toraks PA di RSUPHAM: 5-2-2013

Interpretasi hasil Foto Thorax :


Posisi
Inspirasi
KV
Trakea
Klavikula
Skapula
Tulang
Paru

Jantung
Diafragma

PA Erect
Posisi pasien simetris
Inspirasi maksimum
Iga anterior memotong diaf pd iga ke 7
Cukup
Di tengah
Normal, V shaped, tdk tampak fraktur
Superposisi
Tidak tampak destruksi iga.
Gambaran infiltrat pd lap. Atas s/d bawah paru kanan dan kiri
Gambaran kavitas pada lapangan bawah paru kanan, atas/d tengah paru
kiri
CTRsulit di nilai
Sulit di nilai

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
1. Davies SF, Sarosi GA. Fungal Infections, In: Texbook of Respiratoty Medicine 2nd ed,
Murray JF, Nadel eds. Philadelphia WB.Sounders Co. 1994: 1161 -244.
2. Hood Alsegaff. Masalah jamur paru di Indonesia dalam: Infeksi jamur paru, buku kumpulan
makalah PIK IV PDPI, Bukit Tinggi 1994: 11 -21.
3. Bodey PG. Fungal Inspection in Cancer Patients an Overview. Pfizer International Inc.1990:
5 -11.
4. Ellis HD. Aspergillosis, Clinical Mycology. New York. Gillingham Print Ltd. 1994: 70 -78.
5. Mangunnegoro H. Infeksi Nosokomial oleh jamur pada paru. Pulmonologi Klinik Jakarta.
Balai Penerbit FKUI. 1992: 109 -15.
6. Mangunnegoro.H. Diagnostik mikosis paru, dalam Infeksi jamur paru, buku kumpulan
Makalah PIK.IV PDPI, Bukittinggi 1994: 51 -69.
7. Hinsaw HC, Murray JF, Histoplasmosis, Coccodioidomycosis ,Blastomycosis and other
Pulmonary Mycoses. Diseases of the Chest 4dt ed, WB Sounders Co. 1980 : 380 - 415.
8. Crofton J, Douglas A, FungaI Inspection of the Lung. Respiratory Diseases 3rd ed. Blakwell
Scientific Publications 1981. 329 -45.
9. Susilo J. Mikosis Paru, MKI; 1987 ; 553.
10. Mangunnegoro H. Pengobatan rasional TB, dalam: Simposium pengobatan mutahir
tuberkulosa paru. Bandung. 1988; 15-20.
11. Mangunnegoro H, Rasyid R. Berbagai permasalahan dalam penyakit tuberkulosis paru,
dalam: Yunus F. dkk (eds). Pulmonologi klinik, Bagian pulmonologi FK UI, Jakarta 1992: 73
-9.
12. Suryatenggara W. Permasalahan dalam pengobatan tuberkulosis paru. Konkernas VII PDPI.
Bandung 1995.
13. Lundgren F, dkk. 2010. Hemoptysis in a referral hospital for pulmonology. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20625669 [Accessed 9 Maret 2013]
14. Idmgarut. 2009. Hemoptoe. Available at: idmgarut.wordpress.com/2009/02/01/hemoptoe
[Accessed 9 Maret 2013]
15. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011.
16. Sukamto, 2004. Pemeriksaan jamur bilasan bronkus pada penderita bekas tuberkuloma paru.
USU.

Available

from

http/repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3454/1/paru-

sukamto.pdf. (Accessed 12 Maret 2013).


17. 18. Rozaliyani A, Jusuf A, Hudoyo A, Nawas A, Syahruddin E, Burhan E, et al. Mikosis Paru.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011.

19. http://www.scribd.com/doc/112866352/Pcp

Anda mungkin juga menyukai