Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Batuk merupakan reflek pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan


trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk adalah mekanisme yang penting untuk
membersihkan saluran pernafasan bagian bawah. Batuk juga merupakan gejala tersering
penyakit pernafasan. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan
mekanik, kimia dan peradangan.

Hemoptoe atau batuk darah adalah darah atau dahak berdarah yan dibatukkan,
berasal dari saluran pernafasan bagian bawah ( mulai dari glottis kearah distal ). Batuk
darah lebih sering merupakan tanda atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus
dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah merupakan suatu gejala atau
tanda dari suatu infeksi. Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain penyakit
infeksi, neoplasma, benda asing, trauma, penyakit autoimun dan lain-lain. Volume darah
yang dibatukkan bervariasi dari dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga
massif tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.

Penderita yang mengalami batuk darah memerlukan pertolongan segera dan


pengawasan medis karena sewaktu waktu dapat terjadi perdarahan massif yang berakibat
fatal. Penanganan batuk darah pada prinsipnya menjaga jalan nafas agar tidak terjadi
asfiksia, menghentikan perdarahan dan penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada
etiologi dan lokasi sumber perdarahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah


atau sputum yang berdarah.1 Batuk darah adalah batuk yang disertai
pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan.11

Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak


mengandung darah, berasal dari saluran napas di bawah pita suara. (3)

2.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : (4)
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Penyebab terpenting dari hemoptisis massif adalah :5

1. Tumor
a. Karsinoma
b. Adenoma
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal
2. Infeksi
a. Aspergilloma
b. Bronkhiektasis ( terutama lobus atas )
c. Tuberkulosis paru
3. Infark paru
4. Oedema paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemik lupus erimatosus
b. Goodpasture’s syndrome
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis
d. Bechet’s syndrome
6. Cedera pada dada dan trauma
a. Contusio pulmonal
b. Transbronkial biopsy
c. Transtorakal biopsy menggunakan jarum
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis
8. Bleeding diathesis
Ada banyak penyebab hemoptoe yang merupakan penyebab paling sering yaitu
tuberculosis, bronkiektasis dan abses paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis.

Penyebab batuk darah menurut penyelidikan Osler A. Abbott :2

Presentase Presentase
Penyakit Pasien Penyakit Pasien
Hemoptisis Hemoptisis
Karsinoma
56,0 Empiema 24,5
bronkogenik
Metastasis
Abses paru 49,2 24,0
Karsinoma
Infark pulmonal 44,0
Tumor
Bronkiektasis 43,5 20,0
Mediastinum
Tuberkulosis 36,5
Obstruksi
Krista kongenital 25,8 9,0
Esofagus
2.3 Patofisiologi

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan


hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru,juga bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.6
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:2,8
a. Adanya Rasmussen’s aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini telah lama
dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih membuktikan terdapat
hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan. Setelah
berkembangnya arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap proses
paru terjadi hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang
berperan memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan
arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Oleh karena itu terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna
tuberculosis yang merupakan asal perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari basil
tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus atau
berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh
darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan.
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan
juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus
yang mengalami ektasis.
4. Batuk darah pada bronchitis kronis
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh
mekanisme batuk.
5. Batuk darah pada abses paru
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar menutup,
maka pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat trauma pada
saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena
tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan rupture vena
pulmonalis atau distensi kapiler sehingga butir darah merah masuk ke
alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di mukosa
bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena bronkialis
yang hebat sehingga tampak seperti varises.
7. Batuk darah pada infark paru
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi
anastomose. Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut,
akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah masuk ke alveoli
dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu terbentuknya
antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab) lebih spesifiknya
kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya keutuhan membranan
basalis epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya sel darah merah dan
netrofil masuk ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan
antikoagulan serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak
bercampur di dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi pada
bronkus yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.

2.4 Klasifikasi

1. Klasifikasi berdasarkan penyebabnya dikenal jenis-jenis batuk darah yaitu:9


a. Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50
tahun kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti spontan dengan suportif
terapi.
b. Batuk darah sekunder yang penyebabnya dapat dipastikan berasal dari :
- Saluran nafas yang sering adalah tuberculosis, bronkiektasis, tumor
paru, pneumonia dan abses paru
- Menurut Banet (82-86) batuk darah disebabkan oleh tuberculosis
paru, karsinoma paru dan bronkiektasis. Yang jarang dijumpai
adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penakit oleh karena
cacing
- System kardiovaskuler yang sering adalah stenosis mitral dan
hipertensi. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru,
aneurisma aorta
- Lain-lain, disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah
seperti hemophilia, hemosiderosis,erimatosus lupus sistemik,
diatesishemoragik dan pengobatan dengan obat antikoagulan

2. Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan : 10

a. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam


Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
b. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar.
Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
c. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
d. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan
buatan (factitious).

3. Klasifikasi menurut Pusel 7

+ batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis


dalam sputum
++ batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ batuk dengan perdarahan 150-500 ml
Massive batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih

4. Klasifikasi menurut Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah


darah yang keluar menjadi: 10

a. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.’


b. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari
dengan interval 2 sampai 3 hari.
c. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptisis
selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah,
sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan
yang terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptisis
juga mempunyai kelemahan oleh karena: 8,12
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-
kadang dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan jumlah
darah yang hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan tinja,
sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh:13
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat
dinilai dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa gangguan aritmia,
gangguan mekanik jantung, maupun aliran darah serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
a. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.

2.5 Manifestasi klinis


Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal
dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita
tersebut benar-benar batuk darahdan bukanmuntah darah.10 Hal tersebut akan
dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.2. Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah12

No Keadaan Batuk Darah Muntah Darah

1 Prodromal Darah dibatukkan dengan Darah dimuntahkan


rasa panas di tenggorokan dengan rasa mual
(Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan, dapat
disertai dengan muntah disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
hemosiderin, makrofag
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
penyakit dahulu pepticum, kelainan hepar
(RPD)
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) / Blood Test (+) /
Benzidine Test (-) Benzidine Test (+)

Kriteria batuk darah: 8


a. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
b. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
c. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan
darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
2.6 Penegakkan diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada
penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga
pemeriksaan fisik maupun penunjang sehinggapenanganannya dapat
disesuaikan.
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:2,13
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan
dan batuk
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.

2. Pemeriksaan fisik 2,8


Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh :
Ca, bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan
intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderitahemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan
tempatperdarahannya.11 Pemeriksan foto thoraks merupakan salah satu
komponen penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab
perdarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan
dengan kaviti, tumor, infiltrat dan atelektasis. Perdarahan intra-
alveolar menimbulkan pola infiltrat retikulonedular. Namun demikian
gambaran foto thoraks bisa normal ataupun tidak informatif.14
b. Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis,
sebab sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada
pemeriksaan X-foto toraks.10
c. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan
dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak
langsung).4 Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA).
Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40
tahun dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama
untuk BTA dan jamur.14
d. Laboratorium 15
1). Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
ii. Leukosit meningkat  infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis  kanker paru
2). CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau
pasien menerima warfarain/heparin
3). Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas
dan sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi
penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti,
karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.11,10
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 11
i. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
ii. Batuk darah yang berulang
iii. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yanglebih impulsif, sehingga dapat
memperhebat perdarahan disampingmemperburuk fungsi pernapasan.
Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapatmenilai bronkoskopi
merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasiperdarahan.11
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop
serat optic jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat
bermanfaat dalammembersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing,disamping itu dapat melakukan penamponan
dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.11

2.7 Penatalaksanaan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis
yang masif. Tujuan pokok terapi ialah (16,17):
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif. 18

Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam


saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat
kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk
dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik. (4)

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :

1. Terapi konservatif (4,19)


a. Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring
(4)
(lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang
sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. (7)
b. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
c. Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam
saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
d. Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.
e. Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
f. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
g. Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan
yang terjadi.
h. Pemberian oksigen.
Tindakan selanjutnya bila mungkin (7) :
i. Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
j. Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah
dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber
perdarahan.

2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (4) :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi
18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut


(4)
:

a. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari
10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
c. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10
g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
d. Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru
dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar
dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau
tanpa torakoplasti. (7)
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan.
Metode yang mungkin digunakan adalah (4) :

a. Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan


bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang
berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak
50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap
dengan suction.
b. Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm
penampang 8,5 mm.

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia,


sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam waktu
singkat. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit ke
sisi paru yang sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan
saluran napas sehingga paru bagian distal akan mengalami kolaps dan terjadi
atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran napas sehingga
paru bagian distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.14

Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor: 6

1. Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam saluran


pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:
a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka
digolongkan dalam massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis
menurut Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam sedangkan menurut
Sdeo adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah
perdarahan. Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke dalam jaringan
paru yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Meliputi bagian yang luas dari paru
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya cairan
lambung ke dalam paru karena penutupan glottis yang tidak sempurna
d. Dapat diikuti sekunder infeksi.

Aspirasi pneumonia merupakan keadaan berat karena saluran napas dan


bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan baik.

2.9 Prognosis

Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami


hemoptoe yang rekuren.Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa
faktor yang menentukan prognosis :

1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai


prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.(16,9)
BAB III

KESIMPULAN

1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau
kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.

2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusen’s pada dinding kavitas paru disertai fibrosis
perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.

3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan banyaknya darah
yang keluar bersama batuk.

4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma dan
bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus dipikirkan pertama – tama
tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada
usia lebih dari 40 tahun kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu
tuberkulosis, kemudian bronkiektasis.

5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan terapeutik yang
penting pada hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada waktu perdarahan masih
berlangsung.

6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia, renjatan
hipovolemik dan bahaya aspirasi.

7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi kardiopulmoner


dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan tersebut
dilakukan secara konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat
ringannya hemoptisis yang terjadi.

8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan
cepatnya tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Price SA.Wilson LM. 2012.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit ed.6, Jakarta:
EGC.

2. PAPDI. 2012. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya
Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

3. Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif. Cermin Dunia
Kedokteran. 1992. (80) : 90 – 94

4. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201

5. Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par East Ed. 1991.
4(14) : 3644

6. Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI

7. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara. Jakarta. p.19 –
2

8. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku at a glance
Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.

9. Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten. Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985

10. Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UI

11. Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam Simposium Ilmu
Kedokteran Darurat. FK – Unair. Surabaya. 1979. p.162 – 164
12. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-95

13. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med 2010;
28(5):1642-7

14. Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan
paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto, 2008. Hal 1-15.

15. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal. 2013. Prognosis of
bronchial artery embolization in the management of hemoptysis. Respiration 67:412-6

16. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the committee
on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474

17. Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant hemoptysis in Patients with
Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi
offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327

18. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi


offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327

19. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam. Soeparman.
Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688

Anda mungkin juga menyukai