Anda di halaman 1dari 9

SUNAT PEREMPUAN ANTARA TRADISI DENGAN KESEHATAN

TOPIK: FEMALE GENITAL MUTILATION

MK: GENDER DAN PERLINDUNGAN ANAK

KELOMPOK 5:

1. NI LUH MADE RIA SATIAWATI 18120706005


2. NI KADEK NOVY SUARDEWI 18120706014
3. NI MADE LIANA PURNAMA DEWI 18120706023
4. WULANDARI NADIA 18120706048
5. NI PUTU DIANA SUARTARI 18120706069

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DHYANA PURA
TAHUN AJARAN 2018/2019
A. LATAR BELAKANG

Kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak
Asasi Manusia. Kesehatan reproduksi merupakan bagian dari kesehatan yang merupakan hak
asasi setiap orang. Saat ini, banyak masalah kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia
yang belum di akses secara maksimal terutama yang berkaitan dengan gender dan
diskriminasi terhadap perempuan.(Inayati Noor Inna,2016).

Praktik sunat adalah merupakan salah satu bentuk perampasan hak-hak reproduksi perempuan,
yang dimaksud dengan sunat adalah tindakan terhadap perempuan yang dilakukan dengan
menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelaminnya, atau melakukan tindakan tertentu
terhadap alat kelamin perempuan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas
pada alat kelamin tersebut. Althaus (1997) menyatakan bahwa tindakan sunat pada perempuan
merupakan ancaman bagi kesehatan reproduksi sekaligus sebuah bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. (Rokhmah Islamiyatur,2015). Kontroversi
tentang sunat perempuan terjadi tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain .
Berdasarkan data UNICEF, salah satu lembaga PBB yang peduli terhadap kondisi kesehatan
dan perlindungan anak mengungkapkan, saat ini banyak anak perempuan di bawah usia 15
tahun masih beresiko mengalami praktik sunat perempuan. PBB sendiri dalam Sidang Majelis
Umum telah sepakat mengeluarkan resolusi pelarangan sunat perempuan. Dasar dari
pelarangan tersebut adalah karena khitan perempuan dinilai membahayakan kesehatan
reproduksi dan psikologi perempuan(Farida Jauharotul,2017).

Di Indonesia, tradisi sunat perempuan masih dilakukan di beberapa daerah. Mereka


melaksanakan sunat perempuan ketika anak berusia 7-9 tahun. Bagi masyarakat didaerah tersebut
hal inidimaksudkan sebagai pelengkap daur hidup, dan tradisi ini sangat kuat dipegang oleh
masyarakat.Masalah ini bersinggungan dengan persoalan interaksi nilai-nilai agama dan
budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki kekuatan spiritualitas dalam
keragaman tradisi budaya, dimana hal tersebut sangat terkait oleh bagaimana teks-teks agama
itu diamalkan dalam kehidupan tradisi lokal di tengah situasi kehidupan peradaban global.
(Rokhmah,2015). Melihat tradisi tentang sunat perempuan terebut, kami tertarik untuk membahas
tentang kebudayaan sunat perempuan dan dampaknya terhadap kesehatan.
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tentang khitan perempuan yang dikenal dengan Female
Genital Mutilation (FGM) pada masyarakat di Indonesia
2. Untuk mengetahui hubungan sunat pada perempuan dengan bias gender
3. Untuk mengetahui hubungan sunat perempuan dengan kesehatan

C. PEMBAHASAN
1. Praktik Sunat Perempuan di Indonesia
Sunat/khitan merupakan praktik kuno yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat
untuk alasan agama maupun sosial budaya, dan sampai saat ini masih terus berlangsung. Khitan
atau sunat tidak hanya berlaku pada anak laki-laki, tetapi juga berlaku pada anak perempuan. Dalam
berbagai kebudayaan peristiwa khitan sering kali dipandang sebagai peristiwa yang sakral, seperti
halnya upacara perkawinan. Budaya sunat perempuan sudah lama dikenal umat manusia. Praktik
sunat perempuan di Indonesia, biasanya dilakukan dengan cara seperti misalnya melukai
sebagaian kecil alat kelamin bagian dalam, atau sekedar simbolis saja. Simbolisasi ini
biasanya dilakukan dengan meruncingkan kunyit lalu digunakan menoreh klitoris anak
perempuan. Meskipun di beberapa daerah tertentu, ada pula yang menggunakan alat-alat
tajam, atau bahkan dengan batu permata digosokkan ke bagian klitoris anak perempuan
(Rokhmah Islamiyatur,2015)
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2004 ada beberapa jenis atau
tipe sunat perempuan. Jenis itu antara lain, pertama, menghilangkan bagian permukaan,
dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris. Kedua, pengangkatan
klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora. Ketiga,
pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar diikuti dengan menjahit
atau menyempitkan lubang vagina (infibulasi). Keempat, menusuk, melubangi klitoris dan
labia, atau merenggangkan klitoris dan labia. Kelima, merusakkan jaringan di sekitar lubang
vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cuts). Keenam, memasukkan bahan-
bahan atau tumbuhan yang bersifat merusak ke dalam vagina (Farida Jauharotul,2017).
Tujuan dilakukan sunat perempuan bagi masyarakat adalah agar anak perempuan tersebut
dapat mengendalikan libido atau hyperseks. motivasi menjalankan tradisi sunat perempuan
adalah menjalankan tradisi leluhur yang telah turun temurun dari orang tua sejak zaman
dahulu, dan menjalankan perintah agama karena adanya perintah khitan/sunat. Waktu
pelaksanaan sunat perempuan pada umumnya bersamaan dengan upacara-upacara adat Jawa
untuk bayi/anak kecil, yakni bersamaan dengan terputusnya tali pusar, umumnya usia bayi 7
hari dan usia bayi 35 hari. di Indonesia, tradisi sunat perempuan masih menjadi kontroversi,
ada yang mendukung dan ada juga yang menolak. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa haram melarang praktik sunat perempuan, dan menghukumi praktik
sunat perempuan sebagai sesuatu yang mulia. Sementara Pemerintah Indonesia pernah
melegalkan sunat perempuan melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636 Tahun 2010
tentang Tata Cara Sunat Perempuan, Akan tetapi, kemudian pemerintah membatalkan
Permen tersebut melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 dengan alasan praktik sunat
perempuan tidak memiliki manfaat apa-apa bagi kesehatan, justru bisa mendatangkan bahaya
(Hidayati Sri,2017)
Meskipun praktik sunat hanya berurusan dengan organ seks pada tingkat individual, pada
tingkat sosial praktik sunat ikut menentukan ekspresi seksualitas yang diharapkan muncul
sesuai pola hubungan gender yang terbentuk dalam konteks masyarakat setempat. Pengaruh
Islam patriarkat ikut menentukan pola hubungan gender yang ada, sunat menjadi sebuah
simbol kebudayaan yang berfungsi untuk menyebarluaskan berbagai mitos-mitos seksual
yang bersifat patriarkat, yang kemudian berlaku sebagai alat untuk mengontrol perilaku
seksual individu (Putranti Dyah,2015)

2. Sunat Pada Perempuan Sebagai Tradisi yang Bias Gender

Dari aspek gender budaya sunat perempuan ditentukan oleh keputusan orang tua,
keluarga dan tokoh agama, biasanya jika belum dilakukan sunat diantara mereka saling menyindir
dan mengingatkan. Karena menurut kepercayaan mereka jika belum melaksanakan sunat belum
Islam. Dalam hal ini terlihat anak perempuan tidak memiliki wewenang dalam pengambilan
keputusan bagi dirinya sendiri (Rokhmah Islamiyatur,2015)
Dari perspektif feminisme, sunat perempuan menjadi bukti kuat bahwa perempuan tidak
otonom atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan menjadi medan pertempuran berbagai
kepentingan sosial, tradisi, budaya, dan agama. Perempuan tak memiliki hak dan otoritas
untuk menentukan kekuasaannya atas tubuhnya sendiri. Kehidupan seksualitas perempuan
diatur dan dirumuskan oleh banyak kepentingan di luar kepentingan perempuan itu sendiri.
Sunat pada perempuan sebenarnya menunjukkan adanya budaya yang bias gender. Hal
ini misalnya bisa dilihat dari diskursus terkait tujuan sunat perempuan, yakni agar anak
perempuan bisa mengurangi keinginan seksualnya terhadap laki-laki. Tradisi sunat
perempuan merupakan bentuk pelabelan (stereotip) terhadap perempuan, yakni bahwa
perempuan adalah makhluk nomor dua yang tak pantas untuk mengekspresikan kebutuhan
seksualnya. Hal ini menjadikan sunat perempuan sebagai salah satu cara untuk meredam dan
mengebiri kebutuhannya itu. Menurut mitos-mitos yang dipercayai oleh masyarakat,
perempuan tidak berhak menikmati kepuasan seksualnya. Dengan melihat tradisi sunat
perempuan dari perspektif gender seperti tersebut di atas, maka tradisi sunat perempuan
sebenarnya adala praktik yang diskriminatif. Menurut Komnas Perlindungan Perempuan
Indonesia, sunat perempuan adalah salah satu tradisi yang memiliki unsur kekerasan terhadap
perempuan, dan oleh karenanya bertentangan dengan perlindungan perempuan (Nurdiyana
Tutung,2016)
Dari perspektif keadilan gender, tradisi sunat perempuan juga tidak responsif gender dan
tidak adil, karena dilakukan terhadap bayi-bayi perempuan yang belum bisa mengeluarkan
pendapatnya sendiri tentang bagaimana mereka ingin tubuhnya diperlakukan. Sehingga yang
ada kemudian, anak-anak ‘dipaksa’ menerima perlakuan praktik khitan itu atas nama agama
dan budaya/tradisi. Seksualitas merupakan konsep yang bukan hanya menyangkut sisi
biologis individu, melainkan juga sebuah konsep yang tidak dapat dilepaskan dari konteks
sosial-budaya dan psikologis yang melingkupinya. Selama ini konsep seksualitas cenderung
menempatkan perempuan sebagai the second sex, sehingga perempuan distereotipkan sebagai
penggoda dan membahayakan laki-laki. Karenanya, perilaku seksual perempuan harus
dikontrol dan dikendalikan oleh norma-norma sosial dan dibatasi atas nama agama. Di sini
tampaklah bahwa seksualitas selaras dengan konsep hubungan gender yang melahirkan
subordinasi atas perempuan (Masthuriyah,2016)

3. Hubungan Sunat Perempuan dengan Kesehatan

Di beberapa wilayah di Indonesia, sunat perempuan masih dilakukan oleh dukun, bukan
oleh tenaga kesehatan, proses sunat perempuan di wilayah tersebut tidak dengan memotong klitoris,
namun hanya menggaruk, menggores, menyentuhkan pisau ke vagina anak perempuan. Walaupun
tidak memotong klitoris, namun jika dilihat segikesehatan tetap dapat mengganggu kesehatan
reproduksi anak perempuan yang sedang disunat. Karena proses sunat perempuan dilakukan dengan
memotong jengger ayam kemudian darahnya diteteskan ke ujung klitorisnya dengan menggunakan
ujung pisau yang untuk memotong jengger ayam, setelah itu tidak dicuci atau dibersihkan
terlebih dahulu, namun diteruskan dengan upacara selanjutnya. Jika dilihat dari hiegenitas atau
kebersihan, terlihat proses sunat perempuan tersebut tidak bersih dan berdampak pada infeksi
atau penyakit kulit. Menurut bidan setempat, jika proses sunat perempuan tidak menyentuh alat
reproduksi perempuan tidak masalah, tapi jika sampai memotong maka itu yang sangat
membahayakan. (Rokhmah Islamiyatur,2015)

Dari pandangan medis, khitan perempuan tidak ada manfaatnya bagi perempuan, bahkan
faktanya dapat menimbulkan kematian. Walaupun petugas medis yang melakukannya, namun dalam
kurikulum kedokteran maupun kebidanan tidak pernah diajarkan tentang praktik khitan
perempuan. Praktik khitan perempuan justru sering menyebabkan organ reproduksinya terinfeksi,
timbulnya masalah pada saluran kencing, trauma psikis, komplikasi saat melahirkan dan,
beberapa kasus menyebabkan pendarahan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa khitan
perempuan menyebabkan berkurangnya kenikmatan bagi perempuan saat berhubungan seks. Lebih
jauh, WHO sudah mengeluarkan release bahwa praktik khitan perempuan dapat
menyebabkan kemandulan bagi perempuan (Warta Komunitas, 2013).
Dari sudut pandang kesehatan, khitan perempuan tidak memberikan kontribusi positif dalam
membantu kesehatan alat kelamin perempuan maupun alat reproduksi secara keseluruhan. Bahkan,
berdasarkan penelitian yang lebih luas, khitan perempuan tidak memiliki manfaat, sebaliknya
malah mengancam kesehatan bahkan mengancam jiwa perempuan. Walaupun mengancam jiwa
perempuan sehingga banyak perempuan meninggal dunia akibat praktik ini, namun masih banyak
masyarakat yang melakukannya.
D. KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang sunat perempuan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sunat pada perempuan masih sering ditemukan di beberapa daerah di Indonesia,
dengan tujuan dari sunat tersebut yaitu mengurangi libido atau hiperseksualitas pada
perempuan
2. Kebudayaan/tradisi dan agama menjadi salah satu dasar tetap dilakukannya sunat
pada perempuan dibeberapa daerah serta sistem kebudayaan patriarkat.
3. Ditinjau dari segi bias gender dan seksualitas, sunat pada perempuan termasuk dalam
bentuk pelabelan (stereotip) pada perempuan, bahwa perempuan adalah makhluk
nomor dua yang tidak pantas untuk mengekspresikan kebutuhan seksualnya dan
termasuk dalam tindakan diskriminatif.
4. Dari segi kesehatan, tindakan sunat pada perempuan tidak memberikan dampak
positif melainkan dapat meningkatkatkan morbiditas seperti terjadinya infeksi dan
juga dapat menyebabkan trauma psikis.

E. REKOMENDASI

Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan adalah :

1. Kepada Masyarakat, hendaknya masyarakat secara terbuka terhadap berbagai


informasi baru yang terkait dengan aspek kesehatan dan perlindungan anak, serta
kritis dalam melaksanakan tradisi sunat perempuan yang berlangsung di tengah
masyarakat.
2. Kepada Tenaga Medis, diharapkan melakukan melakukan penyuluhan dan
sosialisasi langsung ke wilayah yang masih melaksanakan budaya sunat
perempuan, baik kepada dukun bayi maupun masyarakat untuk meninggalkan
tradisi sunat perempuan dan menjelaskan dampak yang membahayakan kesehatan
3. Kepada Pemerintah, dalam hal ini terhadap beberapa institusi pemerinta meliputi:
 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA), perlu
melakukan pendekatan terhadap tokoh agama untuk menjelaskan berbagai
dampak diskriminatif dari sunat perempuan.
 Kementerian Kesehatan, perlu melakukan koordinasi dengan pihak yang
terkait seperti kementrian agama, tokoh agama, untuk merumuskan regulasi
atau kebijakan yang mendukung upaya percepatan penghapusan praktik sunat
perempuan.
 Kementerian Agama, melalui penyuluh agama, memberikan pengarahan serta
sosialisasi secara intensif agar masyarakat meninggalkan tradisi/kebudayaan
sunat perempuan karena bersifat diskriminatif.
DAFTAR PUSTAKA

Inayati Noor Inna. 2016. Ketentuan tentang sunat perempuan dikaitkan dengan asas gender dan

nondiskriminatif. Jurnal Magister Hukum Kesehatan. 2(01) : 3,11

Putranti Dyah Basilica. 2015. Sunat Perempuan Cermin Bangunan Sosial Seksualitas. Jurnal

Kesehatan. 16(1) :97-99

Farida Jauharotul. 2017. Sunat pada Anak Perempuan. Jurnal Universitas Islam Semarang.

12(3) : 23-25

Rokhmah Islamiyatur. 2015. Sunat Perempuan Dalam Perspektif Budaya. Jurnal Kebidanan dan

Keperawatan. 11(2) : 105-107

Nurdiyana Tutung. 2016. Sunat Perempuan pada Masyarakat Banjar. Jurnal Komunitas. 2 (2)

:2-4

Hidayati Sri. 2017. Motif dan Persepsi sunat di Madura. Jurnal Komunitas. .XI (02) : 2-3

Masthuriyah. 2016. Khitan Anak Perempuan,Tradisi dan Paham Keagamaan Islam. Jurnal

Buana Gender. 1(02) : 4-5

Hikmawati Dian.2016. Konstruksi Sosial Khitan Perempuan. Jurnal Deskfiptif. 1 (02) : 3-4

Warta Komunitas. 2013. Khitan Perempuan Etnis di Makasar,Kalyana Mitra. 1(02) : 13

Anda mungkin juga menyukai