PRESENTASI KASUS
STEVENS JOHNSON SYNDROME
September 2016
Disusun oleh :
Nurul Apriliani
G4A015019
Pembimbing
I.
A. Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Agama
Pekerjaan
Status
Alamat
No CM
PENDAHULUAN
: Ny.T
: Perempuan
: 30 tahun
: Islam
: Ibu rumah tangga
: Sudah Menikah
: Banjarkerta RT 01/01 Karanganyar
: 00258891
B. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 31 Agustus 2016 di Bangsal
Mawar RSMS.
Keluhan Utama:
Terasa panas di seluruh tubuh terutama di daerah wajah.
Keluhan Tambahan:
Muncul bercak merah di seluruh tubuh, sakit saat menelan, bila BAK terasa
sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan muncul bercak merah di
seluruh tubuh. Keluhan muncul sudah semenjak 20 hari yang lalu. Awal
sebelum muncul gejala pasien pergi ke dokter untuk memeriksakan keluhan
berupa demam. Saat itu pasien didiagnosis dengan demam tyfoid. Namun,
setelah pasien meminum obat yang diresepkan tiba-tiba muncul rasa panas dan
bercak merah di hidung, kemudian bercak merah tersebut meluas ke seluruh
tubuh. Pasien lalu pergi ke puskesmas dan dirawat inap beberapa hari disana,
namun karena tidak menunjukkan adanya perubahan pihak keluarga akhirnya
membawa pasien ke RSUD dr R Goeteng Taroenadibrata dan juga dirawat
inap selama beberapa hari, akan tetapi hasilnya sama pasien tidak
menunjukkan adanya perbaikan. Pasien kemudian dibawa oleh keluarga ke
RSMS untuk mendapat pengobatan lebih lanjut. Pasien juga diketahui sedang
mengandung. G2P1A0 usia kehamilan 8 minggu.
Berat Badan
: 58 kg
Tinggi Badan
: 155 cm
Kepala
: Mesocephal
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Thorax
Jantung
Paru
Abdomen
KGB
Ekstremitas
E. Status Dermatologikus:
Lokasi
Generalisata
Efloresensi
Makula eritematosa generalisata
Eritema berbentuk cincin (pinggir eritema, tengah relatif hiperpigmentasi),
urtikaria, lesi papular berbentuk target dengan pusat ungu dan vesikel
kecil. Purpura, vesikel, bula, numular sampai dengan plakat. Erosi,
ekskoriasi, perdarahan, dan krusta berwarna merah hitam
F. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap, urin, elektrolit, usg
kandungan.
G. Resume
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan muncul bercak merah di
seluruh tubuh. Keluhan muncul sudah semenjak 20 hari yang lalu. Awal
sebelum muncul gejala pasien pergi ke puskesmas untuk memeriksakan
keluhan demam yang tidak kunjung membaik. Saat itu pasien didiagnosis
demam tyfoid. Sepulangnya, setelah pasien meminum obat yang
diresepkan tiba-tiba muncul bercak merah di hidung mendadak, kemudian
bercak merah meluas ke seluruh bagian wajah, dan lama kelamaan di
seluruh tubuh. Pasien lalu pergi ke puskesmas dan dirawat beberapa hari
namun tidak menunjukkan adanya perubahan. Setelah itu pihak keluarga
membawa pasien ke RSUD dr R Goeteng Taroenadibrata dan dirawat inap
selama beberapa hari, akan tetapi hasilnya sama pasien tidak menunjukkan
perbaikan. Pasien kemudian dibawa oleh keluarga ke RSMS untuk
mendapat pengobatan lebih lanjut. Pasien juga diketahui sedang
mengandung anak kedua, G2P1A0 usia kehamilan 8 minggu. Kulit pasien
menunjukkan gambaran makula eritematosa generalisata. Eritema
berbentuk cincin (pinggir eritema, tengah relatif hiperpigmentasi), yang
berkembang menjadi urtikaria, lesi papular berbentuk target dengan pusat
ungu dan vesikel kecil. Purpura, vesikel, bula, numular sampai dengan
plakat. Erosi, ekskoriasi, perdarahan, dan krusta berwarna merah hitam.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan panas di wajah dan seluruh tubuh,
perih, sakit tenggorokan, terasa sakit saat BAK.
H. Diagnosis Kerja
Stevens johnson syndrome
I. Diagnosis Banding
1. Nekrolisis epidermal toksik
2. Pemfigus
3. Variola hemoragika
4. S4
5. Generalized bullous fixed drug eription
J. Penatalaksanaan
Umum
Mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan pemberian
cairan intravena
Menjaga keseimbangan Oksigenasi
Khusus
Sistemik
Kostikosteroid dosis tinggi, prednison 80-200 mg (live saving)
secara parenteral/per oral, kemudian diturunkan perlahan-lahan.
Pada kasus berat diberi deksametason IV, dosis 4x5 mg selama 3-10
hari. Jika keadaan umum membaik, penderita dapat menelan, maka
obat diganti dengan prednison (dosis ekivalen). Pada kasus ringan
diberikan 4x5 mg-4x20 mg/hari, dosis diturunkan secara bertahap
jika telah terjadi penyembuhan.
Pengobatan lain: ACTH (sintetik) 1 mg, obat anabolik, KCl 3x500
mg,antibiotik, obat hemostatik (adona), dan antihistamin.
Topikal
Vesikel dan bula yang belum pecah diberi bedak salisilat 2%
Kelainan yang basah dikompres dengan asam salisil 1%
Kelainan mulut yang berat diberikan kompres asam borat 3%
Konjungtivitis diberi salep mata yang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid
K. Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad kosmeticum
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam
II.
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3
kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang
dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan
sedikit lebih rentan daripada laki-laki.
C. Etiologi
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun
penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke
dalam tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan
Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor,
sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25%
karena
infeksi
dan
penyebab
lainnya.
Paparan
obat
dan
reaksi
meliputi
coccidioidomycosis,
dermatofitosis
dan
histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins,
Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.
D. Patogenesis dan Patofisiologi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya
dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayedtype hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang
merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Reaksi tipe III
terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk
mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
tipe IV terjadi akibat limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun
beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya
virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak
dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks
imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin,
hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi
imun, dan infeksi.
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang
dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul
mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi,
eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis,
konjuntivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat
berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen.
Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas
ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan
minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.
E. Manifestasi Klinis
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat
akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala,
batuk berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat
berlangsung selama 1-14 hari. Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal. Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang
lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom StevensJohnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema,
papula, vesikel, dan bula. Sedangkan tanda patognomonik yang muncul
adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target
pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya
memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula
purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh
penderita sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh
rentan terhadap infeksi sekunder.
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan
tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area
tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila
pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk
sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson
Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari
30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut
dan esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan
bagian genital. Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan
eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir,
lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.
Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria
sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia
konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk
lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada
konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara
konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan
atau keratitis pada kornea mata.
F. Diagnosis
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan
kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara
klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan
dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila
lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasuskasus atipik.
Sumber lain mengatakan bahwa dokter seringnya dapat mengidentifikasi
sindrom Stevens-Johnson berdasarkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik
dan tanda-tanda khas gangguan dan gejala. Untuk mengkonfirmasi diagnosis,
dokter akan mengambil sampel jaringan kulit pasien (biopsi) untuk diperiksa
di bawah mikroskop.
Infiltrasi sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga
luas di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter
dalam diagnose selain pemeriksaan biopsi.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel
darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial
berat.
c. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven
Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e. Pemeriksaan elektrolit.
f. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi
infeksi.
g. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan.
2. Imaging studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
cairan
dan
nutrisi.
Karena
kehilangan
kulit
dapat
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari
dalam pengobatan SJS:
a. Kortikosteroid intravena
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan
mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari
ketika gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat
meningkatkan risiko komplikasi.
b. Imunoglobulin intravena (IVIG)
Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan
tubuh Anda menghentikan proses SJS.
c. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu
menghilangkan kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau
menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin diperlukan untuk
membantu penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan.
Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda
mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang
parah, pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.
J. Prognosis
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika
permukaan tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase
tingkat kematianya adalah sekitar 1-5%.Namun ketika pengelupasan kulit
lebih dari 30% maka tingkat presentase kematiannya adalah sekitar 25-35%
bahkan bisa mencapai 50%.
Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari
variabel yang berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit
tersebut,denyut jantung, kadar glukosa,kadar BUN dan tingkat bikarbonat.
Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40 tahun selain itu bisa juga dilihat
dari keganasan yang ditimbulkan, denyut jantung >120, kadar glukosa >14
mmol/L, kadar BUN >10 mmol/L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol/L.
Disetiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa
melihat tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1
presentasenya adalah 3.2%, skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3
presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau
lebih presentasenya adalah 90%.
dan
lagoftalmus.
Penyembuhan
konjungtiva
meninggalkan
Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya
kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi
yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau
infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea,
endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi
dan enukleasi bola mata.
III.
KESIMPULAN
dan
tingkat
bikarbonat juga
dapat
mempengaruhi
DAFTAR PUSTAKA
1. Adithan C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome In Drug Alert. Department of
Pharmacology. JIPMER. 2006;2.
2. Adithan C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2.
Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006.
3. Djuanda A. 2007. Sindrom Stevens-Johnson dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 5. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
4. Fernando SL, Broadfoot AJ. 2010. Prevention Of Severe Cutaneous Adverse
Drug Reactions: The Emerging Value Of Pharmacogenetic Screening.
CMAJ. 2010;182(5):476-80.
5. Foster CS. 2013. Stevens-Johnson
syndrome.
Diakses
dari:
Toxic
Epidermal
Necrolysis.
Diakses
dari:
Stevens-Johnson.
Diakses
dari:
Necrolysis:
Clinical
Manifestations;
Pathogenesis;
And
Prasad
Eye
Institute.
www.indianjournalofophthalmology.com
Available
at