Anda di halaman 1dari 23

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
STEVENS JOHNSON SYNDROME

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui dan dipersentasikan


Pada tanggal

September 2016

Disusun oleh :
Nurul Apriliani

G4A015019

Purwokerto, September 2016


Mengetahui,

Pembimbing

dr. Ismiralda Okke Putranti Sp.KK

I.
A. Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Agama
Pekerjaan
Status
Alamat
No CM

PENDAHULUAN

: Ny.T
: Perempuan
: 30 tahun
: Islam
: Ibu rumah tangga
: Sudah Menikah
: Banjarkerta RT 01/01 Karanganyar
: 00258891

B. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 31 Agustus 2016 di Bangsal
Mawar RSMS.
Keluhan Utama:
Terasa panas di seluruh tubuh terutama di daerah wajah.
Keluhan Tambahan:
Muncul bercak merah di seluruh tubuh, sakit saat menelan, bila BAK terasa
sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan muncul bercak merah di
seluruh tubuh. Keluhan muncul sudah semenjak 20 hari yang lalu. Awal
sebelum muncul gejala pasien pergi ke dokter untuk memeriksakan keluhan
berupa demam. Saat itu pasien didiagnosis dengan demam tyfoid. Namun,
setelah pasien meminum obat yang diresepkan tiba-tiba muncul rasa panas dan
bercak merah di hidung, kemudian bercak merah tersebut meluas ke seluruh
tubuh. Pasien lalu pergi ke puskesmas dan dirawat inap beberapa hari disana,
namun karena tidak menunjukkan adanya perubahan pihak keluarga akhirnya
membawa pasien ke RSUD dr R Goeteng Taroenadibrata dan juga dirawat
inap selama beberapa hari, akan tetapi hasilnya sama pasien tidak
menunjukkan adanya perbaikan. Pasien kemudian dibawa oleh keluarga ke
RSMS untuk mendapat pengobatan lebih lanjut. Pasien juga diketahui sedang
mengandung. G2P1A0 usia kehamilan 8 minggu.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien juga
menyangkal memiliki riwayat asma dan alergi (obat, makanan, atau benda
apapun). Pasien juga tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes mellitus dan
penyakit jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Dari anggota keluarga, tidak ada yang menderita penyakit dengan
keluhan yang sama dengan pasien, tidak ada yang menderita alergi, dan tidak
ada yang menderita penyakit diabetes mellitus atau hipertensi.
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2016
D. Status Generalis
Keadaan umum
: Tampak sakit berat
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
:
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi
: 87 x/menit
Suhu
: 37oC
Rr
: 23 x/menit

Berat Badan

: 58 kg

Tinggi Badan

: 155 cm

Kepala

: Mesocephal

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga

: Bentuk daun telinga normal, sekret (-)

Mulut

: terdapat lesi pada mukosa bibir dan mulut, sianosis (-)

Tenggorokan

: T1 T1 tenang , tidak hiperemis

Thorax

: Simetris, retraksi (-)

Jantung
Paru

: BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)


: SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)

Abdomen

: Supel, datar, BU (+) normal

KGB

: Tidak teraba pembesaran.

Ekstremitas

: Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

E. Status Dermatologikus:
Lokasi
Generalisata
Efloresensi
Makula eritematosa generalisata
Eritema berbentuk cincin (pinggir eritema, tengah relatif hiperpigmentasi),
urtikaria, lesi papular berbentuk target dengan pusat ungu dan vesikel
kecil. Purpura, vesikel, bula, numular sampai dengan plakat. Erosi,
ekskoriasi, perdarahan, dan krusta berwarna merah hitam
F. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap, urin, elektrolit, usg
kandungan.
G. Resume
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan muncul bercak merah di
seluruh tubuh. Keluhan muncul sudah semenjak 20 hari yang lalu. Awal
sebelum muncul gejala pasien pergi ke puskesmas untuk memeriksakan
keluhan demam yang tidak kunjung membaik. Saat itu pasien didiagnosis
demam tyfoid. Sepulangnya, setelah pasien meminum obat yang
diresepkan tiba-tiba muncul bercak merah di hidung mendadak, kemudian
bercak merah meluas ke seluruh bagian wajah, dan lama kelamaan di
seluruh tubuh. Pasien lalu pergi ke puskesmas dan dirawat beberapa hari
namun tidak menunjukkan adanya perubahan. Setelah itu pihak keluarga
membawa pasien ke RSUD dr R Goeteng Taroenadibrata dan dirawat inap
selama beberapa hari, akan tetapi hasilnya sama pasien tidak menunjukkan
perbaikan. Pasien kemudian dibawa oleh keluarga ke RSMS untuk
mendapat pengobatan lebih lanjut. Pasien juga diketahui sedang
mengandung anak kedua, G2P1A0 usia kehamilan 8 minggu. Kulit pasien
menunjukkan gambaran makula eritematosa generalisata. Eritema
berbentuk cincin (pinggir eritema, tengah relatif hiperpigmentasi), yang
berkembang menjadi urtikaria, lesi papular berbentuk target dengan pusat

ungu dan vesikel kecil. Purpura, vesikel, bula, numular sampai dengan
plakat. Erosi, ekskoriasi, perdarahan, dan krusta berwarna merah hitam.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan panas di wajah dan seluruh tubuh,
perih, sakit tenggorokan, terasa sakit saat BAK.
H. Diagnosis Kerja
Stevens johnson syndrome
I. Diagnosis Banding
1. Nekrolisis epidermal toksik
2. Pemfigus
3. Variola hemoragika
4. S4
5. Generalized bullous fixed drug eription
J. Penatalaksanaan
Umum
Mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan pemberian

cairan intravena
Menjaga keseimbangan Oksigenasi
Khusus
Sistemik
Kostikosteroid dosis tinggi, prednison 80-200 mg (live saving)
secara parenteral/per oral, kemudian diturunkan perlahan-lahan.
Pada kasus berat diberi deksametason IV, dosis 4x5 mg selama 3-10
hari. Jika keadaan umum membaik, penderita dapat menelan, maka
obat diganti dengan prednison (dosis ekivalen). Pada kasus ringan
diberikan 4x5 mg-4x20 mg/hari, dosis diturunkan secara bertahap
jika telah terjadi penyembuhan.
Pengobatan lain: ACTH (sintetik) 1 mg, obat anabolik, KCl 3x500
mg,antibiotik, obat hemostatik (adona), dan antihistamin.
Topikal
Vesikel dan bula yang belum pecah diberi bedak salisilat 2%
Kelainan yang basah dikompres dengan asam salisil 1%
Kelainan mulut yang berat diberikan kompres asam borat 3%
Konjungtivitis diberi salep mata yang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid

K. Prognosis

Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad kosmeticum
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam

Effloresensi Pada Pasien Ny. T

Gambar 1.Effloresensi pada pasien sindroma Stevens Johnson

II.

TINJAUAN PUSTAKA

STEVENS JOHNSON SYNDROME


A. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping
ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik
epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai
eritema multiforme (EM). Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada
1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak lakilaki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai
oleh trias kelainan pada kulit, vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata
disertai dengan gejala umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh
immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi
hipersensitivitas tipe III.
Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat
sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia. Pasien mungkin
mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara simetris pada wajah dan
bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan
kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis

B. Epidemiologi

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3
kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang
dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan
sedikit lebih rentan daripada laki-laki.
C. Etiologi
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun
penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke
dalam tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan
Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor,
sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25%
karena

infeksi

dan

penyebab

lainnya.

Paparan

obat

dan

reaksi

hipersensitivitas yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yang sangat


besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab
paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien
yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan
antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat
menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin,
Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat
Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol),
Digitalis, Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin,
Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.
2. Infeksi
a. Virus, antara lainHerpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr,
enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok,

lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola.


b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri,
brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan
tifus.
c. Jamur,

meliputi

coccidioidomycosis,

dermatofitosis

dan

histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins,
Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.
D. Patogenesis dan Patofisiologi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya
dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayedtype hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang
merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Reaksi tipe III
terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk
mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
tipe IV terjadi akibat limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun

beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya
virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak
dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks
imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin,
hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi
imun, dan infeksi.
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang
dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul
mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi,
eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis,
konjuntivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat
berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen.
Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas
ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan
minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.
E. Manifestasi Klinis
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat
akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala,
batuk berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat

berlangsung selama 1-14 hari. Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal. Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang
lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom StevensJohnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema,
papula, vesikel, dan bula. Sedangkan tanda patognomonik yang muncul
adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target
pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya
memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula
purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh
penderita sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh
rentan terhadap infeksi sekunder.
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan
tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area
tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila
pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk
sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson
Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari
30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut
dan esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan
bagian genital. Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan
eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir,
lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.

Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria
sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia
konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk
lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada
konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara
konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan
atau keratitis pada kornea mata.
F. Diagnosis
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan
kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara
klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan
dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila
lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasuskasus atipik.
Sumber lain mengatakan bahwa dokter seringnya dapat mengidentifikasi
sindrom Stevens-Johnson berdasarkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik
dan tanda-tanda khas gangguan dan gejala. Untuk mengkonfirmasi diagnosis,
dokter akan mengambil sampel jaringan kulit pasien (biopsi) untuk diperiksa
di bawah mikroskop.
Infiltrasi sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga
luas di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat

ditemui pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan


histopatologis lain dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:
a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar
lecet subepidermal
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular
c. Apoptosis keratinosit
d. CD4 + T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit
mendominasi di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis
sebagian besar disusupi oleh CD 8 + T limfosit.
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:
a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan
sel-sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di
sekitar dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah
sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DRpositif dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter
dalam diagnose selain pemeriksaan biopsi.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel
darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial
berat.
c. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven
Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e. Pemeriksaan elektrolit.
f. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi
infeksi.
g. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan.
2. Imaging studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.

3. Pemeriksaan histopatologi dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.


H. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:
1. Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang
selaput lendir. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat
membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena.
Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialag >30%.
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada
NET terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang
menyeluruh dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.
3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat
dapat meniru awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa
keterlibatan mukosa kurang tapi nyeri kulit pada TEN menonjol.
4. Erupsi Pustural Obat
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous
pustulosis (AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal
SJS/NET. AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly
centered pustulesyang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa.
5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia
dengan sinar matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi
fototoksik paling umum yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah
reaksi fototoksik yang terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai contoh,
fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat
menyebabkan pengelupasan epidermis luas.
6. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan
oleh racun rantai elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan

dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan keterlibatan lebih menonjol dari


beberapa sistem organ.
7. Staphylococcal scalded skin syndrome
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh
epidemiologi dan dari selaput lendir. Diagnosis didukung oleh
pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan hanya lapisan
atas epidermis.
I. Pengobatan
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan
stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol
nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan
hal itu adalah hal yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit
untuk menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.
Perawatan suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan
suportif mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:
a. Pengganti

cairan

dan

nutrisi.

Karena

kehilangan

kulit

dapat

mengakibatkan kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan


cairan merupakan bagian penting dari pengobatan.
b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat
mereka sembuh. Tim medis akan mengeliminasi kulit mati, dan
kemudian menempatkan krim dengan anestesi topikal di atas area yang
terkena, jika diperlukan.
c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus
mencakup konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:
a.
b.
c.
d.

Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan


Antihistamin untuk meredakan gatal
Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan
Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.

Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari
dalam pengobatan SJS:

a. Kortikosteroid intravena
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan
mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari
ketika gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat
meningkatkan risiko komplikasi.
b. Imunoglobulin intravena (IVIG)
Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan
tubuh Anda menghentikan proses SJS.
c. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu
menghilangkan kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau
menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin diperlukan untuk
membantu penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan.
Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda
mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang
parah, pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.
J. Prognosis
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika
permukaan tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase
tingkat kematianya adalah sekitar 1-5%.Namun ketika pengelupasan kulit
lebih dari 30% maka tingkat presentase kematiannya adalah sekitar 25-35%
bahkan bisa mencapai 50%.
Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari
variabel yang berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit
tersebut,denyut jantung, kadar glukosa,kadar BUN dan tingkat bikarbonat.
Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40 tahun selain itu bisa juga dilihat
dari keganasan yang ditimbulkan, denyut jantung >120, kadar glukosa >14
mmol/L, kadar BUN >10 mmol/L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol/L.
Disetiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa
melihat tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1
presentasenya adalah 3.2%, skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3
presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau
lebih presentasenya adalah 90%.

Sumber lain menyebutkan, untuk kasus yang tidak berat, prognosisnya


dapat baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian
berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
K. Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai
berikut:
1. Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
2. Gastroenterologi - Esophageal strictures
3. Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,
stenosis vagina
4. Pulmonari pneumonia
5. Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,
infeksi kulit sekunder
6. Infeksi sitemik, sepsis
7. Kehilangan cairan tubuh, shock
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam
sampai hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada
kedua mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan
pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan
sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan
perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion,
trikriasis

dan

lagoftalmus.

Penyembuhan

konjungtiva

meninggalkan

perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi


air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju
ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari
komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan
pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat
dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial
pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah
baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan.

Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya
kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi
yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau
infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea,
endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi
dan enukleasi bola mata.

III.

KESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan


gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk
yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia,
disertai dengan kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.
Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan
kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan
penyakit kulit.Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complexmediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III,
di mana kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi,
maupun akibat paparan fisik lain kepada pasien.
Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien
SJS sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang
bisa diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh,
perawatan terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat
diberikan antara lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan
reaksi hipersensitivitas, antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk
mengobati peradangan kulit.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada
tingkat pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas,
maka prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti
dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut,denyut jantung,kadar
glukosa,kadar BUN

dan

kelangsungan hidup pasien.

tingkat

bikarbonat juga

dapat

mempengaruhi

DAFTAR PUSTAKA
1. Adithan C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome In Drug Alert. Department of
Pharmacology. JIPMER. 2006;2.
2. Adithan C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2.
Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006.
3. Djuanda A. 2007. Sindrom Stevens-Johnson dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 5. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
4. Fernando SL, Broadfoot AJ. 2010. Prevention Of Severe Cutaneous Adverse
Drug Reactions: The Emerging Value Of Pharmacogenetic Screening.
CMAJ. 2010;182(5):476-80.
5. Foster CS. 2013. Stevens-Johnson

syndrome.

Diakses

dari:

http://emedicine.medscape.com/, pada Agustus 2016.


6. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN,
Sidoroff A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC. 2008. Allopurinol Is
The Most Common Cause Of Stevens-Johnson Syndrome And Toxic
Epidermal Necrolysis In Europe And Israel. Jurnal Am Acad Dermatol
2008, 58:25-32.
7. Hamzah M. 2002. Erupsi Obat Alergik dalamIlmu Penyakit Kulit dan
Kelamin 3rd Edition. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesiaa, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Harr T, French LE. 2010. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.
9. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson dalam Ilmu Penyakit Mata 3rd Edition.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Klein PA. 2013. Dermatologic Manifestation Of Stevens-Johnson Syndrome
And

Toxic

Epidermal

Necrolysis.

Diakses

dari:

http://emedicine.medscape.com/ pada Agustus 2016.


11. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2002. Erupsi Alergi
Obat dalam Kapita Selekta Kedokteran Volume 2 Edisi Ketiga. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Media Aesculapius.
12. Mockenhaupt M. 2011. The Current Understanding Of Stevens-Johnson

Syndrome And Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Review Clinical


Immunology. 2011;7(6):803-15.
13. Monica.
2013.
Sindrom

Stevens-Johnson.

Diakses

dari:

http://elib.fk.uwks.ac.id/ pada Agustus 2016.


14. Nirken, M. H. dan High, W. A. 2013. Stevens-Johnson Syndrome And Toxic
Epidermal

Necrolysis:

Clinical

Manifestations;

Pathogenesis;

And

Diagnosis. Diakses dari http://nihlibrary.ors.nih.gov/ pada 10 Agustus 2016.


15. Sharma, V.K. 2006. Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006:
Management of Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN). IADVL. 2006
16. Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson Dalam Saripati Penyakit
Kulit. 2nd Edition. Jakarta: EGC.
17. Viswanadh, B. 2002. Ophthalmic Complications And Management Of
Steven Johnson Syndrome At A Tertiary Eye Vare Centre In South India. L
V

Prasad

Eye

Institute.

www.indianjournalofophthalmology.com

Available

at

Anda mungkin juga menyukai