OLEH :
I Gusti Ngurah Putu Ari Saputra
150070300011112
Kelompok 18
TUBERCULOSIS
A. Definisi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberkulosis
sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000)
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim
paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meninges,
ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001)
Tuberculosis (TB) merupakan contoh lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit
inidisebabkan
oleh
mikroorganisme
Mycobacterium
tuberculosis,
yang
biasanya
ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu individu ke individu lainnya
dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus. Kuman juga dapat masuk ke
tubuh melalui saluran cerna, melalui ingesti susu tercemar yang tidak dipasteurisasi, atau
kadang-kadang melalui lesi kulit. (Elizabeth J. Corwin, 2009).
B. Klasifikasi
Klasifikasi I (berdasarkan bagian tubuh yang terinfeksi)
Tuberculosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru)
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
A. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
M.tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
b. Berdasakan tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
1. Kasus baru
Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2. Kasus kambuh (relaps)
Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
3. Kasus pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah
4. Kasus lalai berobat
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Kasus gagal
Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
serial
menunjukkan
gambaran
yang
menetap.
Riwayat
Class 1
Terpapar TBC, tidak ada bukti infeksi, reaksi kulit tak
bermakna
Class 2
Class 3
Class 4
Sedang sakit, ada riwayat mendapat pengobatan,
Rontgent Thorax (+), test mantoux bermakna.
Class 5
Klasifikasi III
a. Tuberculosis Primer
Tuberculosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang
belum pernah terpajan (orang yang belum pernah mengalami TB) atau
peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap
basil mikobakterium.
Klasifikasi IV
Klasifikasi TB Paru berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat
pengobatan sebelumnya dibagi sebagai berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1. Dengan atau tanpa gejala klinik
2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong
biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
c. Bekas TB Paru dengan kriteria:
1. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negative
2. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
C. Etiologi
Agen infeksius utama dari penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan bakteri tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap
panas serta sinar ultra violet dengan ukuran panjang 1/4um dan tebal 0,3-0,6um. Ada dua
macam mikrobakteria tuberculosis yaitu Tipe Human dan Tipe Bovin. Basil TIpe Bovin
berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberculosis usus. Basil Tipe Human
bisa berada di bervak ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita TBC dan
orang yang terkena rentan terinfeksi setelah menghirupnya. Mikroba yang terinhalasi dan
masuk paru-paru dapat bertahan hidup dan menyebar ke nodus linfatikus local.
Penyebaran melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana
infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun (Elizabeth J Corwin, 2009; Wim de
Jong. 2005)
Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase (Wim de Jong. 2005):
1. Fase 1 (Fase Tuberkulosis Primer)
Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan
tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe
di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah
terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar
limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang
bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk
fibrosis dan kalsifikasi (95%)
2. Fase 2
Kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui
pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan
TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran
bronkogen
langsung
ke
bronkus
dan
bagian
paru,
dan
menyebabkan
D. Faktor Resiko
1.
Intrinsik
Umur
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif
(15 - 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan
usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
Jenis kelamin
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok
tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan
tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.
Sosial ekonomi
Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain- lain,
akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Status imun
Individu dengan imunosupresfi yaitu lansia, pasien dengan kanker, mereak yang
dalam terapi kortokisteroid, atau mereka yang terinfeksi HIV memiliki resiko tinggi
terkena penyakit TB. Status imun yang redah dapat diakibatkan pula karena
perawatan kesehatan yang tidak adekuat seperti pada tunawisma, tahanan, etnik
dan ras minoritas, anak-anak dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda yang
berusia 15 - 44 tahun.
2.
Ekstrinsik
Lingkungan
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan yang berada di daerah perumahan bersubstandar kumuh, lingkungan
dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Selain
itu, setiap individu yang yang tinggal di institusi seperti misalnya fasilitas
perawatan jangka panjang, institusi psikiatirk, dan openjara memiliki resiko TB.
Pekerjaan
Pekerjaan yang lebih sering terpapar udara kotor (penambang pasir) dapat
meningkatkan morbiditas gejala penyakit saluran pernapasan. Selain itu, jenis
pekerjaan mempengaruhi pendapatan keluarga yang berdampak pada pola hidup
sehari-hari seperti konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan, dan kondisi
tempat tinggal.
E. Manifestasi Klinik
Penyakit tuberculosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum
seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas
sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik (Muttaqin, Arif. 2008).
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan
gejala sistemik.
1
Gejala Respiratorik
Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat
ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah.
Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lainlain.
Nyeri dada
Nyeri dada pada Tuberculosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
Gejala Sistemik
Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang
serangannya.
Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah berkeringat pada malam hari, sakit kepala,
anoreksia, penurunan berat badan, keletihan, dan malaise. Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan.
c. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, BB menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara teratur.
F. Patofisiologi
(terlampir)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan
foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
-
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Kompleks ranke
Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologik tersebut.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
-
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus
vertebra torakalis 5 dan tidak dijumpai kaviti
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah
satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai
predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan
supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah
yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
b. Sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah dapat
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan
dilapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat
sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktiv. Dalam
hal ini dianjurkan dalam satu hari sebelum pemeriksaan sputum dianjurkan minum
air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan
memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20 30 menit. Bila masih sulit , sputum dapat
diperoleh dengan cara bronkoskopi di ambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL ( Broncho Alveolar Lavage). BTA dari sputum bisa juga di dapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan di periksa hendaknya
sesegar mungkin.
Bila sputum sudah di dapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini
terbuka keluar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar.
Diperkiran di Indonesia ditemukan pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak
ditemukan di dalam sputum mereka.
Bactec (Bactec 400 Radiometric System), dimana kuman sudah dapt dideteksi
dalam 7-10 hari. Disamping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.
tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya
dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomen dead
bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat
antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu
pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan
paru,
pleura,
cairan
pleura,
cairan
lambung,
jaringan
kelenjar,
cairan
memperoleh reaksi kulit yang maksimal diperlukan waktu antara 48 sampai 72 jam
sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam peiode tersebut. Interpretasi tes
kulit menunjukan adanya beberapa tipe reaksi :
Indurasi 5 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a
Orang dengan perubahan fibrotic pada radigrafi dada yang sesuai dengan
gambaran TB lama yang sudah sembuh.
Penduduk dan pekerja yang berkumpul pada lingkungan yang berisiko tinggi.
Penjara, rumah-rumah perawatan, panti jompo, fasilitas yang disiapkan untuk
pasien dengan AIDS, dan penampungan untuk tuna wisma
Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang berisioko tinggi.
Anak di bawa usia 4 tahun atau anak-anak dan remaja yang terpajan orang
dewasa kelompok risiko tinggi.
4. Uji Tuberkulin
Menggunakan standar tuberkulin 1:10.000/5 TU PPD-S intrakutan yang dibaca
48-72 jam dengan indurasi > 5 mm. Uji tuberkulin negatif belum dapat menyingkirkan
TB. False negatif pada pemeriksaan uji tuberkulin sering ditemukan pada pasien HIV
dan kejadiannya meningkat sebanding dengan peningkatan imunosupresi.
5. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi
hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan
kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah
6. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi
pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula
dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH = biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama
pada tuberkulosis ekstra paru
Bayi dibawah lima tahun dengan hasil test tuberkulin positif karena
resikotimbulnya Tbmilier dan meningitis TB,
Anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil test tuberkulin positif yang
bergaul erat dengan penderita TB yang menular,
Individu yang menunjukkan konversi hasil test tuberkulin dari negatif menjadi
positif,
b. Pengobatan
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk
mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata
rantai penularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini
adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui.
Mekanisme Kerja Obat anti-Tuberkulosis
1. Aktivitas bakterisidal untuk bakteri yang menelaah cepat
Intraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid (INH)
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama
dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi
WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol
(Depkes RI, 2004)
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasrkan
lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum, dan
riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course
Obat anti-TB Esensial
Aksi
Potensi
Isoniazid (INH)
Rifampisin (R)
Bakterisidal
Bakterisidal
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Streptomisin (S)
Bakterisidal
Tinggi
Tinggi
Renda
h
Renda
h
Renda
h
Etambutol (E)
(DOTSC).
Bakteriostatik
35
50
15
15
15
15
30
45
c. Pembedahan
Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkurang. Indikasi
pembedahan dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relative (Mansjoer, Arif.
2000).
1. Indikasi mutlak
Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatas dengan cara konservatif
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. Indikasi relative
dan penyembuhan pasien TB. Strategi ini terdiri dari 5 komponen, yaitu (Mansjoer,
Arif. 2000):
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang sehingga program ini
menjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun akan tersedia
2. Mikroskop
sebagai
komponen
pemeriksaan sputum
utama
untuk
mendiagnosa
TB
melalui
pasif.
3. Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercya baik oleh
pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum
seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum obatnya
dan diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatannya.
4. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari system
surveilans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan.
5. Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka
waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan pengabatan. Termasuk
jaminannya kelangsungan persediaan paduan obat ini.
I.
Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut (Foong , Y.K.
2011).
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncets
arthropathy
2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas (SOPTSindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis,
sinrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi pada milier dan kavitas TB.
J. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
a. Identitas : Menyajikan data identitas diri pasien secara lengkap dengan tujuan
menghindari
kesalahan
dalam
memberikan
terapi
dan
patokan
untuk
Breath
- Sesak nafas
- Batuk > 3 minggu
- Nyeri pleuritis
- RR meningkat
- Ronchi
Blood
- Takikardhi, irreguler
- CRT > 3 detik, pucat, sianosis
- Tekanan darah normal / menurun
Brain
- nyeri kepala
- kelemahan umum
- perubahan kesadaran
Bowel
- ada penurunan selera makan
- mual muntah
e. Psiko-sosio-spiritual
Faktor stress :
- Kehilangan dukungan keluarga
- Hubungan dengan orang lain
- Penghasilan
- Gaya hidup
- Distress spiritual
b. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Pola nafas tidak efektif
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
d. Gangguan pertukaran gas
e. Intoleransi aktivitas
f. Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur
g. Ansietas
h. Gangguan rasa nyaman (nyeri)
c. Rencana Asuhan Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan sekret
Tujuan : Jalan nafas bersih
KH
: tidak ada suara nafas tambahan, RR 16-20 kali, klien dapat mengeluarkan
sekret
Intervensi :
Posisikan klien untuk ventilasi yang maksimal yaitu posisi semi flower
Kriteria hasil :
- pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat
- serum albumin dan protein dalam batas normal,
- menghabiskan porsi yang disiapkan,
- tidak nyeri saat menelan
Intervensi :
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al.
2006):
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian
seterusnya.
Penyediaan
obat
yang
tidak
reguler,
kadang-kadang
terhenti
akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen
untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada
tempat ikatan obat tersebut (Riyanto, et al. 2006).
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada
keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et
al. 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat
organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa.
Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pyrazinoat (Wallace, et al. 2004).
Mekanisme
resistensi
pyrazinamid
berkaitan
dengan
hilangnya
aktivitas
lebih
sederhana
dan
lebih
mudah
diimplementasikan
pada
laboratorium
Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan
digunakan dalam dosis maksimal.
Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah
kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan
makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi
data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang
pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu area, dan
hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka
dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang
diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan
pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu
penderita tersebut.
Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS
yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan.
Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama.
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil
DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama
selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari
pasien yang bersangkutan.
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan
TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang
bersangkutan tersedia.
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut (World
Health Organization, 2008):
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan
efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat
golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO
(2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization, 2008) : (1) Regimen
harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. (2) Dalam pemilihan
obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada
di area / negara tersebut. (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui
efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan
sekurnag-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan
fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi
memberikan efikasi. (6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7)
Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak
memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid dapat
digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar
penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis
menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. (9) Deteksi awal adalah faktor
penting untuk mencapai keberhasilan.
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan.
Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR,
yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini
kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi.
Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.
Pemantauan selama pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan
BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian
respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat
diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase
intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1)
penilaian klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3)
pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan,
(4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan, (5) uji
kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada
tanda-tanda hipotiroid
DAFTAR PUSTAKA
Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
PERPARI, Jakarta, 2006.
Corwin E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC
Depkes
RI.
2009.
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis.
(online)
di
RSUP
Adam
Malik
pada
Tahun2009.
http://repository
Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC, et
al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed.
www.textbookcom. 2007.
Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baums Textbook
of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston,
2003.
Rattan A, Kalia A, Ahmad N. Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis: Molecular
Perspectives. Emerging Infectious Diseases Vol. 4, No. 2, AprilJune 1998.
Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program
dan
Naskah
Lengkap
Konferensi
Kerja
Pertemuan
Ilmiah
Berkala.
PERPARI.Bandung. 2006.
Snyder DE Jr, Roper WL. The new tuberculosis. New England Journal Medicine
1992;326:703-5.
Spratt BG. Resistance to antibiotics mediated by target alterations. Science
1994;264:388-93.
Vareldzis BP, Grosset J, de Kantor I, Crofton J, Laszlo A, Felten M, et al. Drug-resistant
tuberculosis: laboratory issues. World Health Organization recommendations.
Tubercle and Lung Diseases 1994;75:1-7.
Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds),
Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
World Health Organization .Guidelines for the programmatic managementdrug resistant
tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008.
World Health Organization report on TB epidemic. Global TB programme. Geneva: The
Organization; 1997.