Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Demam dengue / Demam DF dan demam berdarah dengue/DBD (Dengue


Hemorrahagic fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan / syok.1
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue
yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flaviviridae
merupakan virus dengan diameter 30mm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4 x 106.1
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang
banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data di dunia menunjukkan
Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara.2

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang dapat


menimbulkan berbagai komplikasi, misalnya stroke, gagal ginjal, dan hipertrofi
ventrikel kanan.1 American Society of Hypertension (ASH) mendefinisikan
hipertensi sebagai suatu sindrom kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat
dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan. Hipertensi
diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang
penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh
penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, gangguan anak ginjal, dll.
Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang
terus-menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi.3
Hipertensi meningkatkan resiko dari peyakit kardiovaskular, termasuk
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, stroke iskemik dan perdarahan,
gagal ginjal, dan penyakit arteri perifer. Hipertensi sering berhubungan dengan
resiko penyakit kardiovaskular yang lain, dan resiko itu akan semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya faktor resiko yang lain. Meskipun terapi
antihipertensi

sudah

terbukti

dapat

menurunkan

resiko

dari

penyakit

kardiovaskular dan penyakit ginjal, namun masih sangat banyak populasi dengan
hipertensi yang tidak mendapatkan terapi atau mendapat terapi yang tidak
adekuat.3

1.2

Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


a. Untuk memenuhi tugas Kepanitraan Klinik Departemen Penyakit
Dalam RSUD Solok.
b. Sebagai Sumber pengetahuan terkait dengan kasus DBD dan
Hipertensi
1.3

Manfaat
2

a. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi dan mengembangkan teori tentang dbd dan hipertensi
terhadap kasus yang ada.
b. Bagi institut pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan
yang ada kaitanya dengan pelayanan kesehatan, khususnya terkait DBD
dan hipertensi.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

DEMAM BERDARAH DENGUE

2.1.1 Definisi
DHF atau Dengue Haemorraghic Fever adalah penyakit trombositopenia
infeksius akut yang parah, dan sering bersifat fatal, disebabkan oleh infeksi virus
dengue. Pada DHF terjadi hemokonsentrasi atau penumpukan cairan tubuh,

abnormalitas hemostasis dan pada kondisi yang parah dapat timbul kehilangan
protein yang masif (Dengue Shock Syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu
proses imunopatologik.1
2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO, dengue adalah penyakit virus yang yang paling umum
ditularkan oleh nyamuk ke manusia, yang dalam beberapa tahun terakhir telah
menjadi masalah kesehatan utama masyarakat internasional. Secara global, 2.5
miliar orang tinggal di daerah di mana virus dengue dapat ditransmisikan.
Penyebaran geografis antara vektor nyamuk dan virus telah menyebabkan epidemi
demam berdarah secara global dan kedaruratan demam berdarah dengue dalam 25
tahun terakhir dengan perkembangan hiperendemisitas di pusat-pusat perkotaan
daerah tropis.2
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik
barat dan karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian
luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).2

2.1.3 Etiologi
DVirus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) dapat dibedakan
dengan metode serologik. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang
sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe
yang lain. Virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
flavivirus lain, mempunyai genom RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal yang
4

dikelilingi oleh nukleokapsid ikohedral dan terbungkus oleh selaput lipid.


Virionnya mempunyai diameter kira-kira 50 nrn. Genom avivirus mempunyai
panjang 11 kb (kilobases), dan mempunyai urutan genom lengkap untuk
mengisolasi keempat serotipe. Virus terdiri dari 3 struktur dan 7 protein tidak
terstruktur yaitu: nukleokapsid atau protein inti, protein yang berkaitan dengan
.membran (M) dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein nonstruktural
(NS). Domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi reseptor
virus dengan protein pembungkus.4
2.1.4 Vektor
A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan
antara garis lintang 35 U dan 35 S. Distribusi A. Aegypti juga dibatasi oleh
ketinggian sehingga nyamuk ini tidak ditemukan di atas ketinggian 1.000 m. A.
aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling utama untuk arbovirus
karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia, dan sering hidup di
dalam rumah sekitar kamar tidur, pakaian, dan air bersih sehingga sulit untuk
mengontrolnya dari lingkungan luar. Nyamuk dewasa lebih sering menggigit pagi
hari dan sore hari.2

2.1.5 Penularan
Setelah menggigit manusia .yang terinfeksi, virus dengue memasuki
nyamuk betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian
bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari,
periode ini disebut periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus tersebut
kemudian menggigit manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh manusia dengan
masa inkubasi 4-7 hari (3-14 hari) yang disebut periode intrinsik. Viremia terjadi 1
hari sebelum dan 5 hari setelah onset penyakit.
2.1.6 Patofisiologis
Penelitian patogenesis infeksi virus dengue sampai sekarang merupakan
penelitian yang paling menantang. Hal tersebut disebabkan sejauh ini belum ada

suatu teori yang dapat menerangkan secara tuntas patogenesis infeksi virus
dengue. Dua teori yang kini digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis infeksi virus dengue yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE).
Beberapa hipotesis telah dibuktikan untuk menjelaskan peningkatan insidens
kasus yang berat setelah terjadi infeksi virus dengan serotipe yang berbeda.
Penelitian secara in vitro telah memperlihatkan bahwa ada cross reactive non
neutralizing dari antibodi dengue berbentuk kompleks virus yang heterologous.4
a. Berdasarkan Teori Infeksi Sekunder
Teori

infeksi

sekunder

menyebutkan

bahwa

apabila

seseorang

mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi kekebalan
terhadap infeksi jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Jadi seseorang
yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue akan mempunyai antibodi
yang dapat menetralisasi virus yang sama (homologous). Tetapi jika orang
tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain maka
terjadi infeksi berat karena pada infeksi selanjutnya antibodi heterologous yang
terbentuk pada infeksi primer tidak dapat menetralisasi virus dengue serotipe lain
(non neutralizing antibody). Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non
neutralisasi, antibodi tersebut bersifat opsonisasi, internalisasi dan mempermudah
makrofag/monosit terinfeksi serta virus bebas bereplikasi di dalam makrofag
bahkan membentuk kompleks yang lebih infeksius sehingga penyakit cenderung
menjadi berat serta berperan dalam patogenesis terjadinya DBD/DSS. 4
b. Berdasarkan Hipotesis antibody dependent enhancement
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) prinsipnya adalah
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear.2
Kompleks

antibodi

dan

virus

dengue

yang

heterologous

akan

memfasilitasi masuknya virus ke dalam monosit melalui reseptor Fc, proses ini
dikenal sebagai ADE. Monosit yang mengandung virus menyebar ke berbagai
organ dan terjadi viremia. Dasar teori infection enhancing antibody ialah peran sel

fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi non netralisasi. Sebagai respons


terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan manifestasi
perdarahan sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Disamping
kedua hipotesis di atas masih ada teori lain tentang patogesis DBD yaitu teori
mediator, teori virulensi virus, teori antigen antibodi, teori apoptosis, dan teori
trombosit endotel. Teori virulensi menurut Russel, 1990, mengatakan bahwa DBD
berat terjadi pada infeksi primer dan bayi usia < 1 tahun, serotipe DEN-3 akan
menimbulkan manifestasi klinis yang berat dan fatal, dan serotipe DEN-2 dapat
menyebabkan syok. Hal-hal diatas menyimpulkan bahwa virulensi virus turut
berperan dalam menimbulkan manifestasi klinis yang berat.2
c. Berdasarkan Teori Mediator
Teori mediator sekarang ini dipikirkan oleh para ahli karena melanjutkan
teori antibody enhancing. Pasien DBD mempunyai kadar TNF-a, lL-6, IL-i3, lL18, dan faktor sitotoksik lebih tinggi dibandingkan pasien DD sedangkan pada
pasien DSS mempunyai kadar IL-4, IL-o, lL-8, dan IL-10 yang tinggi. Sitokin
tersebut sangat berperan meningkatkan permeabilitas vaskular dan syok selama
terinfeksi dengue.
Kompleks virus antibodi yang meliputi sel makrofag akan memproduksi
sitokin TNF-a, lFN-y, lL-Z, lL-6, PAF (platelet activating factor), dan lain-lain
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, kerusakan
endotel pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran cairan plasma ke dalam
jaringan tubuh dan mengakibatkan syok. Kompleks virus-antibodi juga akan
merangsang komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) Serta perdarahan. Tingginya
kadar pelepasan PAF oleh monosit dengan infeksi sekunder dapat pula
menjelaskan perdarahan pada DBD dan DSS. Jadi perdarahan pada DBD dapat
disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama yaitu vaskulopati, kelainan
trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam,
perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada
fase syok dan syok yang lama, perdarahan disebabkan oleh trombositopeni diikuti

oleh koagulopati terutama sebagai akibat koagulasi intravaskular rnenyuluruh dan


peningkatan fibrinolisis. Faktor sitotoksis memproduksi sel CD4+T yang akan
merangsang makrofag memproduksi TNF-alpha dan IL-18. Kadar faktor
sitotoksik berhubungan dengan beratnya penyakit. Selama infeksi dengue berat
beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi supresi respons Th1 dan
didapatkan respons Th2 yang lebih dominan. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa respons Th2 predominan terjadi pada kasus DBD/SSD.5
2.1.7 Gejala klinis
Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan
dipengaruhi usia pasien. Pada bayi dan anak anak, dikarakteristikkan sebagai
demam selama 1-5 hari, peradangan faring, rinitis dan batuk ringan. Pada remaja
dan dewasa mengalami demam secara mendadak, dengan suhu meningkat cepat
hingga 39,4-41,1 oC, biasanya disertai nyeri frontal atau retro-orbital khususnya
ketika mata di tekan. Kadang kadang nyeri punggung hebat mendahului demam.
Ruam transien dapat terlihat selama 24-48 jam pertama demam. Denyut nadi
dapat relatif melambat sesuai derajat demam. Mialgia dan artalgia segera terjadi
setelah demam.
Pada hari kedua sampai hari ke enam demam, mual muntah terjadi dan
limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan
pengecapan, dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam
mukopapular terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian
menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh yang
sebelumnya sudah menurun ke normal, meningkat dan mendemonstrasikan
karakteristik pola suhu bifasik.
1. Demam berdarah dengue
Demam dengue dan demam berdarah dengue pada awal perjalanan
penyakit sulit dibedakan. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa
demam, malaise, mual muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut
selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase
kedua, pasien umumnya pilek, ekstermitas basah oleh keringat, badan

hangat, wajah kemerah merahan, diaforesis, kelelahan, iritabilitas dan


nyeri epigastrik.
Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstermitas,
ekimosis spontan dan memar serta perdarahan dapat dengan mudah terjadi
di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau mukopapular dapat dengan
mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau makulopapular
dapat terlihat. Respirasi cepat dan melelahkan, denyut nadi lemah dan
cepat, suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya
keras dan sulit digerakkan.
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue akan timbul syok (sindrom
syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan
gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis
24-36 jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur
dapat kembali normal sebalum atau selama syok. Bradikardia dan ekstrasistol
ventrikular umumnya terjadi saat fase pemulihan.1

Gambar 2.1 Algoritma sederhana penentuan DD dan DBD


2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

A. Laboratorium
a) Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
b) Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia < 100.000 pada hari ke-3 sampai hari
ke-8
c) Hematokrit
Kebocoran

plasma

dibuktikan

dengan

ditemukannya

peningkatan

hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
d) Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
e) Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
f) SGOT/SGPT (Serum alanin aminotransferase) : Dapat meningkat
g) Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
h) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)
Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
i) Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue.
IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.
B. Pemeriksaan Radiologis

10

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi
dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula di deteksi dengan pemeriksaan
USG.
2.1.9 Diagnosis
Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi
virus dengue.6 Perbedaan utama antara demam dengue dan DBD adalah pada
DBD ditemukannya adanya kebocoran plasma.
A. Demam dengue
Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan,
leukopenia) di tambah pemeriksaan serologis dengue positif atau ditemukan
pasien demam dengue/ demam berdarah dengue yang telah dikonfirmasi pada
waktu dan lokasi yang sama.
B. Demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal di bawah ini terpenuhi.
a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan


gusi) atau perdarahan dari tempat lain.

Hematemesis atau melena.

c) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)


d) Terdapat minimal satu dari tanda tanda kebocoran plasma sebagai
berikut :

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai


dengan umur dan jenis kelamin

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi


cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
11

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau


hipoproteinemia.

1. Sindrom syok dengue


Seluruh kriteria DBD disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (< 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab
serta gelisah.

2.1.10 Klasifikasi derajat penyakit


/DBD
D

Derajat

Gejala
Laboratorium
Demam disertai 2 atau lebih tanda: Leucopenia
sakit kepala, nyeri retro-orbital, Trombositopenia,

mialgia, artralgia.

Serolog

tidak

ditemukan i

bukti

kebocoran

plasma
I

Gejala di atas ditambah uji bendung Trombositopenia,


positif

ada

plasma

kebocoran

Gejala di atas ditambah perdarahan Trombositopenia,


spontan

(<100.000/L), bukti
ada

Positif

(<100.000/L), bukti

B
II

Dengue

kebocoran

plasma

Trombositopenia,

12

III

Gejala di atas ditambah kegagalan (<100.000/

L),

sirkulasi (kulit dingin dan lembab bukti ada kebocoran


serta gelisah)
IV

plasma

Syok berat disertai dengan tekanan Trombositopenia,


darah dan nadi tidak terukur.

(<100.000/

L),

bukti ada kebocoran

plasma1

(DSS)

D
B
D

(DSS)

2.1.11 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasusDBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melaui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan divisi penyakit tropik dan infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa dengan kriteria :

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan dan tindakan yang dibuat


sesuai atas indikasi

Praktis dalam pelaksanaannya

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori antara lain :

13

1. Protokol 1 : Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok


Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi gawat
darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi
rawat.
Seseorang tersangka DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau
berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya,
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap 24 jam) bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalasi gawat
darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk


dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan


untuk dirawat.

14

Gambar 2.2 Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan
di UGD
2. Protokol 2 : Penanganan cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :
1500 + ( 20 x ( BB dalam kg 20 ) )
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >
20%.

Gambar 2.3 Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruangan


15

3. Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan hematokrit > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang
ditandai dengan tanda tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus di kurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.

Gambar 2.4 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%


Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak

16

menunjukkan

perbaikan

maka

jumlah

cairan

infus

dinaikkan

menjadi

15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk


dan didapatkan tanda tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
4. Protokol 4 : Pelaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan
trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang tiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan
pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit
< 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

17

Gambar 2.5 Penatalaksanaan perdarahan pada DBD dewasa


4. Protokol 5 : Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Bila kita berhadapan dengan sindrom syok dengue maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita
DBD mendapatkan pertolongan dan pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatann yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan
sesuai resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter per menit.
Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida,
serta ureum dan kreatinin.

18

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan
tekanan darah sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frequensi
nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil maka pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan tanda tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan
maka keadaan hipervolemia, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karema
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid
hanya

sekitar

20

% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.
Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan
belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 2030 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap
belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat
berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan
( internal bleeding ) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

19

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui


sifat sidat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula mula diberikan dengan
tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan
tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1 1,5 l / hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15- 18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan
dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.

20

Gambar 2.6 Penatalaksanaan sindrom renjatan dengue


21

2.1.12 Prognosis
Pada Demam Dengue prognosisnya apabila suhu turun maka akan terjadi
perbaikan dan penyembuhan sempurna. Sedagkan pada Demam Berdarah Dengue
angka kematian yang disebabkan oleh DBD adalah kurang dari 1%, tetapi bila
timbul Dengue Shock Syndrome maka angka kematian bisa mencapai 40-50%.
Sehingga prognosis Dengue Shock Syndrome sangat tergantung dari pengenalan
dini dengan cara pemantauan cermat dan tindakan cepat dan tepat terutama ketika
terjadi renjatan (syok).4
2.1.13 Pencegahan
Pencegahan/pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan
sarangnya dengan melakukan tindakan 3 M, yaitu
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mangubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air
Adultsida

(fogging)

dengan

menggunakan

DDT

(Dicloro-Diphenyl-

Tricloroethane)

22

2.2 Penyakit Jantung hipertensi


2.2.1 Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan akumulasi
dari adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah.
Pembesaran ventrikel kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik
adalah manifestasi yang akan menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat
berkembang menjadi gagal jantung bila tidak ditangani dengan baik .3

2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertensi pada tahun 2005 adalah 35.3 juta pada laki-laki dan
38.3 juta pada wanita. Sedangkan prevalensi pada LVH tidak diketahui. Jumlah
LVH yang ditemukan berdasar EKG adalah 2,9% pada laki-laki dan 1,5% pada
wanita. Pasien-pasien tanpa LVH, 33% telah memiliki distolik disfungsi yang
asimtomatik.7
Menurut

penelitian

Framingham,

hipertensi

merupakan

penyebab

seperempat gaggal jantung. Pada populasi dewasa hipertensi berkonstribusi 68%


terhadap terjadinya gagal jantung. Pasien dengan hipertensi mempunyai resiko
dua kali lipat pada laki-laki dan tiga kali lipat pada wanita.
Peningkatan tekanan darah sistolik seiring dengan pertambahan umur.
Peningkatan tekanan darah lebih tinggi pada laki-laki dibanding wanita, sampai
wanita mengalami menopause, dimana tekanan darah akan meningkat tajam dan
mencapai level yang lebih tinggi daripada pria. Prevalensi hipertensi lebih tinggi
pada pria daripada wanita pada usia di bawah 55 tahun, namun sebaliknya pada
23

usia di atas 55 tahun. Prevalensi gagal jantung hipertensi mengikuti pola


prevalensi hipertensi.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%,
sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar
14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui
penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau
idiopatik). Hanya sebagian hipertensi yang dapat ditemukan penyebabnya
(hipertensi sekunder).
Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan Departemen
Kesehatan tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit jantung menduduki urutan
ke-3 sebagai penyebab kematian, dengan catatan pada golongan umur 45 tahun
keatas penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama sebagai penyebab
kematian, sedangkan pada SKRT tahun 1972 penyakit jantung masih menduduki
urutan ke-11. Kekerapan penyakit jantung juga meningkat dari 5,2% sampai 6,3%.
Penyakit jantung dan pembuluh darah yang banyak di Indonesia adalah
penyakit jantung koroner, penyakit jantung reumatik dan penyakit hipertensi.
Penyakit hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit
jantung koroner dan dapat menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti mata,
ginjal, dan otak. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI melaporkan bahwa didapatkan angka kekerapan penyakit hipertensi
ini pada golongan usia 45-54 tahun adalah 19.5%, kemudian meningkat menjadi
30.6% di atas usia 55 tahun.

2.2.3 Patofisiologi dan Patogenesis


Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah interaksi yang
kompleks dari faktor hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan
molekular. Di satu sisi faktor-faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi
dan komplikasinya, sementara di sisi lain peningkatan tekanan darah juga

24

mempengaruhi

faktor-faktor

tersebut.

Peningkatan

tekanan

darah

akan

menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2 jalur: secara


langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui
interaksi neurohormonal dan vaskular.7
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi
tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh
penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan
mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul
oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi
sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume
diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik).8
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll) dapat
terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi
ventrikel kiri, iskemia miokard, dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor
utama kerusakan miosit pada hipertensi (PAPDI, 2006).

2.2.3.1 Hipertrofi Ventrikel Kiri


15-20% pasien dengan hipertensi akan mengalami pembesaran ventrikel
kiri. Resiko pembesaran ventrikel kiri akan meningkat dua kali lipat dengan
adanya obesitas. Prevalensi pembesaran ventrikel kiri berdasarkan bacaan
elektrokardiografi, yang tidak terlalu sensitif, bervariasi. Penelitian menunjukkan
hubungan langsung antara tingkat dan durasi hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri.
Hipertrofi ventrikel kiri, yang didefinisikan sebagai peningkatan massa
ventrikel kiri, disebabkan oleh respon miosit pada berbagai macam stimulus yang
menyertai peningkatan tekanan darah.

Hipertrofi miokard timbul sebagai

25

kompensasi dari peningkatan afterload. Stimulus mekanik dan neurohormonal


serta hipertensi menimbulkan aktivasi pertumbuhan miokard, ekspresi gen (yang
terdapat pada miokard fetal), dan hipertrofi ventrikel kiri. Sistem reninangiotensin juga turu mempengaruhi pertumbuhan interstisium dan komponen
matriks seluler. Kesimpulannya, hipertrofi ventrikel kiri terjadi akibat hipertrofi
miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur interstisium miokard .8
Terdapat beberapa macam hipertrofi ventrikel kiri, meliputi remodelling
konsentris, hipertrofi ventrikel kiri konsentris, dan hipertrofi ventrikel kiri
eksentris. Hipertrofi ventrikel kiri konsentris adalah peningkatan ketebalan dan
massa ventrikel kiri dengan peningkatan tekanan dan volume diastolik, umumnya
ditemukan pada pasien dengan hipertensi dan merupakan petanda yang buruk bagi
pasien ini. Dibandingkan dengan hipertrofi ventrikel kiri eksentris, dimana
peningkatan ketebalan ventrikel kiri terjadi tidak secara merata, hanya di tempat
tertentu, misalnya pada septum. Walaupun, hipertrofi ventrikel kiri berperan
sebagai respon protektif terhadap peningkatan tekanan dinding jantung untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat, namun hal ini dapat menyebabkan
disfungsi sistolik dan diastolik.8
2.2.3.2 Kelainan Atrium Kiri
Perubahan struktural dan fungsi atrium kiri sangat sering terjadi pada pasien
dengan hipertensi. Peningkatan afterload akan berdampak pada atrium kiri oleh
peningkatan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri dan sekunder oleh karena
peningkatan tekanan darah yang mengakibatkan kerusakan atrium kiri, penurunan
fungsi atrium kiri, dan penebalan/pelebaran atrium kiri. Pelebaran atrium kiri yang
menyertai hipertensi tanpa adanya penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik
biasanya merupakan implikasi dari hipertensi kronis atau mungkin berhubungan
dengan tingkat keparahan disfungsi diastolik ventrikel kiri. Dengan adanya
perubahan struktur tersebut, pasien memiliki resiko tinggi untuk mengalami
fibrilasi atrium dan dapat mengakibatkan gagal jantung.8

26

2.2.3.3 Penyakit Katup


Meskipun penyakit katup jantung tidak menyebabkan penyakit jantung
hipertensi, hipertensi yang parah dan kronis dapat menyebabkan dilatasi aorta
yang menimbulkan insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta juga dapat ditemukan
pada pasien-pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah
yang akut dapat memperparah keadaan insufusiensi aorta, dimana akan membaik
jika tekanan darah terkontrol dengan baik. Disamping dapat juga menyebabkan
regurgitasi aorta, hipertension juga dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan
regurgitasi mitral.8

2.2.3.4 Gagal Jantung


Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
peningkatan tekanan darah yang terjadi secara kronis. Hipertensi sebagai
penyebab dari gagal jantung kongestif seringkali tidak terdeteksi, karena saat
proses gagal jantung terjadi, disfungsi ventrikel kiri tidak menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Prevalensi dari disfungsi diastolik asimtomatis pada
pasien dengan hipertensi namun tanpa pembesaran ventrikel kiri sekitar 33%.8
Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dan sering
disertai dengan pembesaran ventrikel kiri. Faktor-faktor yang menyebabkan
disfungsi diastolik disamping adanya peningkatan afterload, adalah interaksi
antara penyakit jantung koroner, usia, disfungsi sistolik, dan kelainan struktural,
misalnya fibrosis dan hipertrofi ventrikel kiri. Biasanya disfungsi diastolik juga
diikuti oleh disfungsi sistolik asimtomatis. Selanjutnya, hipertrofi ventrikel kiri
gagal untuk mengkompensasi peningkatan curah jantung karena peningkatan
tekanan darah, sehingga ventrikel kiri mengalami dilatasi untuk mempertahankan
curah jantung. Ketika memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri semakin
menurun. Hal ini meningkatkan aktivasi neurohormonal dan sistem reninangiotensin, mengakibatkan peningkatan retetensi garam dan cairan, serta

27

peningkatan vasokonstriksi perifer, menambah kerusakan lebih lanjut pada


ventrikel kiri menjadi disfungsi sistolik yang simtomatik.8
Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, yang distimulasi oleh
hipertrofi miokard dan ketidakseimbangan antara stimulan dan inhibitor, memiliki
peran yang penting dalam transisi tahap kompensasi ke tahap dekompensasi.
Pasien dapat menjadi simtomatik dalam tahap disfungsi sistolik atau diastolik
asimtomatis, tergantung dari kondisi afterload atau adanya keterlibatan miokard
(misalnya iskemia, infark). Peningkatan tekanan draah yang terjadi secara tibatiba dapat mengakibatkan edema paru akut tanpa perlu terjadi perubahan fraksi
ejeksi ventrikel kiri. Umumnya, perkembangan disfungsi atau dilatasi ventrikel
kiri, baik yang asimtomatis maupun simtomatis, dianggap sebagai penyebab
penurunan status klinis yang cepat dan meningkatkan angka kematian. Penebalan
ventrikel kanan dan disfungsi diastolik juga berperan menyebabkan penebalan
septum dan disfungsi ventrikel kiri.8

2.2.3.5 Iskemik Miokard


Pasien dengan angina memiliki prevalensi hipertensi yang tinggi. Hipertensi
melipatgandakan resiko untuk penyakit jantung koroner. Iskemia pada pasien
dengan hipertensi terjadi karena multifaktor.8
Yang penting, pada pasien dengan hipertensi, angina dapat muncul tanpa
penyakit jantung koroner. Hal ini terjadi karena peningkatan afterload sekunder
karena hipertensi mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan
transmural, menghambat aliran darah koroner saat diastol. Selanjutnya, pada
pasien dengan hipertensi, mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial,
mengalami disfungsi dan tidak dapat mengkompensasi peningkatan metabolisme
dan kebutuhan oksigen.8
Perkembangan dan progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit jantung
koroner, adalah kerusakan arteri terus-menerus karena peningkatan tekanan darah.

28

Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan disfungsi endotel, dan menyebabkan


kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit oxide. Penurunan kadar
nitrit oxide menyebabkan dan mempercepat proses arteriosklerosis dan
penumpukan plak.8

2.2.3.6 Aritmia
Aritmia yang sering terjadi pada pasien dengan hipertensi diantaranya
adalah atrial fibrilasi, PVC (premature ventricular contractions) dan ventrikular
takikardi. Resiko dari kematian mendadak juga meningkat. Terdapat berbagai
mekanisme yang berperan dalam patogenesis aritmia diantaranya penurunan
struktur dan metabolisme seluler, inhomogenitas miokard, perfusi yang buruk,
fibrosis miokard, dan fluktuasi afterload. Semua faktor ini dapat meningkatkan
resiko terjadinya ventrikular takiaritmia.
Atrial fibrilasi (paroksismal, kronik rekuren, atau kronik persisten)
seringkali didapatkan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan
tekanan darah adalah penyebab tersering dari atrial fibrilasi di daerah barat.
Penelitian menunjukkan bahwa hampir 50% pasien dengan atrial fibrilasi
memiliki riwayat hipertensi. Meskipun etiologinya belum diketahui, abnormalitas
struktural atrium kiri, penyakit jantung koroner, dan hipertrofi ventrikel kiri
dianggap sebagai faktor yang berperan. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan
dekompensasi sistolik, bahkan disfungsi diastol, menyebabkan penurunan curah
atrium juga resiko komplikasi trimboemboli yang dapat mengakibatkan stroke.
PVC (premature ventricular contraction), ventrikular aritmia, dan kematian
mendadak sering didapatkan pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Etologi
dari aritmia ini diantaranya penyakit jantung koroner dan fibrosis miokard.8
2.2.4 Gejala Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakan pasien
tidak ada keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:

29

Peningkatan tekanan darah itu sendiri,


seperti

berdebar-debar,

rasa

melayang

(dizzy), dan impoten

Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti


cepat capek, sesak napas, sakit dada (iskemia
miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua
kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya
adalah epistaksis, hematuria, pandangan
kabur karena perdarahan retina, transient
cerebral ischemic.

Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria,dan kelemahan


otot pada aldosteronism primer; peningkatan BB dengan emosi yang labi pada
sindrom Cushing. Phaeocromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit
kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri.9
2.2.5 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum dan
memperhatikan

keadaan

khusus,

seperti:

Cushing,

Phaeocromositoma,

perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering


ditemukan pada koartasio aorta. Pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan
kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker
sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis
untuk menilai stenosis atau oklusi .9
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk
menilai hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yang
prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup
aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4
(gallop atrial atau sistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium
kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila
S3 dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan
apakah ada suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau ronkhi kering.
30

Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, lien,


ginjal, dan ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus (renal artey
stenosis). Areteri radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus diraba.
Tekanan darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda
(kurang dari 30 tahun) .9
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal meliputi:

Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder

Darah

lengkap:

leukosit,

hemoglobin,

hematokrit, trombosit

Elektrolit darah: kalium, kalsiuj, fosfor

Ureum/kreatinin

Gula darah puasa

Total kolesterol, trigliserida, HDl, LDL

Elektrokardiografi

TSH

Foto thorax

Ekokardiografi

Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan hipertrofi ventrikel


kiri lebih dini dan lebih spesifik. Indikassi ekokardiografi pada pasien
hipertensi adalah:
-

Konfirmasi gangguan jantung atau murmur

Hipertensi dengan kelainan katup

Hipertensi pada anak atau remaja

Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat

Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan


fungsi sistolik atau diastolik)

Ekokardiografi doopler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik


(gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal, atau tipe
restriktif).9

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam III edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
2. Depkes RI.2010.Penyelidikan Epidemiologis penanggulangan Fokus dan
Penanggulangan Vektor Pada Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah
Dengue.

Jakarta:

Dirjen

Pengendalian

Penyakit

dan

Penyehatan

Lingkungan.

32

3. Marulam M. Panggabean.Penyakit Jantung Hipertensi. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
4. Soegijanto, S.2011. Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Airlangga
University Press
5. McBride WJH and Bielefeldt-Ohmann H. (2010) Dengue viral infections;
pathogenesis and epidemiology. Microbes and Infection. 2:1041- 1050.
6. WHO. (2007) Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
prevention and control, 2nd edition. Geneva: World Health Organization.
7.

Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et all, editors.2011. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

8. Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2011).


Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Diakses
pada 20 Juli 2016.
9. Adnil Basha.2012 Penyakit Jantung Hipertensif; Buku Ajar Kardiologi.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10.

33

Anda mungkin juga menyukai

  • CHF Ec CAD, HHD
    CHF Ec CAD, HHD
    Dokumen45 halaman
    CHF Ec CAD, HHD
    southernbear88zen
    67% (3)
  • HPP Fitri
    HPP Fitri
    Dokumen71 halaman
    HPP Fitri
    Putri Dwi Ramadhani
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen13 halaman
    Bab I
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • 11 Osteosarcoma
    11 Osteosarcoma
    Dokumen17 halaman
    11 Osteosarcoma
    Aqiemz Ne
    Belum ada peringkat
  • HPP Fitri
    HPP Fitri
    Dokumen71 halaman
    HPP Fitri
    Putri Dwi Ramadhani
    Belum ada peringkat
  • SKD 1 - Orthopaedi - Osteosarkoma
    SKD 1 - Orthopaedi - Osteosarkoma
    Dokumen24 halaman
    SKD 1 - Orthopaedi - Osteosarkoma
    Nadya Win Apriliani
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Demam Berdarah
    Laporan Kasus Demam Berdarah
    Dokumen41 halaman
    Laporan Kasus Demam Berdarah
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Demam Berdarah
    Laporan Kasus Demam Berdarah
    Dokumen31 halaman
    Laporan Kasus Demam Berdarah
    putrarambe
    100% (1)
  • Tumor Otak
    Tumor Otak
    Dokumen26 halaman
    Tumor Otak
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • MARS3
    MARS3
    Dokumen20 halaman
    MARS3
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Kti Sex
    Kti Sex
    Dokumen27 halaman
    Kti Sex
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen33 halaman
    Bab 2
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen7 halaman
    Kata Pengantar
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Cover Case Ipd
    Cover Case Ipd
    Dokumen1 halaman
    Cover Case Ipd
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen7 halaman
    Kata Pengantar
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen13 halaman
    Bab I
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Ischial Gia
    Ischial Gia
    Dokumen61 halaman
    Ischial Gia
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Case Interne
    Case Interne
    Dokumen51 halaman
    Case Interne
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Tumor Otak
    Tumor Otak
    Dokumen26 halaman
    Tumor Otak
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Kti Sex
    Kti Sex
    Dokumen27 halaman
    Kti Sex
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • MARS3
    MARS3
    Dokumen20 halaman
    MARS3
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Tutor XV - Obgyn Trigger 2 Word
    Tutor XV - Obgyn Trigger 2 Word
    Dokumen12 halaman
    Tutor XV - Obgyn Trigger 2 Word
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Kti Sex and Health
    Kti Sex and Health
    Dokumen27 halaman
    Kti Sex and Health
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Tutor 9 Modul THT Trigger 1
    Tutor 9 Modul THT Trigger 1
    Dokumen8 halaman
    Tutor 9 Modul THT Trigger 1
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Definisi
    Definisi
    Dokumen5 halaman
    Definisi
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Pneumo Thora CJ
    Pneumo Thora CJ
    Dokumen8 halaman
    Pneumo Thora CJ
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Tutorial 15 Trigger 1 THT
    Tutorial 15 Trigger 1 THT
    Dokumen11 halaman
    Tutorial 15 Trigger 1 THT
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat
  • Tutorial 15 Trigger 1 THT
    Tutorial 15 Trigger 1 THT
    Dokumen11 halaman
    Tutorial 15 Trigger 1 THT
    Padang Falconry
    Belum ada peringkat