PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
sudah
terbukti
dapat
menurunkan
resiko
dari
penyakit
kardiovaskular dan penyakit ginjal, namun masih sangat banyak populasi dengan
hipertensi yang tidak mendapatkan terapi atau mendapat terapi yang tidak
adekuat.3
1.2
Tujuan
Manfaat
2
a. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi dan mengembangkan teori tentang dbd dan hipertensi
terhadap kasus yang ada.
b. Bagi institut pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan
yang ada kaitanya dengan pelayanan kesehatan, khususnya terkait DBD
dan hipertensi.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
2.1.1 Definisi
DHF atau Dengue Haemorraghic Fever adalah penyakit trombositopenia
infeksius akut yang parah, dan sering bersifat fatal, disebabkan oleh infeksi virus
dengue. Pada DHF terjadi hemokonsentrasi atau penumpukan cairan tubuh,
abnormalitas hemostasis dan pada kondisi yang parah dapat timbul kehilangan
protein yang masif (Dengue Shock Syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu
proses imunopatologik.1
2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO, dengue adalah penyakit virus yang yang paling umum
ditularkan oleh nyamuk ke manusia, yang dalam beberapa tahun terakhir telah
menjadi masalah kesehatan utama masyarakat internasional. Secara global, 2.5
miliar orang tinggal di daerah di mana virus dengue dapat ditransmisikan.
Penyebaran geografis antara vektor nyamuk dan virus telah menyebabkan epidemi
demam berdarah secara global dan kedaruratan demam berdarah dengue dalam 25
tahun terakhir dengan perkembangan hiperendemisitas di pusat-pusat perkotaan
daerah tropis.2
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik
barat dan karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian
luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).2
2.1.3 Etiologi
DVirus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) dapat dibedakan
dengan metode serologik. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang
sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe
yang lain. Virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
flavivirus lain, mempunyai genom RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal yang
4
2.1.5 Penularan
Setelah menggigit manusia .yang terinfeksi, virus dengue memasuki
nyamuk betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian
bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari,
periode ini disebut periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus tersebut
kemudian menggigit manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh manusia dengan
masa inkubasi 4-7 hari (3-14 hari) yang disebut periode intrinsik. Viremia terjadi 1
hari sebelum dan 5 hari setelah onset penyakit.
2.1.6 Patofisiologis
Penelitian patogenesis infeksi virus dengue sampai sekarang merupakan
penelitian yang paling menantang. Hal tersebut disebabkan sejauh ini belum ada
suatu teori yang dapat menerangkan secara tuntas patogenesis infeksi virus
dengue. Dua teori yang kini digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis infeksi virus dengue yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE).
Beberapa hipotesis telah dibuktikan untuk menjelaskan peningkatan insidens
kasus yang berat setelah terjadi infeksi virus dengan serotipe yang berbeda.
Penelitian secara in vitro telah memperlihatkan bahwa ada cross reactive non
neutralizing dari antibodi dengue berbentuk kompleks virus yang heterologous.4
a. Berdasarkan Teori Infeksi Sekunder
Teori
infeksi
sekunder
menyebutkan
bahwa
apabila
seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi kekebalan
terhadap infeksi jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Jadi seseorang
yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue akan mempunyai antibodi
yang dapat menetralisasi virus yang sama (homologous). Tetapi jika orang
tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain maka
terjadi infeksi berat karena pada infeksi selanjutnya antibodi heterologous yang
terbentuk pada infeksi primer tidak dapat menetralisasi virus dengue serotipe lain
(non neutralizing antibody). Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non
neutralisasi, antibodi tersebut bersifat opsonisasi, internalisasi dan mempermudah
makrofag/monosit terinfeksi serta virus bebas bereplikasi di dalam makrofag
bahkan membentuk kompleks yang lebih infeksius sehingga penyakit cenderung
menjadi berat serta berperan dalam patogenesis terjadinya DBD/DSS. 4
b. Berdasarkan Hipotesis antibody dependent enhancement
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) prinsipnya adalah
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear.2
Kompleks
antibodi
dan
virus
dengue
yang
heterologous
akan
memfasilitasi masuknya virus ke dalam monosit melalui reseptor Fc, proses ini
dikenal sebagai ADE. Monosit yang mengandung virus menyebar ke berbagai
organ dan terjadi viremia. Dasar teori infection enhancing antibody ialah peran sel
A. Laboratorium
a) Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
b) Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia < 100.000 pada hari ke-3 sampai hari
ke-8
c) Hematokrit
Kebocoran
plasma
dibuktikan
dengan
ditemukannya
peningkatan
hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
d) Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
e) Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
f) SGOT/SGPT (Serum alanin aminotransferase) : Dapat meningkat
g) Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
h) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)
Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
i) Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue.
IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.
B. Pemeriksaan Radiologis
10
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi
dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula di deteksi dengan pemeriksaan
USG.
2.1.9 Diagnosis
Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi
virus dengue.6 Perbedaan utama antara demam dengue dan DBD adalah pada
DBD ditemukannya adanya kebocoran plasma.
A. Demam dengue
Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan,
leukopenia) di tambah pemeriksaan serologis dengue positif atau ditemukan
pasien demam dengue/ demam berdarah dengue yang telah dikonfirmasi pada
waktu dan lokasi yang sama.
B. Demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal di bawah ini terpenuhi.
a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
Derajat
Gejala
Laboratorium
Demam disertai 2 atau lebih tanda: Leucopenia
sakit kepala, nyeri retro-orbital, Trombositopenia,
mialgia, artralgia.
Serolog
tidak
ditemukan i
bukti
kebocoran
plasma
I
ada
plasma
kebocoran
(<100.000/L), bukti
ada
Positif
(<100.000/L), bukti
B
II
Dengue
kebocoran
plasma
Trombositopenia,
12
III
L),
plasma
(<100.000/
L),
plasma1
(DSS)
D
B
D
(DSS)
2.1.11 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasusDBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melaui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan divisi penyakit tropik dan infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa dengan kriteria :
13
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau
berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya,
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap 24 jam) bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalasi gawat
darurat.
14
Gambar 2.2 Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan
di UGD
2. Protokol 2 : Penanganan cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :
1500 + ( 20 x ( BB dalam kg 20 ) )
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >
20%.
16
menunjukkan
perbaikan
maka
jumlah
cairan
infus
dinaikkan
menjadi
17
18
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan
tekanan darah sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frequensi
nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil maka pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan tanda tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan
maka keadaan hipervolemia, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karema
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid
hanya
sekitar
20
% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.
Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan
belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 2030 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap
belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat
berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan
( internal bleeding ) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
19
20
2.1.12 Prognosis
Pada Demam Dengue prognosisnya apabila suhu turun maka akan terjadi
perbaikan dan penyembuhan sempurna. Sedagkan pada Demam Berdarah Dengue
angka kematian yang disebabkan oleh DBD adalah kurang dari 1%, tetapi bila
timbul Dengue Shock Syndrome maka angka kematian bisa mencapai 40-50%.
Sehingga prognosis Dengue Shock Syndrome sangat tergantung dari pengenalan
dini dengan cara pemantauan cermat dan tindakan cepat dan tepat terutama ketika
terjadi renjatan (syok).4
2.1.13 Pencegahan
Pencegahan/pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan
sarangnya dengan melakukan tindakan 3 M, yaitu
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mangubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air
Adultsida
(fogging)
dengan
menggunakan
DDT
(Dicloro-Diphenyl-
Tricloroethane)
22
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertensi pada tahun 2005 adalah 35.3 juta pada laki-laki dan
38.3 juta pada wanita. Sedangkan prevalensi pada LVH tidak diketahui. Jumlah
LVH yang ditemukan berdasar EKG adalah 2,9% pada laki-laki dan 1,5% pada
wanita. Pasien-pasien tanpa LVH, 33% telah memiliki distolik disfungsi yang
asimtomatik.7
Menurut
penelitian
Framingham,
hipertensi
merupakan
penyebab
24
mempengaruhi
faktor-faktor
tersebut.
Peningkatan
tekanan
darah
akan
25
26
27
28
2.2.3.6 Aritmia
Aritmia yang sering terjadi pada pasien dengan hipertensi diantaranya
adalah atrial fibrilasi, PVC (premature ventricular contractions) dan ventrikular
takikardi. Resiko dari kematian mendadak juga meningkat. Terdapat berbagai
mekanisme yang berperan dalam patogenesis aritmia diantaranya penurunan
struktur dan metabolisme seluler, inhomogenitas miokard, perfusi yang buruk,
fibrosis miokard, dan fluktuasi afterload. Semua faktor ini dapat meningkatkan
resiko terjadinya ventrikular takiaritmia.
Atrial fibrilasi (paroksismal, kronik rekuren, atau kronik persisten)
seringkali didapatkan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan
tekanan darah adalah penyebab tersering dari atrial fibrilasi di daerah barat.
Penelitian menunjukkan bahwa hampir 50% pasien dengan atrial fibrilasi
memiliki riwayat hipertensi. Meskipun etiologinya belum diketahui, abnormalitas
struktural atrium kiri, penyakit jantung koroner, dan hipertrofi ventrikel kiri
dianggap sebagai faktor yang berperan. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan
dekompensasi sistolik, bahkan disfungsi diastol, menyebabkan penurunan curah
atrium juga resiko komplikasi trimboemboli yang dapat mengakibatkan stroke.
PVC (premature ventricular contraction), ventrikular aritmia, dan kematian
mendadak sering didapatkan pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Etologi
dari aritmia ini diantaranya penyakit jantung koroner dan fibrosis miokard.8
2.2.4 Gejala Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakan pasien
tidak ada keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:
29
berdebar-debar,
rasa
melayang
keadaan
khusus,
seperti:
Cushing,
Phaeocromositoma,
Darah
lengkap:
leukosit,
hemoglobin,
hematokrit, trombosit
Ureum/kreatinin
Elektrokardiografi
TSH
Foto thorax
Ekokardiografi
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam III edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
2. Depkes RI.2010.Penyelidikan Epidemiologis penanggulangan Fokus dan
Penanggulangan Vektor Pada Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah
Dengue.
Jakarta:
Dirjen
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan.
32
33