Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


WHO mendata penderita gangguan sendi di Indonesia mencapai 81% dari
populasi, hanya 24% yang pergi ke dokter, sedangkan 71% nya cenderung
langsung mengkonsumsi obat-obatan pereda nyeri yang dijual bebas. Angka ini
menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling tinggi menderita gangguan
sendi jika dibandingkan dengan negara di Asia lainnya seperti Hongkong,
Malaysia, Singapura dan Taiwan. Penyakit sendi secara nasional prevalensinya
berdasarkan wawancara sebesar 30,3% dan prevalensi berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan adalah 14% (Riskesdas 2007-2008). Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyakit sendi adalah umur, jenis kelamin, genetik, obesitas dan
penyakit metabolik, cedera sendi, pekerjaan dan olah raga. (Rabea, 2009)
Penyakit gout merupakan salah satu penyakit degeneratif. Salah satu tanda
dari penyakit gout adalah adanya kenaikan kadar asam urat dalam darah
(hiperurisemia). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hiperurisemia
adalah jenis kelamin, IMT, asupan karbohidrat dan asupan purin. Asupan purin
merupakan faktor risiko paling kuat yang berhubungan dengan kejadian
hiperurisemia. (Setyoningsih, 2009)
Hiperurisemia yang merupakan kondisi predisposisi untuk gout, sangat
berhubungan erat dengan sindrom metabolik seperti : hipertensi, intoleransi
glukosa, dislipidemia, obesitas truncal, dan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskular. Didapatkan bukti bahwa hiperurisemia sendiri mungkin
merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. Insiden dan
prevalensi gout di seluruh dunia tampaknya meningkat karena berbagai alasan,
termasuk yang iatrogenik. Gout memengaruhi minimal 1% dari populasi di
negara-negara Barat dan merupakan penyakit yang paling umum bersama
inflamasi pada pria lebih tua dari 40 tahun (Andrew, 2005). Satu survei
epidemiologik yang dilakukan di Bandungan, Jawa Tengah atas kerjasama WHO
COPCORD terhadap 4.683 sampel berusia antara 15 45 tahun didapatkan bahwa

prevalensi hiperurisemia sebesar 24,3 % pada laki-laki dan 11,7% pada wanita.
(Purwaningsih, 2010)
Dari penelitian Scudamore, diketahui bahwa pada 516 penderita, 60 %
mengalami serangan gout akut pertama mengenai jempol kaki, dan menyerang
kedua jempol pada 5% penderita. Persentase kemungkinan penderita yang
mengalami gout akut dan menyerang banyak sendi sekitar 4-13%. Berdasarkan
penelitian Gutman, serangan gout susulan 62% terjadi pada tahun pertama setelah
serangan gout pertama, 16% timbul dalam kurun waktu 1-2 tahun setelah
serangan gout pertama, 11% timbul dalam waktu 2-5 tahun, 4% dalam 5-10 tahun
setelah serangan gout pertama, dan sisanya 7% tidak mengalami gangguan
serangan gout (Yatim, 2006 )
Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia termasuk hiperurisemia
asimptomatik, mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan
pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu komunikasi yang baik
dengan pasien untuk mencapai tujuan terapi. Hal itu dapat diperoleh dengan
edukasi dan diet rendah purin yang menjadi tatalaksana (Hidayat, 2009).
Pencegahan lainnya berupa penurunan konsumsi alkohol dan penurunan berat
badan (Misnadiarly, 2007) Gejala dari gout berupa serangan nyeri sendi yang
bersifat akut, biasanya menyerang satu sendi disertai demam, kemudian keluhan
membaik dan disusul masa tanpa keluhan yang mungkin berlanjut dengan nyeri
sendi kronis. Hampir 85-90% penderita yang mengalami serangan pertama
biasanya mengenai satu persendian dan umumnya pada sendi antara ruas tulang
telapak kaki dengan jari kaki. (Yatim, 2006)
Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian untuk mengetahui
bagaimana karakteristik penderita Gout Artritis yang mengunjungi poli Lansia
puskesmas Johan Pahlawan pada bulan Maret sampai Juni 2016.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik


untuk meneliti Karakteristik Penderita Gout Artritis di Poli Lansia Puskesmas
Johan Pahlawan Periode Maret-Juni 2016.
1.2.1

Bagaimana karakteristik penderita Gout Artritis berdasarkan umur di


Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret-Juni 2016?

1.2.2

Bagaimana karakteristik penderita Gout Artritis berdasarkan jenis kelamin


di Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret-Juni 2016?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik penderita Gout Artritis di Puskesmas
Johan Pahlawan periode Maret-Juni 2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui karakteristik penderita Gout Artritis berdasarkan
umur di Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret-Juni 2016.
1.3.2.2 Untuk mengetahui karakteristik penderita Gout Artritis berdasarkan
jenis kelamin di Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret- Juni
2016.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritik
Mini projek ini dilakukan untuk memperoleh pengalaman belajar di lapangan
melalui studi kasus dan untuk meningkatkan pengetahuan. Selain itu melatih
dalam menilai suatu kemampuan dan kecermatan dalam berinteraksi di dalam
masyarakat serta mencari alternatif penyelesaian dari suatu masalah dan
menyelesaikannya.

1.4.2

Manfaat Aplikatif

Sebagai informasi dan data bagi pelaksana program terutama yang akan
melaksanakan program yang berhubungan dengan mini projek ini dan khususnya
bagi penulis dapat menambah wacana keilmuan dan wawasan.

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Gout Artritis
2.1.1 Pengertian Gout Artritis
Artritis gout merupakan penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat didalam cairan
ekstarseluler (Anastesya W, 2009). Artritis gout merupakan salah satu penyakit
inflamasi sendi yang paling sering ditemukan, yang ditandai dengan penumpukan
kristal monosodium urat di dalam ataupun di sekitar persendian. Monosodium
urat ini berasal dari metabolisme purin. Hal penting yang mempengaruhi
penumpukan kristal adalah hiperurisemia dan saturasi jaringan tubuh terhadap
urat. Apabila kadar asam urat di dalam darah terus meningkat dan melebihi batas
ambang saturasi jaringan tubuh, penyakit artritis gout ini akan memiliki
manifestasi berupa penumpukan kristal monosodium urat secara mikroskopis
maupun makroskopis berupa tophi (Zahara, 2013).
Dari waktu ke waktu jumlah penderita asam urat cenderung meningkat.
Penyakit gout dapat ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia.
Prevalensi asam urat cenderung memasuki usia semakin muda yaitu usia produktif
yang nantinya berdampak pada penurunan produktivitas kerja. Prevalensi gout di
Amerika serikat 2,6 dalam 1000 kasus. Peningkatan prevalensi diikuti dengan
meningkatnya usia, khususnya pada laki-laki. Sekitar 90% pasien gout primer
adalah laki-laki yang umumnya yang berusia lebih dari 30 tahun, sementara gout
pada wanita umumnya terjadi setelah menopause (Dufton J, 2011). Pada tahun
2006, prevalensi hiperurisemia di China sebesar 25,3% dan gout sebesar 0,36%
pada orang dewasa usia 20 74 tahun (Kumalasari, 2009). Prevalensi asam urat di
Indonesia terjadi pada usia di bawah 34 tahun sebesar 32% dan kejadian tertinggi
pada penduduk Minahasa sebesar 29,2%

(Pratiwi VF, 2013).

Pada tahun 2009, Denpasar, Bali, mendapatkan prevalensi hiperurisemia


sebesar 18,2% (Kumalasari, 2009). Faktor risiko yang menyebabkan orang
terserang penyakit asam urat adalah usia, asupan senyawa purin berlebihan,
konsumsi alkohol berlebih, kegemukan (obesitas), kurangnya aktivitas fisik,

hipertensi dan penyakit jantung, obat-obatan tertentu (terutama diuretika) dan


gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar asam urat dalam darah, selain
menyebabkan

artritis

gout,

menurut

suatu

penelitian hal tersebut merupakan salah prediktor kuat terhadap kematian karena
kerusakan kardiovaskuler (Andry, 2009).
2.2 Etiologi
Klasifikasi gout dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Gout primer. Gout primer dipengaruhi oleh factor genetic. Terdapat
produksi/sekresi asam urat yang berlebihan dan tidak diketahui
penyebabnya.
b. Gout sekunder. Gout sekunder dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1) Produksi asam urat yang berlebihan, misalnya pada :
a) Kelainan

mieloproliferatif

(polisitema,

leukemia,

myeloma

retikularis)
b) Sindrom Lesch-Nyhan yaitu suatu kelainan akibat defisiensi
hipoxantin guanine fosfori basil transferase yang terjadi pada anakanak dan pada sebagian orang dewasa.
c) Gangguan penyimpanan glikogen
d) Penatalaksanaan

anemia

pernisiosa

karena

maturasi

sel

megaloblastik menstimulasi pengeluaran asam urat.


2) Sekresi asam urat yang berkurang, misalnya pada gagal ginjal kronis,
pemakaian obat-obat salisilat, tiazid, beberapa macam diuretic dan
sulfonamide,

atau

keadaan

alkoholok,

asidosis

laktat,

hiperparatiroidisme dan pada miksedema.


2.3 Patofisiologi

Awitan ( onset ) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar


asam urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar urat serum yang stabil,
jarang mendapat serangan. Pengobatan dini dengan allupurinol yang menurunkan
kadar urat serum dengan mempresipitasi serangan gout akut. Pemakaian alkohol
berat oleh pasien gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat
dari depositnya dalam tofi ( crystal shedding ). Pada beberapa pasien gout atau
yang dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi
metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan
akut. Dengan demikian gout, seperti juga pseudogout , dapat timbul pada keadaan
asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 21% pasien gout dengan asam urat
normal. Terdapat peranan temperatur, pH dan kelarutan urat untuk timbul
serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih
rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa
kristal monosodium urat diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk
pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 ( MTP-1 ) berhubungan juga
dengan trauma ringan yang berulang ulang pada daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang
sinovia ke dalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian
konsentrasi urat dalam cairan sendi MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam
plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring,
akan terjadi peningkatan kadar urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan
terjadinya awitan ( onset ) gout akut pada malam hari pada sendi yang
bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitro melalui
pembentukan dari protonated solid phases. Walaupun kelarutan sodium urat
bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada pH dari
7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran serta kapasitas buffer pada sendi dengan gout,
gagal untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi pembentukan kristal MSU sendi.
Peradangan dan inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis gout terutama
gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk

menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Peradangan pada artritis


gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium
urat pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini
di duga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator
peradangan akibat aktivasi melalui jalur, antara lain aktivitas komplemen ( C ) dan
selular.
2.4 Diagnosa Banding
Rheumatoid Artritis, pada penderita RA stadium awal mungkin sulit
menegakan diagnosis definitive dengan menggunakan criteria ini. Pada kunjungan
awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan
kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara
teliti untuk mengamati adanya cirri-ciri seperti yang disebutkan di atas.
Osteo Artritis, diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis
dan radiografis. Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi terkena OA
sudah cukup memberikan gambaran diagnostic yang lebih canggih:

Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris


Peningkatan densitas tulang subkondral
Kista tulang
Osteofit pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi

Artritis Bakterialis/septic ditandai oleh nyeri dan pembengkakan sendi yang


akut, biasanya mono artikuler, terutama mengenai sendi lutut dan hamper selalu
ada penyakit mendasarnya. Pada umunya pasien mengalami demam tapi tidak
menggigil. Analisis kultur cairan sendi adalah prosedur diagnostic yang penting
untuk mendiagnosis arthritis bacterial. Agar kultur cairan sendi dapat memberikan
hasil yang adekuat, segera di kirim ke lab, bila keadaan yang berat harus
dilakukan kultur darah, MRI merupakan prosedur dini yang bias digunakan , yang
akan menampakan gambaran pembengkakan dan pendesakan jaringan lunak
sendi.2
2.5 Manifestasi klinik

Manifestasi klinik gout terdiri dari arthritis gout akut, interkritikal gout dan
gout menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang

klasik

dan di dapat deposisi yang progresif Kristal urat.


2.5.1 Artritis Gout Akut
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat
dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi
terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat mono artikuler
dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala
sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering
pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut,
dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan kaki/tangan, lutut dan siku. Serangan
akut ini dilukiskan oleh Sydenham sebagai: sembuh beberapa hari sampai
beberapa minggu, bila tidak diobati, rekuren yang multiple, interval antar
serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi. Pada serangan akut yang
tidak berat, keluhan-keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada
serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.2
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin,
kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan
dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan
alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.
2.5.2 Interkritikal Gout
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode
interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda-tanda
radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan Kristal urat. Hal ini
menunjukan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan.
Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali pertahun atau dapat sampai 10
tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan
asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih sering yang
dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak

baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan
pembentukan tofi.2

2.5.3 Gout Menahun dengan Tofu


Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri sehingga dalam
waktu lama tidak berobat secara teratur. Arthritis gout menahun biasanya disertai
tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh
dengan obat , kadang-kadang dapat timubl infeksi sekunder. Pada tofus yang besar
dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya kurang memuaskan. Lokasi tofi yang
paling sering pada cuping telinga , MTP-1, olekranon, tendon achiles dan jari
tangan. Pada stadium ini kadang- kadang disertai batu saluran kemih sampai
penyakit ginjal menahun.2
2.6 Diagnosis
Subkomite The American Rheumatism Association menetapkan bahwa
kriteria diagnostik untuk gout adalah:
1.

Adanya

kristal

urat

yang

khas

dalam

cairan

sendi.

2. Tofi terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi


dan mikroskopik dengan sinar terpolarisasi.
3. Diagnosis lain, seperti ditemukan 6 dari beberapa fenomen aklinis,
laboratoris, dan radiologis sebagai tercantum dibawah ini:
- Lebih dari sekali mengalami serangan arthritis akut.
- Terjadi peradangan secara maksimal dalam satu hari.
- Serangan artrtis monoartikuler.
- Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.
- Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau
membengkak.
- Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki).
- Serangan unilateral pada sendi MTP 1.
- Dugaan tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di
kartilago artikular (tulang rawan sendi) dan kapsula sendi.
10

- Hiperurikemia, yaitu pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh


saja) (Anastesya W, 2009).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a) Pemeriksaan Radiologi
b) Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah
c) Pemeriksaan Leukosit
2.8 Penatalaksanaan
Farmako : pengobatan arthritis Gout akut bertujuan menghilangkan
keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain kolkisin,
OAINS, kortikosteroid atau hormone ACTH. Obat penurunan asam urat seperti
alopurinol atau obat urikosurik tidak bleh diberikan pada stadium akut. namun
pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurunan asam urat, sebaiknya tetap
diberikan. Pemberian kolkisin dosis standar untuk arthritis gout akut secara oral 34 kali, 05-0,6 mg per hari dengan dosis maksimal 6mg. pemberian OAINS dapat
pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS yang dipakai. Disamping efek
anti inflamasi obat ini juga mempunyai efek analgetik.
Jenis OAINS yang banyak dipakai pada arthritis GOUT adalah
indometasin. dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan
dilanjutkan 75-100mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai nyeri atau
peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan
OAINS tidak efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakian kortikosteroid
pada gout dapat diberikan oral atau parenteral. Indikasi pemberian adalah pada
arthritis gout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada stadium
interkritik dan menahun tujuan pengobatan adaalah untuk menurunkan kadar
asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar
asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat
alopurinol bersama obat uriosurik yang lain.
Non Farmako: Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet
kaya purin, obesitas, serta sering meminum alkohol. Purin merupakan senyawa

11

yang akan dirombak menjadi asam urat dalam tubuh, sehingga diet purin
merupakan cara terbaik dalam pengobatan asam urat.

2.9 Prognosis
Tanpa terapi yang adekuat, serangan dapat berlangsung berhari-hari,
bahkan beberapa minggu. Periode asimtomstik akan memendek apabila penyakit
menjadi progresif. Semakin muda usia pasien pada saat mulainya penyakit, maka
semakin besar kemungkinan menjadi progresif. Artritis tofi kronik terjadi setelah
serangan akut berulang tanpa terapi yang adekuat.

12

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Projek


Laporan ini merupakan laporan deskriptif kuantitatif dengan mengambil data
sekunder dari rekam medis Puskesmas Johan Pahlawan mulai dari bulan Maret
sampai Juni 2016.
3.2 Tempat dan Waktu Projek
Projek ini dilaksanakan sejak Bulan Maret hingga Juni 2016 di Puskesmas
Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat, NAD.
3.3 Populasi dan Sampel Projek
3.3.1 Populasi
Populasi projek ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Kecamatan
Johan Pahlawan.
3.3.2 Sampel
Sampel yang akan digunakan dalam projek ini adalah insidentil yaitu
masyarakat yang berkunjung ke Poli Lansia Puskesmas Johan Pahlawan dan
didiagnosis Gout Artritis oleh dokter.
3.3.3 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi yang digunakan pada projek ini adalah:
a. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan

13

b. Menderita Gout Artritis


c. Melakukan kunjungan ke Poli Lansia Puskesmas Johan Pahlawan
3.3.4 Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi yang digunakan pada projek ini adalah:
a. Bukan penderita Gout Artritis
b. Tidak melakukan kunjungan ke Poli Lansia Puskesmas Johan Pahlawan
3.4 Alur Projek
Alur kerja dari projek ini digambarkan seperti Gambar 3.1 di bawah ini.
SAMPEL PROJEK

DATA PASIEN GOUT


ARTRITIS DARI MARET
HINGGA JUNI 2016

PENGOLAHAN DATA

PELAPORAN HASIL
Gambar 3.1 Alur penelitian

3.5 Metode Pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung (melihat dan
mencatat jumlah) terhadap data- data pasien yang menderita gout artritis yang ada
di Puskesmas Johan Pahlawan dari bulan Maret sampai Juni 2016.

14

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1

Profil Komunitas Umum


Johan Pahlawan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Barat,

Provinsi Aceh, Indonesia. Di sinilah, kawasan Meulaboh, ibukota dan pusat


pemerintahan Kabupaten Aceh Barat berada. Kecamatan Johan Pahlawan ini
terdiri dari 11 desa. Dengan Jumlah Penduduk 65.473 Jiwa, terdiri dari laki-laki
33.874 jiwa dan Perempuan 31.599 jiwa, Data BPS, Proyeksi Antar Sensus
Agustus 2014 ( Kecamatan Johan Pahlawan, dalam angka 2015)
4.1.1 Data Geografis
UPTD Puskesmas Johan Pahlawan merupakan salah satu puskesmas induk
dari 2 puskesmas yang berada dalam wilayah kecamatan Johan Pahlawan yang
mencakup 11 desa yang menjadi wilayah kerjanya dan membawahi 2 Puskesmas
Pembantu (Pustu) dan 3 buah Poskesdes yang menjadi jaringan kerjanya.
Adapun batas wilayah kerja UPTD Puskesmas Johan Pahlawan adalah
sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Meureubo

Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja UPTD Puskesmas Suak


Ribee

Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kaway XVI


Secara administrasi pemerintahan luas wilayah kerja Puskesmas Johan

Pahlawan 193,2 km2. Puskesmas Johan Pahlawan berdiri tahun 1992 dengan luas
bangunan 520 m2 dan luas tanah 1500 m2, dengan status rawat jalan. Lokasi

15

Puskesmas Johan Pahlawan berada di Jalan Tgk. Dirundeng No.36 Gampong


Ujong Baroh, Meulaboh, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.
Sarana dan Prasarana

Pustu

: 2 Unit

Poskesdes

: 3 Unit

Polindes

: - Unit

Posyandu

: 27 Pos

4.1.2 Data Demografis


Distribusi Jumlah Penduduk 43,953 Jiwa, terdiri dari laki-laki 22,113
jiwa dan Perempuan 21,840 jiwa, Data BPS, Proyeksi Antar Sensus Agustus
2013 ( Kecamatan Johan Pahlawan, dalam angka 2014).
Tabel 1. Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga di
Kecamatan Johan Pahlawan Tahun 2014

No

Desa

Jumlah Penduduk

Jumlah
RT

Lk

Pr

Total

Panggong

684

628

1,312

329

Padang Seurahet

23

18

41

14

Ujong Baroh

3,374

3,366

6,740

1,569

Runding

1,738

1,720

3,458

805

Drien Rampak

3,474

3,715

7,189

1,615

Kp. Darat

356

323

679

165

Seuneubok

2,708

2,771

5,479

1,194

Gampa

1,460

1,487

2,947

745

Lapang

2,611

2,461

5,072

1,190

10

Leuhan

2,432

2,361

4,793

1,144

11

Blang Beurandang

3,253

2,990

6,243

1,495

J U M LAH

22,113

21,840

43,953

10,265

Sumber : BPS, Proyeksi Antar Sensus Desember 2013

16

4.1.3 Sumber daya dan sarana kesehatan yang ada


A. Sarana Kesehatan
Kedudukan UPTD Puskesmas Johan Pahlawan, beralamat di Jalan Tgk Dirunding
Gampong Ujong Baroh Kecamatan Johan Pahlawan, dengan Fasilitas Kesehatan /
Jaringan kerja meliputi :
Tabel 2. Distribusi Jaringan Sarana Kesehatan Dalam Wilayah Kerja
Puskesmas Johan Pahlawan Tahun 2014

UPTD

Nama Sarkes
No

Desa
Pustu

Poskesdes

Polindes

Posyandu

Panggong

Padang Seurahet

Ujong Baroh

Runding

Drien Rampak

Gp. Darat

Seuneubok

Gampa

Lapang

10

Leuhan

11

Blang Beurandang

J U M LAH

27

Perkiraan Jarak antar Faskes dan waktu tempuh Faskes sbb :


Dari Dinas Kesehatan ke Pkm Johan Pahlawan berjarak +/- 2 Km dengan waktu
tempuh +/- 10 Menit

17

Dari Pkm Johan Pahlawan ke Pustu Leuhan berjarak +/- 3 Km dengan waktu
tempuh +/- 15 menit
Dari Pustu Leuhan ke Pustu Blang Beurandang berjarak +/- 1 Km dengan waktu
tempuh +/- 7 menit
Dari Pustu Blang Beurandang ke Poskesdes Caritas berjarak +/- 500 Mtr dengan
jarak tempuh +/-5 Menit
Dari Poskesdes Caritas ke Poskesdes Islamic Relief berjarak +/- 1 Km dengan
waktu tempuh +/- 7 Menit
Dari Poskesdes Islamic Relief ke Poskesdes C W S berjarak +/- 1 Km dengan
waktu tempuh +/- 7 Menit

Peta Rute lokasi dan jarak Sarkes

Pustu

Poskesdes
CWS

Blang

Dinkes

Poskesd
es

Poskesdes

Arah ke Kaway
XVI
RSU
CND

Pustu

Pkm Johan
Pahlawan

18

B. Ketenagaan
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Johan Pahlawan adalah
106 orang. Distribusi tenaga kesehatan terdiri dari berbagai disiplin ilmu untuk
melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang terdiri dari pegawai negeri
sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap (PTT).
Distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas Johan Pahlawan dapat dilihat pada
table di bawah ini :

Tabel 3. Jenis Pegawai Kesehatan Puskesmas Johan Pahlawan tahun 2014

No

Jenis Ketenagaan

Dokter Umum

Status
Pns

Bakti

Jumlah

Keterangan

1 Org. Dokter Pns Sedang


Sekolah

Dokter Gigi

Perawat

1
- 24

30

D1/D3/S1
4

Bidan Ppb / D3

24

32

Perawat Gigi

Ass. Apoteker

Kesmas / Skm

Kesling

G I Z I D3 / S1

10

Analis / Labor

11

Admin / Tu

10

16

19

12

UMUM

1 Org. Cleaning Service +


1 Sopir

Jumlah

83

23

106

4.1.4 Visi dan Misi


Adapun

kegiatan

pokok yang dijalankan oleh Puskesmas Johan Pahlawan

adalah sebagai berikut:

1. Upaya Kesehatan Wajib Puskesmas, meliputi :


a. Promosi Kesehatan Masyarakat
b. Kesehatan lingkungan
c. Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana
d. Perbaikan Gizi Masyarakat
e. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular serta pengobatan
2. Upaya Kesehatan pengembangan Puskesmas :
a.
b.
c.
d.
e.

Uapaya kesehatan sekolah


Upaya kesehatan gigi dan mulut
Upaya kesehatan jiwa
Kesehatan usia lanjut
Pembinaan pengobatan tradisional

VISI : Mewujudkan masyarakat yang cerdas, peduli, tanggap dan


mampu dalam mengatasi

masalah

kesehatan yang terjadi dilingkungannya

sendiri secara mandiri


MISI :
1. Menggerakkan upaya kesehatan yang berbasis masyarakat
2. Mendorong partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam bidang
kesehatan
3.Memelihara dan menigkatkan mutu program kesehatan dasar dan
pengembangan, baik kegiatan dalam gedung maupun luar gedung.
4. Meningkatkan promosi kesehatan sebagai upaya merubah perilaku
masyarakat menuju perilaku hidup bersih dan sehat.

20

Motto :

Disiplin, Tanggap, Cepat Dan Profesional Sebagai Wujud

Pelayanan Prima Kepada Masyarakat


4.6 Hasil Penelitian
Pengumpulan data telah dilakukan selama 4 bulan, yaitu dari tanggal 01
Maret sampai dengan 31 Juni 2016 di Puskesmas Johan Pahlawan. Populasi/
sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis dokter sebagai
penderita Gout Artritis dan tercatat sebagai pasien di Puskesmas Johan Pahlawan.
Pada saat penelitian dilakukan, diperoleh 131 pasien sebagai sampel.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara rekam medis pasien diobservasi,
kemudian dilakukan pencatatan umur dan jenis kelamin. Pencatatan data diikuti
dengan penghitungan jumlah pasien setiap harinya. Setelah data selesai
dikumpulkan, kemudian dilanjutkan rekapitulasi dan distribusi data dasar, dan
sebagai tahap akhir dilakukan analisis data. Pengolahan dan analisis data meliputi
distribusi frekuensi untuk umur dan jenis kelamin pasien.
4.6.1. Distribusi Proporsi Penderita Gout Artritis Berdasarkan Umur
Proporsi penderita osteoartritis berdasarkan umur di Johan Pahlawan
periode Maret Juni 2016 dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini.
Tabel 4.5 Distribusi proporsi penderita Gout Artritis berdasarkan umur
Rentang
Umur
(tahun)
50-60 tahun
61-70 tahun
71-80 tahun
>80 tahun
Total

BULAN
Maret

April

Mei

Juni

Jumlah

12
6
3
1
22

14
6
4
2
26

22
18
7
5
52

19
7
4
1
31

67
37
18
9
131

Berdasarkan Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita


osteoartritis tertinggi pada kelompok umur 50-60 tahun yaitu 67 kasus atau setara
dengan 51,14%.

21

60
50
40
Laki-laki
perempuan

30
20
10
0
Maret

April

Mei

Juni

Gambar 4.2 Grafik distribusi proporsi penderita Osteoartritis berdasarkan


umur
4.6.2. Distribusi Proporsi Penderita Gout Artritis Berdasarkan Jenis Kelamin
Proporsi penderita gout artritis berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas
Johan Pahlawan periode Maret Juni 2016 dapat dilihat pada tabel dan gambar
dibawah ini.
Tabel 4.6 Distribusi proporsi penderita gout artritis berdasarkan jenis
kelamin
Bulan

Jenis Kelamin
Perempuan
%
f
%
16,86
8
16,66
19,27
10
20,83
37,34
21
43,75
26,50
9
18,75
63,35
48
36,65

Jumlah

Laki-laki
Maret
April
Mei
Juni
Total

f
14
16
31
22
83

f
22
26
52
31
131

%
16,79
19,84
39,69
23,66
100

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa distribusi proporsi penderita


gout artritis berdasarkan jenis kelamin paling banyak terjadi pada laki-laki yaitu
83 kasus (63,35%), perbedaannya begitu jauh berbeda dengan insidensi pada
perempuan yaitu 48 kasus (36,65%).

22

140
120
100
80
60
40
20
0
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

Gambar 4.3 Grafik distribusi proporsi penderita osteoartritis berdasarkan


jenis kelamin
4.7 Pembahasan
4.7.1 Distribusi Proporsi Penderita Osteoartritis Berdasarkan Umur
Dari penelitian yang dilakukan tentang profil penderita gout artritis di Poli
Lansia Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret Juni 2016 diperoleh sebanyak
131 kasus. Dari 131 kasus tersebut diperoleh hasil bahwa penderita gout artritis di
poli lansia Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret Juni 2016 mayoritas
terjadi pada usia 50 - 60 tahun yaitu sebanyak 67 orang (51,14%) dan minoritas
tejadi pada usia diatas 80 tahun yaitu sebanyak 9 orang (6,87%).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwaningsih (2010) yang menyatakan
bahwa usia 50 60 tahun merupakan usia dimana terjadi peningkatan kejadian
gout artritis. Persentase penderita gout artritis meningkat sesuai dengan
meningkatnya usia. Usia merupakan salah satu faktor resiko gout artritis dan
mempunyai

hubungan

yang

bermakna

dengan

gout

oartritis.

Dengan

bertambahnya usia, resiko terkena gout oartritis lebih besar sehingga prevalensi
gout artritis dikalangan usia lanjut meningkat.

23

4.7.2 Distribusi Proporsi Penderita Osteoartritis Berdasarkan Jenis


Kelamin
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
penderita gout artritis di poli lansia Puskesmas Johan Pahlawan periode Maret
Juni 2016 mayoritas terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 83 orang (63,35%) dan
minoritas tejadi pada perempuan yaitu sebanyak 48 orang (36,65,2%).
Satu survei epidemiologik yang dilakukan di Bandungan, Jawa Tengah atas
kerjasama WHO COPCORD terhadap 4.683 sampel berusia antara 15 45 tahun
didapatkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 24,3 % pada laki-laki dan
11,7% pada wanita.(Purwaningsih, 2010)

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
24

Berdasarkan hasil dari pelaksanaan mini projek dapat disimpulkan bahwa :


1. Jumlah kunjungan pasien dengan diagnosis gout artritis pada periode
Maret-Juni 2016 berjumlah 131 orang.
2. Karakteristik pasien penderita gout artritis berdasarkan umur paling
banyak terjadi pada kelompok umur 50-60 tahun yaitu 67 kasus atau setara
dengan 51,14%.
3. Karakteristik pasien penderita gout artritis berdasarkan jenis kelamin
paling banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu 83 kasus
(63,35%) dan perempuan insidensi 48 kasus (35,65).
5.2 Saran
1. Diharapkan

kepada

peneliti

untuk

dapat

menambah

wawasan,

pengetahuan dan kemampuannya sendiri serta dapat mengembangkannya


dengan memberikan ilmu yang telah didapat selama meneliti kepada
masyarakat luas yang membutuhkannya.
2. Diharapkan bagi masyarakat untuk senantiasa menjaga kesehatan dan
memperhatikan gaya hidup yang sehat sebagai upaya pencegahan dari
penyakit gout artritis.
3. Diharapkan bagi tenaga kesehatan agar waspada terhadap manifestasi
klinis dari penyakit gout artritis, serta dapat melakukan tindakan yang
tepat apabila menjumpai kasus gout artritis termasuk dalam menetapkan
kasus yang membutuhkan dirujuk ke sentra kesehatan yang lebih lengkap
fasilitasnya.
4. Diharapkan bagi masyarakat agar dapat saling bekerja sama dengan
tenaga kesehatan dan berobat secara teratur untuk lebih berhasilnya dalam
pelaksanaan terapi.
5. Diharapkan kepada pihak Puskesmas Johan Pahlawan agar dapat
melengkapi data pasien dalam melakukan rekam medik (medical record)
agar semua data pasien dapat diketahui secara lengkap serta semakin
sering memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang berkunjung ke
poli lansia Puskesmas Johan Pahlawan khususnya mengenai gout artritis.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Gleadle J. At a Glance Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga.2007; h.93.

26

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V(jilid III). Jakarta : Internal Publishing;
2009:h.2445-62, 2556-60.
3. Hidayat A. Arthritis Gout. Diunduh dari www.scribd.com. 31 Oktober
2010.
4. Misnadiarly. Rematik: Asam urat-hiperurisemia, Arthritis Gout. Jakarta:
Pustaka Obor Populer.2007; h.7.
5. Marwoto W, Himawan S, Nasar IM. Buku ajar Patologi II. Jakarta :
Sagung Seto; 2010; h.524-6.
6. Brusch JL. Septic arthritis. Diunduh dari www.emedicine.
com/med/topic3394.htm. 15 April 2008.
7. Underwood M. Diagnosis dan Manajemen Gout. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1473078/. 3 Juni 2006.

27

Anda mungkin juga menyukai