Anda di halaman 1dari 12

Voyeurism tercakup dalam kelompok ganguan yang lebih luas yang disebut paraphilia.

Mereka
yang menderita gangguan ini memiliki ciri-ciri memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu
dan kuat, fantasi-fantasi seksual, atau menampilkan berbagai tingkah-laku yang melibatkan
objek, aktivitas atau situasi yang tak lazim dan menyebabkan stres negatif serta melemahnya
fungsi-fungsi sosial, aktivitas kerja dan fungsi-fungsi penting lainnya.

Dalam DSM-IV ada delapan gangguan seksual yang tercakup dalam Paraphilia: exhibitionism,
fetishism, frotteurism, pedophilia, sexual masochism, sexual sadism, transvestic fetishism, dan
voyeurism. DSM-IV juga memperluas daftar paraphilia dengan kategoori paraphilia yang tidak
tergolongkan sevcara khusus mencakup telephone scatologia, necrophilia, partialism, zoophilia,
coprophilia, urophilia, dan klismaphilia (hal. 532). Paraphilia merujuk pada semua kebutuhan
yang tak terkendali akan khayalan, tindakan atau objek yang tak lazim dengan tujuan
memperoleh kesenangan seksual. Di dalamnya termasuk juga kebiasaan menggunakan benda-
benda mati (pakaian, perhiasan dan benda-benda tertentu yang berkaitan dengan lawan jenis),
mendapatkan kenikmatan dari kesakitan dan rasa terhina (pada diri sendiri atau orang lain), serta
melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak mau melakukannya.

Gangguan paraphilia ditandai oleh empat langkah yang membentuk daur: (1) preokupasi atau
ketertarikan dan perhatian pada objek atau adegan seksual yang intensif dan terus-menerus; (2)
ritualisasi dalam bentuk melakukan perilaku-perilaku tertentu yang berkaitan dengan aktivitas
seksual; (3) Tingkah-laku kompulsif yang terwujud dalam bentu berulangnya perilaku seksual
menyimpang; dan (4) perasan sedih, murung, hampa, menderita dan depresi yang kemudian
mengarahkannya kembali pada perilaku seksual menyimpang sebagai upaya untuk
menghilangkan perasan-perasan negatif yang ditanggungnya.

Voyeurism (voyeurisme) sebagai salah satu bentuk paraphilia mencakup perilaku-perilaku


melihat secara sembunyi-sembunyi orang lain yang telanjang, melepas/mengganti pakaian, atau
sedang berhubungan seksual, dengan tujuan utama agar terangsang secara seksual.
Keterangsangan secara seksual dan kenikmatan seksual yang menyertainya merupaka hasil yang
diharapkan diperoleh dalam perilaku mengintip itu. Perilaku voyeurisme mencakup juga perilaku
menonton film yang mengandung objek dan adegan-adegan seksual, mengintip celana dalam dan
beha, serta dalam derajat yang lebih rendah terwujud dalam perilaku memandangi orang yang
dianggap berpotensi menjadi partner seksual. Perilaku curi-curi pandang pada saat ‘nongkrong’
di tempat umum seperti kafe pun dapat disebut sebagai kecenderungan voyeurisme dalam derajat
yang rendah.

Penyebab dan Penanganan Paraphilia


Pendekatan teori psikodinamika dalam psikologi menyatakan bahwa objek yang netral dapat
menjadi objek yang memiliki daya tarik seksual karena adanya hambatan atau ketidakmampuan
untuk menyalurkan dorongan seksual pada objek seksual yang lazim. Objek netral itu dijadikan
sasaran pelampiasan dorongan seksual sebab dianggap mampu menghasilkan kepuasan seksual
pengganti objek seksual yang lazim. Perilaku mengalihkan pemenuhan dorongan seksual ke
objek lain itu terbentuk di masa kanak-kanak. Dalam kasus voyeurisme, penderita melakukan
pengalihan pemenuhan dorongan seksual ke objek lain dalam bentuk mencuri lihat hal-hal yang
dianggap dapat menimbulkan rangsangan seksual. Rangsangan seksual itu dianggap dapat
menghasilkan kenikmatan dan kepuasan seksual si pelaku.

Pengalihan dorongan seksual ini dapat disebabkan oleh peristiwa-peristiwa tertentu yang
memaksa penderita di masa lalu untuk menekan dorongan seksual kepada objek yang lazim.
Tekanan yang menghambat dorongan seksual itu dapat berasal dari orang-orang dekat yang lebih
berkuasa seperti orangtua, adanya perasaan bersalah, atau kondisi-kondisi lain yang membuat si
penderita merasa tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya. Lalu, oleh karena dorongan
seksual itu tidak dapat dihilangkan dan tetap butuh pelampiasan, orang yang bersangkutan
mencari-cari cara pelampiasan yang dianggap aman. Orang yang menderita voyeurisme
menjadikan kegiatan mengintip objek seksual seperti tubuh telanjang dan persetubuhan sebagai
cara yang membuatnya mampu menyalurkan dorongan seksual yang dimilikinya.

Selain hambatan-hambatan penyaluran hasrat seksual di masa lalu, voyeurisme juga dapat terjadi
karena pembiasaan yang cukup intensif. Pengalaman mengintip objek dan aktivitas seksual yang
menghasilkan kesenangan memberinya dorongan besar untuk mengulangi lagi pengalaman itu.
Semakin sering dan intensif pengalaman itu terjadi, semakin besar dorongan untuk
mengulanginya. Lama kelamaan dorongan itu terinternalisasi dan seolah-olah menjadi dorongan
yang dianggap inherent terkandung dalam dirinya. Dorongan itu lalu dipersepsikan sebagai
kebutuhan yang harus dipenuhi.

Pendidikan seksual yang memadai dan jelas dari orang tua atau pihak-pihak lain yang terkait
dengan anak-anak dapat membantu mencegah munculnya gangguan voyeurisme di masa depan.
Pencegahan ini jauh lebih murah ketimbang pengobatannya. Penyembuhan penyimpangan
seksual ini tergolong sulit dan mahal. Selain itu, dari sejarah penanganan gangguan dan
penyimpangan seksual, terapi yang dilakukan dapat dikatakan tidak manusiawi. Banyak
penderita penyimpangan seksual yang diterapi dengan eletric shock (disetrum).

Penanganan yang lebih manusiawi adalah dengan terapi kognitif dan tingkah laku untuk
memberikan kesadaran pada penderita agar menghilangkan kebiasaannya. Tetapi dari data yang
tercatat, rata-rata penurunan frekuensi dan intensitas perilaku hanya 50% dan memerlukan waktu
yang relatif lama. Penggunaan obat-obatan atau zat-zat kimia organik juga dapat dilakukan untuk
mengurangi perilaku penyimpangan seksual. Zat yang digunakan biasanya adalah Depo-Provera,
Androcur atau Triptorelin. Dengan terapi obat ini, ketidakstabilan hormon penderita dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga dorongan seksual yang dimilikinya menurun.

Namun, meski sudah diberikan obat-obatan, secara psikologis harus tetap dilakukan perbaikan
sebab obat-obatan itu hanya mempengaruhi aspek fisologis. Sedangkan aspek psikologisnya
yang dianggap sebagai penyebab utama perlu ditangani secara psikologis pula. Dari kajian-kajian
ilmiah tentang paraphilia, ditemukan bahwa penyimpangan seksual ini merupakan bentuk
kecanduan yang non-kimiawi. Jadi penyebabnya bukan kondisi kimiawi dalam tubuh tetapi
kondisi psikis berupa ketidaknyamanan psikologis yang mendorong penderita melakukan
tindakan-tindakan tertentu untuk menghilangkannya.
Voyeurisme sebagai Kejahatan

Voyeurisme pada dasarnya adalah penyimpangan seksual yang efek negatifnya terkena pada diri
orang yang melakukannya. Namun pada prakteknya, voyeurisme dapat menjadi hal yang
merugikan pihak lain dan dianggap sebagai serangan atau ancaman bagi orang lain. Dalam
konteks praktis ini dapat muncul voyeurisme yang digolongkan sebagai kejahatan.

Voyeurisme sebagai serangan atau ancaman merujuk pada kasus-kasus dimana orang yang
diamati memiliki alasan yang masuk akal untuk berharap hal-hal pribadinya tidak diketahui
orang lain. Contoh, orang yang tak ingin tubuhnya dilihat oleh orang lain pada saat mengganti
baju atau melaku hubungan intim dengan pasangannya.

Perilaku voyeur (mengintip) dinilai sebagai tindakan yang merugikan orang lain dan bisa disebut
sebagai kejahatan baik jika dilakukan untuk kepentingan kepuasan seksual sendiri maupun untuk
kepentingan memuaskan seksual orang lain. Hidden camera yang digunakan untuk mengambil
gambar orang telanjang di kamar mandi atau di kamar tidur merupakan salah satu contoh
perilaku voyeur yang dapat digolongkan sebagai kejahatan. Bobot kejahatan dari perilaku
voyeurisme lebih besar lagi jika hasilnya disebarluaskan, apalagi diperdagangkan. Perilaku
mencuri dengan pandangan pada vouyerisme berkembang lebih parah menjadi perilaku mencuri
tayang.

Di negara-negara tertentu, seperti Canada, sangsi yang diberikan pada kejahatan semacam ini
adalah hukuman penjara maksimum dua tahun. Kasus fotografer atau kameramen yang
mengambil gambar tak senonoh dari seseorang tanpa ijin dan menyebar luaskan hasilnya dapat
diajukan ke pengadilan dan diberi sangsi hukum. Di Indonesia belum ada aturan hukum yang
jelas tentang kejahatan seksual termasuk voyeurisme. Diatur dalam pasal 282 ayat 2 dan ayat 3
KUHP serta pasa 5 No.40 Undang-Undang Pers 1999 tentang tindak pidana menyiarkan,
mempertontonkan dengan terang-terangan suatu tulisan dan gambar yang melanggar kesopanan.
Dasar hukum yang digunakan di Indonesia adalah nilai dan norma sosial yang berkaitan dengan
kesopanan, bukan pelanggaran hak pribadi dan kerugian yang diderita oleh korban.

Penderitaan yang ditanggung korban

Korban kejahatan voyeurisme menanggung beban psikologis yang lebih berat daripada korban
kejahatan umum. Kejahatan voyeurisme merampas dua hal penting dari korban: (1) hak pribadi
atas tubuh dan aktivitas seksual, serta (2) hak atas nama baik dan kehidupan yang tenang dalam
lingkungan sosial. Perampasan atas dua hak tersebut diikuti pula dengan konsekuensi kehilangan
kebebasan.

Hak pribadi atas tubuh dan aktivitas seksual merupakan hak yang terberi pada manusia sebagai
makhluk hidup yang menjadi subjek bagi dirinya sendiri. Tubuhnya adalah wilayah privat yang
sepenuhnya menjadi tanggung-jawabnya. Ketika hak atas tubuhnya dengan semena-mena
dilanggar dan direbut maka subjek kehilangan sebagian besar kuasa atas diri. Tubuh yang
mencakup juga bagian-bagian sensitif dari dirinya dieksploitasi oleh orang lain. Eksploitasi ini
dapat dianalogkan dengan perbudakan yang memaksa orang untuk melakukan berbagai aktivitas
dengan tubuhnya untuk kepentingan orang lain. Perampasan atas hak tubuh pada kejahatan
voyeurisme dapat disetarakan dengan perbudakan oleh manusia atas manusia meski dalam
derajat yang berbeda. Berkaitan dengan kebutuhan reproduksi pada manusia, aktivitas seksual
juga merupakan hak pribadi manusia. Hak tubuh untuk menikmati diri dan melakukan
kewajibannya dilanggar oleh kejahatan voyeurisme. Pelanggaran atas hak aktivitas seksual juga
merupakan bentuk perbudakan atau penjajahan satu orang terhadap orang lainnnya.

Hak atas nama baik dan kehidupan sosial yang tenang menjadi sangat penting dalam masyarakat
yang normatif seperti Indonesia. Dengan dipertontonkannya tubuh dan aktivitas sosial tanpa
seijin pemiliknya, nama baik dan ketenangan sosial si pemilik tubuh tergantung bahkan
terampas. Tubuh dan aktivitas seksual yang bersifat privat itu dipublikasikan kepada khalayak,
dibagi-bagikan tanpa kehendak dari si pemiliknya. Seolah-olah semua orang berhak atas tubuh
dan aktivitas seksual korban. Citra diri korban jadi diremehkan dan dianggap tidak berharga
untuk dilindungi. Korban menjadi orang yang diketahui wilayah pribadinya, dan mengingat
kecenderungan normatif dalam masyarakat Indonesia, citra diri korban pun dilecehkan. Kesan
dan penilaian negatif jadi sangat mudah divoniskan pada korban. Seakan-akan korban adalah
orang yang dapat dimanfaatkan secara seksual dan tubuhnya adalah barang jajaan yang dapat
dinikmati siapa saja.

Pelecehan dan pencemaran nama baik, pengobjekan korban dan terbukanya wilayah privat ke
khalayak menyebabkan korban secara sosial tidak sejajar dengan anggota masyarakat umumnya.
Korban adalah objek masyarakat. Setiap orang yang sudah melihat tubuh dan aktivitas sosial
korban seakan-akan punya kuasa untuk menilai, mengurusi dan bahkan melecehkan korban.
Ruang gerak korban jadi sempit karena mesti menanggung malu dan rasa rendah diri sebagai
objek. Apalagi posisi objek di sini adalah objek seksual. Secara normatif, objek seksual
cenderung direndahkan dalam masyarakat normatif seperti Indonesia.

Dari sini dapat dipahami bahwa korban mendapatkan pukulan psikologis dan sosial bertubi-tubi
yang berkepanjangan. Pukulan psikologis dan sosial itu menjadi trauma dalam diri korban.
Trauma menyebabkan rasa tidak nyaman berkepanjangan dalam diri korban.

Provided by
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA

Yudhasmara Foundation
Address : JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA
INDONESIA 10210

Phone : 62(021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com,

https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/
Parafilia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyimpang seksual. Parafilia
merupakan permasalahan menyangkut kontrol terhadap impuls, baik secara langsung dan intens
terhadap fantasi seksual, mendesak, dan perilaku yang melibat objek, aktivitas dan situasi
tertentu yang tidak lazim. Objek, aktivitas dan situasi merupakan suatu kebutuhan bagi individu
sebagai pemenuhan kebutuhan seksualnya.

Penyimpangan seksual berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


(DSM);

…dorongan seksual secara berulang-ulang, dorongan seks yang mendesak, atau perilaku yang
melibatkan; 1) objek bukan manusia, 2) menimbulkan penderitaan dan nyeri pada seseorang atau
pasangannya, atau 3) anak-anak atau orang-orang yang tidak menginginkannya. Gangguan ini
setidaknya lebih atau sekurang-kurang 6 bulan.

Parafilia merupakan penyimpang seksual, dimana individu melakukan aktivitas seksual yang
tidak biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, melanggar batas norma-norma sosial
yang berlaku dalam masyarakat.

Parafilia berasal dari bahasa Yunani, para yang berarti “lebih” dan philia berarti “teman”, atau
“bersenang-senang”. Parafilia merupakan gangguan mental merujuk pada dorongan seksual, atau
respon seksual terhadap objek atau situasi yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat.

Istilah parafilia pertama sekali disebutkan oleh seorang psikoterapis bernama Wilhelm Stekel
dalam bukunya yang berjudul Sexual Aberrations pada tahun 1925. Pemakaian istilah itu tidak
begitu menyebar hingga tahun 1950an dan ketika DSM (1980an) menggunakan istilah tersebut
barulah istilah tersebut menjadi sering digunakan dibeberapa media.

Jenis parafilia
302 .4 Eksibisionisme
302 .81 Fetishisme
302 .89 Frotteurism
302 .2 Pedofillia
302 .83 Masokisme seksual
302 .84 Sadisme seksualisme
302 .3 Fetishisme transvestik
302 .82 Veyourisme
302 .9 Parafilia YTT

1. Eksibisionisme: Pelaku ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya


dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan
kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin
terangsang. Kondisi seperti ini sebagian besar pelakunya adalah pria, modusnya
dengan memperlihatkan alat kelaminnya yang bisa dilanjutkan dengan masturbasi
hingga ejakulasi. Bisa juga pelaku tanpa rasa malu menunjukkan alat kelaminnya
kepada orang lain sekedar untuk menunjukkannya dengan rasa bangga.

2. Fetishism: merupakan ekspresi seksual seseorang di mana subyek sangat memuja atau
menyukai sesuatu hal yang di luar normal dari lawan jenisnya. Benda tersebut bisa
berupa benda mati yang dimiliki lawan jenis yang disukainya atau bagian tubuh dari
lawan jenisnya. Contohnya, celana dalam lawan jenisnya yang digunakan untuk
masturbasi atau menyukai bagian kaki dari lawan jenis. Individu ini mampu ereksi dan
bahkan ejakulasi walau tidak disentuh sedikitpun selama benda yang menjadi arousal
(pemicu hasrat) muncul di hadapannya.

3. Froteurisme: suatu bentuk parafilia di mana seorang individu laki-laki mendapatkan


kepuasan seksual dengan cara menggesekkan atau menggosokkan alat kelaminnya ke
tubuh perempuan di tempat publik atau umum.

4. Pedophilia: merupakan orang yang senang berhubungan dengan anak-anak di mana anak
tersebut masih belum mencapai masa puber dan perbedaan umur anak minimal 5 tahun
dengan pelaku.

5. Sadism & Masochism: merupakan ekspresi seksual yang bisa dikatakan saling
melengkapi. Individu yang cenderung ekspresi seksualnya untuk mendapatkan arousal
dengan cara menyakiti pasangannya ataupun menyiksa pasangannya selama hubungan
intim, dapat dikatakan ia merupakan seorang sadistic. Sedangkan, individu yang
mendapat arousal dari perasaan disiksa atau disakiti oleh pasangannya merupakan
seorang masochist.

6. Voyeurisme: istilah voyeurisme disebut juga scoptophilia berasal dari bahasa


Prancis yakni vayeur yang artinya mengintip. Pengidap kelainan ini akan
memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang
sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan
kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban
yang diintip. Pelaku hanya mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan
dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya.
Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan rangsangan
seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual, atau seringkali, cukup
dengan mengintip saja dia sudah puas secara seksual.
7. Incest: hubungan seks yang dilakukan dengan sesama anggota keluarga sendiri non
suami istri, seperti antara ayah dan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, saudara
laki-laki dengan saudara perempuan sekandung, kategori incest sendiri sebenarnya
cukup luas, di beberapa kebudayaan tertentu hubungan seksual yang dilakukan antara
paman dan keponakan atau sepupu atau bahkan galur seketurunan (family) dapat
dikategorikan sebagai perbuatan incest.

8. Nekrofilia: Bentuk parafilia dimana individu pelaku nekrofilia memiki orientasi


kepuasan seksual melalui kontak fisik yang bersifat merangsang atau hubungan seksual
dengan pasangan yang dipilih adalah jenasah atau orang yang telah meninggal. Bisa
dengan menggali kuburan, membunuh terlebih dahulu, atau dibuat tidak berdaya dengan
obat atau bahan yang bisa membuat pingsan atau meninggal saat itu juga.

9. Zoofilia adalah salah satu bentuk parafilia dimana terdapat orang atau individu
yang terangsang melihat hewan dan selanjutnya melakukan hubungan seks dengan
hewan.

10. Perilaku seksual kompulsif: adalah pengulangan tindakan erotik tanpa kenikmatan.
Kompulsi seksual ini bisa berupa telepon seks yang tanpa akhir, one-night stand (affair
singkat), atau masturbasi beberapa kali dalam sehari, penderitanya seringkali mengaku
merasa “tidak terkendali” sebelum aktivitas dan merasa bersalah atau malu setelahnya.
Apapun kepuasan seksual yang didapatnya, tindakan tersebut adalah dangkal dan hambar.

Inilah salah satu ekspresi seksual yang mungkin menjadi kontroversial di kalangan masyarakat.
Karena ekspresi seksual yang ditunjukkan masih sangatlah sedikit dan bisa dikatakan aneh bagi
sebagian orang. Namun terlepas dari itu semua, selama ekspresi seksual yang dilakukan tidak
mengganggu diri sendiri dan orang lain, mungkin saja hal tersebut tidak akan menjadi suatu
permasalahan yang besar.

Sebagian besar parafilia mengidap pada pria lebih banyak dibandingkan wanita (20:1).Parafilia
erat kaitannya dengan perilaku agresivitas, perilaku pendiam dan kejahatan. Beberapa jenis
paraphila seperti pedophilia, eksibisionisme, veyourisme, sadisme dan frotteurism digolongkan
sebagai kejahatan seksual (kriminalitas).

Gejala Umum

Perilaku-perilaku tersebut (berdasarkan kriteria DSM diatas) dapat berupa;

1. Objek bukan manusia seperti sepatu, baju dalam, bahan kulit atau karet, binatang, parfum
(aroma tertentu), air, cat dan sebagainya.
2. Menimbulkan penderitaan seperti perilaku mencekik, memukul, menyiksa, tetesan lilin
dan sebagainya. Perilaku tersebut bertujuan menyakiti pasangannya sehingga individu
mendapatkan kepuasan.

3. Anak-anak atau orang yang tidak menginginkan seperti anak-anak kecil, orang yang tidak
berdaya atau orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diintip dan sebagainya.

4. Aktivitas dan situasi seperti; bertingkah atau berperilaku menyerupai profesi tertentu,
memakai kostum seragam tertentu

Beberapa jenis parafilia dikategorikan sebagai kejahatan seksual. Beberapa agama (terutama
Islam) seks sangat dilarang, secara umumnya orang berpendapat parafilia juga merupakan dosa.

Seiringan perkembangan psikologi, parafilia menjadi etiologi penting yang masih terus dipelajari
dampak-dampak parafilia yang mempengaruhi fungsi pribadi individu terhadap fungsi dan
situasi sosial. Beberapa jenis parafilia juga kadang menjadi kontroversi dan perdebatan dalam
suatu komunitas tertentu atau masyarakat. Perbedaan pendapat berupa sebagai bentuk
penyimpangan seksual atau variasi seksual, atau menjadi hak-hak privasi individu dalam
penyaluran seksual. Contoh; perilaku homoseksual dan masturbasi.

Pada awalnya perilaku homoseksual tertera sebagai bagian dari parafilia dalam DSM I dan II,
namun pada DSM III dan IV homoseksual sudah tidak ada dalam terdaftar dan sudah tidak
dianggap lagi sebagai bentuk penyimpangan seksual.

Masturbasi merupakan hal yang paling sering menjadi pembicaraan, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas pria dan wanita pernah melakukan masturbasi. Secara psikologis
masturbasi memberi pengaruhi yang tidak baik terhadap beberapa orang, masturbasi memberi
pengaruh adiktif yang berakibatkan pada gangguan seperti kesulitan berkonsentrasi, kompulsi,
dan perasaan bersalah (dosa).

Hanya sembilan kategori parafilia yang disebutkan oleh DSM yakni; eksibisionisme, fetishisme,
frotteurism, pedofillia, masokisme seksual, sadisme seksualisme, fetishisme transvestik,
veyourisme dan yang terakhir digolongkan parafilia yang tidak digolongkan, tidak terdefinisi,
lainnya. Jenis-jenis parafilia lainnya kadang disebutkan oleh beberapa media dengan pengertian
yang berbeda-beda, bahkan beberapa diantaranya sengaja diciptakan sebagai bentuk
pengungkapan media yang positif.
Mengenai jumlah jenis parafilia yang ada masih dalam perdebatan para ahli, beberapa jenis
parafilia diantaranya disebutkan dan disebarkan oleh pecandu pornografi yang menyebutkan
tingkah-lakunya sebagai bentuk lain dari parafilia.

Faktor Penyebab

Faktor penyebab langsung terbentuknya penyimpangan seksual parafilia tidak diketahui secara
pasti, beberapa dugaan kemunculan gangguan ini;

1. Pengalaman pelecehan dan kekerasan seksual dimasa kanak-kanak

2. Keterdekatan dengan situasi atau objek tertentu secara berulang kali dengan aktivitas
seksual

3. Hambatan perkembangan dan kesulitan dalam menjalin hubungan dengan beda jenis

4. Kecanduan pornografi, beberapa tayangan nyeleneh (aneh) akan memberikan daya tarik
seperti magnet yang dapat mempengaruhi psikologis ketergantungan

5. Pengaruh dari pasangan seksual

6. Pelampiasan stress yang tidak tepat sehingga menimbulkan kebiasaan dan pengulangan
secara terus-menerus.

7. Rasa ingin mencoba yang diakibat penyampaian informasi atau persepsi yang salah

Pemaparan seks yang prematur atau traumatik, dalam bentuk penyiksaan seksual (sexual abuse)
pada masa anak-anak. Kira-kira 75 persen pria yang diterapi di National Institute for Study,
Prevention, and Treatment Sexual Trauma, di Baltimore, adalah korban penyiksaan seksual pada
masa anak-anaknya. Karena alasan yang belum dimengerti, seorang anak perempuan yang
mengalami penyiksaan seksual lebih sering terinhibisi secara seksual, sedangkan anak laki-laki
lebih sering mewujudkan perilaku parafilia.

Penekanan yang berlebihan terhadap keingintahuan alami tentang seks, karena alasan religius
atau alasan lain. Anak laki-laki yang diajari bahwa seks adalah kotor dan menerima hukuman
karena keingintahuannya terhadap seks mungkin menjadi pria dengan perilaku fetishisme.
Penderita sendiri rata-rata tidak merasa atau menganggap dirinya sakit atau mengidap kelainan
seksual sampai mendapat perhatian dokter akibat perbuatan seksual itu menimbulkan konflik di
sekitarnya.

Pendekatan pada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak dengan menghakimi atau
mempersalahkan. Juga dicoba menyelami perasaan dan jiwa mereka karena seperti disebutkan
tadi acap kali gangguan itu terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa lalu.

Treatment

Langkah-langkah yang dapat ditempuh;

• Psikoterapi

Teknik yang dapat dipakai adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT), terapi dapat dilakukan
secara individual dan terapi kelompok, latihan yang diberikan adalah meningkatkan ketrampilan
sosial, latihan fisik, latihan konsentrasi, mengatasi depresi, dan treatmen hormon

• Medikasi

Pemberian obat antiandrogen yang bertujuan untuk menormalkan level hormon testeron. Obat-
obat yang digunakan seperti medroxyprogesterone dan cyproterone. Bila individu juga disertai
gangguan kecemasan dan depresi jenis SSRIs (selective serotonin reuptake inhibitors) menjadi
obat pilihan dokter; fluoxetine atau fluvoxamine

Pencegahan Sendiri

• Stress reduction secara tepat. Tidak melakukan aktivitas seksual yang aneh-aneh sebagai
pelampiasan stres. Lakukan hal-hal positif agar penyaluran stres tidak merusak perilaku dan
kebiasaan lainnya, perilaku menyimpang dapat teradiktif bila penyaluran stres dengan aktivitas
seksual setiap kali dilakukan bila stress menimpa.

• Perkuatkan iman, bagaimanapun iman merupakan benteng terbaik sebagai pencegahan


penyimpangan perilaku.
• Self control. Mengontrol dorongan rasa ingin tahu, mencoba atau pengaruh teman dengan
penuh kesadaran dan pengetahuan akan dampak-dampak buruk dari perilaku tersebut

• Tidak surfing atau melihat pornografi yang bebas bisa di dapat dari internet atau media lainnya.

• Membiasakan hidup sehat untuk mengurang stres, termasuk olahraga teratur, nutrisi yang
seimbang dan pengalaman spiritual dan religius.

Anda mungkin juga menyukai