Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN


(Studi Kasus Pada Ny. A Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Tifoid Di
Ruang Isolasi RSUD dr. Soedarso Pontianak Tahun 2014)

STUDI KASUS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Jenjang Pendidikan


Diploma III Keperawatan STIK Muhammadiyah Pontianak

Disusun Oleh
AAAAAAAAAA
NIM. S00000000000

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH
PONTIANAK TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Kasus ini dilaporkan sebagai endemis di
Negara berkembang dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insiden
yang sebenarnya adalah 15 sampai 25 kali lebih dari yang terlihat seperti
fenomena gunung es. Indonesia merupakan salah satu Negara yang berkembang
dan beriklim tropis. Penyakit demam tifoid merupakan penyebab kematian umum
ke tiga di Rumah Sakit Umum dengan angka kejadian sebesar 3,5% (Depkes,
2002).
Umur penderita yang terkena dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus,
dengan angka kematian kasus atau case fatality rate (CFR) 1,6-3%. Kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi Indonesia dengan insiden di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta kasus pertahun. Demam tifoid
merupakan salah satu infeksi yang terjadi di usus halus dan banyak terjadi di
Negara yang beriklim tropis. Sinonim demam tifoid adalah typhoid fever, enteric
fever, thyphus abdominalis dan masyarakat umum biasa menyebutnya tipes.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan tentang klinis dan anatomisnya oleh
Bretoneau

(1813),

Cornwall

Hewett

(1826)

melaporkan

perubahan

patofisiologisnya lalu Piere Louise (1829) memberikan nama typos yang berasal
dari bahasa Yunani yang artinya asap atau kabut karena umumnya penderita sering
disertai gangguan kesadaran mulai dari ringan sampai berat. Penyakit ini termasuk
penyakit menular seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Penularan penyakit ini adalah dengan
rute 5F yaitu Feces (kotoran manusia), Fly (lalat), Food (makanan), Fecal (mulut)

dan finger (tangan) yang telah terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typosa.
Demam tifoid menjadi endemik yang dapat terjadi di mana saja, maka melakukan
pencegahan dini akan lebih baik.
B. Rumusan Masalah
Dari latarbelakang dan permasalahan di atas maka rumusan masalah dari studi
kasus adalah asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan:
Typhoid Di Ruang Isolasi RSUD dr. Soedarso Pontianak Tahun 2014
membandingkan teori dan praktek. Berdasarkan fenomena ini maka masalah studi
kasus ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Apa pengertian penyakit typoid ?


Apa penyebab penyakit typoid ?
Bagaimana tanda dan gejala penyakit typoid ?
Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit typoid ?
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
pencernaan : tifoid ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui tentang penyakit typoid.
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui pengertian penyakit typoid
b. Mengetahui penyebab penyakit typoid
c. Mengetahui tanda dan gejala penyakit typoid
d. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit typoid
D. Ruang Lingkup Penulisan
Mengingat luasnya permasalahan pengelolaan penderita dengan gangguan
sistem pencernaan maka penulis membatasi dengan hanya mengambil kasus
gangguan sistem pencernaan: Tifoid Di Ruang Isolasi RSUD dr. Soedarso
Pontianak Tahun 2014 dengan lama perawatan selama 3 hari mulai dari tanggal 23
September 2014 sampai dengan 25 September 2014.
E. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis

Agar penulis dapat mengetahui gambaran asuhan keperawatan dan perbedaan


teori dan kasus di lapangan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan :
tifoid.
2. Bagi Keluarga
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
keluarga tentang penyakit sistem pencernaan : tifoid.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Hasil studi kasus sebagai bahan referensi dan menambah masukan untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.
4. Bagi pihak RSUD dr. Soedarso Pontianak
Hasil studi kasus ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
pencernaan : typoid.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan laporan hasil studi kasus ini terdiri dari lima bab yaitu
masing-masing bab terdiri dari bab I yaitu pendahuluan terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian,
sistematika penulisan. Bab II tinjauan pustaka terdiri dari konsep asuhan
keperawatan, tinjauan teori penyakit typoid, asuhan keperawatan pada penyakit
typoid. Bab III metodologi penelitian terdiri dari jenis penelitian, tempat dan
waktu penelitian, subjek penelitian, teknik dan istrumen pengumpulan data, teknik
pengolahan dan penyajian data, pengujian keabsahan data.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dari proses keperawatan.


Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini
akan menentukan diagnosis keperawatan. Selanjutnya, tindakan keperawatan
dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian
harus di lakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan
perawatan pada klien dapat di identifikasi. (Nikmatur Rohmah & Syaiful
walid, 2012, hal.25). Pengumpulan data merupakan kegiatan dalam
menghimpun informasi (data-data) dari pasien yang meliputi unsur biopsikososio spiritual yang komprensif yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Identitas pasien dan keluarga.


Riwayat kesehatan sekarang dan sebelumnya.
Pola kebiasaan hidup sehari hari.
Riwayat kesehatan keluarga.
Riwayat kesehatan lingkungan.
Status psikologis / emosional.
Sosialisasi.
Latar belakang budaya / spritual.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nikmatur Rohmah & Syaiful walid (2012) mendefinisikan diagnosa
keperawatan :
a. Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau
perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok
tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan perawat dapat
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau
untuk mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah perubahan.
b. Penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan aktual ataupun potensial sebagai
dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat
perawat bertanggung jawab.
3. Perencanaan atau Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah di identifikasi dalam

diagnosis keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana


perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan
efisien. (Nikmatur Rohmah & Syaiful walid, 2012, hal. 83).
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga
meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama
dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. (Nikmatur
Rohmah & Syaiful walid, 2012, hal. 99).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. (Nikmatur Rohmah & Syaiful walid, 2012,
hal. 105).

B. Tinjauan Teori
1. Definisi
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis
yang di sebabkan oleh Salmonella Paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda
kedua penyakit tersebut hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih
ringan. Terminologi lain yang sering digunakan adalah typhoid fever,
paratyphoid fever, typhus, dan paratyphus abdominalis atau demam enterik.
(dr. Widoyono, 2011, hal. 41).
Berbagai faktor ikut berpengaruh terhadap kejadian dan kematian
penyakit demam tifoid, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal termasuk virulensi kuman, mutasi genetik sehingga kuman menjadi

lebih virulen, kesehatan lingkungan yang belum memenuhi syarat kesehatan,


kebersihan individu, persediaan air bersih yang belum memadai. Faktor
internal adalah menurunnya sistem kekebalan tubuh penderita. Selain dari
faktor tersebut masih ada satu faktor lagi yang perlu mendapat perhatian serius
adalah mengenai penata laksanaan yang terkadang masih belum tepat. Masalah
besar yang sedang di hadapi dalam pengobatan demam tifoid adalah meluasnya
resistensi. (Nasronudin, 2007, hal. 121).
2. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Salmonella
adalah bakteri Gram-negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagela, dan tidak
membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57 oC selama
beberapa menit. (dr. Widoyono, 2011, hal. 41).
Kuman Salmonella Typhi ini mempuyai tiga macam antigen:
a. Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen
protein, lipoposakarida (LPS) dan lipid. Sering di sebut endotoksin.
b. Antigen H (flagela), terdapat pada flagela, fimbriae dan pili dari kuman,
berstruktur kimia protein.
c. Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk
melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein. (Nasronudin, 2007,
hal. 121).
3. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makan dan air.
Mulut merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang
berakhir di anus. Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan.
Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh organ perasa yang terdapat
dipermukaan lidah.
b. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat
tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar
limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak

bersimpangan antara jalan napas dan jalan makanan, letaknya dibelakang


rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang.
c. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang
dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke lambung. Makanan
berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik.
Menurut histologi esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
d. Lambung
Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak
dibawah sekat rongga badan. Fungsi lambung secara umum adalah tempat
dimana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makan diserap.
Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan
pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari
kerongkongan. Fundus adalah bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus
adalah bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan usus 12 jari
duodenum.
e. Usus Halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak diantara lambung dan usus besar. Dinding usus halus terdiri atas
kempat lapisan yang sama dengan lambung yaitu :
1. Dinding lapisan luar adalah membran serosa, yaitu peritonium yang
membalut usus dengan erat.
2. Dinding lapisan berotot terdiri atas 2 serabut saja, lapisan luar tersiri atas
serabut longitudinal dan dibawah ini ada lapisan tebal terdiri dari serabut
sirkuler diantara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh
darah, pembuluh limfe dan plexus saraf.
3. Dinding submukosa terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang
terdalam yang merupakan perbatasannya. Dinding subskuamosa ini
terdiri atas jaringan areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran
limfe, kelenjar dan plexus yang disebut plexus meissner.

4. Dinding mukosa dalam yang menyelaputi sebelah dalamnya, disusun


berupa kerutan tetap seperti jala, yang disebut valvulae koniventes, yang
memberi kesan nyaman dan halus.
f. Usus 12 belas jari
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang
terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum).
Bagian usus 12 belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus,
dimulai dari bulbo dudodenale dan berakhir di ligamentum treitz, pH usus
12 belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Fungsi usus 12
belas jari bertanggung jawab untuk menyalurkan makanan ke usus. Secara
histologis, terdapat kelenjar Brunner yang menghasilkan lendir. Dinding
usus 12 belas jari tersusun atas lapisan-lapisan sel yang sangat tipis yang
membentuk mukosa otot.
g. Hati
Hati terbagi atas 2 lapisan utama yaitu:
1. Permukaan atas berbentuk cembung, terletak dibawah diafragma
2. Permukaaan tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura transversus
dan fisura longitudinal yang memisahkan belahan kanan dan kiri
dibagian atas hati selanjutnya dibagi menjadi 4 lobus yakni lobus kanan,
kiri, kaudata da quadatus.
h. Kandung empedu
Kandung empedu adalah organ berbentuk buah pir yang dapat
menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm
dan berwarna hijau gelap bukan karena warna jaringannya, melainkan
karena warna cairan empedu yang dikandungnya.
i. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua
fungsi utama yaitu menghasilakan enzim pencernaan serta beberapa hormon
penting seperti insulin. Pankreas terletak bagian posterior perut dan
berhubungan erat dengan duodenum(usus dua belas jari). Pankreas terdiri
dari 2 jaringan dasar yaitu:
Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaaan
Pulau pankreas, menghasilakan hormon
j. Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja di
simpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan
untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena
penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem syarat yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defektasi. Jika defektasi tidak
terjadi sering kali material akan di kembalikan ke usus besar, dimana
penyerapan air akan kembali dilakukan jika defekasi tidak terjadi untuk
periode yang akan lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
4. Patofisiologi/pathway
Penularan salmonella thypi dapat di tularkan melalui berbagai cara, yang
di kenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada
penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain.
Kuman tersebut dapat di tularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan
hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang
tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan
makanan yang tercemar kuman salmonella thyipi masuk ke tubuh orang yang
sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian
kuman akan dimasukan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus
halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid
ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotilial ini kemudian melepaskan kuman
ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya
masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.

Pathway :

Kuman Salmonella typhi


yang masuk ke saluran
gastrointestinal

Lolos dari asam


lambung

Pembuluh Limfe

Bakteri masuk usus


halus

Peredaran darah
(bakteremia primer)

Masuk retikulo endothelial


(RES) terutama hati dan
limfa

Berkembang biak di
hati dan limfa

Masuk ke aliran Darah


(bakteremia sekunder)
Empedu
Rongga usus pada kel.
Limfoid halus

Pembesaran hati

Dimusnahkan oleh
asam lambung

Pembesaran limfa

Endotoksin
Terjadi kerusakan sel

Merangsang melepas
epirogen oleh leukosit

Hepatomegali

Splenomegali

Mempengaruhi pusat
thermoregulator
dihipotalamus

Lase plak peyer

Penurunan /
peningkatan mobilitas
usus
Penurunan /
peningkatan peristaltik
usus
Konstipasi/ diare

Ketidak efektifan
termoregulasi

Erosi

Nyeri

Resiko kekurangan
volume cairan
Peningkatan asam
lambung

Pendarahan masif

Anoreksia mual
muntah

Komplikasi perforasi
dan pendarahan usus

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

5. Manifestasi Klinis

Demam tifoid mengakibatkan tiga kelainan pokok, yaitu:


a. Demam berkepanjangan,
b. Gangguan sistem pencernaan,
c. Gangguan kesadaran.
Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling menonjol. Demam
ini di ikuti oleh gejala tidak khas lainnya, seperti anoreksia atau batuk.
Gangguan saluran pencernaan yang sering terjadi adalah konstipati dan
obstipati (sembelit), meskipun diare juga bisa terjadi. Gejala lain pada saluran
pencernaan adalah mual, muntah, atau perasaan tidak enak di perut. Pada
kondisi yang parah, demam tifoid bisa di sertai dengan gangguan kesadaran
yang berupa penurunan kesadaran ringan, apatis, hingga koma.
6. Pemeriksaan Laboratorium
1. Uji Widal
Uji widal di lakukan untuk deteksi anti body terhadap kuman S. typhi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi.
Dengan antibody yang di sebut aglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji
Widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan da di olah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: aglutinin O (dari
tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin V (simpai kuman)
dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di gunakan
untuk diagnosis demam tifoid.
2. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti/S.
typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM
anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.
Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonellae
serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi.
7. Pencegahan dan Pengobatan
a. Pencegahan

Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan


demam tifoid mencakup hal-hal berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Penyediaan sumber air minum yang baik


Penyediaan jamban yang sehat
Sosialisasi budaya cuci tangan
Sosialisasi merebus air sampai mendidih sebelum di minum
Pemberantasan lalat
Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
Imuninasi

Walaupun tidak di anjurkan di AS (kecuali pada kelompok yang beresiko


tinggi),

imunisasi

pencegahan

tifoid

termasuk

dalam

program

pengembangan imunisasi yang di anjurkan di Indonesia. Akan tetapi,


program ini masih belum di berikan secara gratis karena keterbatsan sumber
daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, orang tua harus membayar biaya
imunisasi untuk anaknya. Jenis vaksin yang tersedia adalah:
1. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin
mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun
adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis di
berikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan
tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak
beredar lagi.

2. Vaksin oral Ty21a


Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. Typhi strain Ty21a hidup.
Vaksin di berikan pada manusia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul
setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa
memberikan perlindungan selama 5 tahun.
3. Vaksin parenteral polisakarida

Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin di


berikan secara parenteral dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun.
Lama perlindungan 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama
karena relatif paling aman.
Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak penderita
seperti anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid,
dianggap kurang bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang
terpapar oleh carrier. Vaksin oral tifoid bisa juga memberi perlindungan
parsial terhadap demam paratifoid, karena sampai saat ini belum di
temukan vaksin yang efektif untuk demam paratifoid.
b. Pengobatan
Pengobatan memakai prinsip trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam
tifoid. Obat yang sering digunakan adalah:
Kloramfenikol 100 mg/dkg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.
Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3
hari).
2. Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Penderita beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas
dari demam. Mobilisasi di lakukan secara bertahap, sesuai dengan
keadaan penderita. Mengingatkan mekanisme penularan penyakit ini,
kebersihan perorangan perlu di jaga karena ketidakberdayaan pasien
untuk buang air besar dan air kecil.
3. Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi
makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat di beri

makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan
kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu
dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita.
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
2. Masalah yang lazim Muncul
a. Nyeri akut b/d proses peradangan
b. Ketidak efektifan termoregulasi b/d fluktuasi suhu lingkungan,
proses penyakit
c. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake
yang tidak adekuat
d. Resiko kekurangan cairan b/d intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh
e. Diare b/d proses infeksi, inflamasi, iritasi di usus
3. Intervensi
a. Nyeri akut b/d proses peradangan
Kriteria hasil:
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tekhnik non farmakologi untuk mengurangi
-

nyeri, mencari bantuan)


Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri
Mampu mengenali (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

Tindakan:
-

Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor


Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan


Pilih dan lakukan penangnan nyeri non farmakologi

(terapi nafas dalam)


Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

b. Ketidak efektifan termoregulasi b/d fluktuasi suhu lingkungan,


proses penyakit
Kriteria Hasil:
- Keseimbangan antara produksi panas, panas yang di
-

terima dan kehilangan panas


Seimbang antara produkdi panas, panas yang diterima
Tidak ada kejang
Tidak ada perubahan warna kulit

Tindakan:
-

Monitor suhu minimal tiap dua jam


Monitor TD, nadi, dan RR
Monitor warna dan suhu kulit
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Berikan anti peuretik bila perlu

c. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake


yang tidak adekuat
Kriteria Hasil:
- Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Tindakan:
-

Kaji adanya alergi makanan


Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah

kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien


Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang

dibutuhkan
d. Resiko kekurangan cairan b/d intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh
Kriteria Hasil:
- Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB
-

dengan BJ urine normal, HT normal


Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit


baik, membran mukosa lembab, tudak ada rasa haus yang
berlebihan

Tindakan:
-

Pertahankan catatan intake dan output yang akurat


Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa,

nadi adekuat, TD)


Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake

kalori harian
- Kolaborasikan pemberian cairan IV
- Kolaborasi dengan dokter
e. Diare b/d proses infeksi, inflamasi, iritasi di usus
Kriteria Hasil:
- Feses berbentuk, BAB sehari tiga kali
- Tidak mengalami diare
- Menjelaskan penyebab diare dan rasional tindakan
Tindakan:
-

Ajarkan pasien untuk menggunakan obat anti diare


Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat warna,

jumlah, frekuensi dan konsistensi dari feses


Monitor tanda dan gejala diare
Hubungi dokter jika ada kenaikan bising usus

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis

penelitian

adalah

penelitian

deskriptif

kualitatif

dengan

menggunakan studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan


untuk memperoleh jawaban atau informasi yang mendalam tentang pendapat dan
perasaan seseorang.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari pengajuan kasus sampai penelitian selesai
dilakukan (selama maksimal 6 bulan).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit dr. Soedarsoe Pontianak Tahun 2014.
C. Subjek Penelitian atau Informan
Subjek penelitian atau informan dalam penelitian ini adalah yang
memberikan informasi terkait langsung dengan kasus Typoid. Subjek penelitian
ini terdiri dari klien, keluarga klien (ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya), dan
tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan lainnya).
D. Teknik dan Instrument Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dibedakan menjadi data primer dan data
sekunder yaitu :
1. Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian. Adapun subjek dalam
penelitian ini adalah klien, keluarga, dan tenaga kesehatan.

2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Rumah Sakit dr. Soedarso Pontianak Tahun 2014
yang mendukung untuk penelitian yaitu catatan medis dan catatan keperawatan
serta sumber data sekunder lainnya.
E. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data
1. Transkripsi Data
Dari bahasa lisan ke bahasa tulisan dan mencatat data tertulis disesuaikan
dengan kategori data dalam asuhan keperawatan yaitu pengkajian, analisa data,
diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi ditulis
selama 3 hari masa perawatan.
2. Reduksi Data
Dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan, dan pemusatan perhatian
untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh.
Dalam laporan studi kasus ini peneliti menggali data subjek penelitian secara
lebih detail sebagai data penelitian.
3. Penyajian Data
Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk
menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang
digunakan pada langkah ini adalah dalam bentuk teks naratif. Dalam laporan
studi kasus ini peneliti memaparkan hasil penelitian dalam bentuk narasi pada
kasus typoid, dari pengkajian sampai evaluasi.
4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan
mencari makna setiap gejala atau fenomena yang diperolehnya dari lapangan
dan mengulas analisis dengan kajian-kajian yang sifatnya teoritis.
F. Pengujian Keabsahan Data

Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa


hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian
kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi
mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa
kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil
akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan
keabsahan data, yatu :
1. Kredibilitas
Kredibilitas merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari
data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat
dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai
informan.
2. Transferabilitas
Kriteria ini digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian
yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain
yang memiliki tipologi yang sama.
3. Dependability
Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian
kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek apakah peneliti sudah cukup
hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana
penelitiannya, pengumpulan data, dan pengintepretasiannya. Reabilitas
penelitian kualitatif dipengaruhi oleh definisi konsep yaitu suatu konsep dan
definisi yang dirumuskan berbeda-beda menurut pengetahuan peneliti, metode
pengumpulan dan analisis data, situasi dan kondisi sosial, status, dan
kedudukan peneliti dihadapan responden, serta hubungan peneliti dengan
responden.
4. Konfirmabilitas
Hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian
sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan
lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan
orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan
agar hasil dapat lebih objektif.

Anda mungkin juga menyukai