Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

1. Aspek Kerusakan Protein pada Bahan Makanan dan Penanganannya


Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh.
Karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan-bahan dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan suatu zat
makanan yang amat penting bagin tubuh karena zat ini disamping berfungsi
sebagai bahan-bahan dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan
pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsureunsur C,H,O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul
protein mengandung pula fosfor, belerang dan ada jenis protein yang mengandung
unsure logam seperti besi dan tembaga.
Protein sangat penting bagi tubuh kita terutama untuk pertumbuhan dan
pergantian sel-sel tubuh yang rusak karena pertumbuhan dan pergantian sel-sel
tubuh yang rusak. Oleh karena itu metabolisme protein sangat penting dan banyak
melibatkan enzim proteolitik yaitu enzim yang dapat menguraikan atau memecah
protein.
Protein merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh
semua makhluk hidup karena memiliki fungsi utama penyusun sel tubuh makhluk
hidup. Protein tersusun atas polipeptida atau lebih dari dua peptida. Kebutuhan
protein dari makanan berdasar pada kebutuhan amino yang tidak dapat disintesis
dalam tubuh. Kebutuhan protein orang dewasa sudah ditetapkan sebanyak 0,8
g/kg BB oleh FAO/WHO untuk diet barat. Kebutuhan protein rupanya lebih
konstan bila berdasar pada berat badan daripada luas permukaan atau energi yang
digunakan.
Perlu diketahui bahwa konsumsi protein diperlukan sebagai sumber N
untuk tubuh dalam pembentukan zat-zat yang mengandung nitrogen dan sebagai
sumber asam amino esensial yang tidak dapat dibentuk dalam tubuh atau hanya
dalam jumlah kecil utuk mensuplai kebutuhan sehari-hari.
Protein banyak terkandung dalam bahan-bahan makanan, seperti ikan,
telur, daging, dan telur. Sama halnya dengan enzim, adanya kerusakan dapat

mempengaruhi bentuk maupun isi makanan tersebut. Bentuk kerusakan pada


protein adalah denaturasi dan koagulasi.
1.1 Denaturasi
2.1.1 Gambaran Umum
Denaturasi adalah suatu perubahan atau modiikasi terhadap struktur
sekunder, tersier, dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan
ikatan-ikatan peptida. Denaturasi protein dapat juga diartikan sebagai kerusakan
struktur sekunder dan tersier protein akibat terpecahnya ikatan hidrogen , interaksi
hidrofobik atau ikatan disulfida. Reaksi denaturasi tidak mampu memutuskan
ikatan peptida sehingga struktur primer molekul protein tidak mengalami
kerusakan.
Denaturasi protein mengakibatkan turunnya kelarutan, peningkatan
viskositas, hilangnya aktifitas biologi dan protein mudah diserang enzim
proteolitik. Peningkatan vikositas pada protein yang terdenaturasi akan
berpengaruh pada penurunan kelarutan di dalam cairan yang menyebabkan protein
menjdi mudah mengendap. Denaturasi juga menyebabkan protein kehilangan
karakteristik struktural dan beberapa kandungan senyawa di dalamnya, namun
struktur utama protein seperti C, H, O dan N tidak akan berubah. Namun hal
tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil jenis protein.

Bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekuk protein berubah,
maka dapat dikatakan protein tersebut terdenaturasi. Sebagian protein globular
mudah mengalami denaturasi. Jika ikatan ikatan yang membentuk konfigurasi
molekul tersebut rusak, molekul akan mengembang. Kadang kadang perubahan
ini memang dikehendaki dalam pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap
merugikan sehingga perlu dicegah.
Sisi merugikan dari denaturasi :
1. Protein kehilangan aktivitas biologi
2. Pengendapan protein
3. Protein kehilangan beberapa sifat fungsional
Sisi menguntungkan dari denaturasi:
1. Denaturasi panas pada inhibitor tripsin dalam legum dapat meningkatkan
tingkat ketercernaan dan ketersediaan biologis protein legume
2. Protein yang terdenaturasi sebagian lebih mudah dicerna, sifat pembentuk
buih dan emulsi lebih baik daripada protein asli.
3. Denaturasi oleh panas merupakan prasyarat pembuatan gel protein yang
dipicu panas.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu protein mengalami
denaturasi antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

pH
Suhu Lingkungan
Alkohol
Aliran Listrik
Agen Pereduksi
Tekanan
Senyawa Kimia

2.1.2 Mekanisme Denaturasi


2.1.2.1 Denaturasi Karena Asam Basa
Denaturasi protein dengan penambahan asam basa ditandai dengan
peningkatan kekeruhan hingga terbentuk gumpalan pada saat mencapai pH
isoelektris. pH isoelektris adalah keadaan saat protein memiliki muatan positif dan
negatif yang sama (Anna, P., 1994). Dengan adanya muatan ionik maka asam dan
basa akan merusak jembatan garam didalam protein tersebut. Denaturasi akibat
asam / basa terjadi ketika adanya penambahan kadar asam atau basa pada garam

protein yang dapat memutus kandungan struktur dari protein tersebut karena
terjadi subtitusi ion negatif dan positif pada garam dengan ion positif dan negatif
pada asam atau basa (Vladimir, 2007). Reaksi ini terjadi di dalam sistem
pencernaan, saat asam lambung mengkoagulasi susu yang dikonsumsi.

2.1.2.2. Denaturasi Karena Logam Berat


Garam logam berat mendenaturasi protein sama dengan halnya dengan
asam dan basa. Garam logam berat umumnya mengandung Hg +2, Pb+2, Ag+1Tl+1,
Cd+2 dan logam lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara
garam logam berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein logam yang
tidak larut (Ophart, C.E., 2003). Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi
dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan pH larutan di
atas pI karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan
pH larutan di bawah pI karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang
dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++,
sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat,
triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. Denaturasi akibat campuran logam
berat pada protein, hal ini terjadi karena ikatan sulfur pada protein tertarik oleh
ikatan logam berat sehingga proses denaturasi terjadi dengan adanya perubahan
struktur kandungan senyawa pada protein tersebut saat ion pada protein bereaksi
dengan ion logam berat yang tercampur didalamnya.

2.1.2.3. Denaturasi karena Panas


Denaturasi akibat panas menyebabkan molekul molekul yang menyusun
protein bergerak dengan sangat cepat sehingga sifat protein yaitu hidrofobik
menjadi terbuka. Akibatnya, semakin panas, molekul akan bergerak semakin cepat
dan memutus ikatan hidrogen di dalamnya (Vladimir, 2007). Panas dapat
digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar.
Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan
menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat
sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Denaturasi dengan suhu panas
yang dilakukan pada buah-buahan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air
dan bertambahnya viskositas atau kekentalan kadar protein yang tertanam pada
buah yang mengalami denaturasi akibat suhu panas (Vladimir, 2007). Pemanasan
akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya
menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya
interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan
ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung
pada kisaran suhu yang sempit.
2.1.2.4. Denatursi karena alkohol

Alkohol juga dapat mendenaturasi protein. Alkohol seperti kita ketahui


umumnya terdapat kadar 70% dan 95%. Alkohol 70% bisa masuk ke dinding sel
dan dapat mendenaturasi protein di dalam sel. Sedangkan alkohol 95%
mengkoagulasikan protein di luar dinding sel dan mencegah alkohol lain masuk
ke dalam sel melalui dinding sel. Sehingga yang digunakan sebagai disinfektan
adalah alkohol 70%. Alkohol mendenaturasi protein dengan memutuskan ikatan
hidrogen intramolekul pada rantai samping protein. Ikatan hidrogen yang baru
dapat terbentuk antara alkohol dan rantai samping protein tersebut.

2.1.2.5. Agen pereduksi merusak ikatan disulfida


Ikatan disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada
sistein. Antara rantai protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus
sulfhidril akan membentuk ikatan disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen
pereduksi dapat memutuskan ikatan disulfida, dimana penambahan atom hidrogen
sehingga membentuk gugus tiol; -SH.
2.1.3 Denaturasi Protein Pada Daging
Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi.
Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu
protein sarkoplasma, protein

miofibril,

dan protein

jaringan

ikat.

Protein

sarkoplasma adalah protein larut air karena umumnya dapat diekstrak oleh air dan
larutan garam encer.Protein miofibril terdiri atas aktin dan miosin, serta sejumlah
kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikatini memiliki sifat larut dalam
larutan garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut,
terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin (Muchtadi & Sugiono 1992).

Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9%
lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan yang akan
menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak.
1.2 Koagulasi
Koagulasi merupakan proses lanjutan yang terjadi ketika molekul protein
yang didenaturasi membentuk suatu massa yang solid. Cairan telur (sol) diubah
menjadi padat atau setengah padat (gel) dengan proses air yang keluar dari
struktur membentuk spiral-spiral yang membuka dan melekat satu sama lain.
Koagulasi ini terjadi selama rentang waktu temperatur yang lama dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya seperti panas, pengocokan,
pH, dan juga menggunakan gula dan garam.
Hasil dari proses koagulasi protein biasanya mampu membentuk
karakteristik yang diinginkan. Yaitu mengental yang mungkin terjadi pada proses
selanjutnya setelah denaturasi dan koagulasi. Kekentalan hasil campuran telur
mempengaruhi keinginan untuk menyusut atau menjadi lebih kuat.
2.3 Contoh kerusakan protein pada makanan.
Pengolahan pada bahan makanan khususnya daging melibatkan proses
pemanasan, pendinginan, pengeringan, serta penambahan bahan kimia. Ada pula
yang melibatkan fermentasi, radiasi, dan perlakuan-perlakuan lainnya. Tetapi,
proses pemanasan lah yang merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan
dipelajari di lingkungan sekitar kita ini.
Menurut Purnomo (1997) pengolahan daging dengan menggunakan suhu
tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan
menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya akan menurun. Proses
pemasakan cepat akan membuat daging menjadi liat karena selama pemanasan
terjadi denaturasi protein dan denaturasi collagen, yang diikuti dengan penyusutan
dan penegangan jaringan ikat, sehingga daging menjadi liat. Peliatan terjadi saat
protein mengalami denaturasi pada suhu 50-80C. Denaturasi pertama terjadi pada
suhu 45C yaitu denaturasi miosin dengan adanya pemendekan pada otot.
Denaturasi maksimal terjadi pada suhu 50-55C atau biasa disebut Aktomiosin
dan protein sarkoplasma pada 55-65C.

Dari nilai gizinya denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya


cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat akan meningkatkan
daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik, juga dapat menginaktivasi
beberapa

enzim

9 protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase,

enzim oksidatif dan hidrolitik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini
maka akan mengakibatkan off flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan
perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Oleh karena itu, sering
dilakukan

inaktivasi

enzim

dengan

menggunakan

pemanasan

sebelum

penghancuran. Perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi


beberapa faktor antinutrisi seperti enzim antitripsin dan pektin.
Perubahan tekstur pada daging yang memiliki jaringan ikat (collagen)
yang banyak selama proses pemanasan yang diperpanjang disebabkan oleh
perubahan collagen menjadi gelatin selama pemanasan. Faktor lain pada
perubahan tekstur daging adalah waktu pemanasan, suhu, dan jumlah collagen
yang ada pada daging. Proses pengempukan atau collagen terhidrolisa menjadi
gelatin terjadi bila suhu pemasakan mencapai lebih dari 75C. Hal ini dapat dilihat
pada steak sirloin yang kandungan jaringan ikatnya sedikit dan biasanya dimasak
dengan cara dipanggang/grill akan menjadi agak liat karena waktu untuk
memasaknya tidak terlalu lama sehingga suhu dimana collagen menjadi empuk
tidak tercapai dan myofibriliar akan menjadi liat. Selain itu Boulton & Harris
(1972) menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh daging dalam mengikat
air selama daging mendapat pengaruh kekuatan dari luar, seperti tekanan,
pemanasan, penggilingan dan pemotongan daging disebut dengan daya ikat air
atau water holding capacity (WHC). Penurunan WHC pada pemanasan mencapai
suhu 80C berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup asidik
akan meningkatkan pH daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah dan
berada pada pH yang lebih tinggi. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa daya
ikat air dipengaruhi oleh bangsa, proses rigormortis, temperatur, kelembaban,
pelayuan daging, tipe dan lokasi otot, fungsi otot, pakan dan lemak intramuskuler
Lama pemasakan juga mempengaruhi nilai pH daging dan menyebabkan
menyebabkan

proses

denaturasi

protein

daging.

Penurunan

pH

akan

mempengaruhi sifat fisik daging. Laju penurunan pH otot yang cepat akan

10

mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena meningkatnya kontraksi


aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari
dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat penurunan pH otot
pascamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya
denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler.
Contoh lainnya yaitu pada saat merebus telur. Pada saat perebusan telur,
protein dalam telur tersebut mengalami denaturasi dan berakhir pada proses
koagulasi. Hasil dari proses koagulasi protein biasanya mampu membentuk
karakteristik yang diinginkan. Yaitu mengental yang mungkin terjadi pada proses
selanjutnya setelah denaturasi dan koagulasi. Kekentalan hasil campuran telur
mempengaruhi keinginan untuk menyusut atau menjadi lebih kuat.
2. Aspek Kerusakan Enzim pada Bahan Makanan dan Penanganannya
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama memanfatkan mikroorganisme
untuk menghasilkan barang bernilai ekonomi, misalnya fermentasi tempe, tape,
dan ragi untuk minuman beralkohol. Mikroorganisme merupakan sumber enzim
yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan tanaman dan hewan. Enzim
merupakan bagian dari protein, yang mengkatalisir reaksi-reaksi kimia. Enzim
juga dapat diartikan sebagai protein katalisator yang memiliki spesifisitas terhadap
reaksi yang dikatalisis dan molekul yang menjadi substratnya. Aktivitas enzim
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi substrat, suhu, dan pH.
Penggunaan enzim dalam industri pangan memberi banyak keuntungan
sebagai bahan tambahan yang alami. Sebelum dikenalnya teknologi modern,
penggunaan

enzim

dalam

proses

pengolahan

pangan

berawal

dari

ketidaksengajaan karena enzim sudah ada secara endogenus dalam bahan dan/atau
karena keterlibatan mikroorganisme selama tahapan proses. Misalnya, pada proses
pengolahan minuman beralkohol dan keju. Dengan kemajuan teknologi, peran
enzim dalam produksi pangan sudah dilakukan optimasi terhadap kondisi proses
sehingga aktivitas enzim dapat berjalan seperti yang diharapkan.
Pada beberapa produk, peranan enzim endogenus tidak memadai, sehingga
muncul ide untuk menambahkan enzim dari luar (eksogenus) untuk memperoleh
hasil yang diharapkan dengan waktu yang lebih cepat. Bahkan, untuk tujuan

11

tertentu dan untuk memperoleh citarasa yang baru, enzim dapat ditambahkan ke
dalam bahan. Ketika enzim dipertimbangkan untuk digunakan dalam pengolahan
pangan, maka sangat penting menjamin bahwa proses tersebut memberikan
keuntungan terhadap perbaikan mutu maupun keuntungan komersial. Keuntungan
komersial penggunaan enzim dapat ditinjau dari beberapa aspek seperti, konversi
bahan baku menjadi produk jadi yang lebih baik, keuntungan terhadap
lingkungan, penghematan biaya pada bahan baku, atau standarisasi dari proses.
Enzim pada makanan, merupakan aplikasi enzim yang sangat banyak
digunakan dan masih menunjukkan dominasi pada pemasaran enzim. Pada
industri pangan, beberapa produk yang melibatkan enzim selama tahapan
pengolahan adalah produk susu (keju, yogurt dan susu fermentasi lainnya), bir,
roti, dan banyak lagi lainnya.
Enzim merupakan komposisi penting pada sebagian besar produk roti.
Banyak enzim yang akhir-akhir ini ditemukan memberikan manfaat yang sangat
besar pada pembuatan roti karena mulai dibatasinya penggunaan bahan tambahan
kimia, khususnya pada pembuatan roti dan produk fermentasi lainnya.
Penambahan enzim pada tepung dan adonan merupakan langkah yang biasa
digunakan untuk standarisasi tepung dan juga membantu mempercepat proses
pematangan. Enzim biasanya ditambahkan untuk modifikasi dough rheology,
retensi udara dan melembutkan remahan pada produksi pembuatan roti, untuk
modifikasi dough rheology pastry dan biskuit, untuk mengubah kadar kelembutan
produk pada pembuatan kue dan mengurangi pembentukan akrilamid.
Dari beberapa uraian di atas, kita bisa tinjau bahwa enzim memainkan
peran yang sangat penting. Namun, kita tidak bisa hindari jika suatu saat ada
kondisi dimana adanya kerusakan yang terjadi pada enzim. Contohnya saja,
semua makanan mentah mengandung enzim. Enzim adalah substansi yang kita
dapatkan melalui makanan. Limpahan enzim dari buah dan sayur segar sangat
meringankan kerja organ penghasil enzim dalam tubuh. Sayangnya, enzim yang
sangat penting ini akan rusak sebagian bahkan keseluruhan dengan adanya
pemanasan. Rusaknya enzim dimulai pada suhu 48oC. Seiring meningkatnya suhu

12

pemanasan, makin parah pula kerusakan enzim dan pada saat suhu mencapai 115
o

C, enzim akan menghilang secara keseluruhan. Dengan memperhatikan fakta

tersebut, maka jalan terbaik untuk memperoleh enzim sebanyak-banyaknya dari


makanan adalah dengan menyantapnya dalam kondisi segar atau mentah.
Banyak orang yang ketakutan memakan makanan segar atau mentah
karena kekhawatiran mereka akan cacing, telur cacing, dan parasite lainnya.
Sebenarnya hal ini dapat diminimalisir dengan prosedur pencucian yang benar.
Cuci sayuran dan buahan di bawah air mengalir 2-3 menit, rendam buah apel pada
air cuka selama beberapa menit, atau cuci makanan dengan air garam lalu bilas
kembali dengan air.
Enzim yang rusak dapat memberikan dampak yang buruk, namun ada juga
aspek menguntungkan yang diperoleh dari kerusakan enzim. Contohnya, buah
anggur banyak mengandung antosianin yang meningkatkan kemampuan mata
untuk melihat malam. Buah anggur tersebut dapat diolah menjadi minuman yang
sering dinikmati manusia. Namun, buah anggur tersebut mengandung enzim yang
dapat merusak antiosianin itu sendiri. Enzim fenolase yang terdapat pada buah
anggur tersebut dapat membuat kandungan antiosianin menjadi rusak pada saat
pengolahan. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa cara untuk menonaktifkan
enzim tersebut, yaitu dengan melakukan proses pemanasan. Namun sebaiknya
tidak dilakukan pada suhu yang tinggi dan dalam waktu yang singkat agar
kandungan antiosianinnya tidak hilang dalam buah tersebut. Selain itu,
perendaman dengan beberapa asam (seperti asam askorbat dan asam sitrat) dapat
menonaktifkan enzim fenolase tersebut.

13

Anda mungkin juga menyukai