Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah
penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki penderita kusta.
Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama
Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta terdapat di negara
yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium,
dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang
yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam
atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum dilaporkan
selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum,
telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

B. TUJUAN UMUM

Untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang pelaksanaan ASKEP pada klien
dengan Kusta dengan menggunakan metode proses keperawatan.
C. TUJUAN KHUSUS
1.
2.
3.
4.

Mendapatkan gambaran yang nyata tentang konsep penyakit kusta


Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan kusta
Mampu membuat Dx keperawatan berdasarkan anamnesa
Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan.

BAB II
PEMBAHASAN
2

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998).
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae). (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).
2. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara
40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar
0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan
BTA.
3. Patofisiologi (WOC)
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah
yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada
intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
Microbakterium Leprae

Menyerang saraf perifer, kulit,


mukosa saluran pernafasan
atas
Gangguan Fungsi
Saraf Tepi

Senso
ri

Motorik

Otonom
m

Anaste
si

kelemahan

Gangguan
kelenjar keringat,
kelenjar minyak,
aliran darah

Tangan/
kaki:
kurang rasa

Kornea mata
anastesi
reflek kedip
mata
berkurang

Luka

Infeks
i

Mutilasi
Absorpsi
tulang

Buta

Tangan/kaki:
lemah/lumpu
h

jari bengkok/
kaku

Luka

Mata
Logophthalm
us

Infeksi

Buta

Benjolan-benjolan
kecil diseluruh
tubuh

inflamasi

Mutilasi
absorpsi
tulang

Ggg
konsep
diri

Kulit: kering
/pecah/
kemerahan

Intoleran
aktivitas

4. Manifestasi Klinis

Kerusaka
n
integrita
s kulit

Nyeri

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut :

a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas


Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadangkadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul,
nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan
saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot.
b. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi (kesemutan/kebas).
Klasifikasi bentuk klinis penyakit kusta dibedakan atas dua jenis yaitu :
a. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak
keputihansebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering
di pipi,punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit
hilangsama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi, sering terjadi
gejala kulit tak begitu menonjoltetapi gangguan saraf lebh jelas. Komplikasi saraf
serta kecacatan relative lebih sering terjadi sering terjadi dan timbul lebih awal dari
bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negative, berarti tidak ditemukan adanya
kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak yang ditemukan di
Indonesia dan terjadi pda orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta
cukup tinggi.

b. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik


diselaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya
rendah dalam menghadapi kuman kusta.
Kelainan

kulit

bisa

berupa

bercak kamarahan,

bisa

kecil-kecil

dan

tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalankulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagaibenjolan-benjolan merah sebesar
biji jagung yang sebesar di badan, muka dan dauntelinga. Sering disertai rontoknya
alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana
karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan padabentuk ini umumnya terjadi
pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.
Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina). Diantara
kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan(tipe
borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
5. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
6

c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung


apabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granula (granulates), globus dan clumps.
b. Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang


1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
c. Indeks Morfologi (IM)

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM


digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
7. Penatalaksanaan
a. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden
penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
1) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
2) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan


sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
3) Dosis untuk anak
Klofazimin:
a) Umur dibawah 10 tahun :
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/2kali/minggu
b) Umur 11-14 tahun :
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/3kali/minggu
4) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin
600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung
dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam
6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan
digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

5) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
b. Perawatan umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

1) Perawatan mata dengan lagophthalmos


a) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
b) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
c) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu.
2) Perawatan tangan yang mati rasa
a) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh
b) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah
c)
d)
e)
f)

jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

3) Perawatan kaki yang mati rasa


a) Penderita memeriksa kaki tiap hari
b) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
c) Masih basah diolesi minyak
d) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
e) Jari-jari bengkok diurut lurus
f) Kaki mati rasa dilindungi
4) Perawatan luka
a) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
b) Luka dibalut agar bersih
c) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
d) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak
dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa
sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

10

b. Riwayat penyakit sekarang


Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan
oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.
e. Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang
diderita.
f. Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan
kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
11

Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan,
dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi
akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika
ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana
dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

2. Diagnosa
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
e. Resiko tinggi kecacatan berhubungan dengan proses perjalanan penyakit
3. Intervensi
a. diagnosa 1
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti
dan berangsur-angsur sembuh.
2) Kriteria :
a) Menunjukkan regenerasi jaringan
b) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
3) Intervensi:
a) Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi
dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
b) Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
12

Rasional : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan

sekitar.
c) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
d) Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi
e) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
b. Diagnosa 2
1) Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
2) Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
3) Intervensi:
a) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan
b)
c)
d)
e)

intervensi.
Observasi tanda-tanda vital
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
Atur posisi senyaman mungkin
Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan rasa nyeri

c. Diagnosa 3
1) Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi
dan aktivitas dapat dilakukan
2) Kriteria:
a) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
b) Kekuatan otot penuh
3) Intervensi:
a) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
13

b) Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit


Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
c) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
d) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap
aktifitas
e) Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada
latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan.
d. Diagnosa 4
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi
secara optimal dan konsep diri meningkat
2) Kriteria:
a) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
b) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
3) Intervensi
a) Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional : episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
b)

memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal


Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional : penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa

c)

yang terjadi membantu perbaikan


Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional : meningkatkan

perilaku

positif

dan memberikan

kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan


d)

e)

berdasarkan realitas
Berikan penguatan positif
Rasional : kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku
koping positif
Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

14

Rasional : meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan


respon yang lebih membantu pasien

e. Diagnosa 5
1) Tujuan : Mencegah terjadinya kecacatan pada penyakit kusta
2) Kriteria hasil : tidak terjadinya kecacatan pada penyakit kusta
3) Intervensi :
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau

b)

kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu.
Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda

luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang

setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

c)

Perawatan kaki yang mati rasa


Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

15

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium
leprae.
Adapun cirri-ciri sesorang terkena kusta ialah sbagai berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
2. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot.
3. BTA positif
16

4. Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.


5. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
B. SARAN
1. Dengan mengetahui perjalanan penyakit kusta, diharapkan agar dapat menangani
kasus tersebut dengan tepat.
2. Dengan adanya pengkajian serta diagnose dan intervensi keperawatan terhadap
penyakit kusta, diaharapkan agar pasien mengidap penyakit ini dapat dirawat dengan
tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC.
Jakarta, 1995

17

LAMPIRAN GAMBAR

18

Komplikasi Kusta

19

Anda mungkin juga menyukai