1410311045
2.
1410312070
3.
1410312031
4.
Dwininta Alfathika
1410312028
5.
6.
Norma Sartika Y.
7.
Taufik Rachman
1410312082
8.
Riko Janukardi
1410312064
9.
MHD. Igo
1410311125
1410311024
1410311039
A. Terminologi
1. Konsanguitas
2. Pedigree
3. Skrotum bifidum
4. Microphallus
dan
5. Hypospadia
6. Chordae
7. Karyotiping
8. Ambiguitas
9. Genitografi
8. Untuk mengetahui secara pasti apa jenis kelamin dari anak tersebut, serta
menentukan penatalaksanaan lebih lanjut dari kasus tersebut.
9. Mekanisme pembentukan genitalia laki-laki dan perempuan dimulai dengan
bekerjanya gene SRY pada genitalia laki-laki yang memunculkan adanya hormon
antimullerian. Dengan adanya hormon tersebut makan ductus muller akan tertutup
dan ductus wolfii berkembang. Sebaliknya jika tidak terdapat gene SRY maka
ductus muller akan berkembang dan membentuk jenis kelamin perempuan.
10. Yang dapat menyebabkan ambiguitas adalah genetik, hormon dan faktor eksternal
lainnya.
11. Untuk menegakkan benar diagnosis dari penyakit anak tersebut.
12. Tidak semuanya, tergantung jenis penyakitnya.
13. USG, pemeriksaan patologi anatomi dan lainnya tergantung keluhan dan kelainan
yang ditemukan.
14. Karena untuk mengobati ini tidak hanya diperlukan peran ahli bedah, namun juga
anak untuk mengobati penyakit anaknya, lalu psikolog untuk memperbaiki
gangguan psikososialnya dan perlu ahli hormon.
15. Tidak, tergantung penyakitnya.
C. Skema
D. Learning Objective
1. Perkembangan urogenital
2. Phimosis dan paraphimosis
3. Torsio testis dan UDT
C. Sistem Pengumpul
Berkembang dari tunas ureter (tonjolan saluran mesonefros yang di dekat muara
kloaka). Tunas ureter menembus jaringan metanefros yang menutup ujung distalnya
sebagai topi. Tunas melebar membentuk piala ginjal (pelvis renalis) primitif dan
terbagi menjadi kranial dan kaudal membentuk kalises mayores.
Ssambil terus menembus lebih jauh ke dalam jaringan metanefros, tiap-tiap kaliks
akan membentuk 2 tunas baru, dan akan terus membelah hingga terbentuk 12
generasi saluran atau lebih. Sementara itu, di bagian tepi, terbentuk lebih banyak
saluran hingga akhir bulan ke 5. Saluran generasi ke 2 membesar dan menyerap
masuk saluran generasi ke 3 dan ke 4, sehingga terbentuklah kalises minor piala
ginjal. Pada perkembangan selanjutnya, saluran generasi ke 5 dan seterusnya sangat
memanjang dan menyebar dari kaliks minor dan membentuk piramida ginjal. Dengan
demikian, tunas ureter membentuk ureter, piala ginjal, kalises mayor dan minor, dan
kurang lebih 1-3 juta saluran pengumpul.
D. Sistem Eksresi
Tiap-tiap saluran yang baru terbentuk akan ditutupi topi jaringan metanefrik
diujungnya. Sel-sel topi jaringan ini membentuk gelembung-gelembung kecil vesikel
renalis, yang akan menjadi saluran-saluran kecil, yang bersama-sama berkas kapiler
dikenal sebagai glomeruli, membentuk nefron/ satuan eksresi. ujung proksimal
masing-masing nefron membentuk simpai bowman, yang didalamnya berisi
glomerulus. sedangkan ujung distalnya membentuk hubungan terbuka dengan salah
satu saluran pengumpul, sehingga terbentuk jalan penghubung dari glomerulus ke
salah satu saluran pengumpul. pemanjangan saluran ekskresi terus menerus
mengakibatkan pembentukan tubulus kontortus proksimal, ansa henle, dan tubulus
kontortus distal. Ginjal berkembang dari 2 sumber yang berbeda :
1. Mesoderm metanefros yang akan membentuk satuan eksresi.
2. Tunas ureter yang membentuk sistem pengumpul.
Pada saat lahir, ginjal berlobulasi. Selama masa anak-anak, gambaran lobulasi
menghilang karena pertumbuhan nefron lebih lanjut. Akan tetapi, jumlahnya tidak
bertambah.
E. Posisi Ginjal
Ginjal yang semula terletak di daerah panggul akan bergeser kedudukannya lebih ke
kranial ke rongga perut. Naiknya ginjal disebabkan oleh kurangnya kelengkungan
maupun pertumbuhan tubuh di daerah lumbal dan sakral. Di panggul, metanefros
menerima aliran darah dari sebuah cabang panggul dari aorta. Dalam perjalanan naik
ke rongga perut, ginjal diperdarahi oleh pembuluh-pembuluh nadi yang berasal dari
aorta yang letaknya semakin meninggi. Pembuluh-pembuluh yang lebih rendah
biasanya akan berdegenerasi.
F. Fungsi Ginjal
Metanefros baru berfungsi pada akhir trimester pertama. Air kemih mengalir ke
rongga amnion dan bercampur dengan cairan amnion. cairan ini ditelan oleh janin dan
memasuki saluran pencernaan untuk diserap ke dalam aliran darah dan berjalan
melewati ginjal untuk kembali diekskresi ke dalam cairan amnion. Selama masa
janin, ginjal tidak berfungsi untuk ekskresi bahan-bahan sisa, karena plasenta
menjalankan fungsi ini.
G. Kandung Kemih dan Uretra
Selama perkembangan minggu 4 sampai 7, septum urorektal membagi kloaka
menjadi saluran anorektal dan sinus urogenitalis. Selaput kloaka terbagi menjadi
Di samping belum dapat dibedakan jenisnya, embrio ini juga memiliki potensi untuk
berkembang menjadi pria maupun wanita. Di sekitar gonadal ridges, terdapat struktur
duktus wolffian atau duktus mesonefrik yang kelak menjadi saluran reproduksi pria,
juga duktus mullerian atau duktus paramesonefrik yang kelak menjadi saluran
reproduksi wanita. Namun secara genetis, jenis kelamin manusia telah dapat
ditentukan sejak saat fertilisasi. Keberadaan protein SRY yang dikode oleh gen SRY
(sex-determining region on Y) pada lengan pendek kromosom Y (Yp11) menentukan
arah perkembangan gonad.1,2 Oleh karenanya gen ini disebut sebagai master swich.2
Protein SRY merupakan testis-determining factor, sehingga apabila terdapat protein
SRY, akan terjadi perkembangan ke arah pria, sebaliknya jika tidak ada, akan terjadi
perkembangan ke arah wanita.
berkembang menjadi struktur tuba uterina dan kanalis uteri. Saluran tersebut menyatu
di tengah dan membentuk korpus dan serviks uteri. Setelah ujung kaudal duktus
paramesoferikus mencapai sinus urogenitalis, tumbuh evaginasi sinus yang disebut
bulbus sinuvaginalis. Struktur tersebut berproliferasi membentuk lempeng vagina
yang solid. Pada minggu ke-5, telah terjadi kanalisasi sempurna dari vagina.
Perkembangan organ genitalia eksterna pada wanita dirangsang oleh hormon
estrogen. Tuberkulum genitale sedikit memanjang membentuk klitoris, lipatan uretra
membentuk labia minora. Penebalan genital yang pada pria menjadi skrotum, pada
wanita menjadi labia mayora. Pada tahap awal perkembangannya, tuberkulum
genitale pada wanita lebih besar dari pria, sehingga dapat terjadi kesalahan
identifikasi jenis kelamin.
3.
Disgenesis
gonadal
Banyak kasus kriptorkismus yang secara histologis normal saat lahir, tetapi testisnya
menjadi atrofi/disgenesis pada akhir usia 1 tahun dan jumlah sel germinalnya sangat
berkurang pada akhir usia 2 tahun2,10,16,21.
2.
Mekanis/kelainan
anatomis
lokal
Testis yang kriptorkismus sering disertai dengan arteri spermatika yang pendek8,
terganggunya aliran darah21, hernia6,15,17, kurang panjangnya vas deferens8,10,
abnormalnya ukuran kanalis inguinalis atau cincin inguinal superfisial, kurangnya
tekanan abdominal dan tarikan gubernakulum untuk mendorong testis ke cincin
inguinal10,30, serta adanya kelainan epididimis17.
3.
Endokrin/hormonal
Meliputi kelainan aksis hipotalamus-hifofise testis17,27,31 atau kurang sensitifnya
androgen17. Dilaporkan desensus testis tidak terjadi pada mamalia yang hipofisenya
telah diangkat8. Diduga terjadinya defisiensi androgen prenatal merupakan faktor
4.
1.
2.
3.
1.
Terobstruksi : 30%
Ada juga yang memakai klasifikasi berdasarkan lokasi sebagai berikut 9,23: (1) Intra
abdominal; (2) Inguinal; (3) Preskrotal; (4) Skrostal; dan (5) Retraktil.
Diagnosis
Biasanya, orang tua membawa anak ke dokter dengan keluhan skrotum anaknya
kecil, dan bila disertai dengan hernia inguinalis dijumpai adanya pembengkakan atau
nyeri yang berulang20.
Anamnesa ditanyakan:
Pernahkah testisnya diperiksa, diraba sebelumnya di skrotum1,28.
Ada/tidak adanya kelainan kongenital yang lain seperti hipospadia, interseks,
prune-belly syndrom, dan kelainan endokrin lainnya1.
Ada/tidaknya riwayat kriptorkismus dalam keluarga1.
Pemeriksaan Fisik
Penentuan Lokasi Testis
Pemeriksaan testis pada anak harus dilakukan dengan tangan yang hangat pada posisi
duduk dengan tungkai dilipat atau dalam keadaan rileks pada posisi tidur. Kemudian
testis diraba dari inguinal ke arah skrotum dengan cara milking. Bisa juga dengan satu
tangan berada di kantong skrotum sedangkan tangan yang lainnya memeriksa mulai
dari daerah spina iliaka anterior superior (SIAS) menyusuri inguinal ke kantong
skrotum. Hal ini dilakukan supaya testis tidak bergerak naik/retraksi, karena pada
anak refleks kremasternya cukup aktif. Refleks ini akan menyebabkan testis bergerak
ke atas/retraktil sehingga menyulitkan penilaian1,9,23.
Penentuan posisi anatomis testis sangat penting dilakukan sebelum terapi, karena
berhubungan dengan keberhasilan terapi9. Karena, sebagian dari penderita
mempunyai testis yang retraktil yang kadang-kadang tidak memerlukan terapi. Testis
yang retraktil ini sudah turun pada waktu lahir, tetapi tidak ditemukan di dalam
skrotum pada pemeriksaan, kecuali bila anaknya dalam keadaan rileks9.
1.
2.
kelainan seperti interseksual, prune belly syndrom. Ini harus segera dirujuk untuk
pemeriksaan analisis kromosom dan endokrin28.
4.
Pemeriksaan teliti dilakukan untuk melihat adanya sindrom-sindrom yang
berhubungan dengan kriptorkismus, seperti sindrom Kleinefelter, sindrom Noonan,
sindrom Kallman, sindrom Prader Willi, dan lain-lain9,23. Dianjurkan melakukan
skrining pada saat lahir, usia 6 minggu, usia 8 bulan48, dan saat usia 5 tahun49. Pada
bayi kurang bulan, dianjurkan melakukan skrining pada usia 3 bulan karena
banyaknya turun testis pada usia 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang
cukup bulan.35
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada kriptorkismus bilateral yang impalpable50, diperiksa kadar testosteron pada usia
4 bulan, karena bila lebih dari 4 bulan diperlukan uji stimulasi HCG untuk melihat
ada tidaknya testis. Pada uji HCG, penderita diberikan suntikan 1500 IU HCG
intramuskular setiap hari selama 3 hari berturut-turut. Sebelum dan 24 jam setelah
penyuntikan HCG, diperiksa kadar testosteron plasma. Bila didapatkan peningkatan
kadar testosteron yang bermakna, berarti terdapat testis pada penderita8,23,37. Bila
tidak ada respons serta kadar FSH dan LH meningkat, dicurigai adanya anorchia
kongenital2,22,50.
1.
Pemeriksaan Radiologis
Ultrasonografi
Sudah digunakan untuk mendeteksi kasus Kriptorkismus oleh ahli radiologi dan
klinisi sejak 1970. Keuntungannya adalah fasilitas pemeriksaan USG mudah didapat,
bebas radioaktif, non-invasif, praktis, dan relatif murah51. Pemeriksaan ini
dianjurkan untuk testis yang berlokasi di kanalis inguinalis8 dan terhadap testis yang
besar yang terletak di Juxta vesikal30. Firman K51 meneliti dengan memakai USG di
subbagian pencitraan I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM selama 6 bulan (Januari 1994
sampai Juni 1994) terhadap 21 pasien. Ternyata, hanya 2 (9,5%) yang berhasil
ditemukan lokasi testisnya, yaitu di daerah inguinal sedangkan pemeriksaan CT
Scanning tidak dilakukan. Angka keberhasilan ini masih jauh berbeda dengan
penelitian di luar negeri, yang antara lain dilakukan oleh Madrazo B.L. dan Klugo
R.C. (60%),52 serta Michael K., Erik H. dan Elisabeth H. (65%)53.
CT scanning
Pemeriksaan ini mempunyai akurasi yang lebih tinggi terhadap testis yang lokasinya
di intra abdominal dan sudah dibuktikan pada saat operasi53.
MRI
1.
1.
2.
1.
2.
3.
4.
Intravena urografi dikerjakan secara selektif pada kasus yang dicurigai adanya
kelainan saluran kemih bagian atas, karena 10% kasus didapati horse shoe
kidney, renal hipoplasia, ureteral duplikasi, hidro ureter, dan hidronefrosis7.
Venografi gonadal selektif dilakukan pada testis impalpable dimana telah dilakukan
eksplorasi lokal di inguinal, retro peritoneal, dan intra abdominal, tetapi tidak
ditemukan testis atau spermatic vessel-nya buntu serta pada kasus yang reoperasi30.
Laparoskopi
Dilakukan pada usia 1 tahun2 sebagai diagnostik yang paling akurat28 untuk
mengetahui lokasi testis sebagai petunjuk untuk melakukan insisi pembedahan, untuk
melihat apakah testisnya normal54, apakah vas spermatika buntu, atau adanya vassa
di dalam abdomen30. Sebagai terapeutik untuk mereposisi testis yang abnormal54.
Sebagian besar testis impalpable ditemukan pada operasi, paling tidak di anulus
inguinalis interna30.
Buccal smear atau analisa kromosom. Dilakukan selektif terhadap bayi
dengan undescendedbilateral yang impalpable21,28.
Biopsi. Dilakukan saat pembedahan terhadap testis yang berlokasi di intra
abdominal, yang disertai dengan kelainan genitalia eksterna atau kelainan kariotip55.
Diagnosis Banding
Retraktil testis3,4,6,7,15,20,27,28. Ini terjadi karena hiperaktifnya refleks
kremaster pada anak, sehingga testis bergerak ke kanalis inguinalis7,16,17,20,27,28.
Biasanya, retraktil ini bilateral27.
Anorchia bilateral. Pada keadaan ini, didapati peningkatan kadar gonadotropin
dengan testosteron yang rendah serta kurangnya respons terhadap stimulasi HCG atau
tidak ada sama sekali7.
Virilisasi dari Hiperplasi adrenal kongenital. Pada penderita wanita dengan
penyakit yang berat, terlihat seperti fenotip laki-laki dengan kriptorkismus bilateral.
Karena itu, diperlukan pemeriksaan buccal smear7.
Ektopik testis20.
Komplikasi
1. Hernia. Sekitar 90% penderita kriptorkismus menderita hernia inguinalis
ipsilateral7,17,20 yang disebabkan oleh kegagalan penutupan prosesus vaginalis7.
2. Torsi2,7,8,14,16,17,20. Terjadi karena abnormalnya jaringan yang menjangga testis
yang kriptorkismus7 dan tingginya mobilitas testis16 serta sering terjadi setelah
pubertas27.
3. Trauma7,14,20. Testis yang terletak di atas pubic tubercle mudah terjadi injuri oleh
trauma7.
4. Neoplasma. Testis yang mengalami kriptorkismus pada dekade ke-3 atau ke-42,16,
mempunyai kemungkinan keganasan 2030 kali lebih besar daripada testis yang
normal7,27. Kejadian neoplasma lebih besar terhadap testis intra abdominal yang
tidak diterapi, atau yang dikoreksi secara bedah saat/setelah pubertas16, bila
dibandingkan dengan yang intra kanalikular10,27. Neoplasma umumnya jenis
seminoma2,7,8,16-8,21. Namun, ada laporan bahwa biopsi testis saat orchiopexy akan
meningkatkan risiko keganasan17,34,56,57.
5. Infertilitas. Kriptorkismus bilateral yang tidak diterapi akan mengalami infertilitas
lebih dari 90% kasus, sedangkan yang unilateral 50% kasus7. Testis yang berlokasi di
intra abdominal dan di dalam kanalis inguinalis, akan mengurangi spermatogenik,
merusak epitel germinal20.
6. Psikologis. Perasaan rendah diri terhadap fisik atau seksual12,20 akibat tidak
adanya testis di skrotum16.
Dasar Pertimbangan Terapi Hormonal
Turunnya testis dipengaruhi oleh aksis hipotalamus hipofise testis. Oleh karena itu,
digunakan terapi hormonal HCG dan LHRH untuk pengobatan kriptorkismus27. Di
samping itu, terapi hormonal akan meningkatkan rugocity skrotum1, ukuran
testis1,12,15, vas deferens1, memperbaiki suplai darah1,12, diduga meningkatkan
ukuran dan panjang vessel spermatic cord, serta menimbulkan efek kontraksi otot
polos gubernakulum untuk membantu turunnya testis20. Terapi hormonal sebaiknya
diberikan pada kriptorkismus yang palpable1.
Bila kriptorkismus ini diobati sebelum usia 2 tahun maka fertilitas yang didapatkan
berkisar 87%,58 kalau tidak diobati setelah usia 3 tahun maka terjadi penurunan
jumlah sel germinal27, spermatogonia27,59, dan sel Leydig27. Jika tidak diturunkan
sebelum pubertas, menyebabkan germinal hipoplasia dan mengakibatkan
hipospermatogenesis8. Bila diturunkan sewaktu pubertas, 30% menjadikan
spermatogenesis yang akseptable. Sedangkan bila diturunkan setelah pubertas maka
hasilnya hanya 13,5%8. Dari laporan ini, terlihat bahwa pengobatan dini sangat
penting dalam penatalaksanaan kriptorkismus. Dianjurkan agar terapi hormonal
dimulai sebelum usia 2 tahun1, dan sebaiknya pada usia 10 bulan sampai 24 bulan23.
Di Bagian I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM, terapi dimulai setelah anak berusia di atas
9 bulan, karena setelah usia 9 bulan hampir tidak didapatkan lagi penurunan testis
secara spontan9.
Human Chorio Gonadotropic Hormone
HCG ini mempunyai cara kerja seperti LH merangsang sel leydig untuk
memproduksi testosteron yang kemudian secara sendiri atau melalui Dihidrotestosteron (DHT) akan menginduksi turunnya testis9.
(usia 38,5 tahun) dimana tiap anak diberi LHRH (Hoechst, FRG 25 ug/m2) I.V
bolus 1 kali. Ternyata, didapati peningkatan kadar FSH basal dan respons FSH
terhadap LHRH sama pada kriptorkismus unilateral dan bilateral50. Pengobatan
dengan LHRH tidak dilakukan karena hasilnya kurang meyakinkan, tidak tersedianya
obat-obat tersebut9,10,27, serta potensinya di bawah HCG37.
Kombinasi LHRH dengan HCG
Terdapat hipotesis bahwa pemberian HCG dan atau LHRH dapat digunakan pada
anak dengan kriptorkismus62. Terapi kombinasi ini dilakukan untuk mengurangi
terjadinya relaps pada pengobatan dengan LHRH saja9,23 dan untuk kasus yang
testisnya di luar external inguinal ring38.
Waldschmidt J, EL Dessouky M, Friefer A (1987) memberikan LHRH sebanyak 3
kali sehari 400 g secara intranasal selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian HCG intra muskuler sebanyak 5 kali dengan selang sehari. Dosis HCG
yang dipakai sesuai dengan anjuran WHO, yaitu 5 kali 250 g (usia < 2 tahun), 5 kali
500 g (usia 35 tahun), dan 5 kali 1000 g (usia > 5 tahun). Didapatkan penurunan
testis sebanyak 86,4% sehingga penderita yang sangat memerlukan tindakan bedah
hanya 13,6%. Tetapi, setelah di-follow-up selama 2 tahun, sebagian penderita
mengalami relaps dan penurunan testis ini berkurang menjadi 70,6%63.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan pada tahap selama pengobatan, pada akhir
pengobatan, 1 bulan kemudian, 3 bulan kemudian, 6 bulan, dan 12 bulan
kemudian9,23. Penurunan testis dikatakan komplit bila testis desensus ke dalam
skrotum, dan dikatakan parsial bila turunnya testis dari abdomen atauinguinal
ring turun ke inguinal middle atau lebih rendah59.
Hasil penelitian kriptorkismus yang diberi terapi dengan HCG atau LHRH,
tergantung dari:
1.
Posisi testis sebelum pengobatan. Terapi hormonal lebih berhasil pada penderita
dengan lokasi testis di inguinal dibandingkan dengan intra abdominal64.
2.
Umur penderita saat pengobatan. Hasil terapi lebih baik pada anak-anak dengan
usia lebih besar dibanding anak usia lebih rendah64.
3.
Bilateral/Unilateral kriptorkismus. Terapi lebih berhasil pada penderita dengan
kriptorkismus bilateral. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih banyaknya ditemukan
penyebab kelainan anatomi pada kriptorkismus unilateral64.
4.
Kegagalan terapi hormonal disebabkan 80% kasus karena adanya kelainan
anatomis17.
Efek Samping
Sebelum pengobatan dimulai, kemungkinan terjadinya efek samping ini dijelaskan
kepada orangtua. Semua efek samping ini bersifat reversibel9,23. Efek samping
pengobatan HCG antara lain: Bertambahnya volume testis64; pembesaran
yang
24
eksplorasi penegakkan diagnosis torsio testis di setiap keadaan nyeri skrotum akut.
22
Setiap tahunnya, 4,5 dari sekitar 100.000 laki-laki dengan usia kurang dari
25, terutama pada usia 13-16 tahun, memiliki potensi untuk memiliki torsio testis
3,10
lebih 6 jam
untuk bertahan. Apabila diterapi dalam waktu kurang dari 6 jam, maka
kemungkinan keberhasilan terapi adalah 90-100%. Bila dilakukan dalam waktu 612 jam, keberhasilan terapi akan menurun menjadi 50%, dan bila dilakukan lebih
dari 12 jam maka keberhasilan terapi hanya menjadi 20% .
Oleh karena itu torsio testis merupakan suatu keadaan emergency, sehingga
membutuhkan
diagnosis
dan
tatalaksana
yang
cepat
dan
tepat
untuk
11
A.
28
B.
C.
Keadaan torsio sewaktu operasi: (1) tunika vaginalis telah dibuka, (2)
funikulus yang mengalami torsi
D.
E.
3.2.1
epididymitis ke skrotum atau dikenal dengan istilah bell clapper deformity. Bell
clapper deformity adalah satu-satunya kelainan anatomi yang menjadi faktor risiko
kejadian torsio testis. Namun, belum diketahui secara pasti apakah keadaan ini
berkaitan dengan kelainan perkembangan embrional dari skrotum, funikulus
spermatikus, dan testis atau berkaitan mesorchium yang panjang atau kriptokismus
testis.
12
13
14
intravaginal.
Kelainan
ini
biasa
disebut
sebagai
Bell
Clapper
29,30,31
Deformity.
keparahan dari
penyakit itu sendiri. Apabila testis terpuntir di antara 90-180 biasanya belum
terjadi gangguan aliran darah ke testis. Namun apabila testis telah terpuntir 360
atau lebih, maka akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi pembuluh darah baik
vena maupun arteri.Terjadinya oklusi pembuluh darah pada torsio testis
menimbulkan mekanisme ischemia-reperfusion injury(I-R) dan mediasi dari
reactive oxygen spesies (ROS) yang akan berlanjut menjadi keadaan iskemi
bahkan kematian jaringan testis.
14
justru
meningkatkan produksi dari zat-zat toxic pada sirkulasi darah di jaringan testis.
15
tidak diimbangi dengan sistem pertahanan enzimatik tubuh sehingga akan memicu
proses induksi kematian sel dan jaringan testis.
5,16
Telah dikenal beberapa obat-obatan untuk memperbaiki keadaan ischaemireperfusion injury (I-R) Obat-obatan seperti Calcium Channel Blocker, verapamil,
menjegah terjadinya injuri pada torsio testis unilateral. Jenis obat lain seperti
capsaicin
secara
efektif untuk
torsio
testis
unilateral
maupun pada testis kontralateral.
16,17
19
3,10
yang
Pembedahan
dilakukan
adalah
dengan cara insisi midlinepada pararahpe skrotalis atau dengan bilateral transverse
scrotal incisions. Setelah itu dilanjutkkan dengan menginsisi tunika vaginalis lalu
melakukan detorsi terhadap testis disertai dengan evaluasi terhadap viabilitas testis.
Apabila testis telah nekrosis maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan
tindakan orchiectomy. Perlu diwaspasdai terhadap kemungkinan terjadinya
proses autoimun
1 10
selama tindakan pembedahan. ,
orchiopexy
harus
selalu dilakukan saat pembedahan detorsi testis, agar dapat mencegah terjadinya
torsio testis pada testis kontralateral.
3.2.3 Komplikasi Torsio Testis
Terdapat banyak kemungkinan yang dapat terjadi akibat komplikasi dari
torsio testis. Komplikasi tersebut dapat berupa kematian jaringan testis, infeksi,
gangguan fertilitas, dan gangguan kosmetik.
Fungsi dari sistem eksokrin dan endokrin juga mengalami penurunan sebagai
akibat dari torsio testis. Penurunan fungsi ini diukur dari adanya abnormalitas analisa
semen yang dapat dipicu oleh karena adanya injuri yang berulang, keadaan patologi
yang terjadi di funikulus spermatikus karena torsio testis, atau dapat juga karena
perubahan patologi di kontralteral testis akibat retensi dari testis yang mengalami
torsio.
Gangguan fertilitas sebagai akibat dari komplikasi selain diakibatkan oleh karena
kematian sel dan jaringan testis juga diduga dikarenakan oleh mekanisme autoimun yang
menyerang tubulus seminiferous. Manifestasi dari proses ini akan menurunkan fertilitas
dari testis.
4.
EPISPADIA
5.
Penyakit ini juga dkenal sebagai penyakit polikistik infantile, ganguan autosom
resesif yang jarang ini mungkin tidak terdeteksi sampai sesudah masa bayi. Selain kista
pada ginjal, kista juga ditemukan didalam hati.
Patologi:
Kedua ginjal sangat membesar dan secara maskroskopis ditemukan banyak sekali kista
di seluruh korteks dan medulla. Pada sebgaian penderita juga terdapat kista di dalam hati,
pada kasus yang berat kista didalam hati dapat dihubungkan dengan sirosis, hipertensi
portal dan kematian karena ecahnya varises esophagus.
Manifestasi klinis :
Penderita mempunyai
massa pinggang bilateral pada saat lahir, gangguan ini
dihubungkan dengan oligohidramnion, karena janin tidak menghasilkan urin yang cukup.
Oligohidramnion ini dapat mengakibatkan sindrom potter.
Pemeriksaan :
Manifestasi klinis didukung dengan ultrasonografi yang menunjukkan pembesaran yang
nyata dan hiperekogenik ginjal yang seragam.
Pengobatan :
Pengobatan bersifat suportif, mencakup manajemen hipertensi yang cermat.
Prognosis :
Anak dengan pembesaran ginjal yang berat dapat meninggal pada masa neonates karena
insufisensi paru atau ginjal.
Sedangkan anak-anak yang mampu bertahan dapat hidp selama beberapa tahun sebelum
terjadi insufisensi ginjal.
Pada penderita fibrosis hati, sirosis dapat mengakibatkan hipertensi portal, karena
prognosisnya jelek.
6.
Jika tidak menimbulkan komplikasi, anomali ini tidak menunjukkan gejala dan terdeteksi
secara kebetulan melalui pemerikaan pencitraan kandung kemih. Jika menimbulkan keluhan
biasanya pasien mengeluhkan nyeri atau perasaan seperti ada massa di pinggang karena
adanya obstruksi pada uteropelvic junction atau reflek vesikoureter (VUR)
Jika tidak menimbulkan komplikasi, anomali ini tidak perlu diterapi dan hanya butuh kontrol
secara teratur berupa USG dan sintigrafi untuk melihat kemungkinan adanya penyulit.
Namun jika ada obstruksi utero pelvis diperlukan pyeloplasti.
7.
Malformasi Uterus
Uterus unicornis
Uterus unicornis dikenal juga dengan nama single horned uterus, yaitu uterus yang hanya
mempunyai satu "tanduk" sehingga bentuknya seperti pisang.(4)
Sekitar 65% wanita memiliki kelainan uterus unicornis yang mempunyai semacam tanduk
kedua lebih kecil.(4)
Terkadang "tanduk" kecil ini berhubungan dengan uterus dan vagina, tetapi yang sering
terjadi adalah terisolasi dan tidak berhubungan dengan keduanya.(4)
Uterus didelphis
Uterus didelphis adalah kelainan uterus yang memiliki "dua leher rahim". Sebagian besar
kasus ini mempunyai dinding yang memisahkan vagina menjadi dua bagian. Wanita
dengan kelainan ini tidak mengalami gejala apapun. (4)
Namun sebagian mengalami sakit ketika haid yang disebabkan karena adanya dinding
penyekat yang memisahkan vagina menjadi dua bagian. (4)
Uterus bikornis
Uterus bikornis adalah kelainan bentuk uterus seperti bentuk hati, mempunyai dinding di
bagian dalamnya dan terbagi dua di bagian luarnya. Jika hamil, wanita yang memiliki
bentuk rahim ini akan mengalami kelainan letak, yaitu janin sering dalam keadaan
melintang atau sungsang.(4)
Namun, wanita yang mempunyai kelainan ini masih mempunyai kesempatan melahirkan
anak, walaupun risiko tinggi untuk mengalami inkompetensia serviks keadaan leher rahim
yang lemah sehingga mudah terbuka.(4)
Uterus Septus
Septate uterus adalah kelainan uterus yang sebagian atau seluruh dindingnya terbelah
seolah-olah mempunyai sekat menjadi dua bagian. Padahal bagian luar terlihat normal.(4)
Kelainan ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan dalam, tetapi terkadang tidak diketahui
sampai wanita tersebut mengalami gangguan kehamilan seperti sulit hamil atau sering
keguguran berulang.(4)
Uterus Arkuata
Arcuate uterus ini mempunyai rongga uterus tunggal dengan fundus uteri cembung atau
flat. Bentuk ini sering dianggap sebagai varian normal karena tidak meningkatkan risiko
keguguran dan komplikasi lain.(4)
Kelainan DES
Pejanan in utero terhadap dietilstilbestrol (DES) terjadi pada individu yang lahir pada
tahun 1940-1972 yang ibunya diberi estrogen sintetis untuk mencegah keguguran. DES
kemudian terbukti menyebabkan kelainan kongenital pada wanita, dan pada derajat yang
lebih rendah, juga pada pria.(4)
Kelainan pada wanita yang paling sering adalah bentuk serviks yang abnormal. Serviks ini
digambarkan seperti mangkuk, peci, atau hipoplasia. Susunan otot-otot uterus juga
mengalami kelainan pada wanita yang terpajan DES seperti rongga uterus berbentuk T
pada histerosalpingografi.(4)
DES tampaknya menyebabkan kelainan ini melalui aktivasi yang tidak sesuai pada gen
yang tergantung estrogen yang terlibat saat diferensiasi serviks dan sepertiga bagian atas
vagina bagian bawah.
Keadaan ini tidak hanya menyebabkan kelainan struktural pada serviks dan uterus, namun
juga menyebabkan menetapnya epitel kelenjar serviks pada vagina (adenosis vagina).(4)
8.
DSD
2. Epidemiologi
Insidensi DSD adalah 1 : 4.500 1 : 5.500 bayi lahir hidup. Dimana sebanyak
Hermafrodit sejati.
Pada hermafrodit sejati, jaringan ovarium dan testes dapat ditemukan sebagai pasangan
yang terpisah atau kombinasi keduanya di dalam gonad yang sama dan disebut sebagai
ovotestis.
separo sifat menurun dan penderitanya bisa laki-laki dan perempuan yang mendapatkan
kedua paroan gen abnormal tersebut dari kedua orang tuanya.
a. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai :
b. Pemeriksaan jasmani
Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh atau tidak.
c. Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium
Analisis kromosom.
Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17
OH progesteron.
Pemeriksaan elektrolit seperti Natriurn dan Kalium.
o Pencitraan
USG pelvis : untuk memeriksa keadaan genital interna.
Genitografi untuk menentukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak.
Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan
ada/ tidaknya organ yang berasal dari dari saluran Muller.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan genitalia ambigua meliputi penentuan jenis kelamin (sex
assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara
pembedahan, dan psikologis. Oleh karena itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah
dilakukan sejak tahap awal diagnosis yang meliputi bidang : Ilmu Kesehatan Anak,
Bedah Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri, Genetika klinik,
Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, dan Bagian hukum Rumah
Sakit/Kedokteran forensik.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Potensi fertilitas
Kapasistas fungsi seksual
Fungsi endokrin.
Perubahan keganasan
Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
Faktor psikoseksual: gender identity (identitas gender), gender role (peran gender) dan
gender orientation (orientasi gender)
g. Aspek kultural
h. Informed consent dari keluarga.
7. Pengobatan
1) Pengobatan Endokrin
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong
perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi
(membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi dan masa tubuh) dengan
pemberian testosteron. Bila pasien menjadi perempuan maka tujuan pengobatan adalah
mendorong secara simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminim dan
2) Pengobatan penbedahan
Tujuan pembedahan rekontruksi pada genetalia perempuan agar mempunyai genetalia
eksterna feminim, sedapat mungkin seperti normal dan mengoreksi agar fungsi seksual
normal. Pada laki-laki tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan
merubah letak uretra yang tidak berada pada tempat normal ke ujung penis.
3) Pengobatan psikologis
Sebaiknya semua pasien interseks dan anggota keluarga di pertimbangkan untuk di
berikan konseling. Yang sangat penting adalah yang memberikan konseling harus sangat
familier dengan hal yang berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks.