Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 3.1 Minggu 1


Kelompok 20 D
1.

Tuti Irma Rahayu

1410311045

2.

Lintang Sekar Sari

1410312070

3.

Netty Triani Putri

1410312031

4.

Dwininta Alfathika

1410312028

5.

Dita Viviant Sagith

6.

Norma Sartika Y.

7.

Taufik Rachman

1410312082

8.

Riko Janukardi

1410312064

9.

MHD. Igo

1410311125
1410311024

1410311039

A. Terminologi
1. Konsanguitas

: Perkawinan antara dua individu yang masih memiliki


kedekatan hubungan kekerabatan atau garis keturunan.

2. Pedigree

: Diagram yang menunjukkan garis keturunan dari leluhur.

3. Skrotum bifidum

: Skrotum yang memiliki dua belahan.

4. Microphallus
dan

: Panjang penis < 2,5 cm jika diukur sepanjang dorsal penis


direganggkan secara maksimal sampai pubis.

5. Hypospadia

: Muara uretra terletakkan dibawah atau ventral.

6. Chordae

: Suatu pita jaringan fibrosa pada sisi ventral penis sehingga


membentuk curvatura.

7. Karyotiping

: proses pairing and ordering semua kromosom pada sebuah


organisme sehingga, memberikan potret yang luas dari
kromosom individu.

8. Ambiguitas

: Meragukan dan dapat diartikan dengan hermafrodit.

9. Genitografi

: Pemeriksaan secara radiografi menunjukkan gambaran


anatomi traktus genitalia bagian dalam.

10. SRY gene

: Gen yang terdapat pada kromosom.

11. Antimullerian hormon : Hormon yang menghambat perkembangan dihasilkan oleh


sel
sertoli.
A. Rumusan Masalah
1. Mengapa ferdi buang air kecil jongkok?
2. Apa hubungan keadaan lahir dan keadaan sekarang?
3. Mengapa ada keraguan jenis kelamin dan mengarah ke laki-laki?
4. Apa ada hubungan konsanguitas dan pedigree keluarga ?
5. Bagaimana hubungan usia dengan kondisi saat ini ?
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan genitalia?
7. Mengapa dokter merujuk ke RS M. Djamil?
8. Mengapa dilakukan analisa kromosom pada Ferdi ?

9. Bagaimana mekanisme pemebentukan genitalia laki-laki dan perempuan ?


10. Kejadian apa yang menyebabkan ambiguitas?
11. Mengapa perlu dilakukan pemeriksaan genitografi, SRY gene dan AMH?
12. Mengapa tetap dilakukan pemeriksaan penunjang padahal sudah dilakukan
pemeriksaan kromosom?
13. Apa pemeriksaan yang lain yang bisa dilakukan?
14. Mengapa perlu tim disiplin ?
15. Apakah semua pemeriksaan harus dilakukan?
B. Analisa Masalah
1. Ferdi buang air kecil jongkok bisa jadi dikarenakan kebiasaan yang diterapkan
orang tuanya atau terjadi kelainan pada orificium uretranya. Hal ini dikarenakan
orificium uretranya keluar melalu bagian ventral penis bukan pada bagian distal.
Sehingga ferdi kesulitan untuk buang air kecil dan sering kali membasahi
celananya, jika ia buang air kecil berdiri.
2. APGAR Baik Karena langsung menangis.
Menilai apakah ia prematur atau tidak. Karena jika prematur, memiliki prevalensi
hipospadia yang tinggi. Bayi dengan berat badan lahir rendah, hypospadia
meningkat.
3. Pada saat dalam bentuk janin, jenis kelamin manusia hermafrodit pada Minggu ke
4. Lalu pada Minggu ke 6 mulai berdifferensiasi menjadi laki-laki atau
perempuan. Pada kasus ini bisa jadi terjadi kelainan dikarenakan adanya
gangguan perkembangan, yang disebabkan oleh gen tertentu, hormon dan faktor
eksternal lainnya.
4. Ada, di mana pada perkawinan konsanguitas biasanya gen yang memiliki sifat
resesif akan mudah diturunkan. Karena biasanya gen resesif akan menyebabkan
kelainan genetik. Dan ini rentan terjadi pada kasus keluarga dengan perkawinan
konsanguitas.
5. Hubungan usia dengan kejadian saat ini, di mana semakin besar seorang anak
maka semakin tinggi kejadian terjadinya gangguan psikososial pada anak tersebut.
6. Hasil Interpretasi pemeriksaan genitalia, terdapat skrotum bifidum yang berarti
kelainan sudah diikuti dengan kelainan pada skrotum. Biasanya muara orificium
sudah mengarah pada bagian perineal. Ditemukan microphallus, yang merupakan
ciri-ciri dari DSD.
7. Karena dokter curiga bahwa ini tidak hanya hipospadia biasa tetapi juga merukan
DSD. Sehingga perlu ditinjau lebih lanjut.

8. Untuk mengetahui secara pasti apa jenis kelamin dari anak tersebut, serta
menentukan penatalaksanaan lebih lanjut dari kasus tersebut.
9. Mekanisme pembentukan genitalia laki-laki dan perempuan dimulai dengan
bekerjanya gene SRY pada genitalia laki-laki yang memunculkan adanya hormon
antimullerian. Dengan adanya hormon tersebut makan ductus muller akan tertutup
dan ductus wolfii berkembang. Sebaliknya jika tidak terdapat gene SRY maka
ductus muller akan berkembang dan membentuk jenis kelamin perempuan.
10. Yang dapat menyebabkan ambiguitas adalah genetik, hormon dan faktor eksternal
lainnya.
11. Untuk menegakkan benar diagnosis dari penyakit anak tersebut.
12. Tidak semuanya, tergantung jenis penyakitnya.
13. USG, pemeriksaan patologi anatomi dan lainnya tergantung keluhan dan kelainan
yang ditemukan.
14. Karena untuk mengobati ini tidak hanya diperlukan peran ahli bedah, namun juga
anak untuk mengobati penyakit anaknya, lalu psikolog untuk memperbaiki
gangguan psikososialnya dan perlu ahli hormon.
15. Tidak, tergantung penyakitnya.
C. Skema

D. Learning Objective
1. Perkembangan urogenital
2. Phimosis dan paraphimosis
3. Torsio testis dan UDT

4. Hipospadia dan Epispadia


5. Ginjal Polikistik
6. Ginjal Tapal Kuda
7. Malformasi Uterus
8. DSD
E. Pembahasan
1. Perkembangan Urogenital
EMBRIOLOGI SISTEM URINARIUS
A. Pembentukan unit-unit ekskresi
Pada permulaan minggu ke 4, mesoderm intermedia di daerah servical terputus
hubungannya dengan somit, sehingga membentuk kelompok-kelompok sel yang
tersusun secara segmental (nefrotom). Di daerah thoraks, lumbal, dan sakral.
Mesoderm intermedia:
1. Terputus hubungannya dengan rongga selom
2. Sistem segmentalnya menghilang
3. Membentuk 2, 3 atau lebih saluran ekskresi pada setiap segmen
Mesoderm intermedia yang tidak mengalami segmentasi akan membentuk korda
jaringan nefrogenik, yang akan menghasilkan tubulus ekskretorius (ginjal) pada
semua sistem ginjal dan membentuk rigi-rigi longitudinal bilateral => rigi-rigi
urogenital, pada dinding dorsal rongga selom.
B. Sistem ginjal
Pada manusia terdapat 3 proses pembentukan ginjal:
1. Pronefros
Proses yang digambarkan oleh 7-10 kelompok sel padat di daerah leher.
kelompok yang pertama membentuk nefrotom vestigium yang menghilang
sebelum nefrotom yang di sebelah kaudal terbentuk. pada akhir minggu 4,
semua
tanda
sistem
pronefros
menghilang.
2. Mesonefros
Mesonefros dan salurannya berasal dari mesoderm intermedia (dari segmen dada
bagian atas lumbal bagian atas L3). Pada minggu ke 4, sistem mesonefros mulai
tampak. Saluran ini memanjang dengan cepat, membentuk sebuah gelung yang
berbentuk huruf S dan terdapat glomerolus diujung medialnya dan membentuk
simpai bowman. Simpai bowman + glomerolus => korpuskulus mesonefrikus
(ginjal). Di sebelah lateral, saluran yang bermuara pada saluran pengumpul
memanjang => duktus mesonefrikus/duktus wolf. Pada pertengahan minggu ke 2,
mesonefros membentuk organ bulat telur yang besar (terdapat di kiri dan kanan
garis tengah). Pada medial mesonefros terdapat gonad, sehingga rigi-rigi yang
dibentuk ke 2 organ besar tadi disebut rigi urogenital.
3. Metanefros(ginjaltetap)
Proses ini tampak minggu ke 5. Satuan-satuan ekskresi berkembang dari
mesonefros metanefros dan akan berfungsi pada trimester pertama.

C. Sistem Pengumpul
Berkembang dari tunas ureter (tonjolan saluran mesonefros yang di dekat muara
kloaka). Tunas ureter menembus jaringan metanefros yang menutup ujung distalnya
sebagai topi. Tunas melebar membentuk piala ginjal (pelvis renalis) primitif dan
terbagi menjadi kranial dan kaudal membentuk kalises mayores.
Ssambil terus menembus lebih jauh ke dalam jaringan metanefros, tiap-tiap kaliks
akan membentuk 2 tunas baru, dan akan terus membelah hingga terbentuk 12
generasi saluran atau lebih. Sementara itu, di bagian tepi, terbentuk lebih banyak
saluran hingga akhir bulan ke 5. Saluran generasi ke 2 membesar dan menyerap
masuk saluran generasi ke 3 dan ke 4, sehingga terbentuklah kalises minor piala
ginjal. Pada perkembangan selanjutnya, saluran generasi ke 5 dan seterusnya sangat
memanjang dan menyebar dari kaliks minor dan membentuk piramida ginjal. Dengan
demikian, tunas ureter membentuk ureter, piala ginjal, kalises mayor dan minor, dan
kurang lebih 1-3 juta saluran pengumpul.
D. Sistem Eksresi
Tiap-tiap saluran yang baru terbentuk akan ditutupi topi jaringan metanefrik
diujungnya. Sel-sel topi jaringan ini membentuk gelembung-gelembung kecil vesikel
renalis, yang akan menjadi saluran-saluran kecil, yang bersama-sama berkas kapiler
dikenal sebagai glomeruli, membentuk nefron/ satuan eksresi. ujung proksimal
masing-masing nefron membentuk simpai bowman, yang didalamnya berisi
glomerulus. sedangkan ujung distalnya membentuk hubungan terbuka dengan salah
satu saluran pengumpul, sehingga terbentuk jalan penghubung dari glomerulus ke
salah satu saluran pengumpul. pemanjangan saluran ekskresi terus menerus
mengakibatkan pembentukan tubulus kontortus proksimal, ansa henle, dan tubulus
kontortus distal. Ginjal berkembang dari 2 sumber yang berbeda :
1. Mesoderm metanefros yang akan membentuk satuan eksresi.
2. Tunas ureter yang membentuk sistem pengumpul.
Pada saat lahir, ginjal berlobulasi. Selama masa anak-anak, gambaran lobulasi
menghilang karena pertumbuhan nefron lebih lanjut. Akan tetapi, jumlahnya tidak
bertambah.
E. Posisi Ginjal
Ginjal yang semula terletak di daerah panggul akan bergeser kedudukannya lebih ke
kranial ke rongga perut. Naiknya ginjal disebabkan oleh kurangnya kelengkungan
maupun pertumbuhan tubuh di daerah lumbal dan sakral. Di panggul, metanefros
menerima aliran darah dari sebuah cabang panggul dari aorta. Dalam perjalanan naik
ke rongga perut, ginjal diperdarahi oleh pembuluh-pembuluh nadi yang berasal dari
aorta yang letaknya semakin meninggi. Pembuluh-pembuluh yang lebih rendah
biasanya akan berdegenerasi.
F. Fungsi Ginjal
Metanefros baru berfungsi pada akhir trimester pertama. Air kemih mengalir ke
rongga amnion dan bercampur dengan cairan amnion. cairan ini ditelan oleh janin dan
memasuki saluran pencernaan untuk diserap ke dalam aliran darah dan berjalan
melewati ginjal untuk kembali diekskresi ke dalam cairan amnion. Selama masa
janin, ginjal tidak berfungsi untuk ekskresi bahan-bahan sisa, karena plasenta
menjalankan fungsi ini.
G. Kandung Kemih dan Uretra
Selama perkembangan minggu 4 sampai 7, septum urorektal membagi kloaka
menjadi saluran anorektal dan sinus urogenitalis. Selaput kloaka terbagi menjadi

membrana urogenitalis di anterior dan membrana analis di posterior. Tiga bagian


sinus urogenitalis primitif dapat dibagi menjadi:
1. Kandung kemih : Pada awalnya, kandung kemih berhubungan langsung dengan
allantois, tetapi setelah allantois tertutup, maka yang tersisa hanya korda fibrosa
yang tebal (urakus) dan korda ini menghubungkan puncak kandung kemih
dengan umbilikus. Pada orang dewasa, dikenal sebagai ligamentum umbilikus
medial.
2. Sinus urogenitalis bagian panggul : Berupa saluran yang agak sempit yang pada
pria membentuk uretra pars prostatika dan pars membranosa.
3. Sinus Urogenitalis Tetap (sinus urogenitalis bagian penis) : merupakan bagian
yang sangat memipih ke samping dan terpisah dari dunia luar oleh membrana
urogenitalis (perkembangan urogenitalis berbeda pada kedua jenis kelamin).
Selama pembagian kloaka, bagian kaudal duktus mesonefros berangsur-angsur
diserap ke dalam dinding kandung kemih, sehingga ureter masuk ke kandung kemih
secara tersendiri. Sebagai akibatnya, ginjal naik, muara ureter bergerak lebih ke
kranial, duktus mesonefros bergerak saling mendekat masuk ke uretra pars prostatika
dan pada pria menjadi duktus ejakulatorius. Duktus mesonefros dan ureter berasal
dari mesoderm, sehingga selaput lendir kandung kemih yang di bentuk kedua saluran
itu juga berasal dari mesoderm. lalu, lapisan mesoderm segitiga tadi diganti oleh
epitel endoderm, sehingga seluruh permukaan dalam kandung kemih dilapisi oleh
epitel endoderm.
Uretra
Epitel uretra pria dan wanita berasal dari endoderm,. Sedangkan jaringan
penyambung dan jaringan otot polosnya berasal dari mesoderm splangnik. Pada akhir
bulan ketiga, epitel pars prostatika mulai berploriferasi dan membentuk sejumlah
tonjol keluar yang menembus mesenkim di sekitarnya. Pada pria, tunas-tunas ini
membentuk kelenjer prostat dan pada wanita membentuk kelenjer uretra dan kelenjer
parauretra.
EMBRIOLOGI SISTEM GENITALIA
Gonad Primitif
Gonad berkembang dari struktur genital atau gonadal ridges, yaitu suatu tonjolan di
medial mesonefros.2 Primordial germ cell (PGC) yang pada mulanya terdapat di
antara sel endoderm dinding yolk sac, pada awal minggu ke-5 bermigrasi secara
amuboid menuju gonad primitif dan mulai menginvasi gonadal ridges pada minggu
ke-6. Migrasi PGC menginduksi epitel genital ridge berproliferasi dan menembus
mesenkim di bawahnya membentuk struktur irreguler yang disebut korda seks
primitif. Karena masih belum dapat dibedakan apakah struktur reproduksi tersebut
pria atau wanita, maka gonad ini disebut gonad indiferen.

Di samping belum dapat dibedakan jenisnya, embrio ini juga memiliki potensi untuk
berkembang menjadi pria maupun wanita. Di sekitar gonadal ridges, terdapat struktur
duktus wolffian atau duktus mesonefrik yang kelak menjadi saluran reproduksi pria,
juga duktus mullerian atau duktus paramesonefrik yang kelak menjadi saluran
reproduksi wanita. Namun secara genetis, jenis kelamin manusia telah dapat
ditentukan sejak saat fertilisasi. Keberadaan protein SRY yang dikode oleh gen SRY
(sex-determining region on Y) pada lengan pendek kromosom Y (Yp11) menentukan

arah perkembangan gonad.1,2 Oleh karenanya gen ini disebut sebagai master swich.2
Protein SRY merupakan testis-determining factor, sehingga apabila terdapat protein
SRY, akan terjadi perkembangan ke arah pria, sebaliknya jika tidak ada, akan terjadi
perkembangan ke arah wanita.

Perkembangan ke Arah Pria


Ketika gen SRY diekspresikan, korda seks primitif akan terus berproliferasi dan
menembus dalam ke medula untuk membentuk korda medularis atau testis. Di bagian
hilus, korda membentuk rete testis. Pada perkembangan selanjutnya, korda testis akan
terpisah dari epitel permukaan oleh struktur jaringan ikat fibrosa padat yang disebut
tunika albugenia. Memasuki bulan ke-4, korda testis terdiri dari PGC dan sel
sustentakular sertoli yang berasal dari epitel permukaan kelenjar. Di antara korda
testis terdapat sel yang berasal dari mesenkim gonadal ridge yaitu sel interstisial
leydig. Perkembangan genitalia selain dipengaruhi oleh gen SRY juga dipengaruhi
oleh gen autosom yaitu SOX9, regulator transkripsi yang menginduksi diferensiasi
testis. Ketika gen SRY diekspresikan pada sekitar minggu ke-7, proteinnya
menyebabkan sel sertoli primitif di dalam testis mulai untuk berdiferensiasi. Sel
sertoli yang sedang berkembang menghasilkan hormon MIS (Mullerian-inhibiting
substance) yang menyebabkan apoptosis dari sel duktus paramesonefrik. SOX9 turut
berperan di sini dalam meningkatkan konsentrasi MIS. Sel leydig primitif mulai
menyekresikan hormon testosteron pada minggu ke-8 dikarenakan stimulasi dari
hormon hCG (human chorionic gonadotropin). Testosteron berperan dalam stimulasi
perkembangan duktus mesonefrik pada setiap sisinya untuk menjadi epididimis, vas
deferens, duktus ejakulatori, dan vesikula seminalis. Korda testis akan tetap solid
hingga pubertas dan membentuk lumen menjadi tubulus seminiferus. Tubulus ini
lantas menyatu dengan rete testis dan selanjutnya masuk ke duktus eferens yang
menghubungkan testis dengan duktus deferens. Sementara itu, kelenjar aksesori
seperti prostat dan cowper atau bulbouretral merupakan pertumbuhan keluar dari
endodermal uretra. Hampir seiring dengan perkembangan gonad dan duktus genitalia,
organ genitalia eksterna juga mengalami perkembangan. Pada minggu ke-3, sel
mesenkim dari primitive streak bermigrasi mengelilingi membrana kloakalis dan
membentuk sepasang lipatan kloaka. Di sebelah kranialnya, lipatan ini menyatu
membentuk struktur tuberkulum genitale. Sementara itu di bagian kaudal, lipatan ini
membentuk lipatan uretra di anterior dan lipatan anus di posterior. Pada pria, terjadi
pemanjangan tuberkulum genitale dengan cepat di bawah pengaruh berbagai
androgen yang disekresikan oleh testis. Hasil perpanjangan ini disebut phallus
(penis). Sementara itu, terjadi penebalan genital pada kedua sisi lipatan uretra yang
lantas membentuk penebalan skrotum. Struktur genital eksterna ini masih belum
dapat dibedakan antara pria dan wanita sampai usia kehamilan mencapai sekitar 8
minggu.

Perkembangan ke Arah Wanita


Pada embrio wanita, tidak terdapat kromosom Y tempat gen SRY berada. Karenanya
tidak terjadi inhibisi perkembangan dari struktur genitalia wanita. Ketika sudah
terbentuk gonad indiferen, epitel permukaan gonad pada wanita terus berproliferasi
membentuk korda kortikalis. Bagian medulanya tidak berkembang, digantikan
dengan stroma vaskular yang membentuk medula ovarium. Pada bulan ke-4, sel pada
korda kortikalis membentuk folikel yang mengelilingi PGC yang lantas berkembang
menjadi oogonia. Duktus paramesonefrikus yang tidak mengalami regresi,

berkembang menjadi struktur tuba uterina dan kanalis uteri. Saluran tersebut menyatu
di tengah dan membentuk korpus dan serviks uteri. Setelah ujung kaudal duktus
paramesoferikus mencapai sinus urogenitalis, tumbuh evaginasi sinus yang disebut
bulbus sinuvaginalis. Struktur tersebut berproliferasi membentuk lempeng vagina
yang solid. Pada minggu ke-5, telah terjadi kanalisasi sempurna dari vagina.
Perkembangan organ genitalia eksterna pada wanita dirangsang oleh hormon
estrogen. Tuberkulum genitale sedikit memanjang membentuk klitoris, lipatan uretra
membentuk labia minora. Penebalan genital yang pada pria menjadi skrotum, pada
wanita menjadi labia mayora. Pada tahap awal perkembangannya, tuberkulum
genitale pada wanita lebih besar dari pria, sehingga dapat terjadi kesalahan
identifikasi jenis kelamin.

3.

UDT dan Torsio Testes


3.1 UDT
Kriptorkismus adalah suatu keadaan di mana setelah usia satu tahun1,2 satu atau
kedua testis tidak berada di dalam kantong skrotum1-6, tetapi berada di salah satu
tempat sepanjang jalur desensus yang normal7-10.
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi
dan orchis yang dalam bahasa latin disebut testis8. Nama lain dari kriptorkismus
adalah undescended testis3-6,8,9,11-22, tetapi mesti dijelaskan lagi apakah yang
dimaksud sebagai kriptorkismus murni, testis ektopik8,16 ataupun pseudo
kriptorkismus8,21. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut
sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi
dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan
pseudokriptorkismus atau testis retraktil.8
Testis yang terletak tidak di dalam skrotum akan mengganggu spermatogenesis21,
meningkatkan kemungkinan terjadinya torsi dan keganasan9,23. Alasan utama kenapa
testis harus diturunkan adalah agar testis ini dan testis kontra lateral yang normal
tidak mengalami kerusakan pada tubulus seminiferus24 sehingga infertilitas dapat
dicegah3,5,6,11,15,18,19,24-6.
Insidens undescended testis pada bayi baru lahir adalah 36%25; 1,8% pada usia satu
bulan22,27,28 dan 1,5% pada usia 3 bulan28; serta 0,50,8% pada anak usia satu
tahun8,9. Pada bayi cukup bulan, 3% di antaranya menderita kriptorkismus18,29,30
dan pada bayi kurang bulan insidensnya lebih tinggi6,16,31, sekitar 33%18,30. Pada
bayi berat lahir rendah insidennya juga tinggi6,27.
Kriptorkismus unilateral insidensnya lebih banyak daripada yang bilateral7,10,28,32
dan lokasinya sebagian besar di kiri (52,1% kiri dan 47,9% kanan)33.
Kriptorkismus merupakan gangguan diferensiasi seksual yang paling sering terjadi
pada laki-laki11,18,27,34, pada penderita defisiensi gonadotropin seperti penderita

sindrom Kallman, Prader-Willi,Lawrence-Moon-Biedl, dan pada beberapa sindrom


dengan gangguan biosintesis testosteron9,10,32.
Di Inggris, insidens kriptorkismus meningkat lebih dari 50% pada 1965198533,35.
Baru-baru ini, dilaporkan meningkatnya angka kejadian kriptorkismus di Inggris,
Amerika Serikat, dan Amerika Selatan36. Di Bagian I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM
dari 19871993 didapatkan 82 anak dengan kriptorkismus9,23 sedangkan di Bagian I.
Kes. Anak FKUSU-RSUP H. Adam Malik Medan dari 19941999 didapatkan 15
kasus.
Untuk mereposisi testis ke dalam skrotum, dilakukan terapi hormonal dan
pembedahan. Walaupun masih diperdebatkan9,23,37, terapi hormonal tetap
digunakan sebelum intervensi bedah dilakukan5,9,23,25,31,38, karena diduga terapi
hormonal dengan HCG memfasilitasi terapi bedah16.
Hormon yang digunakan untuk terapi kriptorkismus antara lain Human Chorio
Gonadotropic Hormone(HCG), Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LHRH),
dan kombinasi LHRH dengan HCG9,23.
Terapi hormonal pada penderita kriptorkismus telah dilakukan sejak 1930 dengan
menggunakan substansi gonadotropin yang berasal dari urine wanita hamil.
Pengobatan yang dilakukan oleh berbagai ahli memberikan hasil yang bervariasi,
tergantung dari metode atau protokol pengobatan yang dipergunakan23. Tulisan ini
bertujuan untuk mengemukakan tentang kriptorkismus dan penatalaksanaannya.
Etiologi dan Patogenesis
Penyebab kriptorkismus mungkin berbeda antara satu kasus dengan yang lainnya39.
Namun, sebagian besar tidak diketahui penyebabnya22,40. Ada beberapa hal yang
berhubungan dengannya, yaitu :
1.

Disgenesis
gonadal
Banyak kasus kriptorkismus yang secara histologis normal saat lahir, tetapi testisnya
menjadi atrofi/disgenesis pada akhir usia 1 tahun dan jumlah sel germinalnya sangat
berkurang pada akhir usia 2 tahun2,10,16,21.
2.
Mekanis/kelainan
anatomis
lokal
Testis yang kriptorkismus sering disertai dengan arteri spermatika yang pendek8,
terganggunya aliran darah21, hernia6,15,17, kurang panjangnya vas deferens8,10,
abnormalnya ukuran kanalis inguinalis atau cincin inguinal superfisial, kurangnya
tekanan abdominal dan tarikan gubernakulum untuk mendorong testis ke cincin
inguinal10,30, serta adanya kelainan epididimis17.
3.
Endokrin/hormonal
Meliputi kelainan aksis hipotalamus-hifofise testis17,27,31 atau kurang sensitifnya
androgen17. Dilaporkan desensus testis tidak terjadi pada mamalia yang hipofisenya
telah diangkat8. Diduga terjadinya defisiensi androgen prenatal merupakan faktor

yang utama bagi terjadinya kriptorkismus5,7. Tingginya insidens undescended testis


pada bayi prematur, diduga terjadi karena tidak adekuatnya HCG menstimulasi
pelepasan testosteron pada masa fetus akibat imaturnya sel leydig dan aksis
hipotalamus-hifofise testis32. Ada laporan bahwa tidak aktifnya hormon Insulin-Like
Factor 3 (Insl3) sangat mempengaruhi desensus testis pada tikus. Insulin-Like Factor
3 (Insl3) diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi gubernakulum26.
4.
Genetik/herediter
Kriptorkismus termasuk di antara gejala-gejala berbagai sindrom malformasi yang
berhubungan dengan atau tanpa kelainan kromosom yang bersifat herediter8.
Dilaporkan adanya tiga anak bersaudara dengan kriptorkismus yang disertai dengan
defisiensi gonadotropin dan kongenital adrenal hipoplasia41. Corbus dan OConor
(1922) melaporkan beberapa generasi dalam satu keluarga yang menderita
kriptorkismus. Perrett dan ORourke (1969) menemukan delapan kasus kriptorkismus
unilateral kanan pada empat generasi dalam satu keluarga42.
5.
Nervus
genitofemoralis
Berkurangnya stimulating
substances yang
diproduksi
oleh
nervus
genitofemoralis17.
Mekanisme yang berperan dalam proses turunnya testis belum seluruhnya dapat
dimengerti. Adanya bukti bahwa untuk turunnya testis ke dalam skrotum,
memerlukan aksi androgen yang memerlukan aksis hipotalamus-hipofise-testis yang
normal8,9,11,23. Mekanisme aksi androgen untuk merangsang desensus testis tidak
diketahui8,9,11,23, tetapi diduga membantu pembentukan, pembesaran, dan proses
degenerasi prosessus vaginalis9,23. Diduga, organ sasaran androgen kemungkinan
adalah gubernakulum, suatu pita fibro muskular yang terkait pada testis-epididimis
dan pada bagian bawah dinding skrotum, yang pada minggu-minggu terakhir
kehamilan berkontraksi dan menarik testis ke dalam skrotum.
Klasifikasi
Kriptorkismus dapat diklasifikasi berdasarkan etiopatogenesis dan lokasi.
Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis:
1.

Mekanik/anatomik (perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis, dan lainlain)


2.
Endokrin/hormonal (kelainan aksis hipotalamus-hipofise-testis)
3.
Disgenetik (kelainan interseks multiple)
4.
Herediter/genetik
Klasifikasi berdasarkan lokasi:
1.
2.
3.

Skrotal tinggi (supra skrotal) : 40%


Intra kanalikular (inguinal) : 20%
Intra abdominal (abdominal) : 10%

4.

1.
2.
3.
1.

Terobstruksi : 30%
Ada juga yang memakai klasifikasi berdasarkan lokasi sebagai berikut 9,23: (1) Intra
abdominal; (2) Inguinal; (3) Preskrotal; (4) Skrostal; dan (5) Retraktil.
Diagnosis
Biasanya, orang tua membawa anak ke dokter dengan keluhan skrotum anaknya
kecil, dan bila disertai dengan hernia inguinalis dijumpai adanya pembengkakan atau
nyeri yang berulang20.
Anamnesa ditanyakan:
Pernahkah testisnya diperiksa, diraba sebelumnya di skrotum1,28.
Ada/tidak adanya kelainan kongenital yang lain seperti hipospadia, interseks,
prune-belly syndrom, dan kelainan endokrin lainnya1.
Ada/tidaknya riwayat kriptorkismus dalam keluarga1.
Pemeriksaan Fisik
Penentuan Lokasi Testis
Pemeriksaan testis pada anak harus dilakukan dengan tangan yang hangat pada posisi
duduk dengan tungkai dilipat atau dalam keadaan rileks pada posisi tidur. Kemudian
testis diraba dari inguinal ke arah skrotum dengan cara milking. Bisa juga dengan satu
tangan berada di kantong skrotum sedangkan tangan yang lainnya memeriksa mulai
dari daerah spina iliaka anterior superior (SIAS) menyusuri inguinal ke kantong
skrotum. Hal ini dilakukan supaya testis tidak bergerak naik/retraksi, karena pada
anak refleks kremasternya cukup aktif. Refleks ini akan menyebabkan testis bergerak
ke atas/retraktil sehingga menyulitkan penilaian1,9,23.
Penentuan posisi anatomis testis sangat penting dilakukan sebelum terapi, karena
berhubungan dengan keberhasilan terapi9. Karena, sebagian dari penderita
mempunyai testis yang retraktil yang kadang-kadang tidak memerlukan terapi. Testis
yang retraktil ini sudah turun pada waktu lahir, tetapi tidak ditemukan di dalam
skrotum pada pemeriksaan, kecuali bila anaknya dalam keadaan rileks9.

1.
2.

Ditentukan apakah testisnya palpable atau impalpable1,27,28,30


Bila palpable, kemungkinannya adalah28: retraktil testis; undescended
testis; ascending testis syndrom (testisnya di dalam skrotum atau retraktil, tetapi
kemudian menjadi letak tinggi karena pendeknya spermatic cord. Biasanya baru
diketahui pada usia 810 tahun) atau ektopik testis (desensus testisnya hanya normal
sampai di kanalis inguinalis, tetapi kemudian menyimpang ke perineum atau ke the
femoral triangle.
3.
Kalau impalpable, kemungkinannya adalah testisnya bisa berada di intra
kanalikular1, di intra abdominal1,28, testisnya lebih kecil28,30, atau testisnya tidak
ada sama sekali1,28. Pada testisimpalpable, sering disertai hernia, kelainan duktus,
dan sering berdegenerasi menjadi ganas30. Pada bayi merupakan risiko tinggi adanya

kelainan seperti interseksual, prune belly syndrom. Ini harus segera dirujuk untuk
pemeriksaan analisis kromosom dan endokrin28.
4.
Pemeriksaan teliti dilakukan untuk melihat adanya sindrom-sindrom yang
berhubungan dengan kriptorkismus, seperti sindrom Kleinefelter, sindrom Noonan,
sindrom Kallman, sindrom Prader Willi, dan lain-lain9,23. Dianjurkan melakukan
skrining pada saat lahir, usia 6 minggu, usia 8 bulan48, dan saat usia 5 tahun49. Pada
bayi kurang bulan, dianjurkan melakukan skrining pada usia 3 bulan karena
banyaknya turun testis pada usia 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang
cukup bulan.35
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada kriptorkismus bilateral yang impalpable50, diperiksa kadar testosteron pada usia
4 bulan, karena bila lebih dari 4 bulan diperlukan uji stimulasi HCG untuk melihat
ada tidaknya testis. Pada uji HCG, penderita diberikan suntikan 1500 IU HCG
intramuskular setiap hari selama 3 hari berturut-turut. Sebelum dan 24 jam setelah
penyuntikan HCG, diperiksa kadar testosteron plasma. Bila didapatkan peningkatan
kadar testosteron yang bermakna, berarti terdapat testis pada penderita8,23,37. Bila
tidak ada respons serta kadar FSH dan LH meningkat, dicurigai adanya anorchia
kongenital2,22,50.
1.
Pemeriksaan Radiologis
Ultrasonografi
Sudah digunakan untuk mendeteksi kasus Kriptorkismus oleh ahli radiologi dan
klinisi sejak 1970. Keuntungannya adalah fasilitas pemeriksaan USG mudah didapat,
bebas radioaktif, non-invasif, praktis, dan relatif murah51. Pemeriksaan ini
dianjurkan untuk testis yang berlokasi di kanalis inguinalis8 dan terhadap testis yang
besar yang terletak di Juxta vesikal30. Firman K51 meneliti dengan memakai USG di
subbagian pencitraan I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM selama 6 bulan (Januari 1994
sampai Juni 1994) terhadap 21 pasien. Ternyata, hanya 2 (9,5%) yang berhasil
ditemukan lokasi testisnya, yaitu di daerah inguinal sedangkan pemeriksaan CT
Scanning tidak dilakukan. Angka keberhasilan ini masih jauh berbeda dengan
penelitian di luar negeri, yang antara lain dilakukan oleh Madrazo B.L. dan Klugo
R.C. (60%),52 serta Michael K., Erik H. dan Elisabeth H. (65%)53.
CT scanning
Pemeriksaan ini mempunyai akurasi yang lebih tinggi terhadap testis yang lokasinya
di intra abdominal dan sudah dibuktikan pada saat operasi53.
MRI

Dilakukan bila hasil pemeriksaan USG meragukan51.


Angiografi dilakukan terhadap kasus yang telah dilakukan eksplorasi inguinal, tetapi
tidak dijumpai testis12.

1.

1.
2.

1.

2.

3.

4.

Intravena urografi dikerjakan secara selektif pada kasus yang dicurigai adanya
kelainan saluran kemih bagian atas, karena 10% kasus didapati horse shoe
kidney, renal hipoplasia, ureteral duplikasi, hidro ureter, dan hidronefrosis7.
Venografi gonadal selektif dilakukan pada testis impalpable dimana telah dilakukan
eksplorasi lokal di inguinal, retro peritoneal, dan intra abdominal, tetapi tidak
ditemukan testis atau spermatic vessel-nya buntu serta pada kasus yang reoperasi30.
Laparoskopi
Dilakukan pada usia 1 tahun2 sebagai diagnostik yang paling akurat28 untuk
mengetahui lokasi testis sebagai petunjuk untuk melakukan insisi pembedahan, untuk
melihat apakah testisnya normal54, apakah vas spermatika buntu, atau adanya vassa
di dalam abdomen30. Sebagai terapeutik untuk mereposisi testis yang abnormal54.
Sebagian besar testis impalpable ditemukan pada operasi, paling tidak di anulus
inguinalis interna30.
Buccal smear atau analisa kromosom. Dilakukan selektif terhadap bayi
dengan undescendedbilateral yang impalpable21,28.
Biopsi. Dilakukan saat pembedahan terhadap testis yang berlokasi di intra
abdominal, yang disertai dengan kelainan genitalia eksterna atau kelainan kariotip55.
Diagnosis Banding
Retraktil testis3,4,6,7,15,20,27,28. Ini terjadi karena hiperaktifnya refleks
kremaster pada anak, sehingga testis bergerak ke kanalis inguinalis7,16,17,20,27,28.
Biasanya, retraktil ini bilateral27.
Anorchia bilateral. Pada keadaan ini, didapati peningkatan kadar gonadotropin
dengan testosteron yang rendah serta kurangnya respons terhadap stimulasi HCG atau
tidak ada sama sekali7.
Virilisasi dari Hiperplasi adrenal kongenital. Pada penderita wanita dengan
penyakit yang berat, terlihat seperti fenotip laki-laki dengan kriptorkismus bilateral.
Karena itu, diperlukan pemeriksaan buccal smear7.
Ektopik testis20.
Komplikasi
1. Hernia. Sekitar 90% penderita kriptorkismus menderita hernia inguinalis
ipsilateral7,17,20 yang disebabkan oleh kegagalan penutupan prosesus vaginalis7.
2. Torsi2,7,8,14,16,17,20. Terjadi karena abnormalnya jaringan yang menjangga testis
yang kriptorkismus7 dan tingginya mobilitas testis16 serta sering terjadi setelah
pubertas27.

3. Trauma7,14,20. Testis yang terletak di atas pubic tubercle mudah terjadi injuri oleh
trauma7.
4. Neoplasma. Testis yang mengalami kriptorkismus pada dekade ke-3 atau ke-42,16,
mempunyai kemungkinan keganasan 2030 kali lebih besar daripada testis yang
normal7,27. Kejadian neoplasma lebih besar terhadap testis intra abdominal yang
tidak diterapi, atau yang dikoreksi secara bedah saat/setelah pubertas16, bila
dibandingkan dengan yang intra kanalikular10,27. Neoplasma umumnya jenis
seminoma2,7,8,16-8,21. Namun, ada laporan bahwa biopsi testis saat orchiopexy akan
meningkatkan risiko keganasan17,34,56,57.
5. Infertilitas. Kriptorkismus bilateral yang tidak diterapi akan mengalami infertilitas
lebih dari 90% kasus, sedangkan yang unilateral 50% kasus7. Testis yang berlokasi di
intra abdominal dan di dalam kanalis inguinalis, akan mengurangi spermatogenik,
merusak epitel germinal20.
6. Psikologis. Perasaan rendah diri terhadap fisik atau seksual12,20 akibat tidak
adanya testis di skrotum16.
Dasar Pertimbangan Terapi Hormonal
Turunnya testis dipengaruhi oleh aksis hipotalamus hipofise testis. Oleh karena itu,
digunakan terapi hormonal HCG dan LHRH untuk pengobatan kriptorkismus27. Di
samping itu, terapi hormonal akan meningkatkan rugocity skrotum1, ukuran
testis1,12,15, vas deferens1, memperbaiki suplai darah1,12, diduga meningkatkan
ukuran dan panjang vessel spermatic cord, serta menimbulkan efek kontraksi otot
polos gubernakulum untuk membantu turunnya testis20. Terapi hormonal sebaiknya
diberikan pada kriptorkismus yang palpable1.
Bila kriptorkismus ini diobati sebelum usia 2 tahun maka fertilitas yang didapatkan
berkisar 87%,58 kalau tidak diobati setelah usia 3 tahun maka terjadi penurunan
jumlah sel germinal27, spermatogonia27,59, dan sel Leydig27. Jika tidak diturunkan
sebelum pubertas, menyebabkan germinal hipoplasia dan mengakibatkan
hipospermatogenesis8. Bila diturunkan sewaktu pubertas, 30% menjadikan
spermatogenesis yang akseptable. Sedangkan bila diturunkan setelah pubertas maka
hasilnya hanya 13,5%8. Dari laporan ini, terlihat bahwa pengobatan dini sangat
penting dalam penatalaksanaan kriptorkismus. Dianjurkan agar terapi hormonal
dimulai sebelum usia 2 tahun1, dan sebaiknya pada usia 10 bulan sampai 24 bulan23.
Di Bagian I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM, terapi dimulai setelah anak berusia di atas
9 bulan, karena setelah usia 9 bulan hampir tidak didapatkan lagi penurunan testis
secara spontan9.
Human Chorio Gonadotropic Hormone
HCG ini mempunyai cara kerja seperti LH merangsang sel leydig untuk
memproduksi testosteron yang kemudian secara sendiri atau melalui Dihidrotestosteron (DHT) akan menginduksi turunnya testis9.

Schapiro B. (1931) melaporkan keberhasilan terapi HCG terhadap kasus


kriptorkismus31. Mosier H.D. (1984) menganjurkan untuk kasus kriptorkismus
inguinal bilateral, terapi HCG diberikan setelah anak berusia 45 tahun dengan dosis
1000-4000 IU, diberikan 3 kali seminggu selama 3 minggu60. Garagorri JM, Job JC,
Canlorbe, P, dan Chaussain JL (1982) melakukan penelitian terhadap 153 kasus
kriptorkismus dengan rentang usia 659 bulan, terdiri dari 109 unilateral dan 44
bilateral, diterapi dengan HCG dosis 5001500 IU I.M sebanyak 9 kali dengan selang
sehari. Penelitian ini melaporkan kegagalan terapi pada kelompok usia kurang dari 3
tahun dan usia 34 tahun masing-masing 81% dan 55%. Tingginya persentase
kegagalan terapi didapatkan pada kasus-kasus dimana dosis HCG < 1000 IU/m2 dan
tingginya lokasi testis59. Terapi HCG paling baik diberikan pada kriptorkismus
bilateral dengan lokasi testis dekat ke skrotum2,17, tidak dianjurkan untuk
kriptorkismus unilateral2, dan testis yang berlokasi di intra abdominal37 atau yang
letak tinggi59. Penulis lain menganjurkan untuk kriptorkismus bilateral diberi HCG
3300 units intra muskuler setiap selang sehari (3 X injeksi) dan untuk yang unilateral
diberikan 500 units intra muskuler, 3 kali seminggu selama 6,5 minggu (20 X
injeksi)7.
Terapi hormonal HCG secara injeksi tidak dilakukan tiap hari. Hal ini untuk
mencegah
desensitisasi
sel
leydig
terhadap
HCG
yang
dapat
menyebabkan steroidogenic refractoriness59 dan dosisnya jangan terlalu tinggi
karena dapat menyebabkan refrakternya testis terhadap stimulasi HCG, edema
interstisial testis, gangguan tubulus, dan efek toksik pada testis30.
Sebelum dan sesudah penyuntikan, diperiksa kadar testosteron untuk melihat fungsi
sel leydig dalam meningkatkan kadar testosteron plasma yang diperlukan untuk
proses penurunan testis. Jika tidak ada respons, penyuntikan dapat diulang 6 bulan
kemudian23. Kontra indikasi pemakaian HCG adalah kriptorkismus dengan hernia,
pasca operasi hernia, orchiopexy, dan testis ektopik30.
Luteinizing-Hormone-Releasing-Hormone
LHRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan maksud merangsang
hipotalamus untuk mengeluarkan LH dan FSH yang kemudian akan merangsang sel
Leydig untuk mengeluarkan testosteron yang berfungsi dalam proses penurunan
testis9,23. LHRH dengan dosis 3 x 400 ug intra nasal selama 4 minggu, menurunkan
testis secara komplit berkisar 3064% dari kasus dan desensus parsial antara 2543%
kasus31. LHRH intra nasal dengan dosis 11,2 mg/hari selama 4 minggu tidak
menimbulkan efek samping27.
Job JC, Gendrel D, Safar A, et al tidak mendapatkan manfaat yang berarti pada
penggunaan LHRH untuk meningkatkan kadar LH terhadap kasus kriptorkismus pada
kelompok usia 411 bulan61. Vliet GV, Caufriez A, Robyn C, Wolter R, meneliti 13
anak kriptorkismus unilateral (usia 1,88,5 tahun) dan 13 anak kriptorkismus bilateral

(usia 38,5 tahun) dimana tiap anak diberi LHRH (Hoechst, FRG 25 ug/m2) I.V
bolus 1 kali. Ternyata, didapati peningkatan kadar FSH basal dan respons FSH
terhadap LHRH sama pada kriptorkismus unilateral dan bilateral50. Pengobatan
dengan LHRH tidak dilakukan karena hasilnya kurang meyakinkan, tidak tersedianya
obat-obat tersebut9,10,27, serta potensinya di bawah HCG37.
Kombinasi LHRH dengan HCG
Terdapat hipotesis bahwa pemberian HCG dan atau LHRH dapat digunakan pada
anak dengan kriptorkismus62. Terapi kombinasi ini dilakukan untuk mengurangi
terjadinya relaps pada pengobatan dengan LHRH saja9,23 dan untuk kasus yang
testisnya di luar external inguinal ring38.
Waldschmidt J, EL Dessouky M, Friefer A (1987) memberikan LHRH sebanyak 3
kali sehari 400 g secara intranasal selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian HCG intra muskuler sebanyak 5 kali dengan selang sehari. Dosis HCG
yang dipakai sesuai dengan anjuran WHO, yaitu 5 kali 250 g (usia < 2 tahun), 5 kali
500 g (usia 35 tahun), dan 5 kali 1000 g (usia > 5 tahun). Didapatkan penurunan
testis sebanyak 86,4% sehingga penderita yang sangat memerlukan tindakan bedah
hanya 13,6%. Tetapi, setelah di-follow-up selama 2 tahun, sebagian penderita
mengalami relaps dan penurunan testis ini berkurang menjadi 70,6%63.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan pada tahap selama pengobatan, pada akhir
pengobatan, 1 bulan kemudian, 3 bulan kemudian, 6 bulan, dan 12 bulan
kemudian9,23. Penurunan testis dikatakan komplit bila testis desensus ke dalam
skrotum, dan dikatakan parsial bila turunnya testis dari abdomen atauinguinal
ring turun ke inguinal middle atau lebih rendah59.
Hasil penelitian kriptorkismus yang diberi terapi dengan HCG atau LHRH,
tergantung dari:
1.

Posisi testis sebelum pengobatan. Terapi hormonal lebih berhasil pada penderita
dengan lokasi testis di inguinal dibandingkan dengan intra abdominal64.
2.
Umur penderita saat pengobatan. Hasil terapi lebih baik pada anak-anak dengan
usia lebih besar dibanding anak usia lebih rendah64.
3.
Bilateral/Unilateral kriptorkismus. Terapi lebih berhasil pada penderita dengan
kriptorkismus bilateral. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih banyaknya ditemukan
penyebab kelainan anatomi pada kriptorkismus unilateral64.
4.
Kegagalan terapi hormonal disebabkan 80% kasus karena adanya kelainan
anatomis17.
Efek Samping
Sebelum pengobatan dimulai, kemungkinan terjadinya efek samping ini dijelaskan
kepada orangtua. Semua efek samping ini bersifat reversibel9,23. Efek samping
pengobatan HCG antara lain: Bertambahnya volume testis64; pembesaran

penis30,59,64; ereksi59,64; meningkatnya rugocity skrotum30; kadang-kadang


pertumbuhan rambut pubis30,64; pigmentasi30; serta gangguan emosi59,64.
Sedangkan LHRH tidak memberikan efek samping yang berarti9,23. Walaupun
banyak sekalicontroled trial pemakaian hormonal pada undescended testis dengan
hasil yang bervariasi, terapi hormonal tetap merupakan pilihan utama pengobatan
sebelum dilakukan tindakan operasi9,23,31,40.
Terapi Bedah
Terapi bedah dilakukan bila terapi hormonal tidak berhasil1,5,10,27,37, terjadinya
obstruksi, hernia yang potensial menimbulkan obstruksi1,10, atau dicurigai terjadinya
torsi1, testis yang lokasinya intra abdominal atau letaknya lebih tinggi di atas kanalis
inguinalis37. Tindakan bedah dilakukan bisa satu atau dua tahap7, tergantung
pada spermatic vessels apakah normal atau sangat pendek27. Tujuannya untuk
memobilisasi testis, adekuatnya spermatik, fiksasi testis yang adekuat ke dalam
skrotum62, dan operasi hernia yang menyertainya7,27,28,30.
Indikasi orchiopexy (testis difiksasi kedalam skrotum) adalah testis yang lokasinya di
intra abdominal dengan tingkat kesulitan operasinya kecil16, dilakukan antara usia
1012 bulan17,25, dengan alasan merupakan saat berhentinya perubahan degeneratif
testis17, dan dokter bedah anak melakukannya secara elektif pada usia 14 tahun28,
serta ada yang menganjurkan sebelum usia pubertas5,25. Orchiopexy dilakukan untuk
memperbaiki spermatogenesis, menurunkan risiko keganasan, dan alasan
kosmetik4,28. Orchidectomy (testis di eksisi) dilakukan pada testis yang kecil di intra
abdominal1, unilateral65, dan yang mengalami atrofi hebat16.
Action Comitte on Surgery of the Genitalia27 dan sebagain penulis3,15
merekomendasikan bahwaOrchiopexy sebaiknya dilakukan pada usia 12 bulan. Ini
didasarkan bahwa pada usia 12 bulan terjadi penurunan spontan testis sebanyak 75%
kasus dan minimalnya risiko anestesi.
Bila terapi bedah dilakukan pada usia lebih dini, akan meningkatkan risiko iatrogenik
atrofinya testis59, dan bila dilakukan pada usia setelah pubertas akan menurunkan
jumlah sperma serta terbentuknya antibodi antisperma34. Komplikasi dari terapi
bedah berupa trauma vasa sekitar 12% kasus, dan atrofinya testis30 yang disebabkan
oleh terganggunya aliran darah25.
3.2 Torsio Testis

Torsio testis adalah keadaan terpuntirnya funikulus spermatikus sehingga


mengakibatkan terhentinya aliran darah yang mendarahi testis. Nyeri sesisi pada
skrotum dengan onset yang tiba tiba biasanya merupakan gejala

yang

mengindikasikan torsio testis karena diperkirakan sekitar setengah dari angka


kejadian torsio testis diawali dengan nyeri testis

24

. Dengan demikian diperlukan

eksplorasi penegakkan diagnosis torsio testis di setiap keadaan nyeri skrotum akut.
22
Setiap tahunnya, 4,5 dari sekitar 100.000 laki-laki dengan usia kurang dari
25, terutama pada usia 13-16 tahun, memiliki potensi untuk memiliki torsio testis
3,10

. Diperkirakan bahwa keadaan testis yang terpuntir hanya memiliki kurang

lebih 6 jam
untuk bertahan. Apabila diterapi dalam waktu kurang dari 6 jam, maka
kemungkinan keberhasilan terapi adalah 90-100%. Bila dilakukan dalam waktu 612 jam, keberhasilan terapi akan menurun menjadi 50%, dan bila dilakukan lebih
dari 12 jam maka keberhasilan terapi hanya menjadi 20% .
Oleh karena itu torsio testis merupakan suatu keadaan emergency, sehingga
membutuhkan

diagnosis

dan

tatalaksana

menyelamatkan testis dan mencegah infertilitas.

yang

cepat

dan

tepat

untuk

11

Diagnosa bandingnya dalah semua keadaan darurat dan akut di dalam


skrotum seperti hernia inkaserata, orkitis akut, epididymitis akut, dan torsio hidatid
morgagni.

Gambar 2.Torsio Testis, dikutip dari de Jong

A.

Lonceng dengan bandul (perumpamaan)

28

B.

Dasar anatomik torsio testis: (1) funikulus spermatikus yang panjang


dan bebas di dalam tunika vaginalis, (2) testis terletak horizontal di
dalam tunika vaginalis, (3) tunika vaginalis.

C.

Keadaan torsio sewaktu operasi: (1) tunika vaginalis telah dibuka, (2)
funikulus yang mengalami torsi

Kedaan setelah testis dipuntir kembali: (1) perdarahan ternyata baik

D.

kembali, (2) fiksasi untuk mencegah kekambuhan


Torsio hidatid morgagni atau apendiks testis.

E.

3.2.1

Etiologi Torsio Testis


Penyebab dari keadaan torsio adalah tidak adekuatnya fiksasi dari testis dan

epididymitis ke skrotum atau dikenal dengan istilah bell clapper deformity. Bell
clapper deformity adalah satu-satunya kelainan anatomi yang menjadi faktor risiko
kejadian torsio testis. Namun, belum diketahui secara pasti apakah keadaan ini
berkaitan dengan kelainan perkembangan embrional dari skrotum, funikulus
spermatikus, dan testis atau berkaitan mesorchium yang panjang atau kriptokismus
testis.

12

. Kontraksi otot kremaster yang berlebihan juga dapat menyebabkan testis

dapat mengalami torsio. Keadaan-keadaan yang menyebabkan pergerakan yang


berlebihan itu antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak atau trauma yang
mengenai skrotum.

13

Selain berkaitan dengan kelainan anatomi, dalam beberapa penelitian terkini


menyebutkan bahwa faktor keturunan juga diperkirakan memiliki pengaruh sebesar
11.4% terhadap risiko terjadinya torsio testis. Faktor hormonal INSL3 dan reseptor
RXLF2 telah diduga menjadi gen penyebab munculnya keadaan torsio testis.
Keberadaan hormon dan reseptor ini menyebabkan atrofi testis yang berisiko
tinggi
terjadinya torsio testis secara tiba-tiba

14

3.2.2 Patofisiologi Torsio Testis


Pada neonatus, testis biasanya belum menempati cavum skrotum, dimana
nantinya akan melekat
dapat

kepada tunika vaginalis.

Pergerakan dari testis ini

menjadi faktor predisposisi terjadinya torsi tipe extravaginal. Penggabungan yang


inadekuat testis ke dinding skrotum biasanya dapat didiagnosa pada hari ke 7-10
kelahiran. Sedangkan pada kejadian torsio testis usia muda hingga dewasa dapat
terjadi dikarenakan perlekatan yang kurang kuat dari tunika vaginalis dengan otot
dan fascia yang membungkus funikulus spermatikus. Akibatnya, testis menjadi
lebih leluasa untuk berotasi di dalam tunika vaginalis, sehingga disebut juga torsi
tipe

intravaginal.

Kelainan

ini

biasa

disebut

sebagai

Bell

Clapper

29,30,31

Deformity.

Derajat torsi dari torsio testis mempengaruhi tingkat

keparahan dari

penyakit itu sendiri. Apabila testis terpuntir di antara 90-180 biasanya belum
terjadi gangguan aliran darah ke testis. Namun apabila testis telah terpuntir 360
atau lebih, maka akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi pembuluh darah baik
vena maupun arteri.Terjadinya oklusi pembuluh darah pada torsio testis
menimbulkan mekanisme ischemia-reperfusion injury(I-R) dan mediasi dari
reactive oxygen spesies (ROS) yang akan berlanjut menjadi keadaan iskemi
bahkan kematian jaringan testis.

14

3.2.2.1 Mekanisme Ischemia-Reperfusion (I-R)injury


Ischemia-Reperfusion Injury (I-R) pada torsio testis menyebabkan disfungsi
seluler dengan menginisiasi terjadinya apoptosis dan nekrosis jaringan testis
ditandai dengan serbukan sel radang. Reperfusi injuri adalah respon restorasi aliran
darah setelah terjadi iskemi. Namun, dengan adanya respon ini

justru

meningkatkan produksi dari zat-zat toxic pada sirkulasi darah di jaringan testis.

15

Kerusakan yang terjadi di jaringan testis juga turut memicu peningkatan


produksi dari radikal bebas salah satunya reactive oxygen species (ROS).
Peningkatan ROS terjadinya karena adanya kerusakan pada endotel. Keberadaan
ROS yang tinggi

tidak diimbangi dengan sistem pertahanan enzimatik tubuh sehingga akan memicu
proses induksi kematian sel dan jaringan testis.

5,16

Telah dikenal beberapa obat-obatan untuk memperbaiki keadaan ischaemireperfusion injury (I-R) Obat-obatan seperti Calcium Channel Blocker, verapamil,
menjegah terjadinya injuri pada torsio testis unilateral. Jenis obat lain seperti
capsaicin

secara

efektif untuk

mencegah apoptosis pada

torsio

testis

unilateral
maupun pada testis kontralateral.

16,17

3.2.2.2 Pengaruh Torsio Testis terhadap Testis Kontralateral


Pada keadaan torsio testis unilateral, testis kontralateral juga dalam keadaan
bahaya. Keadaan torsio yang lama atau lebih dari 4 jam dengan torsi 720 dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan di kedua testis atau dapat mempengaruhi testis
kontralateral. Kerusakan jaringan testis kontralateral diakibatkan oleh penurunan
aliran darah dan hipoksia jaringan testis akibat torsio testis yang terjadi unilateral.
18
Selain akibat penurunan aliran darah, penyebab lain yang mempengaruhi
testis kontralateral adalah tindakan detorsi testis unilateral. Disgenesis kongenital
dapat memicu reaksi serupa terhadap testis kontralateral ditunjukkan dengan
penemuan histopatologi dimana ditemukan peningkatan apoptosis pada testis
kontralateral. Proses autoantibodi testis juga terdeteksi pada testis kontralateral.

19

3.2.3. Manajemen Torsio Testis

Tindakan pertama yang harus dilakukan dalam tatalaksana torsio testis


adalah dengan cara detorsi testis baik secara manual maupun operatif. Dalam
rangka untuk menyelamatkan testis, perbaikan torsio harus dilaksanakan dalam
waktu 6 jam setelah

onset. Apabila tindakan terlambat, risiko kematian jaringan akan meningkat


sehingga perlu dilakukan orchiectomy dan menurunkan fertilitas.

3,10

Urgensi yang terjadi membuat detorsi diperlukan untuk memperbaiki aliran


darah. Manual detorsi dianjurkan untuk kejadian tori yang terjadi di luar periode
neonatal. Biasanya torsio testis terjadi ke arah medial sehingga dilakukan manual
detorsi dengan memutar testis ke arah lateral seperti membuka buku. Tindakan
manual detorsi harus didahului dengan observasi yang akurat supaya tidak
memperparah keadaan testis yang mengalami torsi.
Respon akan segera membaik apabila tindakan manual detorsi berhasil,
dengan demikian apabila respon memburuk dapat dijadikan suatu indikasi apabila
terjadi kesalahan arah saat melakukan tindakan detorsi manual. Satu tindakan
detorsi manual dapat mengurangi rasa sakit yang muncul tetapi belum dapat
memperbaiki kerusakan. Dengan demikian tindakan detorsi manual bukanlah
tatalaksana definitif dari torsio testis. Penggunaan ultrasound dapat meningkatkan
keakuratan tindakan detorsi testis.
Tindakan definitif dari torsio testis adalah pembedahan.
dilakukan untuk memperbaiki keadaan torsio. Cara

yang

Pembedahan

dilakukan

adalah

dengan cara insisi midlinepada pararahpe skrotalis atau dengan bilateral transverse
scrotal incisions. Setelah itu dilanjutkkan dengan menginsisi tunika vaginalis lalu
melakukan detorsi terhadap testis disertai dengan evaluasi terhadap viabilitas testis.
Apabila testis telah nekrosis maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan
tindakan orchiectomy. Perlu diwaspasdai terhadap kemungkinan terjadinya
proses autoimun
1 10
selama tindakan pembedahan. ,

Untuk mencegah kejadian berulang, diperlukan indakan fiksasi testis ke


dinding skrotum dengan nonabsorbable sutures. Contralateral

orchiopexy

harus

selalu dilakukan saat pembedahan detorsi testis, agar dapat mencegah terjadinya
torsio testis pada testis kontralateral.
3.2.3 Komplikasi Torsio Testis
Terdapat banyak kemungkinan yang dapat terjadi akibat komplikasi dari
torsio testis. Komplikasi tersebut dapat berupa kematian jaringan testis, infeksi,
gangguan fertilitas, dan gangguan kosmetik.
Fungsi dari sistem eksokrin dan endokrin juga mengalami penurunan sebagai
akibat dari torsio testis. Penurunan fungsi ini diukur dari adanya abnormalitas analisa
semen yang dapat dipicu oleh karena adanya injuri yang berulang, keadaan patologi
yang terjadi di funikulus spermatikus karena torsio testis, atau dapat juga karena
perubahan patologi di kontralteral testis akibat retensi dari testis yang mengalami
torsio.
Gangguan fertilitas sebagai akibat dari komplikasi selain diakibatkan oleh karena
kematian sel dan jaringan testis juga diduga dikarenakan oleh mekanisme autoimun yang
menyerang tubulus seminiferous. Manifestasi dari proses ini akan menurunkan fertilitas
dari testis.
4.

Hipospadia dan Epispadia


HIPOSPADIA
Definisi
Suatu kelainan yang terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap
sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis.
Epidemiologi
Terjadi pada satu dalam 300 kelahiran anak laki-laki dan merupakan anomaly paling
sering yang sering terjadi
Manifestasi klinis
Anak-anak: tidak ada masalah fisik yang berarti
Remaja: tidak ada masalah fisik yang berarti

Dewasa: chordee akan menghalangi hubungan seksual


Infertilitas dapat terjadi pada hipospadia penoskrotal atau perineal, dapat timbul stenosis
meatus yang menyebabkan kesulitan dalam mengatur aliran urin, dan sering terjadi
kriptorkidisme.
Patofisiologi
Tidak terdapat preputium ventral sehingga preputium dorsal menjadi berlebihan (dorsal
hood) dan sering disertai dengan korde (penis angulasi ke ventral). Biasanya disertai
stenosis meatus uretra dan anomali bawaan berupa testis maldesensus atau hernia
inguinalis
Terapi
Tujuan utama penanganan operasi hipospadia adalah merekonstruksi penis menjadi
lurus
dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing
arahnya kedepan dan dapat melakukan koitus dengan normal, prosedur operasi satu
tahap
Komplikasi
Komplikasi paska operasi yang terjadi : 1. Edema/pembengkakan yang terjadi akibat
reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga terbentuknya hematom/ kumpulan darah
dibawah kulit, yang biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska
operasi. 2. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang tersering dan ini digunakan
sebagai parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur operasi satu tahap
saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10% . 3. Striktur, pada proksimal
anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari anastomosis. 4.
Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya tenosis
meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut. 5. Residual chordee/rekuren
chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna, dimana tidak melakukan ereksi
artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun
sangat jarang. 6. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran
kencing
berulang atau pembentukan batu saat pubertas.
Untuk menilai hasil operasi hipospadia yang baik, selain komplikasi fistula
uretrokutaneus perlu diteliti kosmetik dan stream (pancaran kencing) untuk melihat
adanya stenosis, striktur dan divertikel.
Prognosis
Baik bila dengan terapi yang adekuat yaitu dengan chordee adalah dengan pelepasan
chordee dan restrukturisasi lubang meatus melalui pembedahan. Pembedahan harus
dilakukan sebelum usia sekolah untuk menahan berkemih (sekitar usia 2 tahun).
Prepusium dipakai untuk proses rekonstruksi, oleh karena itu bayi dengan hipospadia
tidak boleh di sirkumsisi. Chordee dapat juga terjadi tanpa hipospadia dan diatasi
dengan
melepaskan jaringan fibrosa untuk memperbaiki fungsi dan penampilan penis.

EPISPADIA

Definisi dan Klasifikasi


Epispadia merupakan keadaan terbukanya uretra di sebelah ventral. Kelainan ini
merupakan keadaan terbukanya uretra di sebelah ventral. Muara urethra berada dibagian
dorsal, bisa di glanduler, penil atau penopubic. Pada kelainan ini sering disertai dengan
inkontinensia. Kelainan ini mungkin meliputi leher kandung kemih (epispadia total) atau
hanya uretra (epispadia parsial)
Pada epispadia parsial, tidak terdapat inkontinensia; hanya uretra atau sebagiannya
terbelah. Biasanya pada lelaki ada penis pendek dan bengkak karena korda yang
menjadikan gangguan pada miksi dan koitus.
Epidemiologi
Insidensi pada epispadia penuh sekitar 1 dari 120.000 laki-laki dan 1 dari 450.000
perempuan.
Patologi
Uretra mengalami kesalahan letak pada dorsal, dan klasifikasi berdasarkan posisinya
pada
laki-laki. Pada epispadia glandular, ostium uretra terletak pada aspek dorsal glans, yang
pipih dan rata. Pada tipe penile, meatus uretra, yang seringkali pipih dan ber-gap,terletak
diantara simphisis pubis dan sulkus corona. Sebuah sekungan dorsal biasanya meluas
dari
meatus melalui sampai ke glans. Pada tipe penopubic memilki ostium pada penopubic
juntion, dan seluruh penis memilki cekungan dorsal distal meluas melalui glans.
Tata laksana
Operasi koreksi sebaiknya dikerjakan pada usia prasekolah. Pada usia bayi dilakukan
kordektomi untuk meluruskan penis. Pada usia 2-4 tahun, rekonstruksi tahap kedua yang
terdiri atas rekonstruksi uretra. Pada semua tipe, sering disertai adanya jaringan ikat
yang
menyebabkan penis tidak bisa lurus disebut chorde. Bila chorde tidak dikoreksi, akan
menyebabkan anak minder dan gangguan pembuahan.
Neouretra biasanya dibuat dari kulit prepusium, penis atau skrotum. Karena kulit
prepusium merupakan bahan yang terbaik untuk uretroplastik, sirkumsisi pada
hipospadia
seharusnya dilakukan sambil melakukan rekonstruksi uretra dengan kulit prepusium.
Pada pertumbuhan sampai usia dewasa, tidak timbul masalah karena bagian uretra baru
turut tumbuh. Ereksi pun tidak terganggu.

5.

Prognosis & Komplikasi


Meskipun operasinya sukses, pasien akan mengalami masalah dengan:
Inkontinensia urine
Depresi, komplikasi psikososial
Disfungsi seksual
Ginjal Polikistik
PENYAKIT GINJAL POLIKISTIK
Penyakit ginjal polikistik (PKD) adalah suatu kondisi genetik yang ditandai
oleh pertumbuhan kista pada ginjal. Hingga saat ini belum ada obatnya tetapi pengobatan
medis dapatmengatasi gejala dan mengurangi risiko komplikasi. Komplikasi yang
mungkin terjadi infeksisaluran kemih, tekanan darah tinggi dan gagal ginjal.Penyakit

ginjal polikistik (PKD) biasanya merupakan kondisi warisan. Merupakansekelompok


penyakit yang dikenal sebagai puenyakit ginjal polikistik. Gen yang rusak menyebabkan
lepuh abnormal cairan (kista) tumbuh di ginjal.
Kedua ginjal biasanya terpengaruh, tetapi salah satunya dapat terkena kista lebih
awaldan terus berkembang.
Kista terus tumbuh memampatkan jaringan sehat dan dapatmenyebabkan ginjal berhenti
bekerja
dengan
baik.
Kerja
ginjal
semakin
berat
bersama
dengankista, yang jumlahnya ribuan.
Penyakit ginjal polikistik terjadi karena gagal ginjal dan dapat berpengaruh pada
priamaupun wanita dengan latar belakang etnis yang berbeda. Pria biasanya lebih mudah
untuk mengidap penyakit ginjal, meskipun tidak jelas mengapa hal ini terjadi. Saat ini
belum adaobatnya tetapi penyakit ini dapat diatasi dan penelitian pilihan pengobatan
sedang dilakukan.Dua bentuk warisan utama dari penyakit ginjal polikistik adalah:
1. PKD autosomal dominan
2. Autosomal resesif PKD
PKD Autosomal Dominan
Dikenal juga dengan penyakit polikistik dewasa,gangguan autosom dominan ini
merupakan penyebab gagal ginjal stadium akhir pada orang dewasa .
Etiologi:
Defek genetic pada suatu lokus pada lengan pendek kromosom 16
Patologi:
Pada orang dewasa yang terkena kedua ginjal memebesar dan menampakan kistakistakorteks dan medulla yang terutama merupakan pelebaran tubulus.Penyakit
ini biasanyamuncul pada usia dekade ke-4 atau ke-5 dengan hematuria makroskopis atau
mikroskopis.Kelainan yang menyertai dapat meliputi kista hati tanpa arti klinis dan
aneurisma pembuluhdarah otak yang dapat menyebabkan pendarahan intracranial.
Manifestasi klinis:
Hematuria atau masa pinggang unilateral atau bilateral,dapat terjadi hipertensi
Pemeriksaan:
Kista seringkali dapat diperlihatkan dengan ultrasonografi pielografi intavena atau
scantomografi
komputasi (CT),biasanya
pemeriksaan radiografi
dan biopsy
ginjal memperkuatdiagnosis
Pengobatan:
Pengobatan bersifat suportif,mencakup menejemen hipertensi yang cermat
Komplikasi:
Kista yang besar dapat menyumbat system pelviokalies atau saluran kemih. Bias terjadi
perdarahan di dalam kista atau daerah perineal, yang mengakibatkan rasa nyeri yang saat
pada pasien. Kista ginjal juga dapat mengalami infeksi, bila meluas sampai ke parenkim
ginjal, sehinggadapat menyebabkan infksi sistemik.
Komplikasi lain : urolitiasis, nefrokalsinosis, keganasan
Prognosis:
Prognosis ginjal polikistik sangat buruk, karena pasien akan jatuh pada kondisi terminal.

PKD Autosomal resesif

Penyakit ini juga dkenal sebagai penyakit polikistik infantile, ganguan autosom
resesif yang jarang ini mungkin tidak terdeteksi sampai sesudah masa bayi. Selain kista
pada ginjal, kista juga ditemukan didalam hati.
Patologi:
Kedua ginjal sangat membesar dan secara maskroskopis ditemukan banyak sekali kista
di seluruh korteks dan medulla. Pada sebgaian penderita juga terdapat kista di dalam hati,
pada kasus yang berat kista didalam hati dapat dihubungkan dengan sirosis, hipertensi
portal dan kematian karena ecahnya varises esophagus.
Manifestasi klinis :
Penderita mempunyai
massa pinggang bilateral pada saat lahir, gangguan ini
dihubungkan dengan oligohidramnion, karena janin tidak menghasilkan urin yang cukup.
Oligohidramnion ini dapat mengakibatkan sindrom potter.
Pemeriksaan :
Manifestasi klinis didukung dengan ultrasonografi yang menunjukkan pembesaran yang
nyata dan hiperekogenik ginjal yang seragam.
Pengobatan :
Pengobatan bersifat suportif, mencakup manajemen hipertensi yang cermat.
Prognosis :
Anak dengan pembesaran ginjal yang berat dapat meninggal pada masa neonates karena
insufisensi paru atau ginjal.
Sedangkan anak-anak yang mampu bertahan dapat hidp selama beberapa tahun sebelum
terjadi insufisensi ginjal.
Pada penderita fibrosis hati, sirosis dapat mengakibatkan hipertensi portal, karena
prognosisnya jelek.
6.

Ginjal Tapal Kuda


Ginjal tapal kuda adalah penyatuan dua ginjal melalui
istmus dengan ureter berjalan di depan ginjal sampai
trigonum kandung kemih.
Biasanya ditemukan 1 : 600 dan lebih dari 90% kedua
ginjal mengadakan fusi pada kutub bawah ginjal dan
berhubungan melalui istmus. Letak ginjal biasannya lebih
rendah dari normal karena terhalang oleh a. Mesentrica
inferior.

Jika tidak menimbulkan komplikasi, anomali ini tidak menunjukkan gejala dan terdeteksi
secara kebetulan melalui pemerikaan pencitraan kandung kemih. Jika menimbulkan keluhan
biasanya pasien mengeluhkan nyeri atau perasaan seperti ada massa di pinggang karena
adanya obstruksi pada uteropelvic junction atau reflek vesikoureter (VUR)

Jika tidak menimbulkan komplikasi, anomali ini tidak perlu diterapi dan hanya butuh kontrol
secara teratur berupa USG dan sintigrafi untuk melihat kemungkinan adanya penyulit.
Namun jika ada obstruksi utero pelvis diperlukan pyeloplasti.
7.

Malformasi Uterus
Uterus unicornis
Uterus unicornis dikenal juga dengan nama single horned uterus, yaitu uterus yang hanya
mempunyai satu "tanduk" sehingga bentuknya seperti pisang.(4)
Sekitar 65% wanita memiliki kelainan uterus unicornis yang mempunyai semacam tanduk
kedua lebih kecil.(4)
Terkadang "tanduk" kecil ini berhubungan dengan uterus dan vagina, tetapi yang sering
terjadi adalah terisolasi dan tidak berhubungan dengan keduanya.(4)

Gambar B.1 Uterus unicornis(4)


2.

Uterus didelphis

Uterus didelphis adalah kelainan uterus yang memiliki "dua leher rahim". Sebagian besar
kasus ini mempunyai dinding yang memisahkan vagina menjadi dua bagian. Wanita
dengan kelainan ini tidak mengalami gejala apapun. (4)
Namun sebagian mengalami sakit ketika haid yang disebabkan karena adanya dinding
penyekat yang memisahkan vagina menjadi dua bagian. (4)

Gambar B.2.1 Uterus didelphis (4)

Gambar B.2.2 Uterus didelphis(4)


3.

Uterus bikornis

Uterus bikornis adalah kelainan bentuk uterus seperti bentuk hati, mempunyai dinding di
bagian dalamnya dan terbagi dua di bagian luarnya. Jika hamil, wanita yang memiliki
bentuk rahim ini akan mengalami kelainan letak, yaitu janin sering dalam keadaan
melintang atau sungsang.(4)
Namun, wanita yang mempunyai kelainan ini masih mempunyai kesempatan melahirkan
anak, walaupun risiko tinggi untuk mengalami inkompetensia serviks keadaan leher rahim
yang lemah sehingga mudah terbuka.(4)

Gambar B. 3 Uterus bikornis (4)


4.

Uterus Septus

Septate uterus adalah kelainan uterus yang sebagian atau seluruh dindingnya terbelah
seolah-olah mempunyai sekat menjadi dua bagian. Padahal bagian luar terlihat normal.(4)
Kelainan ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan dalam, tetapi terkadang tidak diketahui
sampai wanita tersebut mengalami gangguan kehamilan seperti sulit hamil atau sering
keguguran berulang.(4)

Gambar B.4 Septate uterus (4)


5.

Uterus Arkuata

Arcuate uterus ini mempunyai rongga uterus tunggal dengan fundus uteri cembung atau
flat. Bentuk ini sering dianggap sebagai varian normal karena tidak meningkatkan risiko
keguguran dan komplikasi lain.(4)

Gambar B.5 Uterus Arkuata(4)


6.

Kelainan DES

Pejanan in utero terhadap dietilstilbestrol (DES) terjadi pada individu yang lahir pada
tahun 1940-1972 yang ibunya diberi estrogen sintetis untuk mencegah keguguran. DES

kemudian terbukti menyebabkan kelainan kongenital pada wanita, dan pada derajat yang
lebih rendah, juga pada pria.(4)
Kelainan pada wanita yang paling sering adalah bentuk serviks yang abnormal. Serviks ini
digambarkan seperti mangkuk, peci, atau hipoplasia. Susunan otot-otot uterus juga
mengalami kelainan pada wanita yang terpajan DES seperti rongga uterus berbentuk T
pada histerosalpingografi.(4)
DES tampaknya menyebabkan kelainan ini melalui aktivasi yang tidak sesuai pada gen
yang tergantung estrogen yang terlibat saat diferensiasi serviks dan sepertiga bagian atas
vagina bagian bawah.
Keadaan ini tidak hanya menyebabkan kelainan struktural pada serviks dan uterus, namun
juga menyebabkan menetapnya epitel kelenjar serviks pada vagina (adenosis vagina).(4)

8.

DSD

1. Pengertian Disorders of Sexual Development (DSD)


Suatu keadaan tidak terdapatnya kesesuaian karakteristik yang menentukan jenis
kelamin seseorang, atau bisa juga disebutkan sebagai seseorang yang mempunyai jenis
kelamin ganda (= ambiguous genitalia). Genitalia meragukan adalah kelainan yang
menyebabkan jenis kelamin tidak sesuai dengan klasifikasi tradisional laki-laki atau
perempuan. Dicurigai ambigius genitalia apabila alat kelamin kecil disebut penis terlalu
kecil sedangkan klitoris terlalu besar, atau bilamana skrotum melipat pada garis tengah
sehingga tampak seperti labia mayora yang tidak normal dan gonad tidak teraba. Namun
harus diketahui bahwa semua ambigius genitalia pada bayi baru lahir mengakibatkan
tampilan genital yang meragukan, misalnya hipospadia, genitalnya jelas mengalami
malformasi walaupun jenis kelamin tidak diragukan lagi adalah laki-laki.

2. Epidemiologi
Insidensi DSD adalah 1 : 4.500 1 : 5.500 bayi lahir hidup. Dimana sebanyak

50% kasus46 XY dapat diketahui penyebabnya dan 20%secara keseluruhan dapat


didiagnosis secara molekuler. Angka interseksualitas belum pernah diteiliti di Indonesia.
3. Klasifikasi Disorders of Sexual Development (DSD)
Interseksualitas dapat diklasifikasikan dalam 4 kelompok,yaitu .
a. Gangguan pada gonad dan atau kromosom.
Yang termasuk dalamn klasifikasi ini antara lain hermafrodit sejati, disgenesis gonad
campuran, disgenesis gonad yang berhubungan dengan kromosom Y, dan testes
rudimenter atau sindrom anorkia.

Hermafrodit sejati.
Pada hermafrodit sejati, jaringan ovarium dan testes dapat ditemukan sebagai pasangan
yang terpisah atau kombinasi keduanya di dalam gonad yang sama dan disebut sebagai
ovotestis.

Disgenesis gonad campuran.


Pada disgenesis gonad campuran ini biasanya ditemukan testes unilateral dan fungsional
abnormal.

Disgeriesis gonad dengan translokasi kromosom Y.


Pada kelainan ini ditemukan disgenesis gonad, namun dari hasil pemeriksaan analisis
kromosom menunjukkan adanya translokasi kromosom Y.

Testes rudimenter atau sindrom anorkia.


Ditemukan pada lelaki 46 XY dengan diferensiasi seksual normal sejak minggu ke-8 s/d
13, tetapi kemudian testes menjadi sangat kecil atau anorkia komplit. Struktur saluran
interna adalah lelaki. Terjadi kegagalan pada proses virilisasi.

b. Maskulinisasi dengan genetik perempuan (Female pseudohermaphroditism)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XX, ovarium tidak ambiguous dan
tidak ditemukan komponen testis di gonad, sehingga struktur saluran Muller tidak
mengalami regressi. Terjadinya maskulinisasi akibat terdapatnya androgen dalarn jumlah
berlebihan dari sumber endogen atau eksogen, yang merangsang janin perempuan
terutama sebelum minggu ke-12 masa kehamilan, sehingga genitalia eksterna mengalami
virilisasi.
Sebab-sebab paling umum dari kelainan ini adalah Congenital adrenal hyperplasia
(CAH) yang menyebabkan kekurangan/ ketidakhadiran ensim 21-hidroksilase, 11hidroksilase dan 3-hidroksilase dehidrogenase.
Congenital adrenal hyperplasia (CAH) merupakan penyebab terbesar kasus
interseksual dan kelainan ini diturunkan lewat ayah dan ibu yang sebagai pembawa

separo sifat menurun dan penderitanya bisa laki-laki dan perempuan yang mendapatkan
kedua paroan gen abnormal tersebut dari kedua orang tuanya.

c. Maskulinisasi tak lengkap pada genetik lelaki (Male pseudohermaphroditism)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XY dan mempunyai testes.
Maskulinisasi tak lengkap disebabkan oleh adanya gangguan sintesis atau sekresi
testosteron janin, atau gangguan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron,
kekurangan atau kerusakan aktivitas reseptor androgen atau kerusakan produksi dan aksi
lokal dari Mullerian inhibiting factor.
Ada beberapa jenis cacat hormon laki-laki yang menimbulkan gejala hermaprodit
semu laki-laki antara lain: yang paling sering adalah Sindrom Resistensi Androgen atau
Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) atau Testicular Feminization Syndrome
Penyakit ini merupakan penampilan hermaprodit semu laki-laki yang paling sering
dijumpai di klinik. AIS merupakan kelompok kelainan yang sangat heterogen yang
disebabkan tidak atau kurang tanggapnya reseptor androgen atau sel target terhadap
rangsangan hormon testosteron. AIS diturunkan melalui jalur perempuan (ibu),
perempuan adalah pembawa sifat yang menurunkan, penderita hanya pada laki-laki.
Kejadian AIS dalam satu keluarga adalah hal yang sering dijumpai tetapi ternyata 1/3
kasus AIS tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. AIS dapat terjadi dalam
bentuk complete Androgen Insensitivity Syndrome (CAIS) atau incomplete/partial
Androgen Insensitivity Syndrome (PAIS).
Penderita PAIS adalah laki-laki dengan kelainan alat kelamin luar yang sangat
bervariasi, kadang-kadang bahkan terdapat pada beberapa pria normal yang tidak subur.
Penderita PAIS mempunyai penis yang kecil yang tampak seperti pembesaran cltoris,
disertai dengan hipospadia berat (jalan kencing bocor ditengah tidak melewati penis)
yang membelah skrotum sehingga tampak seperti lubang vagina. Skrotum kadang tidak
menggantung dengan testis umumnya berukuran normal dan terletak pada abdomen,
selakangan atau sudah turun kedalam skrotum. Pada usia dewasa sering tumbuh
payudara dan keluarnya jakun, walaupun tidak disertai perubahan suara
Pada CAIS, penderita dengan penampilan seperti perempuan normal, dengan alat
kelamin luar seperti wanita, mempunyai vagina yang lebih pendek dari normal,dan
payudara akan tumbuh mulai masa prepubetas dengan hasil pemeriksaan kromosom
menunjukkan 46,XY (sesuai kromosom pada laki-laki) dan kadar hormon testosteron
normal atau sedikit meningkat. Pada pemeriksaan fisik dan USG akan teraba atau tampak
2 testis yang umumnya tidak berkembang dan terletak dalam rongga perut atau
selakangan, tanpa struktur alat genital dalam wanita. Individu dengan CAIS sering
menunjukkan gejala seperti hernia inguinalis (hernia pada selakangan), oleh karena itu
pada anak perempuan prapubertas yang mengalami hernia inguinalis (benjolan pada
selakangan) dan gejala tidak menstruasi sejak lahir, perlu pemeriksaan kromosom.

d. Gangguan pada embriogenesis yang tidak melibatkan gonad ataupun hormon


Kelainan genitalia eksterna dapat terjadi sebagai bagian dari suatu defek dari
embriogenesis. Contoh dari kelainan ini ialah epispadia glandular, transposisi
penoskrotal, penis yang dihubungkan dengan ahus imperforata, dan klitoromegali pada
neurofibromatosis.

4. Manifestasi Klinik DSD


Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonatus atau tidak terlihat
sampai menginjak usia pubertas. Pada masa neonatus, umumnya petugas medis
mendapatkan masalah untuk menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja
dilahirkan akibat
klitoromegali, pembengkakan daerah inguinal pada neonatus
perempuan, tidak terabanya testis pada neonatus laki-laki, ataupun hipospadia.
Sedangkan pada masa pubertas, umumnya manifestasi dapat berupa terhambatnya
pertumbuhan seks sekunder, amenore primer, adanya virilisasi pada perempuan,
gynecomastia dan infertilitas.
5. Diagnosa
Untuk menentukan penyebab terjadinya interseksualitas atau ambiguous genitalia
tidak mudah, diperlukan kerja sama interdisipliner/intradisipliner, tersedianya sarana
diagnostik, dan sarana perawatan. Pada pemeriksaan medis perlu perhatian khusus
terhadap hal-hal tertentu.

a. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai :

Riwayat kehamilan adakah pemakaian obat-obatan seperti hormonal atau alkohol,


terutama pada trimester I kehamilan.
Riwayat keluarga adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.
Riwayat kematian neonatal dini.
Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua penderita.
Perhatikan penampilan ibu akne, hirsutisme, suara kelaki-lakian.

b. Pemeriksaan jasmani

Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis : tentukan apakah testes teraba


keduanya, atau hanya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana lokasinya, apakah di
kantong skrotum, di inguinal atau di labia mayora. Tentukan apakah klitoromegali atau
mikropenis, hipospadia atau muara uretra luar. Bagaimana bentuk vulva, dan adakah
hiperpigmentasi
Tentukan apakah ada anomalia kongenital yang lain.
Tentukan adakah tanda-tanda renjatan.

Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh atau tidak.

c. Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium
Analisis kromosom.
Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17
OH progesteron.
Pemeriksaan elektrolit seperti Natriurn dan Kalium.
o Pencitraan
USG pelvis : untuk memeriksa keadaan genital interna.
Genitografi untuk menentukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak.
Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan
ada/ tidaknya organ yang berasal dari dari saluran Muller.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan genitalia ambigua meliputi penentuan jenis kelamin (sex
assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara
pembedahan, dan psikologis. Oleh karena itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah
dilakukan sejak tahap awal diagnosis yang meliputi bidang : Ilmu Kesehatan Anak,
Bedah Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri, Genetika klinik,
Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, dan Bagian hukum Rumah
Sakit/Kedokteran forensik.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Potensi fertilitas
Kapasistas fungsi seksual
Fungsi endokrin.
Perubahan keganasan
Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
Faktor psikoseksual: gender identity (identitas gender), gender role (peran gender) dan
gender orientation (orientasi gender)
g. Aspek kultural
h. Informed consent dari keluarga.
7. Pengobatan
1) Pengobatan Endokrin
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong
perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi
(membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi dan masa tubuh) dengan
pemberian testosteron. Bila pasien menjadi perempuan maka tujuan pengobatan adalah
mendorong secara simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminim dan

menekan perkembangan maskulin (perkembangan dan menstruasi) yang dapat timbul


beberapa individu setelah pengobatan estrogen). Pada CAH di tentukan glukortikoid dan
hormon untuk retensi garam.

2) Pengobatan penbedahan
Tujuan pembedahan rekontruksi pada genetalia perempuan agar mempunyai genetalia
eksterna feminim, sedapat mungkin seperti normal dan mengoreksi agar fungsi seksual
normal. Pada laki-laki tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan
merubah letak uretra yang tidak berada pada tempat normal ke ujung penis.

3) Pengobatan psikologis
Sebaiknya semua pasien interseks dan anggota keluarga di pertimbangkan untuk di
berikan konseling. Yang sangat penting adalah yang memberikan konseling harus sangat
familier dengan hal yang berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks.

Anda mungkin juga menyukai