Kepada
Yth. Pemimpin Redaksi
Surat Kabar Harian KOMPAS
Di JAKARTA
Dengan hormat,
Bersama surat ini, saya melampirkan sebuah artikel opini dengan judul FENOMENA
AAC. Penulis berharap tulisan tersebut dapat dimuat pada kolom opini di surat kabar yang
Saudara pimpin.
Atas perhatian dan bantuannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Mardi sahendra
Penulis
Biodata
Nama
: Mardi Sahendra
TTL
Telp.
: 27147
Hp
: 0857-5805-5060
Alamat
Pekerjaan
FENOMENA AAC
Oleh: Mardi Sahendra*
Akhir-akhir ini masyarakat indonesia mengalami AAC Fever atau Demam Ayat-ayat Cinta.
AAC merupakan sebuah novel bertema dakwah dan cinta yang dikarang oleh
habiburrahman El Shirazy. Novel ini juga diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hanung
Bramantyo. Film dan novel tersebut bisa dikatakan karya anak bangsa yang Extraordinary
dan menjadi raja di negerinya sendiri. Sebelum diangkat ke layar lebar, novel AAC sudah
berkali-kali cetak ulang dan menjadi The Most Popular Book of Indonesia. Penghargaan
terbaru yang diterima AAC adalah dari Pusat Buku Nasional.
Seakan tak mau kalah dengan novelnya, film AAC juga mencetak rekor yang fantastis di
dunia perfilman nasional. Bahkan filmnya mampu mengalahkan Titanic dari segi jumlah
penonton. Film Titanic sendiri berhasil mencetak jumlah penonton sebanyak 3 juta orang
secara nasional. Sedangkan film AAC sebanyak 3,5 juta orang bahkan lebih karena jumlah
penonton yang berminat masih tinggi. Otomatis jumlah kopiannya juga melebihi film
Titanic. Jumlah tersebut akan terus mengalami pertumbuhan setelah CD dan DVD juga
dicetak dan disebarluaskan. Melihat rekor tersebut kita pantas berbangga melihat film
nasional mampu mengalahkan film asing. Mudah-mudahan ini menjadi pertanda baik bagi
kebangkitan film nasional dan juga menjadi motivasi bagi para sineas muda untuk
berkarya lebih banyak, tidak mudah putus asa, dan membuat film-film berkualitas seperti
Naga Bonar Jadi 2 dan AAC.
Belajar dari negeri ginseng (Korea), dimana film buatan lokal lebih berjaya dibandingkan
film asing seperti produksi Hollywood. Hal ini tak terlepas dari kreativitas para sineas
korea dan juga keterlibatan serta perhatian pemerintah terhadap perkembangan film lokal.
Hal ini sudah seharusnya ditiru oleh pemerintah dan sineas Indonesia, untuk
meminimalisir dampak negatif film asing.
Film AAC bukan hanya ditonton oleh remaja dan keluarga Indonesia. Film tersebut juga
ditonton oleh Presiden, Wakil Presiden, bahkan ketua MPR dan para pejabat. Presiden
SBY secara khusus mengajak 80 duta besar asing untuk Indonesia ikut serta menonton
AAC. Ini sebuah catatan sejarah yang harus ditorehkan dengan tinta emas. Belum ada
sejarahnya seorang presiden RI dan duta besar menonton film nasional secara bersamasama. Sunggu suatu apresiasi sastra yang patut ditiru oleh presiden di negara lain.
Film AAC juga menjadi bukti gambaran masyarakat Indonesia (Islam) yang
sesungguhnya. Gambaran yang jauh dari pemberitaan dan prasangka negatif dunia barat
terhadap ajaran kasih sayang dan kedamaian agama Islam. Hal ini otomatis menjadi
jawaban atas fitnah dari film Fitna besutan anggota parlemen Negara Belanda, Wilder
Geerst. Film AAC mengajak setiap orang untuk cinta damai dan berkasih sayang.
Sedangkan Fitna memprovokasi setiap orang untuk berperang atas dasar motif SARA.
Sungguh ironi, bangsa barat yang terkenal dengan kemajuan demokrasi dan HAM ternyata
hanyalah bungkusan cantik yang berisi junk food.
Kehadiran kedua film yang bertentangan tersebut hendaknya membuka mata hati dunia:
siapa sesungguhnya yang cinta damai dibalut kain kasih sayang dan cinta perang dibalut
api angkara murka kebencian yang membara? Ini merupakan bukti nyata di abad modern
saat ini. Sehingga pantaslah jika film AAC diberi nilai A+ dengan predikat terpuji dan
Fitna dengan nilai F- beserta predikat sangat tidak terpuji.. dengan hadirnya film AAC di
bumi pertiwi, terpancarlah selaksa harapan yang tertancap kuat di hati anak bangsa bahwa:
Saatnya Indonesia Bangkit dan Indonesia Belum Bangkrut, Bung!
*Penulis adalah Trainer Kaizen Writer Club FISIP-Universitas Bengkulu dan Aktivis
Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) ESQ 165 Korwil Bengkulu serta peminat sastra
kontemporer