Membangun
kekuatan
perekonomi
Republik
Indonesia
tanpa
hutang,
omong kosong. Itu adalah sebuah realita. Namun janganlah anda tanyakan, apa
alasan saya mengatakah hal itu, karena saya bukanlah ekonom seperti ibu Aviliani
maupun Bapak Imam Sugema dan kawan-kawan. Saya hanya ingin mengatakan
bahwa pernyataan itu timbul dari alam pikiran saya sendiri yang bekerja dengan
cerdas, namun sulit untuk didefinisikan dengan bahasa akademik bidang ekonomi.
Saya tidak akan marah jika ada orang yang menertawakan pendapat dan alasan
saya ini, karena saya bukan ahli dibidangnya. Namun mengapa saya berani
menyuarakah masalah itu? Karena itu adalah hak saya sebagai warga Negara
Indonesia yang peduli terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa ini. Saya
adalah salah satu anak bangsa, yang tidak ingin bangsa ini kolaps dan tergadaikan
oleh keinginan neo-imperialisme.
Hendaknya para pemimpin bangsa ini harus banyak belajar dari pemimpin
bangsa lain. Apakah mereka tidak ingin belajar dari Presiden Iran, Mahmoud
Ahmadinejad? Apakah mereka tidak mau belajar dengan Presiden Kuba, Fidel Castro
(diteruskan oleh Raul Castro)? Dan apakah mereka tidak mau belajar dari Presiden
Venezuela, Hugo Chavez, dan Bolivia, Morales? Tolong, yang dilihat dari mereka
adalah kebaikanya untuk serius membangun kekuatan ekonomi tanpa intervensi
neo-imperialisme. Sekali lagi janganlah kita hanya membahas kejahatan atau
kediktatoran mereka, karena saat ini kita sedang membahas tentang kemandirian
dan kedaulatan bangsa Indonesia!
Bagaimana kita memulai mewujudkan impian itu? Saya tidak ingin berteori
dengan begitu banyak teorema-teorema yang complicated. Alam pikiran saya
mengatakan mulailah dari mengubah pola pikir anak bangsa dari mentalitas
penjajah. Mentalitas yang ingin dilayani dan lambat dalam bekerja. Ambillah contoh
sederhana, jangan tanamkan anak kita untuk menjadi pegawai negeri sipil! Apabila
ada yang tidak setuju dengan pernyataan ini, tidak masalah dan saya menganggap
dia mempunyai pendapat sendiri. Saya juga tidak mengharamkan orang untuk
menjadi pegawai negeri sipil. Namun saya lebih menghendaki, Indonesia lebih
banyak mencetak pengusaha-pengusaha yang banyak dibandingkan PNS. Rasio
perbandinganya adalah sepuluh banding tujuh. Artinya, diantara sepuluh orang
anak bangsa, tujuh orang adalah pengusaha. Terserah mau jadi pengusaha apa.
Pola pikir ini harus dirubah sejak anak-anak kita duduk dibangku sekolah
dasar. Pola pikir yang mengajarkan kepada mereka untuk mandiri menghidupi
dirinya sendiri dan orang lain. Tanamkanlah kepada mereka untuk menyediakan dan
membuat lapangan kerja setelah mereka tamat SMA atau perguruan tinggi. Jangan
lagi menanamkan di dalam pikiran mereka menjadi lulusan yang siap bekerja atau
siap pakai! Biarkan mereka berkreasi untuk mewujudkan mimpi mereka. Pupuk dan
peliharalah mereka menjadi wiraswasta-wiraswasta tangguh dan mendunia. Hal itu
harus juga dimulai dari peradaban terkecil, yaitu keluarga kita semua.
Semakin banyak lapangan kerja, semakin berkurang jumlah pengangguran.
Artinya, semakin sedikit angka pengangguran akan mengurangi beban Negara dari
biaya sosial yang tinggi. Selain akan mengurangi angka kriminalitas yang
berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Semakin banyak
penerimaan Negara dari ekspor, tentu akan menambah cadangan devisa Negara
dan mengurangi defisit anggaran. Jika devisa kita besar, tentu semakin sedikit
hutang yang kita perlukan. Semakin sedikit hutang maka kita akan semakin kuat
dan mandiri untuk menjalankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdaulat. Artinya semua itu akan berproses dari yang kecil dan akan terus
berproses dan saling berkaitan seperti sebuah sistem atau siklus.
Saya berkeyakinan, pasti tulisan saya ini akan dibaca oleh ekonom maupun
orang yang pakar dibidang ekonomi dan moneter. Bisa jadi setelah membaca
tulisan saya ini, beraneka rupa ekspresi dan respon akan muncul. Ada yang tertawa
sinis kepada saya karena berani menulis tentang ekonomi yang tidak berdasar. Ada
juga yang setuju dengan sedikit penambahan menurut pandangan ekonomi mereka.
Bisa juga ada yang terbengong-bengong dan bingung dengan tulisan saya. Bagi
saya, semua itu adalah sebuah dinamika dalam berpikir dan berpendapat. Apapun
ekspresi dan respon mereka, saya berketetapan, tidak akan memperdulikan karena
saya sebagai orang Indonesia juga ingin menyampaikan kepada pemimpin bangsa
ini sesuatu yang penting dengan bahasa saya sendiri. Jadi, saya meminta kepada
seluruh anak bangsa, untuk lebih cerdas dan cermat dalam menentukan pilihan
ketika berpartisipasi pada pemilihan presiden 2009.
Bagi saya, ini adalah pertaruhan besar yang akan menentukan nasib bangsa,
bukan hanya lima tahun ke depan, namun lebih dari itu. Saya bukan memprovokasi
anda, karena saya tidak pandai melakukan itu dan tidak mempunyai niat sebesar
atom sekalipun untuk mengagitasi anda. Siapalah saya, bagian dari sekian ratus
juta anak bangsa yang membutuhkan seorang pemimpin visioner dan mencintai
serta memiliki kasih sayang kepada kita semua. Besar harapan kita siapapun yang
terpilih bisa membuat bangsa ini mandiri dan berdaulat. Semua bangsa yang
memiliki perekonomian dan moneter yang fondasinya kokoh seperti karang di
lautan. Bangsa ini harus menjadi bangsa kuat dan maju. Sebuah bangsa yang bisa
membantu
bangsa
lain
untuk
ikut
sejahtera
bersama
Negara
kita
dalam