Anda di halaman 1dari 30

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi,

kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846
yang artinya tidak ada rasa sakit.
Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang
membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam
keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan
sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau
pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan
sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak
diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan
perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai
pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA
1 E atau III E.
Menurut Kee et al (1996), anestesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai
dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam dan
antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam
sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan

Tahap-Tahap Anestesi

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter),
dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut
dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,
pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan
pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal,
refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot
mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal,
bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata
atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008).

Sumber : E, B, C., et al, 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta : EGC

PENGGOLONGAN OBAT PRE-MEDIKASI


2

1. Golongan Narkotika
-

analgetika sangat kuat.

Jenisnya : petidin, fentanyl, dan morfin.

Tujuan: mengurangi rasa nyeri saat pembedahan.

Efek samping: mendepresi pusat nafas, mual-muntah, Vasodilatasi pembuluh darah


hipotensi

diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan sifat analgesik rendah,
misalnya: halotan, tiopental, propofol.

Pethidin diinjeksikan pelan untuk:

mengurangi kecemasan dan ketegangan

menekan TD dan nafas

merangsang otot polos

Morfin adalah obat pilihan jika rasa nyeri telah ada sebelum pembedahan

mengurangi kecemasan dan ketegangan

menekan TD dan nafas

merangsang otot polos

depresan SSP

pulih pasca bedah lebih lama

penyempitan bronkus

mual muntah (+)

2. Golongan Sedativa & Transquilizer


-

Golongan ini berfungsi sebagai obat penenang dan membuat pasien menjadi mengantuk.

Contoh : luminal dan nembufal untuk golongan sedative; diazepam dan DHBF
(Dihidrobensferidol) untuk golongan transquilizer.

Efek samping: depresi nafas, depresi sirkulasi.

diberikan apabila pasien memiliki rasa sakit/nyeri sebelum dianestesi, pasien tampak
lebih gelisah

Barbiturat
-

menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi

depresan lemah nafas dan silkulasi


3

mual muntah jarang

Midazolam
-

Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi

dan induksi anestesia.


Pre-medikasi, induksi, rumatan, sedasi post operasi.
Memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand

mal
Dianjurkan sebelum pemberian ketamin karena pasca anestesi ketamin dosis 12mg/kgBB menimbulkan halusinasi.

Diazepam
-

induksi, premedikasi, sedasi

menghilangkan halusinasi karena ketamin

mengendalikan kejang

menguntungkan untuk usia tua

jarang terjadi depresi nafas, batuk, disritmia

premedikasi 1m 10 mg, oral 5-10 mg

3. Golongan Obat Pengering


-

bertujuan menurunkan sekresi kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut serta
menurunkan efek parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga menurunkan risiko
timbulnya refleks vagal.

Contoh: sulfas atropine dan skopolamin.

Efek samping: proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada anak-anak
sehingga terjadi febris dan dehidrasi

diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek hipersekresi, mis:
dietileter atau ketamin

Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara umum
obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi anestesi lokal atau regional, dan
umum (Joomla, 2008).
Anestesi Lokal atau Regional
4

Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat konduksi
saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik (Biworo, 2008).
Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita.
Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran
penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam
bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut
gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla,
2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu
waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan
selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan
diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu
dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila
pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan
dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama
pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang.
Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat
dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa
akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati
rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf
pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla,
2008).
Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose
umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan
5

lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran,
dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi
juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan
organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008).
Obat-obat Anestesi

Anestesi Lokal
Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan

lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya
daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat
dan daya tembusnya (Siahaan, 2000).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya
terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana
terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting
terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabangcabang neuromuskular dan semua
jaringan otot (Siahaan, 2000).
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak mengakibatkan kerusakan
permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi
atau penggunaan setempat pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan
untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang
stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga menyatakan
bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat antara lain tidak
iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil
dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus-amino hidrofil
(sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida dengan
suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002). Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi
lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
6

Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan Prokain. Senyawa
amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan Prilokain. Senyawa lainnya
contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol, Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu
pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu
bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan
impuls nyeri ke otak (Joomla, 2008).

Kokain, Klorprokain, Benzokain, Prokain, Tetrakain


Ester

Struktur Kimia obat


Lidokain, Prilokain, Etidokain, Bupivakain, Mepivakain, Ropiv
Amide

Blok Saraf Tepi

Cara Pemberian
Anestesi Lokal / Regional

Topical

Regional iv

infiltrasi

ganglion

Blok nerv

pleksus

spinal
Blok Saraf Sentral

Short Acting
Potensi Obat

Medium Acting

epidural

servikal
torakal
lumbal
Sacral/
kaudal

Long acting

Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral dan blok

perifer (Latief, 2001).


1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial)
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal
(Latief, 2001).
a. Anestesi Spinal
7

Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang


subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis
obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra
abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran
obat (Abidin, 2008).
b. Anestesi Epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang epidural
(peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga
daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai
dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992). Ruang epidural berada di antara
durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum
dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk
pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan,
penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan
tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).
c. Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang kaudal
adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui
hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang
yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan ligamentum interspinosum.
Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura
(Latief, 2001).
2. Blok Perifer (Blok Saraf)
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang
dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena dapat
dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju
langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi
misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk
melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang
bersangkutan (Bachsinar, 1992).

Anestesi Umum
8

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah
memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan
penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia
(Admin,2008).
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek
samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar,
stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali,
tanpa efek yang tidak diinginkan (Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut
Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan
tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik,
mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur
dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak
mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ
(jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak
mengiritasi pasien (Kumala, 2008).
Sifat-sifat Anestesi Umum yang Ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat
mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi
yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat
intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan
pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP
(Munaf, 2008).

Anestesi cair yang mudah menguap


9

Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem konduksi,
penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta
pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin yang
menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama
anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin
(Munaf, 2008).
b. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya volume tidal
dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian
bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan intrakranial
menurun (Munaf, 2008).
d. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh curah
jantung yang menurun (Munaf, 2008).
e. Hati
Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
f. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus obstetrik
(misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008).
Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati.
Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).
Keuntungan dan Kerugian
Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada,
serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkankerugiannya adalah depresi miokard dan
pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta
10

aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(Munaf, 2008).
Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya
menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008).
Efek samping/Toksisitas
a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai resiko
adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode
waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan
eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).
b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh
secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum,
hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot
yang mencegah Ca dari reticulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).

Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi ringan
miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008).
b. Respirasi
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan oleh
bronkodilator (Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2
(PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan
intrakranial (Munaf, 2008).
d. Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).
Metabolisne
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida mempunyai
potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf,
2008).
Keuntungan dan kerugian
11

Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil,
kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan
kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada
pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan patologik

intrakranial (Munaf, 2008).


Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung
biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap
katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada stenosis
dengan aliran yang berlebihan (Munaf, 2008).
b. Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi, bronkodilator,
iritasi sedang pada jalan napas (Munaf, 2008).
c. Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah disebabkan tekanan
arterial menengah yang menurun (Munaf, 2008).
d. Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral menurun,
dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).
Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi
dalam bentuk gas (Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian


Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan intrakranial tidak
meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah iritasi jalan napas sedang

(Munaf, 2008).
Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat, dan tidak
begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi
umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).

MAC (Minimal Alveolar Concentration)

12

kadar suatu obat inhalasi anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1 atm absolut, yang dapat
mencegah terjadinya gerakan pada 50% populasi, apabila diberikan rangsangan nyeri tidak
standar.

Anestesi gas

13

Anestesi intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat melewati
stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi.
Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara
perlahan-lahan (Kee, et al (1996)).

1. Ketamin/ketalar
Efek analgesia kuat sekali. Terutama untuk nyeri somatik, tp tidak untuk nyeri

visceral
Efek hipnotik kurang
Efek relaksasi tidak ada
Refleks pharynx & larynx masih ckp baik batuk saat anestesi refleks vagal
Disosiasi mimpi yang tidak enak, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi, gaduh

gelisah, tidak terkendali. Saat pasien mulai sadar dapat timbul eksitasi
Aliran darah ke otak, konsentrasi oksigen, tekanan intracranial (Efek ini dapat

diperkecil dengan pemberian thiopental sebelumnya)


TD sistolik diastolic naik 20-25%, denyut jantung akan meningkat. (akibat
peningkatan aktivitas saraf simpatis dan depresi baroreseptor). Cegah dengan

premedikasi opiat, hiosin.


Dilatasi bronkus. Antagonis efek konstriksi bronchus oleh histamine. Baik untuk
penderita-penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia

umum yang masih ringan.


Dosis berlebihan scr iv depresi napas
Pada anak dapat menimbulkan kejang, nistagmus
Meningkatkan kadar glukosa darah + 15%
Pulih sadar kira-kira tercapai antara 10-15 menit
14

Metabolisme di liver (hidrolisa & alkilasi), metabolit diekskresi secara utuh melalui

urin
Ketamin bekerja pd daerah asosiasi korteks otak, sedang obat lain bekerja pd pusat
retikular otak

Indikasi :
Untuk prosedur dimana pengendalian jalan napas sulit, misal pada koreksi jaringan
sikatrik pada daerah leher, disini untuk melakukan intubasi kadang sukar.
Untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf/radiologi (arteriograf).
Tindakan orthopedic (reposisi, biopsy)
Pada pasien dengan resiko tinggi: ketamin tidak mendepresi fungsi vital. Dapat
dipakai untuk induksi pada pasien syok.
Untuk tindakan operasi kecil.
Di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada.
Pasien asma
Kontra Indikasi :

Hipertensi sistolik 160 mmHg diastolic 100 mmHg


Riwayat Cerebro Vascular Disease (CVD)
Dekompensasi kordis

Harus hati-hati pada :


o Riwayat kelainan jiwa
o Operasi-operasi daerah faring karena refleks masih baik
2. Propofol (diprifan, rekofol)
Bentuk cairan, emulsi isotonik, warna putih spt susu dgn bhn pelarut tdd minyak

kedelai & postasida telur yg dimurnikan.


Kadang terasa nyeri pada penyuntikan dicampur lidokain 2% +0,5cc dlm 10cc

propolol jarang pada anak karena sakit & iritasi pd saat pemberian
Analgetik tidak kuat
Dapat dipakai sbg obat induksi & obat maintenance
Obat setelah diberikan didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh.
Metabolisme di liver & metabolit tdk aktif dikeluarkan melalui ginjal.
Saat dipakai untuk induksi juga dapat terjadi hipotensi karena vasodilatasi & apnea
sejenak

Efek Samping :

Bradikardi
Nausea, sakit kepala pada penderita yg mulai sadar
Ekstasi, nyeri lokal pd daerah suntikan
Dosis berlebihan dapat mendepresi jantung & pernapasan
15

Sebaiknya obat ini tidak diberikan pd penderita dengan ggn jalan napas, ginjal, liver,

syok hipovolemik
3. Thiopental
Ultra short acting barbiturate
Dipakai sejak lama (1934)
Tidak larut dlm air, tp dlm bentuk natrium (sodium thiopental) mudah larut dlm air
4. Pentotal
Zat dr sodium thiopental. Btk bubuk kuning dlm amp 0,5 gr(biru), 1 gr(merah) & 5gr.

Dipakai dilarutkan dgn aquades


Larutan pentotal bersifat alkalis, ph 10,8
Larutan tidak begitu stabil, hanya dapat disimpan 1-2 hr (dalam kulkas lebih lama,

efek menurun)
Pemakaian dibuat larutan 2,5%-5%, tp dipakai 2,5% untuk menghindari overdosis,

komplikasi > kecil, hitungan pemberian lebih mudah


Obat mengalir dlm aliran darah (aliran ke otak ) efek sedasi&hipnosis cepat tjd,

tp sifat analgesik sangat kurang


TIK
Mendepresi pusat pernapasan
Membuat saluran napas lebih sensitif terhadap rangsangan
Depresi kontraksi denyut jantung, vasodilatasi pembuluh darah hipotensi. Dpt

menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal


Tidak berefek pada kontraksi uterus, dapat melewati barier plasenta
Dapat melewati ASI
Menyebabkan relaksasi otot ringan
Reaksi anafilaktik syok
Gula darah sedikit meningkat
Metabolisme di hepar
Cepat tidur, waktu tidur relatif pendek
Dosis iv: 3-5 mg/kgBB

Kontraindikasi :

Syok berat
Anemia berat
Asma bronkiale menyebabkan konstriksi bronkus
Obstruksi saluran napas atas
Penyakit jantung & liver
Kadar ureum sangat tinggi (ekskresinya lewat ginjal)

Obat

Dalam
sediaa

Jumlah di

pengencera

16

Dalam

Dosis

1 cc

n
Pethidin

ampul

Fentanyl

sediaan

100mg/2c
c

2cc +
aquadest 8cc

spuit
10 cc

(mg/kgBB)
0,5-1

0,05
mg/cc

Recofol
(Propofol)

ampul

Ketamin

vial

Succinilcholin

vial

200mg/

spuit =
10 mg
0,05mg

10cc +
lidocain 1
ampul

10 cc

2-2,5

10 mg

100mg/cc

1cc +
aquadest 9cc

10 cc

1-2

10 mg

200mg/

Tanpa
pengenceran

5 cc

1-2

20 mg

20cc

10cc
Atrakurium
Besilat
(Tramus/
Tracrium)

ampul

10mg/cc

Tanpa
pengenceran

5 cc

Intubasi:
0,5-0,6,
relaksasi:
0,08,
maintenance
: 0,1-0,2

10 mg

Efedrin HCl

ampul

50mg/cc

1cc +
aquadest 9cc

10 cc

0,2

5 mg

Sulfas Atropin

ampul

0,25mg/cc

Tanpa
pengenceran

3 cc

0,005

0,25 mg

Ondansentron
HCl (Narfoz)

ampul

4mg/2cc

Tanpa
pengenceran

3 cc

8 mg
(dewasa)

2 mg

5 mg (anak)
Aminofilin

ampul

24mg/cc

Tanpa
pengenceran

Dexamethason ampul

5 mg/cc

Tanpa
pengenceran

Adrenalin

ampul

1 mg/cc

Neostigmin
(prostigmin)

ampul

0,5mg/cc

10 cc

24 mg

5 mg

0,25-0,3
Tanpa
pengenceran
17

Masukkan 2
ampul

0,5 mg

prostigmin +
1 ampul SA
Midazolam
(Sedacum)

ampul

5mg/5cc

Tanpa
pengenceran

0,07-0,1

1 mg

Ketorolac

ampul

60 mg/2cc

Tanpa
pengenceran

30 mg

Difenhidramin
HCl

ampul

5mg/cc

Tanpa
pengenceran

5 mg

Onset dan Durasi yang penting


OBAT

ONSET

DURASI

Succinil Cholin

1-2 mnt

3-5 mnt

Tracrium (tramus)

2-3 mnt

15-35 mnt

Sulfas Atropin

1-2 mnt

Ketamin

30 dtk

15-20 mnt

Pethidin

10-15 mnt

90-120 mnt

Pentotal

30 dtk

4-7 mnt

Muscle Relaxan
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi
ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin)
(Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh
otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat
pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh
otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II depolarisasi,
atau nondepolarisasi (Rachmat, et al., 2004).

Muscle relaxan golongan depolarisasi

18

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak
dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan
terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik.
Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam
vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase
menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan
karena menghambat kerja pseudokolinesterase (Mangku, 2010).
Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium) terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang
bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang
pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat
efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai
neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau
dengan

metabolisme

pseudokolinesterase.

abnormal,

Rendahnya

seperti
level

hipotermia

atau

pseudokolinesterase

ini

rendahnya
ditemukan

level
pada

kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang (Mangku, 2010).
Ciri kelumpuhan :
a. Ada fasikulasi otot
b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun
tetanik
e. Belum diatasi dengan obat spesifik
Muscle relaxan golongan non-depolarisasi
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak
dapat bekerja (Latief, dkk, 2007).
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat
intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan
penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat
19

(klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot.
Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik'
seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi
volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau
perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih
tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak
dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat
intravena (Lunn, 2004).
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan
menjadi :
1) Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2) Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3) Eter-fenolik : gallamin.
4) Nortoksiferin : alkuronium
Dosis

Dosis

Durasi

Efek samping

awal

rumatan

(menit

(mg/kgBB

(mg/kgBB)

0.40-0.60

0.10

30-60

Hipotensi

0.08-0.12

0.15-0.020

30-60

Takikardi

0.20-0.40

0.05

40-60

Hipotensi

0.05-0.12

0.01-0.015

40-60

KV stabil

0.02-0.08

0.005-

45-60

KV stabil

0.15-0.30

0.010

40-60

Takikardi

)
Non depol long-acting
1
2
3
4
5
6

D-tubokurarin (tubarin)
Pankuronium
Metakurin
Pipekuronium
Doksakurium
Alkurium (alloferin)

0.5
Non depol intermediate acting
1
2

Gallamin (flaxedil)
Atrakurium
(tracrium/notrixum)

4-6

0.5

30-60

Hipotensi

0.5-0.6

0.1

20-45

Amanhepar&ginj

0.1-0.2

0.015-0.02

25-45

al

20

3
4

Vekuronium (norcuron)
Rokuronium

(roculax/esmeron)
Cistacuronium

0.6-1.0

0.10-0.15

30-60

0.15-0.20

0.02

30-45
Isomer
atrakurium

Non depol short acting


1
2

mivakurium (mivacron)
ropacuronium

0.20-0.25

0.05

10-15

Hipotensi &

1.5-2.0

0.3-0.5

15-30

histamin +

Depol short acting


1
2

suksinilkolin (scolin)
dekametonium

1.0

3-10

1.0

3-10

Ciri kelumpuhan otot non-depolarisasi :


a. Tidak ada fasikulasi otot
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan,
enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
Penawar pelumpuh otot :
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat
bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08
mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan
fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg
pada dewasa) (Mangku, 2010).

Analgesik
Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang
meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan untuk
meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang
lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan
nyeri berat memandangkan ia bias menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Setengah
21

analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan
inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik.
Jenis-jenis analgesik
Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi kepada dua kelompok
yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari
obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika narkotika
digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).
Mekanisme kerja obat
1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu :
a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi
b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut
yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin
dan tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1
dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan
termasuklah platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam
menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di
mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif.
COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus
inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis
factor- (TNF- ), endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan
menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga
mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan
jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi
trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis
oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al.,
2008).
Pirazolon
Dipiron
As. Asetil
salisilat,D
Salisilat
flunisal

Ibuprofen,
Naproksen,
Ketoprofen
As.
Indometasin
indolasetat

As. Karboksilat

Oksikam

22

Piroksikam
As.
Mefenamat,
Floktafenin
As.
antranilat
As.
Diklofenak
fenilasetat

As. asetat
As.Ketorolac
pirolasetat

As. propionat

Keterangan
Ketorolak
-

Diberikan secara oral, intramuskular, intravena.


Efek analgesia dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam.
Lama kerja 4-6 jam.
Dosis awal 10-30mg/hari dosis maks. 90mg/hari, pada manula, gangguan faal ginjal, dan

BB <50kg dibatasi maks. 60mg/hari.


30mg ketorolak=12mg morfin=100mg petidin, dapat digunakan bersama opioid.
Cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor

opioid di sistem saraf pusat.


Tidak untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita menyusui, usia lanjut,
anak usia <4th, gangguan perdarahan, tonsilektomi.

Ketoprofen
-

Diberikan secara oral, kapsul, tablet 100-200 mg/hari.


Per-rektal 1-2 suppositoria.
Suntikan intarmuskuler 100-300mg/hari.
Intravena per-infus dihabiskan dalam 20 menit.

Piroksikam
-

Oral, kapsul, tablet, flash, suppositoria, ampul 10-20mg/hari.

Tenoksikam
-

Suntikan itramuskuler, intravena ampul 20mg/hari dilanjutkan oral.


23

Hasil metabolisme dibuang lewat ginjal dan sebagian lewat empedu.

Meloksikam
-

Inhibitor selektif Cox-2 dengan efektifitas=diklofenak atau piroksikam tetapi efek

samping lebih minimal.


Dosis satu tablet 7,5mg atau 15mg/hari

Asetaminofen
-

Tak punya sifat anti inflamasi dan sifat inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat

lemah, karena itu tak digolongkan NSAID.


Biasa untuk nyeri ringan dan dikombinasi analgetik lain
Dosis oral 500-1000mg/4-6jam, dosis maksimal 4000mg/hari.
Dosis toksis dapat menyebabkan nekrosis hati karena dirusak oleh enzim mikrosomal

hati.
Lebih disukai dari aspirin karena efek samping terhadap lambung dan gangguan
pembekuan minimal.

Efek samping golongan NSAID


-

Gangguan saluran cerna: nyeri lambung, panas, kembung, mual-muntah, konstipasi,

diare, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung.


Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-Johnson.
Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus,
retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-kreatinin, pererenal azotemia, nekrosis

papil ginjal, nefritis, sindroma nefrotik.


Gangguan fungsi hepar: peningkatan SGOT, SGPT, gamma globulin, bilirubin, ikterus

hepatoseluler.
Gangguan sistem darah: trombositopenia, leukimia, anemia aplastik.
Gangguan kardiovaskuler: akibat retensi air menyebabkan edema, hipertensi, gagal

jantung.
Gangguan respirasi: tonus bronkus meningkat, asma.
Keamanan belum terbukti pada wanita hamil, menyusui, proses persalinan, anak kecil,
manula.

2. Obat Anti Inflamasi Steroid


Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa opioid didefinisikan
sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson.
a. Analgesik Opioid Kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi
dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan
24

dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati
nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal. Morfin dan
analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang meliputi analgesia,
euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural),
miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas
menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi
chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal
ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme
bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan
histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami metabolisme dalam hati
dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang
inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin itu
sendiri, terutama bila diberi intratekal. Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam
lemak daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara
suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada
morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan
nyeri hebat. Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat
diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan.
Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin.
Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada
pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena.
b. Analgesik Opioid Lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik ini
bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen
kurang menarik untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang hebat. Kodein
(metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas sangat rendah
terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi
morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping (konstipasi,
mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih
ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.

25

OPIOID
1
2

Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin, fentanil.
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam
anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.

Klasifikasi Opioid
Penggolongan opioid antara lain:
1
2
3

Opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain)


Semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)
Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

Obat-obat opioid yang biasa digunakan dalam anastesi antara lain :


1

MORFIN
a

Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot
polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi.

Digolongkan

depresi

yaitu

analgesia,

sedasi,

perubahan

emosi,

hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual


muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).
b

Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.
Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek
analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang
timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati
sawar uri dan mempengaharui janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian
kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.

Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan
nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Apabila nyerinya
makin besar dosis yang diperlukan juga semakin besar. Morfin sering digunakan
untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark miokard, neoplasma, kolik renal atau
kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner,

26

perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, nyeri akibat trauma misalnya
luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
d

Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi
pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi
kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.

Dosis dan sediaan


Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan
diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau
mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa
1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan.

2. PETIDIN
a

Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor . Seperti
halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam.
Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi
analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin,
meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :


1

Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.

Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam


meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih
aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah
berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.

Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan


dan takikardia.

Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.

Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.

Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.


27

Farmakokinetik
Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam
plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat
bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara
cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang
lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama
dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat
yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat
sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan
dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan
tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan
tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan
klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada
morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat preanestetik.

Dosis dan sediaan


Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien
tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg
BB.

Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan
penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

3. FENTANIL
a

Farmakodinamik

28

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,
fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan
lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil
dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik
lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal
yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor
opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia.
b

Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali
melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,
sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg BB
analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia
adalah suntikan 50 mg/ml.

Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat
dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.

29

DAFTAR PUSTAKA
Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic Principles of Clinical
Pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5th edition. Lippincott Williams &
Wilkins.

2006. p.801-65.

Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Singapore : Mc Graw Hill
Lange. 2007. p.401-17.
Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. p.48-53.

30

Anda mungkin juga menyukai