Anda di halaman 1dari 9

HIPOGLIKEMIA

Definisi dan Faktor Resiko


Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa di bawah harga normal. Yang bisa
didefinisikan bila kadar glukosa plasma <2.5 2.8 mmol/L (<45-50 mg/dL). Namun ada
juga yang menyebutkan batas terendah kadar glukosa darah puasa (true glucose) adalah 60
mg%, dengan dasar tersebut maka penurunan kadar glukosa darah di bawah 60 mg% disebut
sebagai hipoglikemia. Pada umumnya gejala-gejala hipoglikemia baru timbul bila kadar
glukosa darah lebih rendah dari 45 mg%.
Berikut faktor-faktor yang merupakan predisposisi timbulnya hipoglikemia :
Faktor

yang

Hipoglikemia
Berbagai factor

merupakan
yang

Predisposisi

merupakan

atau

predisposisi

Mempresipitasi

atau

mempresipitasi

hipoglikemia adalah :
1. Kadar insulin berlebihan
Dosis
berlebihan
:
ketidaksesuaian

dengan

kesalahan
kebutuhan

dokter,
pasien

farmasi,
atau

pasien;

gaya

hidup;

deliberate overdose (factitious hipoglicemia)


Peningkatan bioavailibilitas insulin : absorbsi yang lebih cepat
(aktifitas jasmani), suntik di perut, perubahan ke human insulin;
antibody

insulin;

gagal

ginjal

(clearance

honeymoon periode
2. Peningkatan sensitifitas insulin
Defisiensi hormone counter-regulatory

insulin

berkurang);

penyakit

Addison;

hipopituitarisme
Penurunan berat badan
Latihan jasmani, postpartum; variasi siklus menstruasi
3. Asupan karbohidrat kurang
Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang
Diet slimming, anorexia nervosa
Muntah, gastroparesis
Menyusui
4. Lain-lain
Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
Alcohol,
obat
(salisilat,
sulfonamide
meningkatkan
sulfonylurea; penyekat non-selektif; pentamidin)

Klasifikasi

kerja

Pada diabetes, hipoglikemia juga didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya.


Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dari Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi
klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi :
a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes).
c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Akan tetapi pada pasien diabetes dan insulinoma dapat kehilangan kemampuannya untuk
menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis
pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia
ringan, sedang dan berat (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut.
Ringan

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada


gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.

Sedang

Simtomatik,

dapat

diatasi

sendiri,

menimbulkan gangguan aktivitas seharihari yang nyata.


Berat

Sering (tidak selalu) tidak simtomatik,


karena ganguan kognitif pasien tidak
mampu mengatasi sendiri.

Patogenesis
Untuk memahami patogenesis hipoglikemia perlulah meninjau kembali mengenai
homeostasis glukosa dan energi tubuh. Pada waktu makan (absorptive) cukup tersedia
sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai
makromolekul, karena itu fase ini dinamakan sebagai fase anabolik. Hormon yang berperan
adalah Insulin. 60 % dari glukosa yang diserap usus dengan pengaruh insulin akan disimpan
di hati sebagai glikogen, sebagian lagi akan disimpan di jaringan lemak dan otot juga sebagai
glikogen. Sebagian lain dari glukosa tersebut akan mengalami metabolisme anaerob maupun
aerob untuk memperoleh energi yang digunakan seluruh jaringan tubuh terutama otak.
Sekitar 70 % dari seluruh penggunaan glukosa berlangsung di otak. Berbeda dengan jaringan
lain, otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber energy.

Pencernaan dan penyerapan protein akan menimbulkan peninggian asam amino di


dalam darah yang dengan bantuan insulin akan disimpan di hati dan otot sebagai protein.
Lemak diserap dari usus melalui saluran limfe dalam bentuk kilomikron yang kemudian akan
dihidrolisasi oleh lipoprotein lipase dan terjadilah asam lemak. Asam lemak ini akan
mengalami esterifikasi dengan gliserol dan terbentuklah trigliserida yag akan disimpan di
jaringan lemak. Proses tersebut berlangsung dengan bantuan hormon insulin.

Pada waktu sesudah makan (post absorptive) atau sesudah puasa 5-6 jam, kadar
glukosa darah mulai turun, keadaan ini menyebabkan sekresi insulin juga menurun,
sedangkan hormon kontra regulator yaitu glukagon, epinefrin, kortisol dan hormon
pertumbuhan akan meningkat. Terjadilah keadaan sebaliknya (katabolic) yaitu sintesis
glikogen, protein dan trigliserida akan menurun sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan
meningkat.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam keadaan post absorptive (puasa) terjadi
penurunan insulin dan kenaikan hormone kontra regulator. Keadaan tersebut akan
menyebabkan penurunan penggunaan glukosa di jaringan insulin sensitive dan dengan
demikian glukosa yang jumlahnya terbatas hanya disediakan untuk jaringan otak.
Selama homeostasis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak akan terjadi.
Hipoglikemia terjadi karena ketidakmampuan hati memproduksi glukosa. Ketidakmampuan
hati tersebut dapat disebabkan karena penurunan bahan pembentuk glukosa, penyakit hati
atau ketidakseimbangan hormonal. Kenaikan penggunaan glukosa di perifer tidak
menimbulkan hipoglikemia selama hati masih mampu mengimbangi dengan menambah
produksi glukosa.

PROTEKSI FISIOLOGIS MELAWAN HIPOGLIKEMIA


Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian
hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan
glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis
dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis
dan proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat)
merupakan bahan baku glukoneogenesis di hati.

Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, yang pada keadaan tertentu


merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, walaupun
kecil hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi.
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung
lama, dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak dan otot) serta
meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi

growth hormone (panhipopituitarisme) dan

kortisol (penyakit Addison) pada individu menimbulkan hipoglikemia yang umumnya ringan.

Bila sekresi glucagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar glukosa setelah
hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila sekresi glucagon dan
epinefrin dihambat sekaligus, pemulihan glukosa tidak terjadi.
Sel pancreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan
turunnya kadar insulin di dalam sel berperan dalam sekresi glucagon oleh sel .
Manifestasi klinis
Gejala dari hipoglikemia bisa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu neuroglycopenic dan
neurogenic (autonomic) responses. Gejala Neuroglikopenik merupakan hasil langsung dari
berkurangnya glukosa di susunan system saraf pusat. Gejalanya meliputi perubahan tingkah
laku, bingung, fatigue, seizure, kehilangan kesadaran, dan apabila hipoglikemia terjadi lebih
lanjut dan lebih lama, akan menimbulkan kematian. Hipoglikemia yang mengaktivasi respon
otonom meliputi gejala-gejala adrenergic seperti palpitasi, tremor, ketakutan, rasa lapar, mual,
berkeringat, dan parestesi. Gejala-gejala adrenergik ini di mediasi oleh pelepasan
norepinefrin dari saraf postganglion simpatis dan pelepasan epinefrin dari medula adrenal.
Peningkatan keringat di mediasi oleh saraf simpatis kolinergik.

Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan


glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi
juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan
keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan
dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau
bentuk karbohidrat oral refined yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat

penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan
mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman
keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang
berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu,
sesuai dengan komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda.
KELUHAN DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA AKUT YANG SERING
DIJUMPAI PADA PASIEN DIABETES
Otonomik
Neuroglikopenik
Malaise
Berkeringat
Bingung (confusion)
Mual
Jantung berdebar
Mengantuk
Sakit kepala
Tremor
Sulit berbicara
Lapar
Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
parestesi

Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan
gangguan sisitim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol
dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh
neuroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin
bukan merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas
keluhan otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut dapat menunjukkan
kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik.
Terapi Hipoglikemia
Bila hipoglikemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanakan terutama
gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan glukosa darah.
Berdasarkan stadium terapi hipoglikemi:
1. Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan

pemanis pengganti gula dan makanan yang mengandung karbohidrat.


Stop obat anti diabetik
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab

2. Stadium lanjut (koma hipoglikemi atau tidak sadar + curiga hipoglikemi)


a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena
b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf
c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.

Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV


Bila GDs < 100 mg/dl, tambah bolus dextrose 40% 25ml IV
d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :
Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV
Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%
Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip dextrose
10%.
e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
Glukosa oral
Sesudah diagnosa hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200
ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya
coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorpsi glukosa.
Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat
kompleks.1
Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan terlalu gawat, pemberian madu
atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut mungkin dapat dicoba.
Glukagon intramuscular
Glukagon 1 mg intramuscular dapat diberikan oleh tenaga professional yang terlatih dan
hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama dengan
pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti
dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat
dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang
atau hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif.
Efektivitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
Glukosa intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan
konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200 ml
glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasi glukosa 50% dapat menimbulkan nekrosis
yang memerlukan amputasi.

Gambar 3. Algoritma tatalaksana hipoglikemi.

Anda mungkin juga menyukai