Anda di halaman 1dari 23

KONSEP NYERI

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
1. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri?
apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
2. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan
dengan kata-katanya sendiri.
3. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di
satu titik atau bergerak?
4. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan
10 adalah nyeri hebat
5. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu
timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda

Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor,secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga
yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu
pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya
yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi
dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah
yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya
komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral
seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya
tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan
(Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur
atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan
bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah

pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan
nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak
mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut
beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat
terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan
akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A
dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi
nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di
otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan
substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti
nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)


a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak
sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap
nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan
keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur,
bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena
menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi
dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk

menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang
dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara
satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda
merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu
dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan
nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi
dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara
teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya
membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan
kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala
sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri
berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada
anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon
nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri,
wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya
seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima
karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana
mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi
nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama
timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping
yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat
untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala

intensitas

2) Skala identitas nyeri numerik

nyeri

deskritif

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi


berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut.
Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi
jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala
pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical
rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala
untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis
lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.
VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka
(Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi
banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya
mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah
nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm
1502-1533

PENILAIAN DAN DIAGNOSTIK


NYERI

Pendahuluan
Di Amerika Serikat, nyeri merupakan keluhan medis yang paling sering dikeluhkan dan merupakan salah
satu alasan utama pasien mencari perawatan medis. Berdasarkan American Pain Society (APS), 50 juta
warga Amerika lumpuh sebagian atau total karena nyeri, dan 45% dari warga amerika membutuhkan
perawatan nyeri yang persisten seumur hidup mereka. Kira-kira 50-80% pasien dirumah sakit mengalami
nyeri disamping keluhan lain yang menyebabkan pasien masuk rumah sakit. (1-2)
Nyeri merupakan pengalaman yang subyektif sehingga penilaian menjadi sangat penting. Tidak ada alat
ukur objektif yang dapat memberikan penilaian yang memuaskan. Nyeri juga multidimensional termasuk
persepsi nosiseptif dan ekspresi. Untuk itu, multiaspek dari rasa nyeri juga harus dipertimbangkan,
termasuk sensorik, afektif dan dimensi kognitif. Tidak ada pendekatan tunggal yang dapat digunakan
untuk menilai nyeri pada semua pasien ataupun pada semua situasi karena rasa nyeri dipengaruhi oleh
berbagai multifaktor, termasuk penggunaan alat ukur, waktu melakukan penilaian jumlah pasien serta
klinisi itu sendiri. (1,3)
Penilaian nyeri pertama dibuat pada tahun 1986 oleh World Health Organization (WHO), yakni terdapat 3
tahap pemberian analgesik pada nyeri kanker yang didasarkan pada intensitas nyeri. Saat ini penilaian
nyeri yang awalnya dibuat oleh American Pain Society (APS) telah banyak digunakan pada banyak
rumah sakit di seluruh negeri, dan digunakan sebagai salah satu tanda vital. Mantan presiden APS, dr.
James Campbell menyatakan : tanda vital merupakan hal yang sangat penting. Jika nyeri dinilai sama
seperti tanda-tanda vital lainnya, maka kita dapat memberikan perawatan yang lebih baik.(1)
Pada bulan Februari tahun 1999, Veteran administrasi Rumah Sakit memasukkan nyeri sebagai salah
satu tanda vital dalam sistem penilaian rumah sakit mereka secara nasional. Dengan tujuan untuk
mencegah dan mengurangi penderitaan pasien, penilaian nyeri akan dilakukan dengan berbagai macam
cara secara konsisten. Pada tahun 2001, The Joint Commision On Acreditation of Health care
Organization (JCAHO) melakukan evaluasi skor nyeri pada semua pasien. Tujuan utama dari evaluasi ini
adalah untuk membuat suatu penilaian yang sama dalam penanganan nyeri. (1)

Defenisi dan Tipe Nyeri


Nyeri merupakan pengalaman kompleks pada seluruh manusia. Definisi tersebut telah berkembang
selama bertahun-tahun. Pada tahun 1968 Margo McCaffery mempublikasikan definisi klinis nyeri yang
telah menjadi batu loncatan terhadap penilaian nyeri: Nyeri merupakan sesuatu hal yang dikatakan oleh
pasien dan yang pasien rasakan. Frase ini merupakan dasar bahwa nyeri yang diterima dan dirasakan
berasal dari laporan pasien itu sendiri. (1,3)
Menurut The Internasional Assosiation for The Study of Pain (IASP) yang mengembangkan definisi dari
nyeri sebagai Suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, dimana hal ini
terutama dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau gambarannya dihubungkan seperti ada
sebuah kerusakan atau keduanya. Defenisi dari nyeri ini diakui sebagai gabungan antara fenomena
sensorik, emosional, dan kognitif dimana terjadi kelainan patologi pada tubuh yang tidak tampak. (3)
Pandangan kontemporer dari karakteristik nyeri secara multidimensional dengan adanya suatu
keterlibatan simultan berbahaya, emosional, kognitif (pikiran), dan komponen-komponen kepercayaan.
Secara konseptual, nyeri dapat dibagi 3 tingkatan secara hirarki yang terdiri dari : komponen sensorikdiskriminatif (misalnya lokasi, intensitas, kualitas), komponen motivasi-afektif (misalnya depresi,
kecemasan), dan komponen kognitif-evaluatif (misalnya pikiran tentang penyebab dan signifikasi nyeri).
(1,5-6)
Terdapat 5 klasifikasi nyeri: nosiseptif, neuropatik, campuran, psikogenik, dan idiopatik. Nyeri nosiseptif
dapat didefenisikan sebagai suatu sensasi sekunder yang tidak menyenangkan sebagai aktivasi
nosiseptor perifer yang terletak di jaringan lain dari sistem saraf perifer dan pusat. Nyeri nosiseptif dibagi
lagi menjadi tipe somatik dan viseral. Nyeri nosiseptif biasanya waktunya terbatas dan mengalami
penyembuhan dari kerusakan awal.(6-7)
Nyeri neuropatik digambarkan sebagai bentuk paradox dari nyeri sekunder akibat trauma atau disfungsi
pada saraf sensorik sentral atau sistem saraf perifer. Selanjutnya cedera saraf mengakibatkan hilangnya
transmisi sensorik dan umumnya pasien mengeluh mati rasa. Nyeri psikogenik merupakan suatu bentuk
nyeri yang dihubungkan dengan nyeri fisik yang selalu berasal dari masalah psikologis. Seseorang
dengan gangguan nyeri psikogenik akan mengeluhkan gejala yang tidak sesuai. Hal ini dapat terwujud
dalam bentuk sakit kepala, nyeri otot, nyeri punggung, dan nyeri perut. Nyeri idiopatik merupakan suatu

bentuk nyeri yang tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisik atau mental. Hal ini biasanya
dianggap sebagai diagnosis eksklusi.(1,8-9)
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri: (1,3)
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga klinisi harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada
orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada
lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah
yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri,
justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh
mengeluh nyeri).
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti
suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana
mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul,
maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung
pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang
maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan dan perlindungan.

Proses Penilaian Nyeri


Meskipun telah menjadi pengalaman universal, nyeri sulit untuk ditangani. Penilaian nyeri yang tidak
adekuat sering menjalani pengobatan yang tidak adekuat pula. Seperti halnya penyakit medis lainnya,
riwayat dan pemeriksaan secara detail merupakan kunci untuk memahami keluhan pasien dan

memikirkan rencana terapi. Anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk menemukan sifat-sifat nyeri dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti : nyeri di daerah mana?, dirasakan seperti apa?, sejak kapan nyeri
tersebut timbul?, seberapa berat nyeri yang dirasakan?, seberapa sering nyeri tersebut dialami?, apakah
nyerinya bertambah berat atau tidak?. Pemeriksaan harus mencakup skala penilaian dan alat-alat lain
yang dirancang untuk mengetahui sifat dari intensitas dan kualitas nyeri yang dikeluhkan.(1,10)
Informasi yang objektif atau kuantitatif mencakup intensitas pada saat beristirahat atau pada saat
beraktifitas. Diagnostik dari pemeriksaan fisis harus selalu dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab
dasar dari nyeri tersebut mengenai faktor-faktor eksaserbasi nyeri dan untuk mengidentifikasi kelainan
neuromuskular, kelainan neurologis, dan perilaku yang abnormal. Informasi yang subyektif termasuk
informasi kualitatif yang terdiri dari sifat nyeri tajam atau tumpul tiba-tiba, lokasi dan penyebaran nyeri,
onset dan durasi nyeri, serta faktor yang memperburuk atau faktor yang meringankan.(11)
Skor Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan permulaan untuk memulai terapi awal yang akan diresepkan, setelah itu
sebaiknya dimodifikasi sesuai dengan respon pasien. Klinisi dan perawat yang mengobati pasien dengan
nyeri akut dan kronis sering menggunakan skor penilaian untuk menilai intensitas nyeri yang dibutuhkan
untuk pengobatan, dan jumlah analgetik yang dibutuhkan. Skor penilaian sangat objektif, terutama
didasarkan pada tanda-tanda perilaku dan otonom yang sesuai dengan pengalaman nyeri pasien itu
sendiri.(1)
Skor penilaian terbatas menilai pasien yang mengalami gangguan nonverbal dan gangguan kognitif.
Skala penilaian standar nyeri dan laporan dari diri pasien itu sendiri ( self report)sebaiknya digunakan.
Tanpa tanda biologis atau tes diagnostik yang tepat untuk mengukur nyeri, self report merupakan
indikator yang paling dapat diandalkan dan akurat untuk menilai nyeri dan intensitasnya.(1,12)
Nyeri akut dan nyeri kronis sebaiknya dievaluasi pada multipel dimensi, termasuk intensitas, lokasi serta
konsekuensi fisik dan emosional. Namun, skala yang dikembangkan untuk mengevaluasi dimensi ini
terlalu kompleks dan metode ini paling banyak digunakan pasien bedah. Pengukuran dengan
menggunakan self-report diklasifikasikan menjadi unidimensional atau multidimensi yang sesuai dengan
jumlah dimensi yang diukur. Self-report yang terbaik diterapkan pada pasien dengan fungsi verbal baik
namun memiliki defisit kognitif minimal. Alat yang digunakan untuk menilai pasien nyeri dengan nonverbal
yaitu dengan menggunakan alat ukur perilaku (Behavioral Assesment). (1,3,10,13)

Penilaian nyeri berdasarkan PQRST :


P : Provokatif / paliatif (apa kira-kira penyebab timbulkan rasa nyeri? Apakah karena terkena benturan /
sayatan? dll)
Q : Qualitas / quantitas (seberapa berat keluhan nyeri terasa?, bagaimana rasanya?, seberapa sering
terjadinya? seperti tertusuk, tertekan/tertimpa benda berat dll)
R : Region / radiasi (lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan/ ditemukan?, apakah juga menyebar ke
daerah lain/ area penyebaran?)
S : Skala seviritas (skala kegawatan dapat dilihat dengan GCS untuk gangguan kesadaran, skala nyeri /
ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan.
T : Timing (kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan/dirasakan?, seberapa sering keluhan tersebut
dirasakan / terjadi?, apakah terjadi secara mendadak atau bertahap?, akut atau kronik?)
Alat-alat Penilaian Nyeri
Terdapat empat alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang digunakan dalam praktek
klinis untuk menilai nyeri secara objektif terdiri dari Numeric Rating Scale (NRS), Skala Verbal Deskriptor
(VDS), Skala Visual Analog (VAS), dan Faces Pain Scale (FPS). Masing-masing dari skala ini adalah
ukuran yang valid dan dapat diandalkan untuk intensitas nyeri. The Iowa Pain Thermometer(IPT) adalah
salah satu alat UPRS digunakan dalam praktek klinis. Alat-alat yang lebih subjektif untuk menilai nyeri
multidimensi seperti kuesioner nyeri McGill (MPQ) dan The Brief Pain Inventory (BPI) juga alat pengukur
nyeri yang valid untuk nyeri akut dan kronis. (1)
a. Skala Tingkat Nyeri Unidimensional

Skala tingkat nyeri unidimensional digunakan terutama untuk penilaian cepat dan kuantifikasi objektif. Alat
ini meminta pasien untuk melaporkan sifat nyeri mereka berdasarkan pengalaman nyeri yang dirasakan
pasien. Alat ini digunakan untuk menilai nyeri dengan penyebab yang jelas seperti pasca operasi dan
trauma akut tetapi mungkin penilaiannya lebih rumit jika terjadi komplikasi sindrom nyeri. 1
Numeric Rating Scale (NRS)
NRS adalah skala sederhana yang digunakan secara linier dan umumnya digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri dalam praktek klinis. NRS khas menggunakan skala 11 point dimana titik akhirnya
mewakili nyeri yang paling ekstrim. NRS ditandai dengan garis angka nol sampai sepuluh dengan interval
yang sama dimana 0 menunjukkan tidak ada nyeri, 5 menunjukkan nyeri sedang, dan 10 menunjukkan
nyeri berat. (3,14)
NRS biasanya dijelaskan kepada pasien secara verbal, namun dapat disajikan secara visual. Ketika
disajikan secara visual, NRS dapat ditampilkan dalam orientasi horizontal atau vertikal. Alat ini telah
menunjukkan sensitivitas terhadap pengobatan dalam intensitas nyeri dan berguna untuk membedakan
intensitas nyeri saat istirahat dan selama beraktivitas. NRS dapat digunakan untuk penelitian analgesik
yang sesuai untuk penilaian nyeri secara klinis. Bukti mendukung validitas dan kemampuan dari alat NRS
dapat digunakan pada pasien dewasa dan tua. Penilaian nyeri terhadap pasien dengan gangguan kognitif
ringan dan pada lansia mungkin lebih baik menggunakan NRS yang mencakup angka yang lebih besar
dan kata isyarat. (1,11)
Skala Penilaian Verbal / Verbal Rating Scale (VRS)
VRS merupakan alat untuk menilai intensitas nyeri yang digunakan dalam praktek klinis. VRS adalah
skala ordinal, biasanya digambarkan menggunakan 4-6 kata sifat untuk menggambarkan peningkatan
tingkat intensitas nyeri. Umumnya menggunakan kata-kata umum seperti tidak nyeri (no pain) pada ujung
kiri akhir skala, kemudian diikuti dengan nyeri ringan, nyeri sedang (tidak menyenangkan), nyeri berat
(menyedihkan), nyeri sangat berat (mengerikan), dan nyeri paling berat (menyiksa). Nyeri yang tak
terbayangkan pada ujung kanan akhir skala. Kegunaan skala ini, pasien diminta untuk memilih kata yang
menggambarkan tingkat nyeri yang dirasakan. VRS terdiri dari empat intensitas nyeri yang
menggambarkan nyeri seperti tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, setiap kata yang terkait
dengan skor jumlah semakin tinggi (0, 1, 2 dan 3). Pasien diminta untuk menunjuk nomor berapa yang
menggambarkan rasa tidak menyenangkannya. Skala rating verbal dapat dibaca oleh pasien atau
diucapkan keras oleh pemeriksa, diikuti oleh jawaban pasien. Metode ini mudah dipahami oleh pasien
dengan gangguan nonkognitif dan cepat dilakukan, namun alat ini tidak memiliki akurasi dan sensitivitas.
(1,3)
Skala Visual analog / Visual Analog Scale (VAS)
VAS adalah alat pengukuran intensitas nyeri efisien yang telah digunakan secara luas dalam penelitian
dan pengaturan klinis. Umumnya VAS merupakan alat dengan garis 10 cm, orientasi biasanya disajikan
secara horizontal, tapi mungkin bisa disajikan secara vertikal, pada akhir poin dengan kata tidak nyeri
sampai pada nyeri paling hebat yang tidak terbayangkan. Pasien diinstruksikan untuk menandai baris
dengan pensil bergaris miring pada titik yang sesuai dengan tingkat intensitas nyeri yang dirasakannya
sekarang. Beberapa VAS yang diproduksi seperti slide mistar, dimana gerakan garis tersebut diposisikan
oleh pasien sepanjang garis 100 ml itu. Pasien memberi tanda sepanjang dari garis akhir diidentifikasi
sebagai tidak nyeri kemudian diukur oleh pemeriksa dan dicatat pada lembar penilaian dalam millimeter.
(1,3)
Alat ini sebaiknya disajikan dengan isyarat verbal yang minimal dan tidak ada jari yang menunjuk oleh
pemeriksa. Alat ini harus diperkenalkan dengan pernyataan standar yang tepat : tolong tandai garis yang
sesuai dengan intensitas nyeri yang anda alami saat ini. Idealnya, baris sebaiknya ditandai pada nyeri
saat istirahat dan nyeri selama bergerak. Tidak adanya isyarat deskriptor dan garis spidol dengan VAS
diyakini bisa memberikan validitas ilmiah yang lebih besar, tetapi dapat membingungkan pada pasien
yang lebih muda dan lansia. Untuk meminimalkan kebingungan, pasien sebaiknya dijelaskan sebelum
operasi tentang arti dari poin garis dan bagaimana cara untuk menandainya.(1,11,14)
Meskipun VAS mudah dijalankan dapat lebih memakan waktu karena lokasi yang telah ditandai pensil
perlu diukur, skala ini memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi karena sedikit perubahan dalam intensitas
nyeri dapat dideteksi. Bila dibandingkan dengan VRS, skor sekitar 30 mm dari 100 mm, VAS berarti nyeri
yang dialami adalah nyeri sedang, dan skor dari 54 mm atau lebih berarti nyeri berat. Studi penelitian

yang dilakukan pada pasien dewasa yang mengalami nyeri akut di departemen emergensi secara klinis
penting menentukan perbedaan minimal dalam tingkat nyeri berat untuk VAS. Mereka menunjukan
bahwa penurunan pada pengukuran VAS 30 mm secara klinis penting membedakan persepsi pasien
terhadap nyeri berat dengan kontrol nyeri yang adekuat. Studi menunjukan bahwa akurasi dari VAS
tergantung pada penggunaan dalam orientasi (Horisontal vs Vertikal) konsistensi dengan membaca pola
dari populasi di mana ia digunakan.(1,15)

Orientasi vertikal telah dihubungkan dengan terjadinya kesalahan terhadap penggunaannya


pada pasien di Cina, sedangkan penutur bahasa inggris menunjukan lebih rendahnya tingkat
kesalahan bila digunakan dalam orientasi horizontal. Studi mengatakan pasien yang lebih
muda mendukung sensitifitas, validitas, dan kemampuan dari VAS sebagai alat pengukur
intensitas nyeri sedang penggunaan pada lansia kurang dimengerti.(1,14)

Gambar 1. Caracara penilaian nyeri dimensi tunggal. (A) Skala analog visual (VAS). (B) Skala numeric
verbal. (C). Skala penilaian verbal. Dikutip dari : American Medical Association. Module pain management
pathophysiology of pain and pain assessment. 2010. Available from: www.ama.com
Faces Pain Scale (FPS)
Secara historis, FPS yang terdiri dari serangkaian enam sampai sampai tujuh wajah yang dimulai dari
wajah tersenyum bahagia sampai sedih berlinang air mata digunakan untuk menilai nyeri pada pasien
pediatrik. Beberapa versi dari FPS telah digunakan dipraktek klinis. FPS dimaksudkan untuk mengukur
bagaimana tingkat nyeri pasien yang mereka rasakan. Setiap tampilan ekspresi wajah menunjukan
hubungan dengan nyeri yang dirasakan, termasuk alis turun kebawah, bibir diketatkan/pipi dinaikkan,
kerutan hidung/bibir dinaikkan, dan mata tertutup. Tingkatan skala menurut Wong-Baker FACES
merupakan alat pengukuran intensitas nyeri yang diakui dan umumnya digunakan dalam pasien pediatrik.
(1,14)
Versi paling terbaru dari FPS adalah Faces Pain Scale-Revised (FPS-R). FPS-R menampilkan gambar
enam wajah bergaris disajikan dalam orientasi horizontal. Pasien diinstruksikan untuk menunjuk ke wajah
yang paling mencerminkan intensitas nyeri yang mereka rasakan. Ekspresi wajah diwakili oleh FPS-R
tampak kurang kekanak-kanakan dibandingkan dengan FPS lain. Tidak adanya air mata menghindari
bias budaya tentang ekspresi rasa nyeri. Tingkat tidak nyeri diwakili oleh wajah netral bahkan wajah
gembira yang ada pada ujung kiri skala. Ekspresi wajah menunjukan lebih nyeri jika skala digeser ke
kanan,dan wajah yang berada pada ujung sebelah kanan adalah nyeri hebat. (1,14)

Meskipun FPS dirancang untuk digunakan terhadap pasien pediatrik, peneliitian yang terbaru
telah dievalusi untuk digunakan pada pasien dewasa khususnya pada pasien dengan gangguan
nonverbal, gangguan kognitif, beberapa diantaranya pasien dengan gangguan kognitif yang
berat, para penyedia layanan kesehatan membutuhkan ekspresi wajah yang sesuai dengan
intensitas nyeri yang dirasakan pasien. FPS juga berguna untuk penilaian pasien dengan
hambatan bahasa. (1,16)

Gambar 2. Skala Wajah Whaley dan Wong. Dikutip dari: Ballantyne JC. Management of acute
postoperative pain. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editors.
Anesthesiology. New York: McGraw-Hill; 2008. p.1716-8.
Gambar 3. Skala Wajah Bieri dan kawankawan. Dikutip dari : Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM,
Rosseland A, Romundstand L, Hals EK, et al. Assesment of pain. British Journal of Anesthesia.
2008;101(1):17-24.
Iowa Pain Thermometer (IPT)

IPT adalah diagram dari sebuah thermometer yang diakui dengan baik mencerminkan tingkatan
deskriptor intensitas nyeri termasuk tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat,
dan nyeri dibayangkan. Pasien diminta untuk menandai disamping kata yang paling mewakili intensitas
atau beratnya nyeri yang mereka rasakan. Isyarat yang terkait dengan skala termasuk fakta bahwa
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan peningkatan analog dengan intensitas ketidaknyamanan
yang berhubungan dengan peningkatan temperatur yang ditampilkan pada thermometer. Alat ini adalah
skala yang digunakan secara deskriptif lisan pada pasien dewasa.(1,17)

Gambar 4. Termometer nyeri. Dikuti dari : The assessment of pain in older people. Concise guidance to
good practice a series of evidence-based guidelines for clinical management. 2007. Available
from: www.uptodate.com
Alat-Alat Penilaian Nyeri Multidimensi
Alat-alat penilaian nyeri multidimensi memberikan informasi penting tentang karakteristik nyeri pasien dan
dampaknya pada kehidupan sehari-hari pasien. Alat-alat ini dirancang untuk memfasilitasi pasien untuk
melaporkan sendiri nyeri yang dirasakan, namun klinisi dapat memandu proses dan membantu pasien.
(1,3)
Kuesioner Nyeri McGill
Kuesioner nyeri McGill (McGill Pain Questionare-MPQ) awalnya dibuat oleh Melzack dan Torgerson,
sebagai salah satu alat pemeriksaan dan penilaian nyeri multidimensional yang paling tua dan paling
lengkap. Pertama kali dikembangkan untuk menilai nyeri kronik, tetapi juga telah divalidasi untuk menilai
nyeri akut, terutama nyeri post operatif. Alat penilaian ini telah dibandingkan sensitivitasnya dengan VRS
dan VAS untuk menilai perubahan nyeri pada pasien post operatif yang diberikan obat analgesik oral.(3)
Kuesioner nyeri McGill terdiri atas 20 kategori kata keterangan sifat yang dapat mendeskripsikan kualitas
nyeri. Pada setiap kategori, kata keterangan sifat diatur berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan dan
diatur berdasarkan nilai nyerinya, dimana 1 menggambarkan rasa nyeri yang paling ringan, hingga 5
untuk menggambarkan rasa nyeri yang paling berat. Pasien diminta untuk memilih salah satu kata dari
setiap kategori deskriptif yang mereka angap paling cocok untuk mendeskripsikan rasa nyeri dan
perasaan terkait nyeri dan sensasi yang mereka rasakan saat ditanya. Nilai dari setiap kata yang ia pilih
kemudian ditambahkan untuk menambahkan total nilai nyeri dan perbedaan skor antara sensoris, afektif,
evaluatif.(1,3)

Gambar 5. Kuesioner Nyeri McGill (MPQ). Dikutip dari : American Medical Association. Module pain
management pathophysiology of pain and pain assessment. 2010. Available from: www.ama.com
Keterbatasan utama MPQ adalah diperlukannya pemahaman pasien mengenai kata-kata yang digunakan
pada tes. Sehingga, keterbatasan intelektual dan verbal pasien akan mempengaruhi dan mungkin
memberikan hasil tes yang tidak akurat. MPQ juga terbatas penggunaannya hanya untuk pasien yang
mengerti bahasa Inggris. Klinisi sebaiknya mengevaluasi populasi pasien dan memilih satu atau dua cara
yang paling sesuai. Situasi tiap pasien yang berbeda-beda mempengaruhi cara penilaian nyeri yang
dipilih. Cara-cara penilaian yang digunakan ditujukan untuk menilai karakter nyeri dan akibatnya pada
pasien dan kualitas hidup; apapun cara penilaian yang dipilih tidak dapat menggantikan pentingnya
wawancara dan riwayat pengobatan pasien. Dan yang paling penting, klinisi harus secara teratur menilai
nyeri, dan mendokumentasikan penilaian ini.(1,3)
Gambar-gambar nyeri
Gambar-gambar nyeri adalah penggunaan gambar tubuh manusia di mana pasien diminta untuk
menandai sesuai nyeri yang dialaminya. Gambar-gambar ini dapat digunakan untuk menilai lokasi dan
distribusi nyeri, tetapi tidak dapat membantu menilai tingkat/intensitas nyeri. Gambar-gambar nyeri ini
dapat dibandingkan dari waktu ke waktu untuk menilai respon nyeri terhadap terapi. Nyeri pada daerah

yang kecil dan terlokalisaasi (misalnya kepala) tidak dapat dinilai dengan adekuat menggunakan cara
gambar ini.(14)

Gambar 6. Cara Gambar Nyeri. Area nyeri ditandai dengan symbol yang berbedabeda: = untuk
kebal/tidak dapat merasakan sensasi apapun, ooo untuk sensasi seperti tertusuk jarum, xxx untuk
sensasi seperti terbakar, //// seperti dipotongpotong, dan >>> untuk sensasi linu/ngilu. Dikutip
dari :Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland A, Romundstand L, Hals EK, et al. Assesment of
pain. British Journal of Anesthesia. 2008;101(1):17-24.
Inventaris Nyeri Ringkas
Inventaris nyeri Ringkas (Brief Pain Inventory-BPI) merupakan alat yang ditemukan McCaffery dan
Passero (1999) yaitu instrument yang dicatat sendiri dan telah dikembangkan dalam penelitian dan
berbagai keadaan klinis serta diterjemahkan dalam berbagai bahasa serta memiliki tingkat validitas dan
kepercayaan yang tinggi. Alat ini dikembangkan untuk memberikan metode yang cepat dan mudah untuk
menghitung intensitas nyeri. BPI terdiri dari 11 pertanyaan terkait nyeri yang menanyakan mengenai
aspek pengalaman nyeri yang dirasakan pasien dalam periode 24 jam, seperti dimana lokasi nyeri dan
intensitasnya, dampak nyeri tersebut terhadap kualitas hidup pasien, serta efektifitas dari penanganan
nyeri yang diberikan. Sebuah diagram diberikan agar pasien dapat menunjukan lokasi nyerinya.(1,3,14)
Brief Pain Inventory (BPI) juga merupakan salah satu instrument yang dapat menilai nyeri maupun
pengaruh subyektif terhadap nyeri terhadap aktivitas dan kemampuan pungsional pasien. BPI merupakan
alat pengukuran nyeri yang telah divalidasi multidimensi dengan reabilitas dan validitas pada pasien
kanker, AIDS, dan arthritis. Membutuhkan 5 sampai 15 menit untuk mengelolanya, itu termasuk 4 skala
nyeri (yang sekarang, rata-rata, terburuk dan akhirnya), serta 7 skala dalam menilai dampak sakit pada
kegiatan umum, suasana hati, kemampuan berjalan, bekerja, menjalin hubungan dengan orang lain, tidur
dan kenikmatan hidup. Masing-masing bagian dinilai pada skala numerik 1-10. BPI ini banyak digunakan
dalam mencari kembali nyeri dan telah diterjemahkan ke dalam sejumlah besar bahasa.(3)
Pertimbangan Khusus
Pasien Pediatrik
Sistem neurologi belum berkembang sempurna ketika bayi dilahirkan. Sebagian besar perkembangan
otak, mielinisasi sistem saraf pusat dan perifer, terjadi selama tahun pertama kehidupan. Beberapa
refleks primitif sudah ada pada saat dilahirkan, termasuk reflex menarik diri ketika mendapat stimuli nyeri.
Bayi baru lahir seringkali memerlukan stimulus yang kuat untuk menghasilkan respon dan kemudian dia
akan merespon dengan cara menangis dan menggerakkan seluruh tubuh. Kemampuan melokalisasi
tempat stimulus dan untuk menghasilkan respon spesifik motorik anak-anak berkembang seiring dengan
tingkat mielinisasi.(3,18)
Pengobatan yang tidak adekuat pada anak-anak merupakan masalah yang signifikan. Di masa lalu,
penyebab utama kurangnya pengobatan/terapi pada anak-anak adalah tidak adanya cara/alat penilaian
nyeri yang sesuai. Kemajuan saat ini terutama mengenai pemahaman kita terhadap nyeri pada anakanak, dan seiring dengan berkembangnya cara-cara penilaian nyeri pada anak-anak, telah meningkatkan
keberhasilan terapi nyeri pada pediatrik. Namun demikian, kebanyakan teknik-teknik penilaian nyeri yang
telah dikemukakan di atas terbatas manfaatnya karena perkembangan keterampilan kognitif anak-anak
yang belum sempurna.(1,19)
Penilaian Subyektif
Klinisi harus mampu melakukan wawancara untuk memeriksa dan menilai nyeri yang dialami pasien
anak-anak yang berusia mulai dari 3-4 tahun. Usaha khusus harus dilakukan untuk menciptakan suasana
yang tidak menakutkan pasien anak-anak ketika melakukan wawancara. Walaupun teknik laporan sendiri
(self report) dapat dilakukan pada pasien anak-anak, komunikasi verbal mengenai nyeri mereka dibatasi
oleh kemampuan vokabuler/perbendaharaan kata; anak-anak mungkin hanya dapat menggunakan istilah
sakit atau mengaduh dan menjerit saja untuk menyatakan rasa nyeri. Orang tua atau yang merawat
seringkali dapat memberikan informasi tambahan. Tanda-tanda perilaku atau fisiologis nyeri bermanfaat
baik untuk pasien anak-anak maupun dewasa. Teknik VAS paling baik digunakan untuk pasien anak-anak
usia lebih dari 7 tahun; tapi sebenarnya teknik ini juga banyak digunakan untuk anak-anak usia 5 tahun.
Laporan sendiri berdasarkan cara penomoran obyek, intensitas warna yang makin meningkat, atau seri

foto-foto lebih sesuai untuk anak-anak usia antara 4-7 tahun. Pada anak usia kurang dari 3 tahun, klinisi
sebaiknya menggunakan pengamatan tanda-tanda perilaku atau fisiologis nyeri.(19)
Penilaian Obyektif
Penilaian nyeri obyektif pada anak-anak bervariasi tergantung pada usia dan tingkat perkembangan
anak-anak. Penilaian nyeri pada bayi baru lahir dan balita yang belum bisa berbicara lebih mengandalkan
pengamatan perilaku (misalnya ekspresi wajah). Menangis berguna untuk menetukan urgensi respon,
tetapi tidak bermanfaat untuk mengetahui kuantitas nyeri. Balita yang mengalami nyeri mungkin akan
menarik diri, menunjukkan perubahan pola makan dan tidur, dan sulit diajak berteman. (10,14)
Penilaian fisiologis seperti parameter kardiovaskuler (misalnya nadi, ritme dan output jantung)
memberikan umpan balik segera pada bayi baru lahir dan balita, tetapi tidak dapat digunakan untuk bayi
prematur. Anak-anak prasekolah mungkin mampu memberikan laporan-sendiri; namun mereka
cenderung untuk minta digendong, tidak banyak bergerak dan kehilangan keterampilan motorik, verbal
dan kontrol sfingter sebagai respon terhadap nyeri. Anak-anak usia kurang dari 5 tahun mungkin mulai
menyangkal nyeri karena merespon tindakan orang yang merawatnya (misalnya mengganti
verban/penutup luka, injeksi intramuskular) yang sering mengakibatkan nyeri yang lebih parah; juga,
anak-anak ini mungkin menganggap nyeri sebagai hukuman atas perbuatan yang salah. Anak-anak usia
sekolah mungkin menunjukkan perubahan perilaku yang samar.(10,14)
Nyeri dapat mengakibatkan lebih agresif, rasa malu (sering terjadi pada pasien luka bakar), dan mimpi
buruk, yang mengakibatkan mereka menarik diri dari pergaulan. Rasa kehilangan kontrol dan
kekhawatiran terhadap reaksi teman-temannya dapat meningkatakan kecemasan. Remaja sering
merespon nyeri kronik dengan perilaku oposisi yang berlebihan dan depresi. Pengamatan perilaku dan
fisiologis nyeri (misalnya menangis, ekspresi wajah, keluhan verbal, gerakan, sentuhan) dapat diukur
dengan teknik tertentu. Apapun skala yang digunakan, konsistensi, kemudahan penggunaan, dan waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan pemeriksaan dan penilaian merupakan hal-hal yang penting untuk
dipertimbangkan. Jika laporan-sendiri bukan merupakan cara yang dapat digunakan dan tidak ada
perubahan perilaku yang teramati atau tidak dapat disimpulkan dengan jelas, Agency for Health Care
Policy and Research menyatakan bahwa mencoba memberikan (trial) analgetik dapat menjadi alat
diagnostik sekaligus terapeutik.(10,11,14)
Pasien Geriatrik
Hilangnya neuron yang kontinyu pada otak dan korda spinalis terjadi sebagai bagian dari proses menua
yang normal. Hal ini mengakibatkan perubahan pada orang dewasa yang berusia > 65 tahun yang
seringkali diinterpretasikan sebagai hal yang abnormal pada individu yang lebih muda. Kecepatan
konduksi saraf menurun antara 5-10% sebagai akibat dari proses menua. Hal ini kemudian akan
menurunkan waktu respon dan memperlambat transmisi impuls, sehingga menurunkan persepsi sensori
sentuh dan nyeri.(20)
Pasien usia lanjut memiliki banyak masalah kesehatan dan memiliki banyak ketidaknyamanan kronik
sehingga membuat nyerinya lebih sulit didiagnosa dan ditangani. Sebuah literatur manajemen nyeri oleh
Gibson dan Helme menemukan bahwa terdapat perbedaan terkait usia yang mendasari neurokimiawi,
neuroanatomi, dan neurofisiologi dari mekanisme nyeri. Pasien geriatrik merasakan sensitivitas terhadap
nyeri yang meningkat dan persepsi yang makin tumpul.(20,21)

Alasan mengapa orang lanjut usia tidak melaporkan nyeri antara lain: (21,22)
Kepercayaan bahwa nyeri adalah sesuatu yang mereka harus alami sepanjang kehidupan.
Khawatir mengenai konsekuensinya (misalnya dirawat di rumah sakit)
Khawatir bahwa nyeri mereka merupakan pertanda akan menderita penyakit serius atau mempengaruhi
kesehatan
Ketidakmampuan untuk memahami istilah kesehatan yang digunakan oleh penyedia layanan kesehatan
Kepercayaan bahwa menunjukkan rasa nyeri tidak dapat diterima.
Salah pengertian bahwa gejalagejala mungkin merupakan akibat dari rasa nyeri
Penilaian Subyektif
Metode wawancara dengan pasien lanjut usia dilakukan sesuai dengan ada tidaknya kelainan/gangguan
mental dan fisik pada pasien. Perubahan fungsi pendengaran, penglihatan, psikomotorik (misalnya

kemampuan jari menulis/memegang, keterampilan motorik halus lain), bahasa verbal, dan keterampilan
kognitif (misalnya memori) sebagai bagian normal dari proses menua atau akibat suatu penyakit akan
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nyeri yang dialami.
(1,22)
Menanyakan kepada pasien agar dapat menjelaskan atau membaca alat yang digunakan untuk menilai
nyeri dapat memberikan petunjuk mengenai kemampuan sensorik pasien. Cara sederhana lain (misalnya
kuesioner status mental mini) dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi proses kelainan/gangguan
mental. Pasien lanjut usia dengan gangguan kognitif dan/atau verbal adalah pasien yang paling sulit
dinilai. Untuk kasus demikian, pengamatan perilaku oleh klinisi atau orang yang merawat pasien menjadi
cara utama untuk menilai nyeri yang dialami pasien.(10,17)
Penggunaan cara dimensi-tunggal seperti VAS mungkin lebih disukai pada pasien lanjut usia, karena
cara-cara ini cepat dan tidak melelahkan. Namun, pada pasien dengan nyeri akut, tingkat pendidikan
yang lebih rendah, gangguan kognitif, atau gangguan koordinasi motorik, VAS mungkin menjadi sulit.
Selain itu, presentasi horizontal normal VAS tidak terlalu sesuai karena kemapuan berpikir abstrak pasien
yang telah menurun. Pada kasus demikian, presentasi VAS secara vertikal, yang sering disebut sebagai
thermometer nyeri akan lebih efektif. Dengan cara presentasi ini,0 adalah bagian thermometer bawah,
dan angka-angka yang makin meningkat sampai 10 pada bagian paling atas thermometer.(10,17)
Cara multidimensi seperti MPQ termasuk terlalu kompleks dan banyak menyita waktu bagi pasien lanjut
usia. Perbendaharaan katanya mungkin terlalu sulit bagi pasien lanjut usia untuk dapat dimengerti, dan
jumlah kata yang cukup bervariasi pada MPQ mungkin dianggap terlalu banyak oleh pasien. Kompetensi
pasien juga harus diketahui terlebih dahulu sebelum menilai nyeri dengan cara ini. Selain itu, pasien
lanjut usia mungkin sulit untuk berkonsentrasi dalam jangka waktu lama untuk menyelesaikan MPQ. Oleh
karena itu, digunakan satu-halaman MPQ, salah satu alternatif. Catatan harian nyeri mungkin lebih
bermanfaat, namun, beberapa pasien lanjut usia mungkin kesulitan untuk mengisi catatan harian ini
karena gangguan keterampilan motorik halusnya atau gangguan kognitif. Gambar nyeri merupakan
metode yang efektif untuk mengetahui lokasi nyeri pada pasien lanjut usia yang tidak dapat
menyatakannya secara verbal. Gambar-gambar ini juga bermanfaat bagi pasien yang mengalami nyeri
pada beberapa lokasi tubuh. Skala wajah yang dikembangkan untuk penilaian nyeri pada anak-anak juga
bermanfaat bagi pasien lanjut usia yang mengalami gangguan kesulitan bahasa atau kapasitas mental.
(17,22)

Penilaian Obyektif
Seperti pada anak-anak, pengamatan perilaku pada pasien lanjut usia merupakan komponen penting
pada proses penilaian nyeri. Pasrah menerima kenyataan bahwa nyeri memang harus dialami,
ketakutan / kekhawatiran bahwa melaporkan rasa nyeri yang sedang dialami akan menghilangkan
otonomi pribadi, dan kekhawatiran bahwa nyeri merupakan tanda dari suatu penyakit serius atau bahkan
menjelang kematian, semua hal tersebut akan menyebabkan pasien lanjut usia tidak mau melaporkan
nyeri.3,10
Tanda-tanda nyeri fisik yang dapat diamati oleh klinisi atau anggota keluarga, atau perubahan kebiasaan
normal pasien merupakan hal penting ketika menilai pasien yang mengalami kebingungan atau tidak
memiliki kemampuan verbal. Pasien yang mengalami penyakit otak kronik (misalnya Alzheimer,
Hidrosefalus, Ensefalopati) benar-benar tergantung sepenuhnya pada pengamatan profesional
kesehatan, anggota keluarga, dan petugas pelayan kesehatan untuk mengenali adanya nyeri. Contoh
perilaku dasar ketika pasien mengalami nyeri:10,14,17
Diam, menarik diri, pada pasien yang biasanya mengeluh dan banyak bergerak.
Berkedip dengan cepat, dengan wajah terlihat kaku / menyeringai kesakitan, pada pasien yang biasanya
tenang dan tidak banyak bicara.
Agitasi atau perilaku bersifat menyerang, pada individu yang biasanya mudah berteman dan terbuka.
Deskripsi akurat mengenai lokasi nyeri pada pasien yang biasanya berbicara tidak jelas.
Pasien lanjut usia mungkin juga mengalami manifestasi nyeri yang tidak biasa akibat sindrom nyeri.
Pasien infark miokard pada golongan usia ini sering tidak merasa nyeri. Penyakit ulkus peptik,
apendisitis, dan pneumonia mungkin menunjukkan perubahan perilaku, sementara pasien hanya
mengeluh ketidaknyamanan yang ringan. Kegawatdaruratan perut mungkin muncul pada nyeri dada.
Perubahan perilaku dan fisiologis pada pasien lanjut usia dapat diukur menggunakan cara-cara penilaian

nyeri. Cara-cara yang biasa digunakan untuk pasien anak-anak yang belum mampu berkomunikasi
verbal juga dapat digunakan untuk pasien lanjut usia dengan gangguan fungsi indera tertentu. (20)

Observasi Perilaku
Klinisi sering harus mengandalkan pengamatan perilaku yang berkaitan dengan nyeri Keterangan
mengenai perilaku nyeri juga dapat diperoleh dari anggota keluarga atau orang yang merawat pasien.
Pengukuran obyektif perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya pengaruh klinisi
terhadap perilaku pasien, lingkungan tempat dilakukannnya pengamatan perilaku tersebut (misalnya
apotek, klinik, rumah), sumber dana yang tersedia bagi pasien, peran orangtua, pasangan atau orangorang penting lainnya. Walaupun perilaku ini diidentifikasi sebagai pengukuran obyektif nyeri, perilaku ini
tidak secara langsung mengukur stimulus nyeri atau penderitaan fisiologis yang dialami pasien.(1,14)
Perilaku nyeri antara lain:(3,10,23)
Keluhan verbal mengenai rasa nyeri
Menggunakan obat
Berusaha mencari terapi/ pengobatan
Ketidaksempurnaan atau perubahan fungsi fisik atau sosial : menarik diri, menolak makan atau bermain,
tidak tenang, agitasi, waktu untuk memberi perhatian kurang, bingung, iritabilitas, pusing, berkeringat,
lelah.
Ekspresi wajah : kaku, kening berkerut, mata atau mulut terkunci rapat atau terbuka lebar, dan ekspresi
aneh lainnya.
Gerakan badan : tegak kaku, bergoyang-goyang, menarik/ menekuk kaki kearah perut, gerakan kepala/
jari bertambah, menggaruk daerah yang terasa nyeri, tidak dapat diam tenang, terburu-buru, perubahan
postur tubuh, lemas, tidak melakukan gerakan yang biasa dilakukan.
Vokal/ suara : menangis, terisak-isak, mengeluh, mengomel, mengaduh, mengerang, berteriak.
Alat Penilaian Perilaku/ Observasional nyeri
Beberapa penilaian perilaku / observasional nyeri telah dikembangkan untuk menginterpretasikan
ekspresi nyeri dengan memfokuskan pada perilaku non-verbal pada usila yang memiliki demensia berat,
sebab pada pasien dengan demensia biasanya muncul dengan sifat atau perilaku unik tertentu yang
biasanya tidak menandakan gejala nyeri pada pasien yang kognitifnya masih baik. Karena itu sangat
penting untuk memilih alat pengukur nyeri observasional mana yang cocok dan komprehensif dalam
menilai perilaku nyeri yang dilakukan oleh pasien. Skala yang biasa digunakan seperti skala Pain
Assesment in Advanced Dementia (PAINAID) dan alat penilaian nyeri Face, Leg, Activity, Cry and
Consolability Pain Assesment (FLACC) yang awalnya dikembangkan untuk menilai nyeri pada neonatus.
Skala ini juga memiliki daftar indikator perilaku nyeri yang biasanya didapatkan pada pasien usila yang
memiliki gangguan kognitif. Skor total diantara 0, yang menyatakan tidak ada perilaku nyeri, hingga 10,
yang menyatakan adanya perilaku nyeri yang berat. Salah satu kekurangan penggunaan PAINAD,
FLACC, dan skala lainnya adalah bahwa daftar perilaku nyeri tidak dapat digunakan pada pasien yang
tidak dapat merespon, tersedasi berat, atau baru saja mendapat agen pelumpuh neuromuskuler.(1)
Tabel 1. Skala Perilaku Nyeri (Behavioral Pain Scale) (1)

REFERENSI

1.
Welchek CM, Mastrangelo L, Sinatra RS, Martinez R. Qualitative and quantitative assessment of
pain. In: Sinatra RS, Casasola OA, Ginsberg B, Vincusi ER, McQuay H, editors. Acute pain management.
New York: Cambridge University Press; 2009. p.147-68.
2.
Disorbio JM, Bruns D, Barolat G. Assesment and treatment of chronic pain a physicians guide to
a biopsychosocial approach. Practical pain management. 2006. Available from: www.cdc.com
3.
American Medical Association. Module pain management pathophysiology of pain and pain
assessment. 2010. Available from: www.ama.com
4.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain management. Clinical anesthesiology. 4 th ed. New York:
McGraw-Hill; 2006. p.360-74.
5.
Causins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Welzack R, Wall PD, editors. Handbook of
pain management. Philadelphia: Elsevier Science; 2003. p.13-7.
6.
Waldman SD. Functional anatomy of the nociceptors. Pain review. Philadelphia: Elsevier
Squnders; 2009. p.187-9.
7.
Woolf CJ, Max MB. Mechanism based pain diagnosis. Anesthesiology. 2001;95:241-9.
8.
Stoelting RK, Hilliers SC. Pain. Pharmacology and physiology in naesthetic practice. 4 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. p.705-15.
9.
Casasola OA. Pain pathways and mechanism of neuropatic pain. Conferencias Magistrales.
Vol30. 2007. p.133-8.
10.
Howard RF, Macintyre PE, Upton R. acute pain management in children and elderly patient. In:
Macintyre PE, Walker SM, Rowbotham DJ, editors. Clinical pain management acute pain. 2nd ed.
London: Hodder Arnold; 2008. p.478-512.
11.
Gulati A, Loh J. Assesment of pain: complete patient evaluation. In: Vadivelu N, Urman RD, Hines
RL, editors. Essentials of pain management. New York: Springer; 2011. p.68-70.
12.
McWillians LA, Goodwin RD, Cox BJ. Depression and anxiety associated with three pain
conditions: results from a nationally representative sample. International association for study of ain.
2004. Available from: www.elseiver.com
13.
Schatman ME. Ethical issues in chronic pain management. In: Nieves WL, Panchal S, Schmidt
WK, Stantein M, editors. Pain management. New York: Informa Healthcare; 2007. p.2-3.
14.
Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland A, Romundstand L, Hals EK, et al. Assesment
of pain. British Journal of Anesthesia. 2008;101(1):17-24.
15.
Austalian and New Zealand College of Anesthetists and Faculty of Pain Medicine. Acute pain
management: scientific evidence. 2nd ed. ANZCA Merbourne. 2010. Available from: www.anzca.com
16.
Ballantyne JC. Management of acute postoperative pain. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman
MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. New York: McGraw-Hill; 2008. p.1716-8.
17.
The assessment of pain in older people. Concise guidance to good practice a series of evidencebased guidelines for clinical management. 2007. Available from: www.uptodate.com
18.
Snidvongs S, Nagaratman M, Stephens R. Assesment and treatment of pain in children. British
Journal of Hospital Medicine. Vol69. London. 2008. p.634-6.
19.
Baeyer CL. Measurement and assessment of pediatric pain in primary case. In: Walco GA,
Goldschneider KR, editors. Pain in children a practical guide for primary care. Totowa: Humana Press;
2008. p.21-5.
20.
Cavalieri TA. Pain management in the elderly. JAOA. Vol102. 2002. p.481-5.
21.
Ramamurthy S. Evaluation of the geriatric pain patient. In: Ramamurthy S, Alanmanou E, Rogers
JN, editors. Decision making in pain management. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier mosby; 2006. p.10-23.
22.
Berger JM. Pain management. In: Silverstein JH, Rooke GA, Reves JG, Mcleskey CH, editors.
Geriatric anesthesiology. 2nd ed. New York: Springer Science; 2008. p.308-10.
23.
Heer K, Coyne PJ, McCaffery M, Manworren R, Merkel S. Pain assessment in the patient unable
to self-report. American Society for Pain Management Nursing. 2011. Available from: http://aspmn.org

24.
Rose L, Haslam L, Dale C. Survey of assessment and management of pain for critically ill adults.
Intensive Crit Care Nurs. 2011;27:121-8.
25.
Hurley RW, Wu CL. Acute post operative pain. In: Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP,
Young WL, editors. Millers anesthesia. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2008. p.321333

Anda mungkin juga menyukai