Pendahuluan
Peta geomorfologi masih belum dianggap penting dalam bidang geologi secara umum.
Walaupun demikian, dalam geologi kerekayasaan dan lingkungan, peta geomorfologi sudah
mulai dipertimbangkan sebagai peta acuan, khususnya ketika menyangkut permasalahan
proses geologi eksogen yang bersifat dinamis. Sejarah pembuatan peta geomorfologi di
Indonesia khususnya di kalangan perguruan tinggi tidak mengacu pada satu sistem
manapun
(Bandono
dan
Brahmantyo,
1992),
walaupun
akhir-akhir
ini
terdapat
kecenderungan menggunakan sistem ITC (van Zuidam, 1985). Sistem ini di kalangan
mahasiswa tugas akhir umumnya hanya dimanfaatkan dalam tata cara penamaan satuan
geomorfologi karena memberikan kotak-kotak yang jelas dalam penamaannya. Hal ini
menjadi alternatif pengganti acuan dari Lobeck (1939) yang masih memberikan penamaan
deskriptif yang panjang.
Namun demikian, di kalangan mahasiswa geologi masih banyak kesulitan penggunaan
satuan-satuan geomorfologi dari klasifikasi yang ada baik dari ITC (van Zuidam, 1985),
apalagi Lobeck (1939). Hambatan pertama dari sistem ITC sebenarnya bermula karena sistem
ini mendasarkan klasifikasinya pada pengamatan dan interpretasi dari foto udara. Kesulitan
pertama dari sistem ITC juga muncul pada penamaan dengan kode D1 sampai D3 dan S1
sampai S3 yang sangat deskriptif dengan kalimat panjang dan tidak memberikan penamaan
yang praktis. Selain itu penamaan denudational origin agak sulit diterima mengingat pada
dasarnya semua bentuk muka bumi telah atau sedang mengalami proses denudasional. Hal
lain adalah tidak jelasnya kontrol geologis pada pembentukan morfologi, karena beberapa
penamaan menggunakan kriteria persen lereng.
Di lain pihak, pembagian satuan bentuk muka bumi Lobeck (1939), sebenarnya bisa lebih
praktis dan mempunyai kebebasan yang tinggi. Tetapi dalam contohnya, Lobeck tidak
memberikan penamaan satuan khusus melainkan memberikan deskripsi pada suatu morfologi
tertentu yang harus selalu mengacu pada unsur-unsur struktur proses tahapan. Ketiadaan
bentuk diagramatis klasifikasi bentuk muka bumi dengan contoh nama-nama satuan yang
sistematis pada Lobeck telah membuat kesulitan pemakaiannya bagi para pemeta. Namun
demikian, pendekatan Lobeck (1939) sebenarnya lebih cocok untuk geologi karena
mendasarkan pembagian morfologinya secara genetis, yaitu proses-proses geologi baik yang
bersifat endogen maupun eksogen.
pengertian bahwa morfologi merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen (Gambar
1). Sedangkan penggunaan pada skala lebih kecil misalnya 1:50.000 s/d 1:100.000 lebih
bersifat pembagian pada level bentang alam/landscape yang hanya mencerminkan pengaruh
proses endogen, dan pada skala lebih kecil lagi misalnya 1:250.000 pada level provinsi
geomorfologi atau fisiografi yang mencerminkan pengaruh endogen regional bahkan tektonik
global.
Pembagian skala peta dan perincian deskripsi satuan sudah banyak kecocokan antar berbagai
klasifikasi (Brahmantyo dan Bandono, 1999) dan cocok pula dengan pembagian
penggunakan skala peta untuk penyusunan tata ruang (lihat Gambar 1; UURI No. 24/1992
tentang Penataan Ruang dan PP No. 10/2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan
Ruang Wilayah).
Gunungapi, 5. Pegunungan Karst, 6. Dataran Sungai dan Danau, 7. Dataran Pantai, Delta dan
Laut, 8. Gurun, 9. Glasial.
Daftar Pustaka
Bandono, dan Brahmantyo, B., 1992. Peta Geomorfologi, Masalah dan Penggunaannya
dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Pros. PIT IAGI XXI,
Yogyakarta, hal. 777-783.
Brahmantyo, B., dan Bandono, 1999. Geomorphologic Information in Spatial Planning of
Indonesian Region, Proc. of Indonesian Assoc. of Geologists, the 28th Ann. Conv.,
Jakarta., pp. 255-259.
Goudie, A., 1981. Geomorphological Techniques. George Allen & Unwin, Boston.
Lobeck, A.K., 1939. Geomorphology, an Introduction to the Study of Landscape.
McGrawHill, New York.
Thornbury, W.D., 1989. Principles of Geomorphology, 2nd Ed. Fourth Wiley Eastern Reprint,
John Wiley & Son, New Delhi.
Zuidam, R.A. van, 1985.