Anda di halaman 1dari 11

Ekspedisi Ilmiah Lengguru-Kaimana

Atheis oleh Aki 1949

Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform)


untuk Pemetaan Geomorfologi pada Skala
1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan
Ruang
Budi Brahmantyo, dan Bandono
(Jurnal Geoaplika Vol. 1 No. 2, 2006, hal. 71-78).
Sari Pembuatan peta geomorfologi, khususnya bagi mahasiswa geologi pemeta tugas akhir,
dan umumnya bagi para ahli Geologi, kadang-kadang menimbulkan kesulitan pada tahap
klasifikasi dan penamaan satuan geomorfologinya. Klasifikasi bentuk muka bumi ini dibuat
untuk menjembatani kesulitan tersebut dengan tetap mendasarkan pada penjelasan genetis
geologis. Dalam pembagian ini terdapat sembilan satuan bentang alam yang dikontrol baik
oleh proses endogen maupun proses eksogen, yang masing-masing terbagi ke dalam beberapa
satuan bentuk muka bumi. Kesembilan satuan bentang alam tersebut adalah: 1. Pegunungan
Lipatan, 2. Pegunungan Plateau/Lapisan Datar, 3. Pegunungan Sesar, 4. Pegunungan
Gunungapi, 5. Karst, 6. Sungai dan Danau, 7. Pantai, Delta dan Laut, 8. Gurun, 9. Glasial.
Abstract The development of geomorphologic map, especially for the students of geology,
and also for geologists, faces a major problem in the stage of classifying and naming of its
geomorphologic unit. This classification of landform tries to act as a bridge the problem
which is still based on geologically genetic explanation. This classification is divided into
nine landscape units that controlled by endogenic and/or exogenic processes, and each
landscape is divided into several landform units. The landscape units are 1. Folded Mountain,
2. Plateau/Horizontal Layer Mountain, 3. Faulted or Block Mountain, 4. Volcanoes, 5. Karst,
6. River/Fluvial and Lake/Lacustrin, 7. Coastal, Delta and Marine, 8. Desert, 9. Glaciated
Region.

Pendahuluan
Peta geomorfologi masih belum dianggap penting dalam bidang geologi secara umum.
Walaupun demikian, dalam geologi kerekayasaan dan lingkungan, peta geomorfologi sudah
mulai dipertimbangkan sebagai peta acuan, khususnya ketika menyangkut permasalahan
proses geologi eksogen yang bersifat dinamis. Sejarah pembuatan peta geomorfologi di
Indonesia khususnya di kalangan perguruan tinggi tidak mengacu pada satu sistem
manapun

(Bandono

dan

Brahmantyo,

1992),

walaupun

akhir-akhir

ini

terdapat

kecenderungan menggunakan sistem ITC (van Zuidam, 1985). Sistem ini di kalangan
mahasiswa tugas akhir umumnya hanya dimanfaatkan dalam tata cara penamaan satuan
geomorfologi karena memberikan kotak-kotak yang jelas dalam penamaannya. Hal ini
menjadi alternatif pengganti acuan dari Lobeck (1939) yang masih memberikan penamaan
deskriptif yang panjang.
Namun demikian, di kalangan mahasiswa geologi masih banyak kesulitan penggunaan
satuan-satuan geomorfologi dari klasifikasi yang ada baik dari ITC (van Zuidam, 1985),
apalagi Lobeck (1939). Hambatan pertama dari sistem ITC sebenarnya bermula karena sistem
ini mendasarkan klasifikasinya pada pengamatan dan interpretasi dari foto udara. Kesulitan
pertama dari sistem ITC juga muncul pada penamaan dengan kode D1 sampai D3 dan S1
sampai S3 yang sangat deskriptif dengan kalimat panjang dan tidak memberikan penamaan
yang praktis. Selain itu penamaan denudational origin agak sulit diterima mengingat pada
dasarnya semua bentuk muka bumi telah atau sedang mengalami proses denudasional. Hal
lain adalah tidak jelasnya kontrol geologis pada pembentukan morfologi, karena beberapa
penamaan menggunakan kriteria persen lereng.
Di lain pihak, pembagian satuan bentuk muka bumi Lobeck (1939), sebenarnya bisa lebih
praktis dan mempunyai kebebasan yang tinggi. Tetapi dalam contohnya, Lobeck tidak
memberikan penamaan satuan khusus melainkan memberikan deskripsi pada suatu morfologi
tertentu yang harus selalu mengacu pada unsur-unsur struktur proses tahapan. Ketiadaan
bentuk diagramatis klasifikasi bentuk muka bumi dengan contoh nama-nama satuan yang
sistematis pada Lobeck telah membuat kesulitan pemakaiannya bagi para pemeta. Namun
demikian, pendekatan Lobeck (1939) sebenarnya lebih cocok untuk geologi karena
mendasarkan pembagian morfologinya secara genetis, yaitu proses-proses geologi baik yang
bersifat endogen maupun eksogen.

Mengingat keterbatasan-keterbatasan pembagian satuan-satuan geomorfologi dari ITC


maupun Lobeck, maka diperlukan suatu acuan penggunaan klasifikasi yang lebih mudah dan
praktis, khususnya bagi mahasiswa. Acuan ini diharapkan tetap tidak meninggalkan analisis
geomorfologi secara kritis, terutama melalui analisis peta topografi, yang dapat didukung
juga melalui interpretasi foto udara dan citra, maupun pengamatan lapangan.
Makalah ini mencoba untuk melakukan penyusunan suatu acuan klasifikasi dan pembagian
nama satuan geomorfologi secara genetis berdasarkan pada proses-proses geologis (endogeneksogen) yang pada prinsipnya mengadopsi gabungan antara sistem ITC (dalam hal
penamaan satuan) dan Lobeck (dalam hal prinsip dasar penamaan dan klasifikasi). Klasifikasi
ini dinamai Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (BMB).
Prinsip Penggunaan Klasifikasi BMB
Dalam geomorfologi, banyak peneliti mengacu pada mahzab Amerika yang mengikuti
prinsip-prinsip Davisian tentang siklus geomorfologi. Prinsip ini kemudian dijabarkan oleh
Lobeck (1939) dengan suatu klasifikasi bentang alam dan bentuk muka bumi yang dikontrol
oleh tiga parameter utama, yaitu struktur (struktur geologi; proses geologi endogen yang
bersifat konstruksional / membangun), proses (proses-proses eksogen yang bersifat
destruksional / merusak atau denudasional), dan tahapan (yang kadangkala ditafsirkan
sebagai umur tetapi sebenarnya adalah respon batuan terhadap proses eksogen; semakin
tinggi responnya, semakin dewasa tahapannya).
Di lain pihak terdapat mahzab Eropa, di antaranya adalah yang dikembangkan oleh Penck
(dalam Thornbury, 1989) yang lebih menekankan pada proses pembentukan morfologi dan
mengenyampingkan adanya tahapan.
Terlepas dari mahzab-mahzab tersebut, Klasifikasi BMB ini mempunyai prinsip-prinsip
utama geologis tentang pembentukan morfologi yang mengacu pada proses-proses geologis
baik endogen maupun eksogen. Interpretasi dan penamaannya berdasarkan kepada deskriptif
eksplanatoris (genetis) dan bukan secara empiris (terminologi geografis umum) ataupun
parametris misalnya dari kriteria persen lereng.
Klasifikasi BMB ini terutama adalah untuk penggunaan pada skala peta 1:25.000 yang
membagi geomorfologi pada level bentuk muka bumi/ landform, yang mengandung

pengertian bahwa morfologi merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen (Gambar
1). Sedangkan penggunaan pada skala lebih kecil misalnya 1:50.000 s/d 1:100.000 lebih
bersifat pembagian pada level bentang alam/landscape yang hanya mencerminkan pengaruh
proses endogen, dan pada skala lebih kecil lagi misalnya 1:250.000 pada level provinsi
geomorfologi atau fisiografi yang mencerminkan pengaruh endogen regional bahkan tektonik
global.
Pembagian skala peta dan perincian deskripsi satuan sudah banyak kecocokan antar berbagai
klasifikasi (Brahmantyo dan Bandono, 1999) dan cocok pula dengan pembagian
penggunakan skala peta untuk penyusunan tata ruang (lihat Gambar 1; UURI No. 24/1992
tentang Penataan Ruang dan PP No. 10/2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan
Ruang Wilayah).

Gambar 1. Tahapan skala peta geomorfologi dg tata ruang


Produk pemetaan geomorfologi adalah peta geomorfologi pada skala 1:25.000 yang
berdasarkan pada analisis desk-study, dengan peta dasar adalah peta topografi, didukung
interpretasi lain baik dari foto udara maupun citra; serta data yang didapat dari pemetaan
geologi. Cara-cara pembuatan peta geomorfologi selanjutnya mengikuti cara-cara yang telah
dilakukan sesuai petunjuk yang telah dipakai secara luas dan sebaiknya menggunakan
simbol-simbol geomorfologi (lihat contoh-contoh pemakaian simbol peta geomorfologi pada
van Zuidam, 1985).
Acuan Pembagian Klasifikasi BMB
Acuan pembagian Klasifikasi BMB ini akan mengikuti beberapa kriteria di bawah ini:
1. Secara umum dibagi berdasarkan satuan bentang alam yang dibentuk akibat proses-proses
endogen / struktur geologi (pegunungan lipatan, pegunungan plateau/lapisan datar,
Pegunungan Sesar, dan gunungapi) dan proses-proses eksogen (pegunungan karst, dataran
sungai dan danau, dataran pantai, delta, dan laut, gurun, dan glasial), yang kemudian dibagi
ke dalam satuan bentuk muka bumi lebih detil yang dipengaruhi oleh proses-proses eksogen.
2. Dalam satuan pegunungan akibat proses endogen, termasuk di dalamnya adalah lembah
dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh proses endogen maupun oleh proses eksogen.
3. Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk gelombang
sinusoidal ideal (Gambar 2A). Di alam, batas lembah dicirikan oleh tekuk lereng yang
umumnya merupakan titik-titik tertinggi endapan koluvial dan/atau aluvial (Gambar 2B).

Gambar 2. Batasan bukit dan lembah


4. Penamaan satuan paling sedikit mengikuti prinsip tiga kata, atau paling banyak empat kata
bila ada kekhususan; terdiri dari bentuk / geometri / morfologi, genesa morfologis (prosesproses endogen eksogen), dan nama geografis. Contoh: Lembah Antiklin Welaran,
Punggungan Sinklin Paras, Perbukitan Bancuh Seboro, Dataran Banjir Lokulo; Bukit Jenjang
Volkanik Selacau, Kerucut Gunungapi Guntur, Punggungan Aliran Lava Guntur, Kubah Lava
Merapi, Perbukitan Dinding Kaldera Maninjau, Perbukitan Menara Karst Maros, Dataran
Teras Bengawan Solo, Dataran Teras Terumbu Cilauteureun, dsb.
5. Klasifikasi BMB disusun dalam Tabel 1.

Diskusi dan Kesimpulan


Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (BMB) pada makalah ini mungkin tidak dapat
mengakomodasi bentuk-bentuk muka bumi tertentu yang sangat khas dan sulit untuk
dimasukkan ke dalam salah satu dari kotak penamaan di atas. Namun demikian, Klasifikasi
BMB sudah sedemikian rupa mengadopsi berbagai bentuk muka bumi baik dari hasil
pengamatan geomorfologi di Indonesia oleh penulis, maupun dari contoh-contoh pada bukubuku geomorfologi dengan contoh internasional. Beberapa bentuk muka bumi yang spesifik
yang belum tercantum pada Klasifikasi BMB dapat ditambahkan dengan analogi seperti
contoh yang diberikan pada Tabel 1.
Beberapa permasalahan yang umumnya menjadi sulit adalah ketika para pemeta bekerja pada
skala yang lebih detail. Pada kasus seperti ini, Klasifikasi BMB tidak tepat untuk digunakan.
Seperti pada Gambar 1, pada tingkat yang lebih detil, pemetaan geomorfologis sudah lebih
diarahkan kepada pemetaan proses yang lebih kuantitatif.
Klasifikasi BMB pada prinsipnya adalah klasifikasi pada peta berskala dasar 1:25.000 dan
didasarkan kepada deskriptif gejala-gejala geologis, baik diamati melalui peta topografi, foto
udara, maupun citra satelit, ataupun dari pengamatan morfologi langsung di lapangan.
Klasifikasi BMB membagi bentang alam ke dalam 9 kelas utama, yaitu 1. Pegunungan
Lipatan, 2. Pegunungan Plateau/Lapisan Datar, 3. Pegunungan Sesar, 4. Pegunungan

Gunungapi, 5. Pegunungan Karst, 6. Dataran Sungai dan Danau, 7. Dataran Pantai, Delta dan
Laut, 8. Gurun, 9. Glasial.
Daftar Pustaka
Bandono, dan Brahmantyo, B., 1992. Peta Geomorfologi, Masalah dan Penggunaannya
dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Pros. PIT IAGI XXI,
Yogyakarta, hal. 777-783.
Brahmantyo, B., dan Bandono, 1999. Geomorphologic Information in Spatial Planning of
Indonesian Region, Proc. of Indonesian Assoc. of Geologists, the 28th Ann. Conv.,
Jakarta., pp. 255-259.
Goudie, A., 1981. Geomorphological Techniques. George Allen & Unwin, Boston.
Lobeck, A.K., 1939. Geomorphology, an Introduction to the Study of Landscape.
McGrawHill, New York.
Thornbury, W.D., 1989. Principles of Geomorphology, 2nd Ed. Fourth Wiley Eastern Reprint,
John Wiley & Son, New Delhi.
Zuidam, R.A. van, 1985.

Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and

Geomorphologic Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede, The Hague.


http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=717

Anda mungkin juga menyukai