Anda di halaman 1dari 59

Jurnal

ISSN 1907-0799

Sumberdaya
Lahan
Indonesian Journal of Land Resources
Vol. 4 No. 1

Juli 2010

Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian

Hal.

1-12

Hal.

13-25

Hal.

27-38

Hal.

39-46

Hal.

47-56

Ai Dariah, A. Abdurachman, dan D. Subardja

Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik untuk Kesuburan dan


Produktivitas Tanah Melalui Pemberdayaan Sumberdaya Hayati Tanah
Subowo G.

Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan


S. Ritung

Development of National Climate Database System for Supporting


Agriculture Research
E. Runtunuwu

Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam Setelah Reklamasi


Lahan
W. Annisa dan B.H. Purwanto

BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
DEPARTEMEN PERTANIAN
J. SDL

Vol. 4

No. 1

Hal. 1-56

Bogor, Juli 2010

Terakreditasi C Nomor 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009

ISSN 1907-0799

Jurnal

Sumberdaya
Lahan

ISSN 1907-0799

Indonesian Journal of Land Resources


Terakreditasi dengan Predikat C Nomor : 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009

Diterbitkan oleh :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
Tlp. 0251 8323012 Fax 0251 8311256
e-mail : csar@indosat.net.id
http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id
DEWAN PENYUNTING
Penanggungjawab

: Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS (Kepala Balai Besar Litbang SDLP)

Ketua Dewan Penyunting : Dr. Ir. Achmad Hidayat, MSc


(Pemetaan dan Evaluasi Lahan/BB Litbang SDLP)
Anggota

: Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan


Lingkungan/Balittanah)
Prof. Dr. Ir. Didi Ardi Suriadikarta, MSc (Kesuburan Tanah/Balittanah)
Bambang Hendro Prasetyo, MSc (Genesa dan Mineralogi Tanah/BB
Litbang SDLP)
Dr. Ir. Ai Dariah, MS (Konservasi, Reklamasi, dan Rehabilitasi
Lahan/Balittanah)
Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, MS (Agroklimatologi/Balitklimat)
Dr. Ir. Nono Sutrisno, MS (Konservasi Tanah dan Air/Puslitbang
Hortikultura)
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus (Tanah dan Pengembangan SDL/
IPB)

Penyunting Pelaksana

: Karmini Gandasasmita, Widhya Adhy, Sukmara

Mitra Bestari

: Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham (Institut Pertanian Bogor)


Prof. Dr. Ir. Sumarno (Puslitbang Tanaman Pangan)
Dr. Ir. A.M. Fagi (Badan Litbang Pertanian)

Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian
atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan.
Jurnal Sumberdaya Lahan terbit dua nomor dalam setahun.
Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan
sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan
mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk
dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis
diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.

PEDOMAN BAGI PENULIS


Ruang Lingkup: Jurnal Sumberdaya Lahan
(J. SDL) terbit dua kali dalam setahun,
memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil
penelitian atau terhadap suatu topik yang
berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim,
dan lingkungan. Naskah ditulis dalam
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris,
belum pernah diterbitkan atau tidak sedang
dalam penyuntingan di publikasi lainnya.
Bentuk Naskah: Naskah diketik pada kertas
ukuran A4 (21,0 X 29,7 cm) dengan jarak
ketikan dua spasi, dengan huruf Times
New Roman 12 point, pada satu
permukaan saja dan maksimum 15
halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak
ketikan dari tepi kiri 3,0 cm, sedangkan
kanan, atas dan bawah 2,5 cm. Naskah
disusun dalam urutan sebagai berikut: judul
tulisan (dalam bahasa Indonesia dan
Inggris), nama dan alamat penulis, abstrak
dalam bahasa Indonesia dan Inggris (200300 kata) dan kata kunci (3-4 kata),
pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan/
penutup, daftar pustaka.
Judul Naskah: Terdiri atas suatu ungkapan
yang dengan tepat mencerminkan isi
naskah. Nama serta instansi tempat kerja
penulis dicantumkan di bawah judul. Bila
penulis lebih dari satu orang, maka perlu
menuliskan
namanya
sesuai
aturan
penulisan. Kalau dirasa perlu, judul naskah
dapat dilengkapi dengan sub judul untuk
mempertegas maksud tulisan.
Teks Naskah: Sitasi literatur di dalam teks
menggunakan nama penulis, bukan nomor,
dan harus tercantum dalam daftar pustaka.
Satuan ukuran dalam teks dan grafik
memakai sistem metrik.
Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat
tetapi jelas, dengan catatan bawah secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian
rupa sehingga setiap tabel mampu
menjelaskan secara mandiri.

Gambar dan Grafik: Dibuat dengan garis


cukup tebal, sehingga memungkinkan penciutan dalam proses cetak. Keterangan
grafik dan gambar jangan pada gambar/
grafik itu, tetapi diketik dua spasi pada
kertas tersendiri sebagai suatu legenda.
Nama penulis serta nomor gambar/grafik
dengan disertai sumbernya, ditulis dengan
pensil lunak dibalik gambar itu. Seperti
halnya tabel, keterangan gambar/grafik
harus cukup lengkap, agar dapat disajikan
secara mandiri. Foto hitam putih atau
berwarna, dicetak pada kertas mengkilap,
dan dipilih yang memiliki kotras yang baik.
Slide berwarna atau yang berujud data
digital lebih diharapkan.
Daftar Pustaka: Semua pustaka yang disitir
di dalam teks hendaknya disusun menurut
abjad, sesuai nama penulisnya, dengan
sistem nama tahun. Jangan masukkan
pustaka yang tidak disitir dalam teks ke
dalam daftar pustaka. Pustaka primer
diharapkan lebih banyak (80%) dan pengacuan pustaka 80% merupakan terbitan 10
tahun terakhir.
Penyunting melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal
yang informatif, tanpa mengubah arti yang
dimaksud di dalam naskah. Penyunting
akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil
suntingan redaksi jika diterima untuk
dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat
sesuai dengan keputusan rapat Dewan
Penyunting. Penulis diharapkan segera
mengembalikan perbaikan naskah agar
jurnal dapat diterbitkan tepat waktu.
Kepada setiap penulis diberikan dua
eksemplar jurnal.
Surat Menyurat: Naskah tulisan dikirim
rangkap dua ke alamat Redaksi Jurnal
Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor
16123. Tlp. 0251-8323012. fax. 02518311256. e-mail: csar@indosat.net. id.

ISSN 1907-0799

REKLAMASI LAHAN EKS-PENAMBANGAN UNTUK PERLUASAN AREAL PERTANIAN


Reclamation of Ex-Mining Land for Agricultural Extensification
Ai Dariah1, A. Abdurachman1, dan D. Subardja2
1 Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
2 Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan eks-penambangan untuk perluasan areal pertanian merupakan suatu peluang untuk memecahkan
persoalan pangan dan lingkungan. Paper ini membahas prospektif pemanfaatan lahan eks penambangan untuk perluasan areal
pertanian. Areal pertambangan resmi yang dilengkapi dengan izin usaha penambangan di Indonesia jumlahnya cukup luas,
diantaranya sekitar 2,2 juta ha di bawah Perjanjian Pengusahaan Batu Bara (PKP2B), dan 2,9 juta ha berdasarkan Kontrak Karya
(KK). Sebagian lahan tersebut sudah selesai ditambang, dan perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak
merusak lingkungan. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah pemetaan lahan-lahan bekas tambang tersebut, yang dilengkapi
dengan status kepemilikan (land tenure) atau penguasaan lahannya, agar pemanfaatan selanjutnya baik untuk pertanian maupun
usaha lain, dapat berjalan berkelanjutan. Reklamasi lahan perlu dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya
guna bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi
bio-fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan pengelolaan lahan tambang tidak cukup
hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan
penutupannya (planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi. Hal ini
perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin penambangan.
Kata kunci : Tambang, reklamasi, pertanian

ABSTRACT
Utilization of ex-mining land for agricultural extensification is an opportunity to solve the problem of food and
environment. This paper discusses prospective utilization of ex-mining land for agricultural extensification. Mining area equipped
with a business license for mining in Indonesia is around 2.2 million ha under Coal Concession Agreement, and 2.9 million ha
under the Contract of Effort. A part of land is already finished being mined, and be managed properly in order to benefit the
community and not damage the environment. The initial steps that need to be done is mapping of mined lands, included a status of
ownership (land tenure), so that subsequent use of both for agriculture and other businesses can be sustainable. Land reclamation is
necessary to increase capacity and efficiency for biomass production. Determination of land use types, should be based on land
tenure, bio-physical conditions of land, and the needs of the community or local government. In the future, mining land management
requirements is not enough simply by opening a feasibility study for mining operations, but need to be accompanied also with its
closure plan (planning of closures), which includes environmental protection and mitigation of socio-economic problems. This
needs to be one of the terms of the granting of mining permits.
Keywords : Mining, reclamation, agriculture

elangkaan lahan secara umum menjadi


permasalahan yang semakin sulit diatasi,
seiring
dengan
laju
pertambahan
penduduk yang terus meningkat, sementara
lahan cadangan yang tersedia makin terbatas.
Pertanian merupakan sektor pembangunan yang
sering dirugikan, karena lahan pertanian tidak
jarang dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan
sektor lain, misalnya untuk pemukiman, industri,
jalan, pasar dan pertokoan. Sebagai contoh,
selama periode 1979-1999 konversi lahan

sawah mencapai 1.627.514 ha atau 81.376 ha/


tahun (Isa, 2006).
Berbagai upaya telah dilakukan, antara lain
program reforma agraria, namun perluasan lahan
pertanian tetap lamban. Pemanfaatan lahan ekspenambangan untuk perluasan areal pertanian
merupakan suatu peluang, setelah terlebih
dahulu direklamasi untuk meningkatkan daya
dukung dan daya guna bagi produksi biomassa
(Mulyanto, 2008).
1

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Reklamasi lahan eks tambang sebenarnya


merupakan kewajiban perusahaan penambang,
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun
pelaksanaanya berjalan sangat lambat. Menurut
Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi (2006)
baru sekitar sepertiga dari luas lahan yang
dibuka untuk tambang yang telah direklamasi,
sehingga percepatan reklamasi sangat diperlukan.
Kelambatan reklamasi lahan eks tambang
disebabkan oleh berbagai kendala teknis dan non
teknis. Kendala-kendala tersebut perlu dikenali
terlebih dahulu, kemudian dicarikan solusi yang
terbaik dan mudah dilaksanakan (practicable),
agar lahan-lahan tersebut selanjutnya dapat
dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat,
dan bila memungkinkan dapat digunakan untuk
peningkatan produksi bahan pangan nasional.
Tulisan
ini
membahas
prospektif
pemanfaatan lahan eks penambangan untuk
perluasan areal pertanian. Pokok bahasan
meliputi luas areal eks tambang; permasalahan
lahan eks tambang ditinjau dari aspek teknis,
sosial ekonomi, land tenure dan peraturan
perundangan; serta teknologi dan strategi
reklamasi lahan eks tambang.

LUAS AREAL PERTAMBANGAN DAN


PERMASALAHANNYA
Luas areal pertambangan
Kegiatan operasional pertambangan yang
berjalan relatif besar dimulai pertengahan 1970an. Sebelum tahun 1970, kegiatan penambangan
juga telah dilakukan, namun masih dalam skala
yang relatif kecil. Sampai dengan tahun 2009,
dari total lahan yang telah diberi izin eksploitasi
yaitu 2.205.348 ha, lahan yang telah dibuka
untuk areal tambang dan infrastrukur hanya
135.000 ha, dengan luas total yang telah
direklamasi 33.767,58 ha (Tabel 1).
Lahan yang dibuka untuk pertambangan
tidak luas, sehingga setelah 30 tahun, areal yang
rusak relatif sempit yaitu 0,07% dibandingkan
dengan seluruh daratan Indonesia (Soelarso,
2008).
Namun,
mengingat
penambangan
terkonsentrasi pada wilayah tertentu, maka
dampaknya terhadap wilayah yang bersangkutan
cukup dominan. Sebagai contoh, aktivitas
penambangan timah di Provinsi Bangka-Belitung,
sangat mempengaruhi lingkungan dan kondisi
sosial-ekonomi masyarakat. Hasil evaluasi yang
dilakukan Puslittanah (1987) menunjukkan areal

Tabel 1. Rekapitulasi lahan bekas tambang


Jenis usaha

I. Kontrak karya (KK) tahap


produksi
II. Perjanjian pengusahaan
pertambangan batu bara
(PKP2B) tahap produksi
III. Kuasa pertambangan (KP)
eksploitasi*
Jumlah

Reklamasi
Pemanfaatan
Jumlah
lain
.. ha ..
516.803,30
15.856,48
9.088,09
877,81
9.965,90

Luas wilayah

Luas lahan yang


dibuka**
Penghijauan

825.862,60

36.988,63

15.077,32

735,30

15.812,62

862.682,46

25.965,78

7.044,29

944,77

7.989,06

2.205.348,35

78.810,89

31.209,70

2.557,88

33.767,58

Sumber : Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (2009)
* Khusus data untuk KP setelah otonomi tidak termutahirkan karena tidak ada data dari daerah dan begitu juga dari
Perusahaan Pemegang Izin KP Daerah, yang masih ada data dari pemegang KP BUMN dan 5 KP Perusahaan
Nasional). Data Periznan KP Eksploitasi dari berbagai wilayah yang dilaporkan ke Direktorat Pengusahaan mineral
dan Batubara per Juli 2009 adalah 770 KP.
** Pada areal bekas tambang dan penimbunan material buangan (dimanfaatkan untuk perumahan, perkantoran,
penampung air bersih, dan tempat rekreasi) selain luas lahan untuk penambangan tersebut di atas, diperlukan luas
lahan utuk jaringan jalan, pelabuhan udara, pelabuhan air, perkotaan, pabrik, pembangkit listrik, pengelolaan tailing,
dan lain-lain. Luas total yang dibuka untuk pertambangan mencapai 135.000 ha.

Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian

seluas 198,75 ha yang secara aktual dinyatakan


tidak sesuai untuk pertanian sebagian besar
merupakan kolong, hamparan tailing pasir,
lumpur, dan tanah berpirit yang dihasilkan dari
aktivitas penambangan.

Limbah tailing

Limbah tailing dari prosesing bijih tambang


dapat menutupi lansekap baik di dalam maupun
di luar lokasi penambangan. Limbah ini
mempunyai daya dukung yang sangat rendah
untuk kehidupan flora maupun fauna, misalnya
limbah tambang dari Timah di Bangka-Belitung
dimana tekstur tanah didominasi pasir kuarsa
(>90%), dengan C-organik <1%, sehingga
kemampuan memegang hara dan air sangat
rendah. Selain itu, kandungan hara, kapasitas
tukat kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB),
tidak mendukung persyaratan tumbuh tanaman
(Tabel 2).

Permasalahan
Perusahaan penambangan dituntut untuk
mampu mengembalikan lahan bekas tambang ke
kondisi yang sesuai dengan persyaratan tata
guna lahan berdasarkan tata ruang daerah
(Mulyanto, 2008; Soelarso, 2008). Artinya,
setelah penambangan selesai, harus terjadi
transformasi manfaat atau mengembalikan lahan
yang ditambang ke kondisi awal, sehingga
selaras dengan azas manfaat dan bersifat
berkelanjutan. Namun, kedua hal tersebut sulit
dicapai,
karena
umumnya
perencanaan
penutupan tambang (termasuk reklamasinya)
tidak terintegrasi dengan operasi pertambangan
sejak awal sampai penutupan, sehingga pasca
penambangan timbul berbagai permasalahan.

Tercampurnya tanah pucuk dengan overburden


(bahan galian)

Setiap tahun sekitar 1,2 milyar m3


tumpukan bahan galian (overburden) dihasilkan
dari proses penambangan batu bara, sedangkan
dari penambangan bahan mineral dan logam
diperkirakan sekitar 0,3 milyar m3. Jika
mengikuti tata cara penambangan yang benar,
bagian tanah yang paling atas (tanah pucuk),
seharusnya dipisahkan dari bahan galian di
bawahnya untuk kepentingan reklamasi, namun
kenyataannya sebagian besar tanah pucuk
tercampur dengan overburden (Tabel 3),
sehingga daya dukung lahan menjadi sangat
terbatas.

Aspek teknis

Sumberdaya mineral dan batu bara di


Indonesia sebagian besar terdapat pada lapisan
bumi yang dekat permukaan tanah, oleh karena
itu penambangannya banyak dilakukan dengan
cara terbuka (open pit mine methode). Sistem ini
menyebabkan perubahan unsur-unsur bentang
alam, seperti topografi, vegetasi penutup, pola
hidrologi, dan kerusakan tubuh tanah (Mulyanto,
2008),
sehingga
menyulitkan
proses
reklamasinya. Beberapa permasalahan teknis
yang sering timbul, antara lain :

Faktor pembatas overburden Sampur jika


digunakan sebagai media tanam adalah
kandungan bahan organik tanah dan unsur hara
tanah lainnya yang sangat rendah. Faktor

Tabel 2. Hasil analisis tailing timah dari Bangka Belitung


Jenis tailing

Tailing
Tailing
Tailing
Tailing
Tailing

putih
coklat
putih
kekelabuan
campuran

Pasir
%
94
91
98
89
94

pH
H2O
4,9
4,4
4,5
4,6
4,8

Bahan org.
C

... % ...
0,07 0,01
0,73 0,07
0,24 0,02
0,59 0,05
0,09 0,01

HCl 25%
P2O5

K2O

..mg/100g..
1
3
5
3
7
9
5
4
1
6

P Bray
ppm
3,8
1,5
6,2

NH4OAc 1 N, pH 7
Ca

Mg

Na

KTK

............ cmol(+)/kg ............


0,18 0,06 0,03 0,05 1,12
0,23 0,06 0,03 0,05 2,80
0,28 0,17 0,03 0,14 3,11
0,23 0,08 0,03 0,06 3,57
0,09 0,12 0,03 0,05 1,78

KB

Kej.
Al

..... % .....
29
3
13
56
20
18
11
56
16
10

Sumber : PT Benua dan PT Timah (2009)

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Tabel 3. Hasil analisis tanah (campuran overburden dan tanah


pucuk) dari kegiatan penambangan timah di BangkaBelitung
Lokasi pengambilan sampel

Parameter yang dianalisis


(satuan)
Tekstur
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)

Sampur

Jurung

Lempung berpasir
73
15
12

Lempung berdebu
15,0
71,1
25,5

Masam
4,8
4,3

Sangat masam
2,7
2,6

1.17
0,08
7,7
2,0
0,35
0,07
0,03
2,72
17,33

5,7
0,18
8
11
2,86
1.41
0.04
17.42
25,00

pH
H2 O
KCl
C-organik (%)
N- Total (%)
P2O5 HCl 25% (mg/100g
K2O HCl 25% (mg/100g)
Ca (cmol(+)/100g)
Mg (cmol(+)/100g)
K (cmol(+)/100g)
KTK (cmol(+)/100g)
KB (%)
Sumber : Puslittanak, 1995

pembatas yang terdapat pada overburden


Jurung berbeda dengan overburden Sampur,
meskipun kandungan bahan organik tanah
>5%, namun pH-nya tergolong sangat masam
(pH<3). Hal ini merupakan indikasi bahwa
overburden tersebut berasal dari tanah sulfat
masam, yang terjadi karena terangkatnya lapisan
yang
mengandung
pirit,
dan
kemudian
bercampur dengan bagian tanah lainnya.
Tumpukan overburden yang sangat masam
tersebut juga merupakan sumber pencemaran air
dan tanah.

masam (Tabel 4). Permasalahan lain adalah


kandungan garam-garam sulfat yang tinggi
seperti MgSO4, CaSO4, AlSO4, yang dapat
meracuni tanaman. Pada musim kemarau garamgaram tersebut muncul ke permukaan tanah
berbentuk kerak putih (Talaohu ,1995; Yustika
dan Talaohu, 2007).

Pada areal bekas pertambangan batu bara,


sifat fisik merupakan faktor pembatas jika
overburden batu bara digunakan sebagai media
tanam. Hasil analisis bahan galian yang diambil
di beberapa lokasi tambang batubara di Tanjung
Enim (Sumatera Selatan) menunjukkan tanah
menjadi padat karena rata-rata BD tanah bahan
galian batu bara tergolong tinggi (Tabel 4), yang
berarti tanah menjadi padat.

Erosi dan aliran permukaan yang tidak terkendali

Kendala sifat kimia tanah ditentukan oleh


asal bahan galian. Bahan galian yang berasal dari
tanah sulfat masam, pH nya <3 atau sangat
4

Kondisi fisik tanah yang buruk ditemui pula


pada areal bekas tambang batubara di
Kalimantan (Tabel 5), meskipun telah direklamasi
selama 1-3 tahun (PT Kitadin, 2009).

Salah satu ciri khas dari areal bekas


tambang yang belum direklamasi adalah kondisi
lahan yang tidak bervegetasi, dengan bentuk
permukaan yang tidak beraturan. Pada kondisi
ini, tanah pucuk atau bahan (overburden)
merupakan bagian tanah yang paling mudah
tererosi, baik oleh curah hujan langsung,
maupun oleh aliran permukaan yang tidak
terkendali, akibat rusaknya saluran drainase
alami.

Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian

Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia overburden dari lokasi
penambangan batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan
Parameter
3

BD (g/cm )
pH (H2O)
pH (KCl)
C-organik (%)
Ca (me/100g)
Mg (me/100g)
K (me/100g)
Na (me/100g)
KTK
KB
Al3+
DHL

Lokasi
Klawas Timur

Mahayung

Suban

Udongang

1,35
2,90
2,75
5,12
7,12
9,42
0,10
0,15
11,70
91,00
5,43
2.58

1,28
4.65
4.15
1.75
7.40
11.61
0.41
0.59
20.0
95.5
1.18
0,91

1,12
4,70
3,60
0.35
3.04
7.16
0,38
0,39
18,40
60,50
6,26
0,73

1,21
4,90
4,55
1,50
8,87
13,79
0,56
2,25
23,8
98,0
1,01
1,39

Sumber : Talaohu (1995), diolah kembali

Tabel 5. Sifat fisik tanah pada areal bekas tambang batu bara di Kutai Kartanegara,
Kalimantan
Lokasi
KTD-02 = area lahan reklamasi
dengan Acasia sp. umur 1 tahun

Kedalaman
cm
0-20
20-60

Kelas tekstur

KTD-03 = area reklamasi dengan


Acasia sp. berumur 3 tahun

0-20
20-60

Liat
Liat

0,17 (lambat)

KTD-04 = area ladang penduduk


Desa Bangun Rejo

0-20
20-60

Liat
Liat

0,45 (lambat)

KTD-05 = area disposal Seam 19

0-20
20-60

Lempung liat berpasir


Lempung liat berpasir

1,20 (agak lambat)

KTD-06 = area stockpile batubara

0-20
20-60

Liat
Liat

0,72 (agak lambat)

Lempung berliat
Lempung berliat

Permeabilitas
cm/jam
1,13 (agak lambat)

Sumber : PT Kitadin (2009)

Sutton dan Dick dalam Yustika dan


Talaohu (2007) menyatakan bahwa erosi dari
areal pertambangan 100 kali lebih besar
dibanding saat lahan masih bervegetasi hutan.
Erosi pada areal bekas pertambangan batubara
pada lereng 15-25% di Kutai Kertanegara juga
tergolong sangat berat. Pada areal yang landai,
erosi masih tergolong berat, jika penutupan tajuk
tanaman masih rendah (PT Kitadin, 2009).

dalam bentuk air asam dan logam berat.


Misalnya, aktivitas penambangan emas menghasilkan pencemaran logam berat berbahaya
berupa Hg. Aktivitas penambangan umumnya
menghasilkan bahan pencemar yang ditunjukkan
oleh kadar logam-logam berat dalam tanaman
yang melebihi kadar normal (Sitorus et al.,
2008).

Pencemaran logam berat

Aspek sosial-ekonomi

fikasi

Beberapa aktivitas penambangan diidentimenghasilkan bahan-bahan pencemar

Penutupan tambang dapat menimbulkan


dampak yang menakutkan apabila perekonomian
5

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

masyarakat hanya bergantung pada usaha


pertambangan, dan tidak ada penggerak ekonomi
lainnya
sebagai
pengganti.
Ketidaksiapan
masyarakat sekitar tambang untuk beralih usaha
dapat menjadi kendala pemanfaatan lahan bekas
tambang termasuk pemanfaatan untuk budidaya
pertanian.
Lebih
jauh,
kegiatan
usaha
penambangan yang telah berjalan lama banyak
mempengaruhi aspek budaya,
dan juga
melemahkan kemampuan (skill) masyarakat untuk
melakukan usaha baru.
Land tenure

Pemanfaatan
areal
bekas
tambang
seringkali terbentur pada permasalahan status
lahan. Sebagian besar aktivitas penambangan di
Indonesia berada dalam kawasan hutan (Tabel
6). Tabel 6 menunjukkan luas izin penambangan
yang tumpang tindih dengan kawasan hutan,
yang berjumlah sekitar 5 juta ha. Sekitar
620.000 ha diantaranya merupakan kawasan
lindung, yang seharusnya tidak digunakan untuk
pemanfaatan lain. Izin penambangan yang berada
dalam kawasan hutan produksi dan penggunaan
lain, mempunyai peluang dimanfaatkan untuk

kegiatan budidaya, jika memenuhi persyaratan


kesesuaian lahan. Namun demikian kepastian
hukum dari lahan yang akan digunakan harus
ditetapkan terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi
konflik antara masyarakat dengan pemerintah,
atau pihak lainnya di kemudian hari.
Peraturan perundang-undangan

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa


peraturan perundang-undangan agar proses
reklamasi pasca penambangan dapat berjalan
dengan baik. Dalam UU No. 4 tahun 2009
tentang penambangan bahan mineral dan
batubara dinyatakan bahwa pemegang izin usaha
penambangan harus melaksanakan reklamasi
pasca penambangan. Khusus untuk aktivitas
penambangan dalam kawasan hutan, maka
pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang
juga harus mengacu pada UU no. 41 tahun
1999 tentang kehutanan.
Peraturan perundang-undangan lainnya
yang mengatur pengelolaan kawasan pasca
tambang, terutama ketentuan reklamasinya
diantaranya adalah :

Tabel 6. Luas izin penambangan yang bertumpang tindih dengan kawasan hutan
Jenis usaha/status lahan

Tahapan kegiatan
Eksplorasi

Studi kelayakan

Konstruksi

Produksi

Total luas izin

.. ha .
PKP2B
1. Hutan lindung
2. Hutan produksi
3. Hutan produksi terbatas
4. Hutan produksi dikonversi
5. Hutan konservasi
6. Areal penggunaan lain
Luas

100.793,916
57.262,197
167.789,868
17.098,647
8.498,044
143.279,328
494.722,000

53.946,824
199.348,721
128.769,676
58.787,171
1.277,572
280.925,636
723.055,600

7.516,035
106.277,061
34.612,950
15.631,258
4.673,391
3.992,305
172.703,000

5.703,019
167.959,794
242.164,454
605.052,433
30.794,895
361.967,389
11.455,218
102.972,294
6.866,222
21.315,229
467.189,242
895.386,511
764.173,050 2.154.653,650

Kontrak karya
1. Hutan lindung
256.418,925
2. Hutan produksi
90.711,041
3. Hutan produksi terbatas
193.073,788
4. Hutan produksi dikonversi
13.534,937
5. Hutan konservasi
30.382,291
6. Areal penggunaan lain
1.250.094,018

32.073,715
10.243,625
25.795,199
15.871,871
775,738
458.844,852

1.410,188
12.049,439
1.746,003
288,341
33.275,029

165.259,186
455.162,014
47.474,265
160.478,370
114.152,649
334.767,639
57.350,658
87.045,807
8.446,283
39.604,312
94.388,960 1.836.602,859

543.605,000

48.769,000

487.072,001 2.913.661,001

Luas

1.834.215,000

Sumber : Direktorat Teknik Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (2009)

Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian

UU No. 11/1967, tentang ketentuan pokokpokok pertambangan.


PP No. 32/1969, tentang pelaksaaan UU No.
11/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertambangan.
PP No. 75/2001, tentang perubahan kedua
atas PP No. 32/1969.
Kepmen PE No. 1211.K/1995, tentang
pencegahan dan penanggulangan perusakan
dan pencemaran lingkungan pada kegiatan
pertambangan umum.
Keputusan Dirjen Penambangan Umum No.
336/1996 tentang jaminan reklamasi.
Walaupun Undang-undang dan PP sudah
ada, namun reklamasi di lapangan masih belum
terlaksana
dengan
baik,
diduga
karena
penegakkan hukumnya belum dilaksanakan
dengan ketat.

mencerminkan bahwa proses reklamasi harus


sudah mulai berjalan sejak proses penambangan
dilakukan, karena konservasi tanah pucuk harus
dilakukan pada awal penggalian. Namun, banyak
perusahaan tambang yang tidak mematuhi hal
ini, akibatnya harus mengangkut tanah pucuk
dari luar dengan biaya tinggi, dan menimbulkan
permasalahan di lokasi tanah pucuk berada.
Beberapa hal yang harus diperhatikan,
adalah: (a) menghindari tercampurnya subsoil
yang mengandung unsur atau senyawa beracun,
seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara
mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum
penggalian dilakukan, (b) menggali tanah pucuk
sampai lapisan yang memenuhi persyaratan
untuk tumbuh tanaman, (c) menempatkan galian
tanah pucuk pada areal yang aman dari erosi
dan penimbunan bahan galian lainnya, (d)
menanam legum yang cepat tumbuh pada
tumpukan tanah pucuk untuk mencegah erosi
dan menjaga kesuburan tanah.

REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG


Kegiatan pertambangan selalu menimbulkan
ganguan lahan dan perubahan bentang alam,
baik yang bersifat sementara (misalnya adanya
timbunan sisa galian dan limbah tailing) ataupun
permanen (misalnya tanah kolong yang sangat
dalam, perubahan tubuh tanah, dan hilangnya
keragaman hayati). Perbedaan sifat gangguan
tersebut memerlukan pendekatan dan teknologi
reklamasi yang berbeda.

Penataan lahan

Reklamasi
lahan
bekas
tambang
memerlukan pendekatan dan teknologi yang
berbeda tergantung atas sifat gangguan yang
terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan
setelah proses reklamasi). Namun secara umum,
garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai
berikut:

Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam, antara lain dengan
cara: (a) menutup lubang galian (kolong) dengan
menggunakan limbah tailing (overburden).
Lubang kolong yang sangat dalam dibiarkan
terbuka, untuk penampung air; (b) membuat
saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan
air, (c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah
dan erosi terkendali, diantaranya dilakukan
dengan cara meratakan permukaan tanah, jika
tanah sangat bergelombang penataan lahan
dilakukan bersamaan dengan penerapan suatu
teknik konservasi, misalnya dengan penterasan,
(d) menempatkan tanah pucuk agar dapat
digunakan secara lebih efisien. Karena umumnya
jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah pucuk
diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah
pucuk dapat pula diletakkan pada lubang tanam.

Konservasi top soil

Pengelolaan sedimen dan pengendalian erosi

Lapisan tanah paling atas atau tanah


pucuk, merupakan lapisan tanah yang perlu
dikonservasi, karena paling memenuhi syarat
untuk dijadikan media tumbuh tanaman. Hal ini

Pengelolaan sedimen dilakukan dengan


membuat bangunan penangkap sedimen, seperti
rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan
penangkap yang relatif besar. Cara vegetatif

Teknologi dan langkah-langkah reklamasi

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

juga merupakan metode pencegahan erosi yang


dapat diterapkan pada areal bekas tambang.
Talaohu et al. (1998) menggunakan srtip
vetiver untuk pencegahan erosi pada areal bekas
tambang batu bara. Vetiver merupakan pilihan
yang terbukti tepat, karena selain efektif
menahan erosi, tanaman ini juga relatif mudah
tumbuh pada kondisi lahan buruk sehingga
bertindak sebagai tanaman pioner.
Penanaman cover crop

Penanaman cover crop (tanaman penutup)


merupakan usaha untuk memulihkan kualitas
tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena itu
keberhasilan penanaman penutup tanah sangat
menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca
penambangan. Karakteristik cover crop yang
dibutuhkan, sebagai berikut: mudah ditanam,
cepat tumbuh dan rapat, bersimbiosis dengan
bakteri atau fungi yang menguntungkan
(rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza),
menghasilkan biomassa yang melimpah dan
mudah terdekomposisi, tidak berkompetisi
dengan tanaman pokok dan tidak melilit.
Pada areal bekas tambang nikel PT Inco
(Ambodo, 2008) menggunakan dua jenis rumput
(Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon) serta dua
jenis legum (Macroptilium bracteatum dan
Chamaecrista sp.) sebagai cover crop. Selain itu
juga dicampurkan tanaman legum lokal seperti
Clotalaria sp., Theprosia sp., Calindra sp., dan
Sesbania rostata. Dengan campuran jenis
tersebut dalam waktu dua bulan setelah
penanaman didapatkan penutupan lebih dari
80%. Kemampuan tanaman penutup untuk
mendukung pemulihan kualitas tanah sangat
tergantung pada tingkat kerusakan tanah.
Santoso et al. (2008) menyatakan bahwa
sebaiknya cover crop ditanam pada tahun
pertama dan kedua proses reklamasi.
Penanaman tanaman pionir

Untuk mengurangi kerentanan terhadap


serangan hama dan penyakit, serta untuk lebih
banyak menarik binatang penyebar benih,
khususnya burung, lebih baik jika digunakan
8

lebih dari satu jenis tanaman pionir/multikultur


(Ambodo, 2008). Beberapa jenis tanaman pionir
adalah : sengon buto (Enterrolobium cylocarpum),
Albizia (Paraserianthes falcataria), johar (Casia
siamea), kayu angin (Casuarina sp.), dan
Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun
kerapatan tajuk yang dibentuk tanaman-tanaman
tersebut mampu mencapai 50-60% sehingga
kondusif untuk melakukan restorasi jenis-jenis
lokal, yang umumnya bersifat semitoleran.
Tanaman pioner ditanam dengan sistem pot
pada lubang berukuran lebar x panjang x dalam
sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan
tanah pucuk dan pupuk organik.
Di beberapa lokasi, tanaman pioner
ditanam langsung setelah penataan lahan,
padahal tingkat keberhasilannya relatif rendah
(Puslittanak, 1995). Pada areal bekas timah,
meskipun sudah ditanam dengan sistem pot,
tanaman tumbuh baik hanya pada awal
pertumbuhan,
selanjutnya
pertumbuhannya
lambat dan beberapa diantaranya mati, karena
media tanam dalam pot sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso et al.
(2008) menyatakan bahwa penanaman tanaman
pioner sebaiknya dilakukan pada tahun ke 3-5,
setelah penanaman tanaman penutup tanah.
Penanggulangan logam berat

Pada areal yang mengandung logam berat


dengan kadar di atas ambang batas diperlukan
perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar
logam berat tersebut. Vegetasi penutup tanah
yang digunakan untuk memantapkan timbunan
buangan tambang dan membangun kandungan
bahan organik, bermanfaat pula untuk mengurangi kadungan logam berat dengan menyerapnya
ke dalam jaringan (Notohadiprawiro, 2006).
Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa
bahan organik berkorelasi negatif dengan
kelarutan logam berat di dalam tanah, karena
keberadaan bahan organik tanah meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Salam et al.
dalam Haryono dan Soemono, 2009). Hasil
penelitian Haryono dan Soemono (2009) menunjukkan pemberian bahan organik dikombinasikan
dengan pencucian dapat menurunkan kandungan
logam mercuri (Hg) dalam tanah sampai 84%.

Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian

Pada areal dengan kandungan logam berat


tinggi
sebaiknya
jangan
dulu
dilakukan
penanaman komoditas yang dikonsumsi. Perlu
dipilih jenis tanaman yang toleran terhadap
logam berat, misalnya di Ameria Serikat
ditemukan jenis tanaman pohon hutan, diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang dapat
bertahan hidup di areal bekas tambang yang
mengandung Pb sampai 30.000 mg/kg dan Zn
sampai 100.000 mg/kg. Kemampuan ini
ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon
dengan mikoriza (Notohadiprawiro, 2006). Perlu
diidentifikasi tanaman-tanaman lain yang toleran
terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik di
wilayah tropis seperti Indonesia.
Selain dalam tanah penanggulangan
pencemaran logam berat dalam air juga harus
dilakukan, tanaman eceng gondok dapat
digunakan untuk membersihkan badan air dari
logam
berat
(Notohadiprawiro,
2006).
Penanganan logam berat dengan mikroorganisme
atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut
dengan
bioakumulsi,
bioremediasi,
atau
bioremoval), menjadi alternatif yang dapat
dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen
logam berat di lingkungan perairan (Muryidin,
2006)
Peluang pemanfaatan lahan ex-tambang
untuk pertanian
Ditinjau dari aspek teknis, areal bekas
tambang dapat digunakan untuk budidaya
pertanian jika telah dilakukan perbaikan kondisi
lahan, dan selanjutnya dapat digunakan untuk
tujuan-tujuan produktif seperti untuk pertanian.
Dari aspek kualitas tanah, kendala utama
rehabilitasi lahan adalah rendahnya kandungan
unsur hara dan bahan organik, toksisitas unsur
tertentu, kemampuan tanah dalam menjerap
hara dan air, pH tanah, dan sifat fisik tanah yang
sangat buruk.
Untuk mempercepat pemulihan kualitas
tanah (fisik, kimia dan biologi), juga dapat
digunakan bahan pembenah tanah atau
amelioran, seperti bahan organik; kapur, tanah
liat, dan abu terbang. Senyawa humat dapat

digunakan sebagai pengganti bahan organik


(Iskandar, 2008). Zeolit merupakan bahan
pembenah mineral yang dapat meningkatkan
KTK (kapasitas tukar kation) tanah. Pupuk hayati
dapat digunakan untuk memperbaiki sifat biologi
tanah, misalnya pemanfaatan fungi mikoriza
sebagai pemicu pertumbuhan tanaman (Santoso
et al., 2008; Sitorus et al., 2008).
Pemanfaatan
lahan
bekas
tambang
seyogianya mengarah kepada keberlanjutan
perekonomian daerah dan masyarakat, tanpa
mengabaikan fungsi lingkungan, diantaranya
berupa polikultur perkebunan dengan kehutanan.
Sebagai contoh, PT Inco (Ambodo, 2008) telah
membuat plot contoh polikultur coklat dan
tanaman kehutanan lokal yang bernilai ekonomi
tinggi. Dalam percobaan ini, 1 ha cover crop
cukup untuk memberi pakan 10 ekor sapi
pedaging dari jenis Brahman. Dalam jangka
pendek, dihasilkan daging sapi potong, dan
kotoran sapi digunakan untuk pupuk tanaman
coklat. Dalam jangka menengah (3-4 tahun) hasil
tanaman coklat sudah dapat dipetik, dan dalam
jangka panjang dapat dipanen kayu-kayu yang
bernilai ekonomi tinggi, yang ditanam di selasela tanaman coklat
Selain untuk tanaman perkebunan, lahan
ex tambang berpeluang dimanfaatkan untuk
budidaya tanaman semusim termasuk padi
sawah. Salah satu tantangan untuk mencetak
sawah pada areal bekas tambang adalah dalam
pembentukan lapisan tapak bajak, yang
merupakan komponen penting dalam sistem
pengelolaan air pada lahan sawah. Keberhasilan
akan sulit diperoleh, apabila hanya dilakukan
pelapisan permukaan tanah dengan tanah pucuk.
Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai
manipulasi untuk mempercepat pembentukan
lapisan kedap, terutama jika tekstur tanah
didominasi pasir. Usaha yang dapat dilakukan
adalah pemadatan tanah pada lapisan di bawah
lapisan olah, perlu juga dicoba untuk
menggunakan bahan perekat seperti semen,
atau senyawa organik untuk mempercepat
pembentukan lapisan kedap, namun sebelum
teknologi ini diterapkan secara luas, diperlukan
terlebih dahulu pengkajian lebih mendalam, baik

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

aspek teknis
ekonominya.

maupun

aspek

perhitungan

Setelah dilakukan penataan lahan untuk


sawah, lahan tidak dapat langsung digunakan
untuk tanaman padi, perlu direhabilitasi dulu
dengan menggunakan tanaman penutup tanah
dari jenis kacang-kacangan (legume), sehingga
perbaikan status bahan organik akan berjalan
secara insitu. Perbaikan iklim mikro dan kondisi
biologi tanah juga sudah berjalan, saat
penanaman padi dilakukan. Kandungan logam
berat dalam tanah maupun air irigasi juga harus
diidentifikasi terlebih dahulu, untuk menghindari
pencemaran produk pangan yang dihasilkan.
Hasil analis jaringan tanaman padi yang
dihasilkan pada areal bekas tambang timah di
Babel menunjukkan kandungan besi dalam
seluruh jaringan tanaman (akar, batang/daun dan
beras) melebihi batas yang ditoleransikan.
Kandungan Pb dalam akar juga berada di atas
ambang batas (Tabel 7). Oleh karena itu untuk
mengurangi kadar logam berat dalam tanah
penting untuk dilakukan penanaman penutup
tanah dalam jangka waktu tertentu tergantung
kandungan logam beratnya dan pemberian
sumber bahan organik lainnya.

STRATEGI REKLAMASI
Internatioanal Institute for Environmental
and Development (IIED) dan World Bisiness
Counsil for Sustainable Development (WBCSD)
dalam Soelarno (2008) menyebutkan bahwa
agar pertambangan dapat berkontribusi positif

pada pembangunan berkelanjutan, maka tujuan


penutupan tambang dan dampak akibat
penutupan tambang harus dipertimbangkan sejak
tahap awal proyek. Dalam hal ini, selain
diperlukan studi kelayakan membuka tambang
(planning for opening), juga harus dilakukan
perencanaan menutup tambang (planning for
closure). Oleh karena itu, Rick dalam Soelarno
(2008)
menyatakan
bahwa
perencanaan
penutupan tambang awalnya hanya dititikberatkan pada perlindungan lingkungan saja,
namun saat ini sudah diperluas, mencakup juga
aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu
diperlukan perencanaan penutupan tambang
yang terintegrasi dengan kondisi lingkungan.
Sebagai upaya berkelanjutan, rencana
rehabilitasi lahan pasca tambang juga harus
mengacu kepada undang-undang yang mengatur
peruntukan lahan dalam areal konsesi dan
kerangka rencana penutupan lahan pasca
tambang, yaitu: (1) Restorasi dan konservasi
keanekaragaman hayati (biodiversity) baik flora
maupun fauna pada kawasan hutan lindung, (2)
evaluasi atau studi alternatif pemanfaatan lahan
yang berbasis kehutanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat di masa mendatang
pada areal APL (areal penggunaan lain) dan
hutan produksi (Ambodo, 2008), dan (3)
evaluasi atau studi alternatif pemanfaatan lahan
yang berbasis pertanian pada areal non
kehutanan atau pada areal APL atau hutan
produksi yang secara peraturan perundangundangan dan kesesuaian lahan memungkinkan
untuk dikonversi.

Tabel 7. Kadar logam berat dalam tanaman dan kadar yang dapat ditoleransikan
Unsur

Fe
Mn
Cu
Pb

Kandungan dalam
Akar

Batang dan daun

Beras

ppm
26.471,67
2,784,67
232,33
1.500
55,67
245,00
106,00
2.000
1,67
1,33
1,00
100
17,33
3,67
0,00
10

* Sumber : Maekert (1994) dalam Sitorus et al. (2008)

10

Kadar yang ditoleransikan*

Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian

KESIMPULAN
1. Areal pertambangan resmi yang dilengkapi
dengan izin usaha penambangan di Indonesia
jumlahnya cukup luas, diantaranya sekitar
2,2 juta ha di bawah Perjanjian Pengusahaan
Batu Bara (PKP2B), dan 2,9 juta ha
berdasarkan Kontrak Karya (KK). Sebagian
lahan tersebut sudah selesai ditambang, dan
perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat
bagi masyarakat dan tidak merusak
lingkungan hidup. Langkah awal yang perlu
dilakukan adalah pemetaan lahan-lahan bekas
tambang tersebut, yang dilengkapi dengan
status kepemilikan (land tenure) atau
penguasaan lahannya, agar pemanfaatan
selanjutnya baik untuk pertanian maupun
usaha lain, dapat berjalan berkelanjutan.
2. Upaya pemanfaatan lahan bekas tambang
perlu memperhatikan aspek-aspek teknis
(seperti kualitas tanah, erosi dan pencemaran
logam berat), dan non teknis (kesiapan
masyarakat beralih usaha, kekurangan tenaga
trampil, penyediaan dana, dan sebagainya).
Oleh karena itu, Departemen Teknis dan
Pemda bersangkutan perlu menyiapkan
perencanaan yang matang dan komprehensif
meliputi semua aspek penting tersebut, agar
pelaksanaan reklamasi lahan dan pemanfaatan selanjutnya dapat berjalan secara efektif.
3. Penentuan jenis pemanfaatan lahan, apakah
untuk tanaman pangan, perkebunan, perikanan, agrowisata, atau lainnya, antara lain
perlu didasarkan atas status kepemilikan dan
kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan
masyarakat atau Pemda setempat. Bagi
Provinsi Bangka-Belitung misalnya, yang
produksi beras tahunannya hanya cukup
untuk konsumsi penduduk dalam waktu satu
bulan saja, maka pemilihan reklamasi lahan
untuk pertanian tanaman pangan merupakan
satu alternatif yang tepat. Namun demikian,
untuk mereklamasi lahan bekas tambang
timah menjadi sawah subur memerlukan
waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta
perlu didukung oleh teknologi pengelolaan
lahan dan air yang lebih maju, lebih rumit
dari teknologi tradisional.

4. Persyaratan pengelolaan lahan tambang di


masa yang akan datang, tidak cukup hanya
dengan study kelayakan pembukaan usaha
penambangan saja, namun perlu dilengkapi
juga dengan perencanaan penutupannya
(planning of closure), yang mencakup
perlindungan lingkungan dan penanggulangan
masalah sosial-ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian
izin penambangan. Pengawasan baik saat
pelaksanaan penambangan maupun reklamasi
harus dilakukan secara baik.

DAFTAR PUSTAKA
Ambodo, A.P. 2008. Rehabilitasi lahan pasca
tambang sebagai inti dari rencana
penutupan tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop
Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan
Tambang Pasca Penutupan Tambang.
Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPMIPB. Bogor, 22 Mei 2008.
Direktotat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas
Bumi, Depertemen Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM). 2006. Peraturan
tentang Reklamasi Tambang. Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional
Rehablitasi Lahan Tambang. 11 Pebruari
2006, Kampus UGM Bulaksumur,
Yogyakata.
Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral,
Batubara, dan Panas Bumi. 2009.
Rekapitulasi Lahan Bekas Tambang.
Direktotat Jenderal Mineral, Batubara,
dan Panas Bumi, Depertemen Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM).
Haryono dan S. Soemono. 2009. Rehabilitasi
tanah tercemar mercuri (Hg) akibat
penambangan emas dengan pencucian
dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal
Tanah dan Iklim (29):53-64.
Isa, I.T. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi
tanah pertanian. Hlm. 17 Dalam
Prosiding Seminar Multifungsi dan
Revitalisasi Pertanian. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.

11

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Iskandar. 2008. Rekayasa perbaikan kualitas


tanah pada kegiatan reklamasi lahan
bekas tambang. Makalah disampaikan
dalam Seminar dan Workshop Reklamasi
dan Pengelolaan Kawasan Tambang
Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi
Reklamasi
Tambang.
LPPM-Institut
Pertanian Bogor. Bogor, 22 Mei 2008.
Mulyanto, B. 2008. Hubungan fungsi tanah dan
kelembagaan
pengelolaan
kawasan
pasca tambang. Makalah disampaikan
dalam Seminar dan Workshop Reklamasi
dan Pengelolaan Kawasan Tambang
Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi
Reklamasi
Tambang.
LPPM-Institut
Pertanian Bogor. Bogor, 22 Mei 2008.
Menege, I. 2008. Reklamasi dan penutupan
tambang
secara
progresif.
2008.
Makalah disampaikan dalam Seminar dan
Workshop Reklamasi dan Pengelolaan
Kawasan Tambang Pasca Penutupan
Tambang.
Pusat
Studi
Reklamasi
Tambang.
LPPM-Institut
Pertanian
Bogor. Bogor, 22 Mei 2008.
Mursyidin,
D.H.
2006.
Menanggulangi
Pencemaran Logam Berat. Biologi FMIPA
Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala
Hijau Indonesia.
Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan Lahan
dan Lingkungan Pasca Penambangan,
Departemen Ilmu Tanah, Universitas
Gajah Mada.
Puslitanak. 1995. Studi Upaya Rehabilitasi
Lingkungan
Penambangan
Timah
(Laporan Akhir Penelitian). Kerjasama
antara Proyek Pengembangan Penataan
Lingkungan
Hidup
dengan
Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat.
PT

12

Kitadin. 2009. Summary data rona


lingkungan awal dan kondisi lahan bekas
tambang batubara PT Kitadin di
Kabupaten Kutai Kartanegara. 2009.
Dokumen Rencana Penutupan Tambang
PT Kitadin.

Santoso, E., Pratiwi, M. Turjaman, C.H. Siregar,


A. Subiakto, R.S.B. Irianto, R.R. Sitepu,
dan Anwar. 2008. Input teknologi untuk
rehabilitasi lahan pasca penutupan
tambang
(mine
closure).
Makalah
disampaikan
dalam
Seminar
dan
Workshop Reklamasi dan Pengelolaan
Kawasan Tambang Pasca Penutupan
Tambang.
Pusat
Studi
Reklamasi
Tambang. LPPM-IPB. Bogor, 22 Mei
2008.
Sitorus, S.R.P., E. Kusumastuti, dan L. Nurbaeti
Badri. 2008. Karakteristik dan teknik
rehabilitasi lahan pasca penambangan
timah. Jurnal Tanah dan Iklim (27):5774.
Soelarso, S.W. 2008. Perencanaan reklamasi
dan penutupan tambang sebagai bagian
integral perencanaan tambang. Makalah
disampaikan
dalam
Seminar
dan
Workshop Reklamasi dan Pengelolaan
Kawasan Tambang Pasca Penutupan
Tambang.
Pusat
Studi
Reklamasi
Tambang. LPPM-IPB. Bogor, 22 Mei
2008.
Talaohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo,
dan S. Gunawan. 1995. Sifat fisikokimia tanah timbunan batubara (PT BA)
di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hlm
39-48. Dalam Prosiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku
IV. Bidang Konservasi Tanah dan Air
serta
Agroklimat.
Puslitbangtanak.
Cisarua, 26-28 September 1995.
Yustika, R.D. dan S.H. Talaohu. 2007.
Pengelolaan
penambangan
batubara
yang berpihak pada lingkungan. Hlm 3752. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Sumberdaya Lahan dan Lingkungan
Pertanian. Buku IV. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor 7-8
November 2007.

ISSN 1907-0799

STRATEGI EFISIENSI PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK UNTUK KESUBURAN


DAN PRODUKTIVITAS TANAH MELALUI PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA HAYATI TANAH
Efficiency Strategy of Organic Matter Use for Soil Fertility and Productivity
by Soil Biology Resources Empowerment
Subowo G.
Balai Penelitian Tanah
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan di kawasan vulkanik tropika basah memiliki keanekaragaman hayati tanah, laju
pelapukan dan erosi tanah tinggi, namun memiliki kesuburan dan kandungan bahan organik tanah yang rendah. Perbaikan kesuburan
tanah untuk tanaman secara langsung dengan pemberian bahan organik memerlukan jumlah yang besar dan mahal. Masalah yang
dihadapi kemampuan produksi bahan organik rendah, laju pelapukan tinggi, diperlukan dalam jumlah besar dan berada di wilayah
kepulauan, sehingga sulit dalam pengadaan dan konservasi bahan organik di dalam tanah serta biaya transportasi mahal. Pemberian
bahan organik dengan tujuan untuk pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah potensial
diupayakan. Selain memerlukan dosis pemberian bahan organik yang relatif lebih rendah juga dapat mencegah munculnya serangan
hama penyakit tular tanah dan meningkatkan konservasi bahan organik tanah. Dalam menentukan evaluasi kesesuaian lahan di
kawasan vulkanik tropika basah hendaknya perlu mempertimbangkan adanya peranan populasi organisme tanah untuk mendukung
produksi tanaman dan menjaga kelestarian kandungan bahan organik tanah.
Kata kunci : Kesuburan dan produktivitas tanah, keaneka-ragaman hayati, bahan organik, pemberdayaan hayati tanah

ABSTRACT
Indonesia is an archipelago in wet tropical volcanic regions have high soil biodiversity, high rate of weathering and high
of soil erosion, but low on soil fertility and soil organic matter content. Improvement of soil fertility to plant directly with the
provision of organic materials requires a large amount and expensive. Problems faced by low organic matter production ability,
high decomposition rate, bulky and is in the archipelago, making it difficult in the procurement and conservation of organic matter
in soil and expensive transportation costs. Provision of organic materials with the aim of empowering the soil biology resources to
enhance soil fertility potential pursued. In addition to the dose of organic matters required is relatively lower may also prevent the
emergence of soil born diseases are also increasing of soil organic matter conservation. In determining land suitability evaluation
in wet tropical volcanic region should consider the role of soil organism populations to support crop production and protected soil
organic matter content.
Keywords : Soil fertility and productivity, biodiversity, organic matter, empowering soil biology

awasan tropika basah yang berada


antara 23o30 Lintang Utara dan 23o30
Lintang Selatan memiliki pasokan sinar
matahari dan curah hujan yang besar sepanjang
tahun. Laju pelapukan mineral ataupun bahan
organik (BO), erosi tanah, dan pencucian hara
berlangsung
intensif
serta
memiliki
laju
fotosintesis dan fotorespirasi yang tinggi.
Sebagian besar tanah lahan kering memiliki
kesuburan tanah dan kandungan bahan organik
rendah. Fotorespirasi yang tinggi mengakibatkan
produk
biomassa
(bahan
organik)
yang
dihasilkan yang merupakan selisih antara hasil
fotosintesis terhadap fotorespirasi per individu

tanaman/hewan relatif rendah/kecil. Pengadaan


biomasa sebagai sumber bahan organik tanah
secara insitu sangat terbatas. Dukungan
kesuburan tanah untuk pertumbuhan tanaman
semusim dengan intensitas panen tinggi menjadi
rendah. Sedang tanaman tahunan berakar dalam
dan permanen memiliki penyanggaan relatif lebih
baik. Untuk mendukung produksi pangan yang
merupakan kebutuhan pokok dengan berbasis
pada tanaman semusim banyak menghadapi
hambatan. Tanpa pengkayaan bahan organik
yang memiliki kandungan hara lengkap,
kesuburan dan produktivitas tanah sulit
ditingkatkan. Masalah yang dihadapi jumlah
13

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

bahan organik yang harus diberikan cukup besar,


karena kandungan hara pada bahan organik
relatif rendah dan laju pelapukan cepat serta
mudah tercuci.
Indonesia merupakan salah satu wilayah
yang berada di tropika basah. Selain memiliki
laju pelapukan, erosi, dan pencucian hara tinggi
juga memiliki laju pengkayaan mineral dan
keanekaragaman jenis organisme (megabiodiversity) yang tinggi. Secara potensial kandungan
mineral/hara dalam tanah pada prinsipnya telah
ada, namun tingkat ketersediaannya sangat
beragam dan tergantung pada kondisi lahan dan
kemampuan tanaman melakukan serapan.
Dengan
mempertimbangkan
dukungan
sumberdaya seperti ini Indonesia memiliki
peluang yang baik untuk pengembangan
pertanian dengan berbasis pada pemanfaatan
sumberdaya tanah/lahan. Dalam batas tertentu
laju pelapukan tinggi potensial dimanfaatkan
untuk mempercepat pelapukan mineral-mineral
primer, sehingga hara yang terkandung di
dalamnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk pertanian.
Pengkayaan hara/bahan organik di dalam tanah
dapat meningkatkan aktivitas organisme tanah
yang pada tahap selanjutnya akan memperbaiki
dan mempertahankan kesuburan tanah.
Beberapa
organisme
tanah
mampu
meningkatkan kesuburan tanah melalui hasil
samping yang dihasilkan, seperti organisme
pelarut fosfat ataupun penambat N-bebas yang
hidup bebas/soliter ataupun yang hidup
bersimbiose secara mutualistis dengan tanaman.
Benang-benang miselium/hifa dari jamur benang
(fungi) juga dapat mengikat agregat-agregat
tanah untuk saling berikatan, sehingga tidak
mudah rusak dan tahan terhadap tekanan fisik/
erosi. Fauna tanah yang hidup di dalam tanah
dengan menggali lubang dan mencampur tanah
dapat memperbaiki aerasi dan kesuburan tanah.
Sebaliknya juga terdapat organisme tanah yang
merugikan tanaman, seperti organisme hama
ataupun penyakit tanaman. Untuk itu selektivitas
dalam pemberdayaan organisme tanah sesuai
dengan yang diharapkan perlu diperhatikan, agar
nilai manfaat dari aktivitas organisme target

14

tersebut
dapat
membantu
produktivitas tanah.

memperbaiki

Tujuan dari penulisan ini diharapkan dapat


memberikan wawasan tentang pentingnya
efisiensi penggunaan bahan organik di kawasan
megabiodiversity tropika basah yang tidak hanya
sebagai sumber hara, namun juga berperan
penting dalam mendukung perbaikan aktivitas
organisme
tanah.
Meningkatnya
aktivitas
organisme tanah yang mampu mencegah laju
penyusutan bahan organik, memperbaiki aerasi
dan agregat tanah, meningkatkan ketersediaan
hara, dan mencegah berkembangnya hamapenyakit tular tanah akan meningkatkan
kesuburan dan produktivitas tanah. Melalui
pendekatan ini diharapkan dapat mengurangi
jumlah atau dosis pemberian bahan organik
tanah untuk meningkatkan produksi tanaman.
Kandungan bahan organik dan
kesuburan tanah di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara di
kawasan tropika basah yang memiliki tanah
mineral bermasalah dalam kaitannya dengan
tingginya laju dekomposisi bahan organik dan
pencucian hara. Bahan organik tanah umumnya
rendah (<2%) dan pH tanah masam. Las dan
Setyorini (2010) menyatakan bahwa sekitar
73% lahan pertanian di Indonesia 73%
memiliki kandungan C-organik tanah <2,00%.
Sanchez (1976) mengatakan bahwa rendahya
kandungan bahan organik tanah tropika
disebabkan oleh temperatur yang tinggi dan
cepatnya laju dekomposisi.
Sudriatna dan Subowo (2007) juga
mendapatkan bahwa pengaruh residu bahan
organik yang diberikan sebanyak 5 t/ha pada
tanaman tomat selama empat bulan di Bogor
sudah tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan kacang hijau yang ditanam pada
musim berikutnya. Bahkan Kariada dan Aribawa
(2009) mendapatkan bahwa pemberian pupuk
organik tidak berpengaruh nyata terhadap hasil
gabah kering panen. Kasno et al. (2009) juga
mendapatkan bahwa pemberian pupuk kandang
sebanyak 10 t/ha tidak meningkatkan produksi

Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik

padi sawah, namun neraca hara P dan K menjadi


positif. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
penambahan hara P dan K dalam tanah namun
belum mempengaruhi produksi padi. Efisiensi
penggunaan bahan organik sebagai pupuk untuk
meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah
perlu diupayakan dengan tetap memperhatikan
nilai fungsi bahan organik yang tidak hanya
sebagai fungsi fisiko-kimia tetapi juga fungsi
hayati sebagai sumber hara dan energi bagi
organisme tanah.

N/ha/musim diperlukan pupuk kotoran unggas


67 t/ha/musim atau 151 t/ha/musim jerami padi.
Hasil penelitian Sutono et al. (2009)
dengan memberikan bahan organik dari pupuk
kandang didapatkan bahwa hubungan antara
bahan organik tanah dengan produksi jagung
pada tanah terdegradasi berat dengan C-organik
0,68% didapatkan persamaan regresi :
Y (produksi jagung) = -1,0856x2 + 6,2855x +
2,1079

Sebagai fungsi keharaan, pelepasan hara/


mineral diawali dengan adanya mineralisasi oleh
pelapukan/perombakan melalui proses fisikokimia ataupun biologi dengan dihasilkan unsurunsur pembentuknya dalam bentuk ion (kation/
anion). Swift et al. (1979) menyatakan
dekomposisi bahan organik merupakan proses
pemecahan integratif kompleks di antara
organisme (makro dan mikro organisme), faktor
lingkungan (utamanya temperatur dan kelembaban) dan jenis bahan organik. Kandungan hara
makro pada beberapa sumber bahan organik
tanah sebagian besar <1,0% (Tabel 1). Hasil
dekomposisi dihasilkan bahan mudah larut dan
sisa padatan serta jaringan organisme hidup.
Melalui proses pertukaran aktif maupun pasif,
bahan mudah larut yang ada dalam tanah
terserap ke jaringan tanaman melalui proses
pertukaran ion dan selanjutnya dimobilisasi
dalam metabolisme tanaman. Dari Tabel 1
menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
hara tanaman padi sawah sebanyak 100 kg

R2 = 0,9011
Dari nilai persamaan kwadratik ini
menunjukkan bahwa puncak produksi jagung
dicapai pada kandungan 2,9% C-organik tanah
dengan puncak produksi 11,21 t/ha. Sedang
untuk kandungan C-organik 1% dicapai produksi
7,31 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan produksi jagung dari C-organik
1,0% menjadi 2,9% terjadi peningkatan
produksi 3,90 t/ha atau dengan pemberian
bahan organik sebanyak 65,36 t/ha dapat
memberikan hasil jagung 3,90 t/ha. Sementara
pengadaan pupuk kandang tersebut juga
membutuhkan hijauan pakan yang besarnya 2
kali lipat ( 130,72 ton hijauan). Sementara
potensi kemampuan produksi hasil samping/
limbah bahan organik dari tanaman semusim
relatif rendah <10 t/ha. Bahkan apabila
mempertimbangkan nilai laju perkembangan/
penyusutan alami bahan organik tanah pertanian
kawasan tropika basah (internal rate natural of
increase) yang bernilai <1, akan memerlukan
tambahan bahan organik tanah yang lebih besar

Tabel 1. Kandungan hara makro beberapa sumber bahan organik tanah


No.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kandungan hara makro

Jenis bahan organik

Jerami padi
Sekam
Batang jagung
Serbuk kayu
Kotoran sapi perah
Kotoran sapi daging
Kotoran unggas
Kotoran domba

Ca

...................... % ......................
0,66
0,07
0,93
0,29
0,49
0,05
0,49
0,06
0,81
0,15
1,42
0,24
1,33
0,07
0,60
1,44
0,53
0,35
0,41
0,28
0,65
0,15
0,30
0,12
1,50
0,77
0,89
0,30
1,28
0,19
0,93
0,59

Sumber : Las dan Setyorini (2010)

15

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

untuk kebutuhan pertanaman berikutnya. Sholeh


et al. (1997) mendapatkan bahwa pemberian
bahan organik sebanyak 10 t/ha pada tanah
Ultisols Lampung mampu meningkatkan produksi
padi gogo, namun residu bahan organik yang
diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi ketela pohon yang ditanam pada musim
berikutnya (Tabel 2). Pada Tabel 2 menunjukkan
bahwa untuk musim tanam pertama (MT I)
pemberian bahan organik tanpa penambahan
pupuk N (Urea) memberikan produksi gabah padi
gogo lebih rendah dibanding dengan yang
mendapat tambahan Urea. Sedangkan pada
musim taman kedua (MT II) residu pemberian
bahan rorganik tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap produksi ketela pohon. Kondisi
ini menunjukkan bahwa pemberian bahan organik
tanah dengan orientasi semata-mata untuk
mendukung produksi tanaman secara langsung
sangat kurang efisien. Untuk itu pemberian
bahan organik tanah untuk tanaman semusim di
kawasan
vulkanik
tropika
basah
perlu
ditingkatkan
nilai
efektivitasnya
melalui
pemberdayaan potensi sumberdaya hayati tanah.

Peranan bahan organik terhadap aktivitas


organisme tanah
Masalah yang penting dalam usahatani di
kawasan tropika basah adalah rendahnya
kandungan hara tanah, ketersediaan bahan
organik tanah, dan kemampuan tanah menahan
air (William and Joseph, 1976). Pemberian
bahan organik ke dalam tanah akan membantu
mengurangi erosi, mempertahankan kelembaban
tanah, mengendalikan pH tanah, memperbaiki
drainase, mencegah pengerasan dan retakan,
meningkatkan kapasitas pertukaran ion, dan
meningkatkan aktivitas biologi tanah (Vidyarthy
and Misra, 1982). Semua peran tersebut dapat
berlangsung setelah bahan organik mengalami
perombakan oleh aktivitas organisme tanah.
Tanpa adanya aktivitas organisme tanah bahan
organik tersebut akan tetap utuh (tidak terurai)
di dalam tanah dan dapat mengganggu sistem
produksi tanaman seperti halnya yang banyak
terjadi di kawasan subtropika. Lal (1995)
menyatakan penurunan jumlah dan kualitas
bahan organik serta aktivitas biologi maupun

Tabel 2. Rata-rata produksi padi gogo (MT I) dan ketela pohon (MT II) pada penelitian pengaruh
pemberian beberapa bahan organik pada tanah Ultisols Lampung
Perlakuan **
Petak utama : BO (10 t/ha)
Anak petak : urea (kg/ha)
Tanpa BO (kontrol)

Produksi*
0

Padi gogo (MT I)


50
100

200

Ketela pohon (MT II)


50
100

200

.................................................. t/ha ..................................................


46,6 b
52,1 b
55,5 a 53,3 ab 29,4 a
31,2 a
34,0 a
37,3 a
B
A
A
A
A
A
A
A

BO kotoran sapi

57,0 a
A

59,8 a
A

57,5 a
A

58,6 a
A

31,5 a
A

34,3 a
A

31,5 a
A

35,2 a
A

BO sisa tanaman

51,0 ab
A

51,6 b
A

52,4 a
A

51,7 a
A

32,2 a
A

36,0 a
A

37,6 a
A

35,4 a
A

BO Flemingia congesta

49,8 ab
A

51,9 b
A

54,6 a
A

53,9 a
A

30,4 a
A

34,2 a
A

36,9 a
A

37,8 a
A

51,1

53,9

55,0

54,4

30,9

33,9

35,0

36,4

Rata-rata produksi

Sumber : Sholeh et al. (1997)


Keterangan :
* Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dari masing-masing musim tanam tidak berbeda nyata sampai
taraf nyata 5%, huruf kecil antar kolom (petak utama) dan huruf besar antar baris (anak petak).
** Perlakuan pemberian bahan organik (petak utama) dan N (urea) (anak petak) hanya diberikan pada MT I,
kecuali pemberian BO sisa tanaman diberikan hanya pada MT II dengan menggunakan jerami hasil panen
MT I. Pupuk dasar diberikan setiap musim tanam dengan dosis 200 kg TSP/ha dan 100 kg KCl/ha.

16

Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik

keanekaragaman spesies fauna tanah merupakan


bentuk degradasi tanah yang penting untuk
tanah
tropika
basah.
Sebagai
wilayah
megabiodiversity Indonesia layak memberdayakan
potensi sumberdaya hayati tanah tersebut untuk
memberikan sumbangan yang besar dalam
upaya meningkatkan kesuburan dan produktivitas
tanah.
Dalam evaluasi kesesuaian lahan yang
selama ini dianut di Indonesia juga disusun
berdasarkan beberapa parameter kesuburan
tanah dan lahan dengan berbasis sifat fisikokimia tanah yang berpengaruh langsung
terhadap
pertumbuhan
tanaman.
Kriteria
parameter kesesuaian lahan yang digunakan
antara lain: ketinggian tempat, kelerengan, zona

agroklimat, drainase, potensi banjir, kedalaman


efektif, toksisitas, dan kesuburan tanah.
Sedangkan aspek potensi biologi tanah yang
tidak
berpengaruh
langsung
terhadap
pertumbuhan tanaman belum dipertimbangkan
dalam kriteria kesuburan tanah (Tabel 3).
Hal ini terjadi karena kriteria tersebut
sebagian besar didasarkan pada kondisi yang
ada di kawasan subtropika yang memiliki
kandungan C-organik tanah tinggi. Akibatnya
kriteria kandungan bahan organik (C-organik)
tanah yang mampu memberikan produksi
tanaman secara nyata memiliki kandungan
rendah pada tingkat >2,0% dan tinggi pada
>3,0%. Sementara tanah-tanah pertanian di
Indonesia >70% berada pada kandungan <2%

Tabel 3. Kriteria kesuburan tanah mineral


Sifat tanah
I. Sifat fisika :
1. Pori aerasi (%)
2. Pori pemegang air tersedia (%)
3. Permeabilitas (cm/jam)
4. Erodibilitas
II. Sifat kimia :
5. C (%)
6. N (%)
7. C/N
8. P2O5 HCl 25% (mg/100g)
P2O5 Bray (ppm P)
P2O5 Olsen (ppm P)
9. K2O5 HCl 25% (mg/100g)
10. KTK(CEC) (me/100g tanah)
11. Susunan kation :
K (me/100g)
Na (me/100g)
Mg (me/100g)
Ca (me/100g)
12. Kejenuhan basa (%)
13. Kejenuhan alumunium (%)
14. Cadangan mineral (%)
15. Salinitas DHL ECEx103 (mmhos/cm)
16. Persentase natrium dapat tukar (ESP)
17. Kemasaman
18. pH (H2O)

Rendah
5 10
5 10
<2,00
<0,200

Sedang
11
11
2,02
0,21

15
15
6,35
0,32

Tinggi
>15
16 20
6,36 12,70
>0,33

1,0 2,0
0,1 0,2
5 10
15 20
57
5 10
10 20
56

2,01 3,00
0,21 0,50
11 15
21 40
8 10
11 15
21 40
17 24

3,01
0,51
16
41
11
16
41
25

5,00
0,75
25
60
15
20
60
40

0,1 0,3
0,1 0,3
0,4 1,0
25
20 40
5 10
5 10
12
25
Masam
4,5 5,5

0,40 0,50
0,40 0,70
1,10 2,00
6 10
41 60
11 20
11 20
23
5 10
Agak masam
5,6 6,5

0,60 1,00
0,80 1,00
2,10 8,00
11 20
61 80
20 40
20 40
3 4
10 15
Agak alkalis
7,6 8,5

Sumber : Pusat Penelitian Tanah (1983)


Catatan : Penilaian ini hanya didasarkan pada sifat umum tanah secara empiris dan belum
dihubungkan dengan kebutuhan tanaman.

17

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

dan bahkan banyak yang <1,0%. Untuk itu


pengaruh pemberian bahan organik tanah di
Indonesia yang kaya sumberdaya hayati tanah
perlu mempertimbangkan peranan organisme
tanah
yang
selain
mampu
memperbaiki
kesuburan tanah juga memperpanjang daur
energi/hara di dalam tanah melalui hierarhi rantai
makanan (food web) yang pada gilirannya akan
menghambat pelepasan karbon (emisi karbon) ke
udara. Kriteria populasi biologi tanah, utamanya
organisme yang memiliki andil dalam perbaikan
kesuburan tanah di kawasan vulkan tropika
basah hendaknya juga dipertimbangkan dalam
menentukan tingkat kesuburan dan kesesuaian
lahan untuk mendukung produksi tanaman.
Beberapa peranan organisme tanah dalam
meningkatkan kesuburan dan produktivitas
tanah antara lain adalah :
Perbaikan sifat fisik tanah

Masalah kesuburan tanah di kawasan


tropika basah yang sementara ini sulit diatasi
dengan upaya pengelolaan lahan, baik melalui
pengolahan tanah ataupun pemupukan adalah
perbaikan sifat fisik tanah. Kerusakan sifat fisik
tanah ini terjadi akibat tingginya laju pelapukan
bahan organik, erosi dan iluviasi/eluviasi liat
serta sistem pengolahan tanah yang kurang
tepat. Tanah lapisan atas memiliki kandungan
bahan organik rendah dan terdapat akumulasi
liat di lapisan bawah. Tanah didominasi oleh
Ultisols, Inseptisols, dan Oxisols. Untuk
memperbaiki kondisi fisik tanah ini dapat
diupayakan dengan perbaikan stabilitas agregat
tanah, perbaikan aerasi tanah di lapisan yang
memadat dan pencampuran kembali tanah
lapisan bawah dengan lapisan atas. Erfandi et al.
(2004) mendapatkan bahwa pemberian bahan
organik pada tanah Ultisols dapat memperbaiki
berat isi, pori aerasi, air tersedia, dan stabilitas
agregat tanah lapisan 0 20 cm. Lebih dari
50% pembentukan agregat tanah di Eropa
dilakukan oleh cacing tanah, sehingga dapat
meningkatkan
ruang
pori,
meningkatkan
kapasitas tanah menahan air dan laju infiltrasi
(Strok and Eggleton, 1992). Keadaan ini
menunjukkan bahwa perbaikan ini hanya dapat
18

berlangsung apabila ada dukungan dari aktivitas


populasi organisme tanah. Dengan perbaikan ini,
maka tanah lapisan atas akan lebih tahan
terhadap erosi dan juga dapat meningkatkan
potensi menyangga kapasitas pertukaran ion.
Adanya lubang-lubang cacing tanah
ataupun dari fauna tanah lainnya dapat
meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air,
sehingga dapat mengurangi aliran permukaan
dan erosi tanah. Subowo et al. (2002)
mendapatkan bahwa populasi cacing tanah
geofagus Pheretima hupiensis pada tanah
Ultisols berkorelasi nyata dan negatif dengan
ketahanan tanah serta berkorelasi positif dengan
kadar air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan cacing tanah mampu menurunkan
kepadatan tanah dan meningkatkan potensi
ketersediaan air bagi tanaman. Cacing tanah
geofagus dengan kemampuannya mencerna
tanah dan melepaskan kembali dalam bentuk
kascing yang memiliki stabilitas agregat tinggi,
selain dapat memperbaiki aerasi tanah (melalui
lubang-lubang yang dihasilkan) juga dapat
mengembalikan kandungan liat yang tereluviasi
dari lapisan bawah ke lapisan atas. Kascing
merupakan makroagregat yang stabil dan dapat
bertahan lebih dari 1 tahun (Blanchart et al.
1991 dalam Martin, 1991). Demikian juga
dengan aktivitas pencernaannya yang mampu
mencampur bahan organik dan mineral tanah,
cacing tanah dapat mencegah kehilangan bahan
organik
melalui
erosi
dan
pencucian.
Terbentuknya lubang-lubang pada lapisan argilik
juga akan memperbaiki aerasi tanah dan juga
memberi peluang akar tanaman untuk mampu
menembus lapisan argilik, memperluas daerah
jelajah akar dan mempertahankan tegaknya
tanaman. Benang-benang hifa dari jamur benang
(fungi) juga dapat memperkuat ikatan antar
partikel tanah, sehingga dapat tahan terhadap
gerusan erosi ataupun tekanan fisik lainnya.
Peningkatan ketersediaan hara tanah

Tanaman merupakan organisme authotrof


yang dalam pertumbuhannya memerlukan hara
dalam bentuk anorganik (ion). Pelepasan hara

Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik

tanaman yang berasal dari bahan induk tanah


ataupun dari bahan organik diawali oleh proses
demineralisasi.
Proses
demineralisasi
ini
berlangsung secara fisiko-kimia ataupun oleh
aktivitas biologis yang dalam kenyataan di
lapangan kedua proses ini selalu berlangsung
bersama-sama saling melengkapi satu dengan
yang lain. Tanpa adanya peran organisme tanah
mineralisasi/dekomposisi mineral ataupun bahan
organik tanah berlangsung lambat. Adanya
aktivitas dekomposisi bahan organik, hara-hara
yang terkandung di dalamnya dilepaskan dalam
bentuk tersedia bagi tanaman, baik hara makro
maupun mikro. Selama dekomposisi bahan
organik unsur hara Na, Ca, Mg, dan K terus
dilepaskan sebagai kation-bebas, tetapi Fe dan
Al banyak dalam ikatan, dan N banyak
diasimilasi dalam sel mikroba (Coleman and
Crossley, 1995). Edwards dan Lofty (1977) juga
menyatakan bahwa bahan tanah mineral
maupun bahan organik yang dicerna cacing
tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam
bentuk kotoran dan hara yang lebih tersedia bagi
tanaman. Diperkirakan cacing tanah mempunyai
andil pengkayaan N tanah sebesar 3,41 4,1
g/tahun melalui sekresi, lendir, dan kotorannya/
kascing (Curry et al., 1995).
Selain itu beberapa organisme tanah
mampu memanfaatkan hara dari udara seperti
N2-bebas yang hidup bebas ataupun bersimbiose
dengan tanaman dan selanjutnya dapat tersedia
bagi tanaman. Organisme tanah yang mampu
menambat N2-udara melalui simbiose dengan
tanaman adalah bakteri Rhizobium bersimbiose
dengan tanaman kacang-kacangan (legume).
Sedang yang hidup bersimbiose dengan Azolla
adalah dari kelompok blue green algae (BGA),
seperti Anabaena, Nostoc, Oscillatoria, dan lainlain. Organisme penambat N2-udara yang hidup
bebas (soliter) antara lain dari kelompok BGA
yang hidup di lahan basah dan Azotobacter
(bacteria). Juga terdapat fungi Mikorisa yang
dapat hidup di dalam akar tanaman hidup
(endotropik) ataupun hidup bebas di tanah
(ektotropik) dapat meningkatkan serapan dan
ketersediaan P untuk tanaman serta melindungi
akar dari serangan patogen (Alexander, 1977).

Keberadaan organisme tanah ini mampu


memperkaya hara tanah untuk meningkatkan
kesuburan dan produktivitas tanah.
Pemberian pupuk organik (20 t/ha) dan
pupuk buatan/anorganik serta kombinasinya
pada tanah lahan kering masam di Tamanbogo
(Lampung) tidak berpengaruh nyata terhadap
sifat kimia tanah termasuk C-organik tanah
(Yusnaini et al., 2004). Namun berpengaruh
nyata terhadap populasi cacing tanah dengan
populasi tertinggi pada perlakuan pemberian
kotoran ayam. Populasi Mikoriza Vesikular
Arboskular (MVA) dapat dijumpai pada seluruh
perlakuan, dan terdapat beda nyata dengan
produksi jagung. Produksi jagung tertinggi pada
perlakuan kotoran ayam 50% + pupuk NPK
50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengaruh
pemberian bahan organik ataupun pupuk buatan
terhadap produksi tanaman tidak semata-mata
disebabkan oleh perbaikan sifat kimia ataupun
kandungan
C-organik
tanah,
tapi
juga
dipengaruhi perkembangan populasi biologi
tanah (cacing tanah dan VMA).
Konservasi C-organik tanah dan menekan emisi
CO2

Belakangan ini isue pemanasan global


telah banyak mendapatkan perhatian serius dari
beberapa kalangan. Sebagai penyebab terjadinya
pemanasan global adalah akibat terbukanya
lapisan pelindung ozon sebagai akibat tingginya
emisi gas CF, CO2, CH4, NOx , SOx, dan lainlain. Pembukaan lahan untuk pertanian ataupun
pengolahan tanah secara intensif merupakan
salah satu penyebab meningkatnya emisi CO2.
Indonesia sebagai salah satu negara tropika
basah dengan laju pelapukan bahan organik
tanah yang tinggi disinyalir merupakan salah
satu negara yang memiliki andil dalam
peningkatan
emisi
CO2.
Dalam
proses
dekomposisi bahan organik oleh organisme
heterotrof selain dihasilkan kompos juga
dilepaskan CO2 sebagai hasil samping oksidasi
bahan organik untuk menghasilkan energi.
C6H12O6 + O2 6CO2 + 6H2O + Energi

19

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Konversi pemanfaatan bahan organik oleh


organisme tanah untuk menghasilkan energi dan
sintesis bahan-bahan pembentuk sel baru untuk
mempertahankan
kehidupannya
(Alexander,
1977). Hasil samping yang dihasilkan dalam
proses dekomposisi bahan organik antara lain
CO2, asam-asam organik, alkohol, dan lain-lain.
Dekomposisi bahan organik pada kondisi aerobik
20-40% C-organik terasimilasi dalam sel dan
sisanya sebagai CO2 ataupun produk samping.
Diantaranya
C
yang
terasimilasi
dalam
pembentukan sel baru bagi bakteri aerobik
sebanyak 5-10% dan pada bakteri anaerobik
hanya
sebanyak
2-5%.
Dalam
proses
dekomposisi bahan organik C banyak hilang oleh
respirasi mikroba tanah, sedangkan N banyak
terasimilasi dalam sel mikroba dan dekomposisi
akan terhenti setelah mencapai kesetimbangan
C:N seperti pada biomasa mikroba (Coleman and
Crossley, 1995). Sementara dari jenis fungi
dapat mengendalikan C-organik tanah, karena
dalam proses dekomposisi bahan organik tanah
pelepasan C sebagai CO2 sangat rendah dan 3040% C-organik tersimpan sebagai meselium
(Alexander,1977). Sedang fauna tanah yang
berperanan penting dalam dekomposisi bahan
organik tanah adalah dari kelompok meso dan
mikro fauna, termasuk cacing tanah. Fauna
tanah berperanan dalam pemecahan bahan
oganik secara fisik menjadi ukuran yang lebih
halus dan dilepaskan kembali sebagai kotoran
(Walters, 1991 dalam Coleman and Crossley,
1995). Bahkan untuk jaringan dari insekta tanah
banyak dibangun dari bahan kitin dan sangat
tahan terhadap pelapukan, sehingga dapat
melindungi C-organik dalam tanah dan terhindar
dari pelepasan sebagai CO2. Makulec dan

Kusinha (1997) juga mendapatkan bahwa


kandungan C pada kascing selalu lebih tinggi (
2 kali) dari pada kandungan C tanah di
sekitarnya. Martin (1991) juga mendapatkan
bahwa mineralisasi C pada kascing 4 kali lebih
lambat (3%/th) dibanding pada tanah (11%/th).
Pada saatnya setelah organisme tanah mati pada
prinsipnya juga merupakan salah satu sumber
bahan organik tanah.
Masalah yang dihadapi pada tanah
pertanian yang mengalami pengolahan tanah
ataupun aplikasi pestisida intensif dan memiliki
penutupan rendah menekan berkembangnya
populasi fauna tanah, sehingga aktivitas
perombakan bahan organik dilakukan langsung
oleh mikroorganisme tanah dan laju penyusutan
bahan organik tanah menjadi lebih cepat. Hasil
inventarisasi populasi cacing tanah Pheretima
hupiensis pada tanah Ultisols didapatkan bahwa
pada tanah terbuka (padang rumput) dan
intensitas pengolahan tinggi (lahan padi gogo)
mempunyai populasi lebih rendah dibanding
pada tanah yang lebih permanen dan
berpenutupan lebih tinggi, seperti kebun karet,
pisang, sengon, dan belukar (Tabel 4).
Sejalan
dengan
upaya
efisiensi
penggunaan bahan organik tanah dengan
memberdayakan aktivitas organisme tanah,
maka peningkatan populasi fauna tanah (meso
dan mikro fauna) ataupun fungi tanah yang
mempunyai andil dalam memperbaiki kesuburan
tanah juga dapat mencegah kehilangan Corganik tanah dan menekan pelepsan emisi CO2.
Untuk itu pemberdayaan sumberdaya hayati
tanah, utamanya fauna dan fungi tanah akan
mampu mempertahankan kandungan C-organik
tanah dan kesuburan tanah tetap tinggi.

Tabel 4. Populasi cacing tanah Pheretima hupiensis pada tanah Ultisols beberapa penggunaan lahan
Penggunaan lahan
Bulan (musim)

Maret (musim hujan)


Juli (peralihan MH ke MK)
Agustus (musim kering)
Sumber : Subowo et al. (2002)

20

Semak
belukar

Padang
rumput

Kebun
sengon

Kebun
pisang

Kebun
karet

Padi gogo

................................... populasi cacing tanah/m2 ...................................


7
2
20
45
49
4
26
52
17
35
6
16
19
14
12
1

Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik

Pengendalian hama-penyakit tular tanah

Organisme yang hidup di dalam tanah ada


yang dapat berperan sebagai predator, detritifor
ataupun sebagai hama-penyakit tanaman.
Peledakan hama penyakit tular tanah sering
terjadi
akibat
hilangnya
predator
akibat
penggunaan
pestisida
ataupun
sistem
pengelolaan lahan yang kurang selektif.
Sementara dalam rangka menetapkan evaluasi
kesesuaian lahan faktor populasi organisme yang
memiliki peluang sebagai organisme penyubur
tanah ataupun yang berpotensi sebagai hama
penyakit tidak termasuk dalam parameter yang
dipertimbangkan (Tabel 3). Akibatnya sering
terjadi wilayah yang direkomendasikan untuk
kegiatan produksi pertanian pada saat tertentu
muncul serangan hama-penyakit tanah. Kasus
serangan jamur upas (Fusarium) pada lahan
pisang, serangan jamur akar putih pada lahan
karet, serangan Ganoderma pada lahan kelapa
sawit
merupakan
bukti
pentingnya
mempertimbangkan sumberdaya hayati tanah
sebagai faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam evaluasi kesesuaian lahan. Sementara
pengendalian secara kimiawi dengan aplikasi di
dalam tanah akan memerlukan biaya yang cukup
besar dan kurang efektif. Apabila terjadi pada
tanaman tahunan yang memerlukan investasi
besar dan berjangka panjang, maka kondisi ini
akan menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Beberapa hama tanah yang sering
mengganggu sistem produksi pertanian antara
lain hama sundep, blast, Agromixa, uret. Sedang
untuk penyakit antara lain Fusarium, Nematoda,
Pithium, Pithoptora, kresek (Xantomonas).
Sementara predator alami yang mampu menekan
perkembangan
populasi
organisme
hamapenyakit ini antara lain dari kelompok insekta
tanah (Collembola, Coleoptera, dan lain-lain).
Fungi tanah Arthrobotrys, Dactylaria, Dactylella,
dan Harposporium, dengan aerasi tanah yang
baik mampu hidup di tanah masam lahan kering
serta mampu mematikan Nematoda ataupun
Protozoa yang banyak berperan sebagai penyakit
pada akar tanaman (Alexander, 1977). Selain itu
fungi berperan dalam dekomposisi selulosa,
hemiselulosa, pektin, dan lignin. Pemberdayaan

organisme predator melalui perbaikan habitat/


mikroklimat organisme predator akan mampu
menekan serangan hama-penyakit tular tanah
secara alami dan kondusif mengikuti dinamika
serangannya dan murah.
Strategi efisiensi penggunaan bahan organik
untuk produksi pertanian
Bahan organik mempunyai peranan penting
sebagai bahan pemicu kesuburan tanah, baik
secara langsung sebagai pamasok hara bagi
organisme authotrof (tanaman) juga sebagai
sumber energi bagi organisme heterotrof (fauna
dan mikroorganisme tanah). Meningkatnya
aktivitas biologi tanah akan mendorong
terjadinya perbaikan kesuburan tanah, baik
kesuburan fisik, kimia maupun biologi tanah.
Perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah
yang searah dengan kebutuhan tanaman (plant
requirement) tanaman target akan mampu
memperbaiki
pertumbuhan
dan
produksi
tanaman. Hasil penelitian Subowo et al. (2002)
didapatkan bahwa inokulasi cacing tanah
Pheretima hupiensis (endogaesis) pada tanah
Ultisols dengan diikuti pemberian bahan organik
secara vertikal sampai pada lapisan argilik dan
pengolahan tanah minimum memberikan hasil
kedelai lebih tinggi dibanding dengan perlakuan
pemberian bahan organik secara mulsa dan
pengolahan tanah dalam (Tabel 5). Adanya
bahan organik sampai lapisan argilik, cacing
tanah memanfaatkan sebagai sumber makanan
dan melakukan pengolahan tanah di lapisan
bawah/argilik, sehingga menurunkan kepadatan
lapisan argilik dan meningkatkan aerasi tanah.
Peningkatan aerasi tanah memberikan dukungan
yang baik bagi berkembangnya Rhizobium dalam
bintil akar kedelai untuk melakukan aktivitas
penambatan N dan meningkatkan pertumbuhan/
produksi kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh langsung pemberian bahan organik
meningkatkan
aktivitas
cacing
tanah.
Selanjutnya aktivitas cacing tanah memperbaiki
aerasi tanah untuk meningkatkan aktivitas
penambatan N oleh Rhizobium, sehingga dapat
memperbaiki pertumbuhan tanaman kedelai.
21

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Tabel 5. Rata-rata produksi kedelai, pengaruh pengolahan tanah, cara


pemberian bahan organik dan inokulasi P. hupiensis pada tanah
Ultisols
No. Cara pemberian BO

Cara pengolahan tanah*


Olah minimum

Olah atas

Olah dalam

Rata-rata

t/ha
2,36 b
2,17 a
1,77 a
2,10
B
B
A
2.
Alur
1,83 a
2,11 a
1,95 a
1,96
A
A
A
3.
Mulsa
1,90 a
1,88 a
2,06 a
1,95
A
A
A
Rata-rata
2,04
2,05
1,93
Sumber : Subowo et al. (2002)
Catatan :* Angka yang diikuti dengan oleh huruf kecil dalam kolom dan huruf
besar dalam baris yang sama tidak berbeda nyata sampai taraf nyata
5% (DMRT).
1.

Vertikal

Masalah yang dihadapi dalam penggunaan


bahan organik yang bersifat bulky (volumeous)
dan berada di wilayah kepulauan ( 13.700
pulau) serta memiliki laju pelapukan yang cepat,
maka selain sulitnya dalam pengadaan dan
konservasi juga transportasi yang mahal. Anas
et al. (2010) telah menemukan bahwa petani di
Jombang (Jawa Timur) yang menerapkan SRI
sejak 2007-2009 untuk lahan seluas 625 ha
telah mengalami kesulitan mendapatkan pupuk
organik. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah
menyadari pentingnya bahan organik untuk
meningkatkan produksi padi sawah. Namun
dengan orientasi bahan organik sebagai sumber
hara tanaman diperlukan dosis yang besar,
sehingga mengalami kesulitan dalam pengadaannya. Untuk itu nilai fungsi bahan organik
hendaknya dapat ditingkatkan efektifnya dengan
orientasi bukan hanya sebagai sumber hara
langsung bagi tanaman semata, namun juga
sebagai sumber energi organisme tanah ataupun
perbaikan sifat fisik tanah untuk memperbaiki
kesuburan tanah. Adanya bahan organik tanah
dapat meningkatkan aktivitas organisme tanah,
sehingga dapat membantu menyediakan hara,
memperbaiki sifat fisik tanah, ataupun dapat
menekan aktivitas organisme hama-penyakit.
Langkah-langkah strategis yang perlu
dipertimbangkan agar bahan organik efektif
untuk perbaikan pertumbuhan dan produksi
tanaman antara lain :
22

Analisis faktor pembatas kesuburan tanah untuk


produksi tanaman

Ketersediaan hara tanah merupakan faktor


utama untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
Tanpa dukungan keharaan tanah yang cukup
tanaman akan mengalami hambatan pertumbuhan. Sesuai dengan kondisi fisiologi tanaman,
ketersediaan hara tanah akan diserap oleh akar
tanaman melalui sistem pertukaran ion ataupun
proses difusi. Melalui proses ini hara tanah akan
masuk ke jaringan tanaman dan melalui proses
metabolisme hara-hara tersebut mendukung
pertumbuhan tanaman. Apabila jumlah ataupun
jenis hara tidak tercukupi, maka tanaman akan
tumbuh merana. Untuk itu perlu dilakukan
evaluasi faktor pembatas ini, sehingga dapat
dilakukan upaya perbaikan melalui pemberian
bahan organik yang efisien.
Untuk menguji faktor pembatas daya
dukung tanah dapat dilakukan dengan melihat
tampilan tanaman yag ada ataupun melalui hasil
analisis tanaman ataupun kesuburan tanah. Dari
faktor pembatas sifat fisik, kimia ataupun biologi
tanah yang ada, selanjutnya dipilih upaya
perbaikan yang dapat dilakukan. Perbaikan
secara langsung untuk sifat fisik tanah dengan
pengolahan tanah, sifat kimia tanah dengan
pemupukan, dan biologi tanah dengan melakukan
inokulasi organisme. Sedang perbaikan secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan pemberian

Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik

bahan organik ataupun bahan amelioran lain.


Adanya bahan organik ini akan memberikan
pasokan energi bagi organisme tanah dan
selanjutnya dapat memperbaiki kondisi fisikokimia tanah. Jenis, jumlah dan cara pemberian
bahan organik hendaknya disesuaikan dengan
upaya perbaikan faktor-faktor pembatas yang
ada, sehingga penggunaan bahan organik lebih
efektif dan bernilai guna.
Evaluasi organisme tanah native potensial untuk
perbaikan pertumbuhan tanaman

Masing-masing subsistem tanah pada


prinsipnya memiliki kondisi biofisik tanah yang
berbeda. Hal-hal yang mempengaruhi daya
dukung tanah selain dari bahan induk pembentuk
tanah juga kondisi lingkungan yang menyertainya, termasuk daya dukung biologi tanah baik
sebagai organisme yang mampu memasok hara,
memperbaiki sifat fisik tanah, sebagai predator,
ataupun sebagai hama-penyakit tanaman.
Indonesia
memiliki
keanekaragaman
jenis
organisme yang tinggi (megabiodiversity),
termasuk populasi organisme tanah. Namun
pemanfaatannya untuk mendukung produksi
komoditi pertanian sering kali belum mampu
memberikan manfaat secara langsung, karena
kondisi
lingkungan
belum
sesuai
untuk
mendukung aktivitasnya. Inventarisasi jenis dan
populasi organisme tanah native penting
dilakukan, sehingga dapat diketahui secara pasti
potensi
daya
dukungnya.
Apabila
jenis
organisme target telah tersedia dapat dilakukan
upaya perbaikan habitatnya dengan ameliorasi,
sehingga nilai manfaat organisme tersebut dapat
mendukung pertumbuhan tanaman. Sebaliknya
apabila tidak terdapat organisme yang mampu
mendukung perbaikan pertumbuhan tanaman
dapat dilakukan introduksi/inokulasi dan diikuti
ameliorasi agar kondisi fisiko-kimia tanah sesuai
untuk mendukung aktivitas organisme target.
Dengan
diketahuinya
daya
dukung
organisme tanah native yang telah terseleksi
secara alami dalam kurun waktu yang panjang
kita dapat mendayagunakan potensi biologi
tanah, baik melalui kemampuannya meningkatkan
ketersediaan hara, memperbaiki sifat kimia dan

fisik tanah serta kemampuannya untuk mencegah


serangan hama-penyakit tanaman. Penggunaan
bahan amelioran ataupun bahan organik untuk
mendukung aktivitas biologi tanah akan lebih
efektif dan berkelanjutan sesuai dengan dinamika
klimak ekosistem tanah.
Pemberdayaan organisme tanah sebagai agen
pembaik kesuburan tanah

Banyak organisme di dalam tanah yang


mampu meningkatkan ketersediaan hara tanah
ataupun perbaikan sifat fisik-kimia tanah untuk
pertumbuhan tanaman. Dengan diketahuinya
faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman
dan jenis organisme tanah native yang ada,
maka upaya untuk memperbaiki daya dukung
tanah untuk tanaman dapat dilakukan lebih
mudah dan efektif dengan mengaktifkan peranan
organisme tanah native ataupun introduksi yang
mampu mengatasi permasalahan faktor pembatas
pertumbuhan
tanaman
tersebut.
Dengan
memberikan kondisi habitat yang baik bagi
aktivitas organisme tanah, maka pertumbuhan
tanaman akan mampu tumbuh dengan baik.
Pemberian bahan organik merupakan kunci
utama untuk dapat mengaktifkan peranan
organisme
tanah
yang
sebagian
besar
merupakan organisme heterotrof yang sangat
membutuhkan bahan organik sebagai sumber
energi. Tingginya aktivitas organisme tanah yang
mampu memperbaiki kesuburan tanah dan
mencegah adanya serangan hama penyakit
tanaman akan mampu memberikan dukungan
untuk produksi tanaman. Seleksi input teknologi
sesuai dengan kebutuhan organisme target
untuk perbaikan kesuburan tanah merupakan
langkah yang tepat agar penggunaan bahan
organik tanah efektif dan bernilai guna untuk
mendukung produksi tanaman.

KESIMPULAN
1. Dalam upaya meningkatkan produktivitas
tanah di Indonesia yang berada di kawasan
vulkanik tropika basah dengan kandungan
bahan organik tanah rendah, pemberian
bahan organik mutlak diperlukan. Masalah
23

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

yang dihadapi kemampuan produksi bahan


organik rendah, laju pelapukan bahan organik
tinggi juga bersifat bulky dan berada di
wilayah kepulauan, sehingga sulit dalam
pengadaan dan konservasi bahan organik
juga biaya transportasi yang mahal.
2. Pemberian bahan organik dengan tujuan
pemberdayaan sumberdaya hayati tanah
untuk
meningkatkan
kesuburan
tanah
potensial
perlu
diupayakan.
Selain
memerlukan dosis yang lebih rendah juga
dapat meningkatkan konservasi bahan
organik tanah dan menekan emisi CO2.
3. Dalam menentukan evaluasi kesesuaian
lahan hendaknya perlu mempertimbangkan
adanya peranan populasi organisme tanah
untuk mendukung produksi tanaman dan
menjaga kelestarian kandungan bahan organik
tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction of Soil
Microbiology. John Wiley and Sons,
New York-Chichester-Brisbane-TorontoSingapore.
Anas, I., M.P. Utami, N. Hakim, dan F. Rozie.
2010. Peranan Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati dalam Meningkatkan Produksi
Padi untuk Mencapai Swasembada beras
berkelanjutan. Hlm 20. Dalam Prosiding
Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik
dalam Meningkatkan Produksi dan
Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai
Besar
Litbang
Sumberdaya
Lahan
Pertanian. Bogor, 24 Februari 2010.
Coleman, D.C. and D.A. Crossley Jr. 1995.
Fundamental of Soil Ecology. Academic
Press. San Diego. New York. Boston.
London. Sydney. Tokio. Toronto.
Curry, J.P., D. Byrne, and K.E. Boyle. 1995. The
earthworm population of winter cereal
field and its effects on soil and nitrogen
turnover. Biol. Fertil. Soils. (19):166172.
Edwards, C.A., and J.R. Lofty. 1977. Biology of
Earthworms. A Halsted Press Boo, John
Wiley & Sons, New York.
24

Erfandi, D., U. Kurnia, dan I. Juarsah. 2004.


Pemanfaatan Bahan Organik dalam
Perbaikan Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Ultisols. Hlm 77-85. Dalam Prosiding
Semnas. Pendayagunaan Tanah Masam,
Buku
II,
Puslitbang
Tanah
dan
Agroklimat, Bogor.
Kariada, I K. dan I B. Aribawa. 2009. Kajian
peranan pupuk organik dalam mendukung
pengelolaan terpadu (PTT) di Subak
Mangku, Tabanan, Bali. Hlm 265-276.
Dalam Prosiding Semiloka Nas. Inovasi
Sumberdaya Lahan: Inovasi Teknologi
Sumberdaya Lahan Mendukung Sistem
Pertanian
Industrial,
Bogor
24-25
November 2009.
Kasno, A., Nurjaya, dan D. Ardi S. 2009. Neraca
hara N, P, dan K pada pengelolaan hara
terpadu lahan sawah bermineral liat
campuran dan 1:1. Hlm 205-219. Dalam
Prosiding
Semiloka
Nas.
Inovasi
Sumberdaya Lahan: Inovasi teknologi
Sumberdaya Lahan Mendukung Sistem
Pertanian
Industrial,
Bogor
24-25
November 2009.
Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil
Resources in the Humic Tropics. United
nations University Press, Tokio-New
York-Paris. Pp 25-29.
Las, I. dan D. Setyorini. 2010. Kondisi Lahan,
Teknologi, Arah, dan Pengembangan
Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik.
Hlm 47. Dalam Prosiding Semnas
Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam
Meningkatkan
Produksi
dan
Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai
Besar
Litbang
Sumberdaya
Lahan
Pertanian, Bogor 24 Februari 2010.
Makulec, G. and A. Kusinska. 1997. The role of
earthworms (Lumbricidae) in transformations of organic matter and in the
nutrient cycling in the soils of ley
meadow and permanent meadows.
Ekologia Polska (Ekol. pol) 45(3-4):825837.
Martin, A. 1991. Short and long-term effects of
endogeic earthworm Milsonia anomala
(Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta)
of tropical savanna, on soil organic
matter. Biol. Fertil. Soils (11):234-238.

Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik

Pusat

Penelitian Tanah. 1983. Term of


Reference (TOR): Survei Kapabilitas
Tanah. Proyek Penelitian Pertanian
Menunjang
Transmigrasi
(P3MT).
Kerjasama Pusat Penelitian Tanah dan
Departemen Transmigrasi.

Sholeh, D. Nursyamsi, dan J.S. Adiningsih.


1997. Pengelolaan bahan organik dan
nitrogen untuk tanaman padi dan ketela
pohon
pada
lahan
kering
yang
mempunyai tanah Ultisols di Lampung.
Hlm
193-206.
Dalam
Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Stork, N.E. and P. Eggleton. 1992. invertebrates
as determinants and indicators of soil
quality. American Journal of Alternative
Agriculture 7(1 and 2):38-47.
Subowo,
I.
Anas,
G.
Djajakirana,
A.
Abdurachman, dan S. Hardjowigeno.
2002. Pemanfaatan cacing tanah untuk
meningkatkan produktivitas Ultisols lahan
kering. Jurnal Tanah dan Iklim 20:35-46.
Sudriatna, U. dan Subowo. 2007. tanggap
kacang hijau terhadap sisa bahan
amelioran pada tanah Inceptisols dan
Alfisols. Hlm 12. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian
dan Pengkajian Teknologi Pertanian,
Palembang, 26-27 Juli 2006.

Sutono, S., H. Kusnadi, dan U. Kurnia. 2009.


Baku
Mutu
Tanah
pada
Lahan
Terdegradasi di Daerah Aliran Sungai
Citanduy. Makalah disampaikan pada
Semiloka Nas. Inovasi Sumberdaya
Lahan: Inovasi teknologi Sumberdaya
Lahan Mendukung Sistem Pertanian
Industrial, Bogor 24-25 November 2009.
Swift, M.J., O.W. Heal, and J.M. Anderson.
1979. Decomposition in Terrestrial
Ecosyatem. Blackwell, Oxford.
Vidyarthy, G.S. and R.V. Misra. 1982. The role
and importance of organic materials and
biological nitrogen fixation in rational
improvement of agricultural production.
FAO Soils Bulletine, No. 45.
Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate
Soil and Crop Production in Humictropics. Kualalumpur, Oxford University
Press. London.
Yusnaini, M.A.S. Arif, J. Lumbanraja, S.G.
Nugroho, dan M. Monaha. 2004.
Pengaruh jangka panjang pemberian
pupuk organik dan inorganik serta
kombinasinya terhadap perbaikan kualitas
tanah masam Taman Bogo. Hlm 283293. Dalam Prosiding Semnas. Pendayagunaan
Tanah
masam,
Buku
II,
Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.

25

ISSN 1907-0799

LAHAN SAWAH DAN KECUKUPAN PRODUKSI BAHAN PANGAN


Rice Field Necessity to Sufficient Production of Food Material
S. Ritung
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123

ABSTRAK
Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,5%/tahun, sehingga
mendorong permintaan pangan yang terus meningkat. Lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luasnya pada tahun 2005
mencapai 7,89 juta ha ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia, sehingga perlu ditambah dengan impor yang
pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Kebutuhan bahan pangan mulai meningkat dan pada tahun 2020 diperkirakan terjadi
defisit jika tidak ada penambahan produksi sebesar 1,1 juta ton beras atau setara 1,8 juta ton GKG. Pada tahun 2050 kebutuhan beras
akan mencapai 48,2 juta ton atau meningkat 145%. Komoditas jagung dan kedelai diperkirakan akan terjadi defisit masing-masing
2,2 juta ton dan 2,5 juta ton pada 2050. Untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan hingga tahun 2050, dengan asumsi bahwa
konversi lahan sawah dapat ditekan menjadi 60.000 ha/tahun, diperlukan pencetakan sawah baru sekitar 1,6-2,4 juta ha pada tahun
2020 dan luas kumulatif hingga tahun 2050 adalah 6,0 juta ha. Potensi ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di Indonesia adalah
8,28 juta ha, terdiri atas sawah rawa 2,98 juta ha dan non rawa 5,30 juta ha. Potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua,
Kalimantan, dan Sumatera, masing-masing 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Strategi perluasan sawah dapat dilakukan
melalui pemanfaatan lahan sawah potensial di daerah irigasi, optimalisasi lahan sawah terlantar di daerah rawa pasang surut dan
rawa lebak, dan perluasan sawah secara kawasan di daerah yang potensinya cukup luas seperti Papua dan Kalimantan.
Kata kunci : Kebutuhan lahan, kecukupan pangan, ketersediaan lahan, surplus, defisit

ABSTRACTS
Indonesian population from year to year increasing, with growth of about 1.5%/year, thus pushing food demands
continues to increase. Particularly agricultural land especially rice field, covering an area in 2005 reached 7.89 million hectares
was not able to meet the food needs of Indonesia, so that needs to be supplemented by imports which in the last decade it has
increased. The need for food began to increase and in the year 2020 deficit is estimated to occur if there is no additional production
of 1.1 million tons of rice or equivalent to 1.8 million tons of GKG. In 2050 demand for rice will reach 48.2 million tons, an increase
of 145%. Commodity corn and soybeans are expected to occured a deficit each of 2.2 million tons and 2.5 million tons in 2050. To
sufficient the necessity of food until the year 2050, assuming that the conversion of rice land could be reduced to 60,000
hectares/year, required the new rice fields of about 1,6-2,4 million hectares in 2020 and the cumulative area until the year 2050 is
6.0 million hectares.The potential availability of land for extensification of rice field in Indonesia is 8.28 million hectares, consists
of 2.98 million hectares swamp rice field and 5.30 million hectares of non swamp rice field. The largest potential development are in
Papua, Kalimantan, and Sumatra, each of 5.19 million hectares, 1.39 million hectares, and 0.96 million hectares. Rice field
extensification strategies can be done through land use potential rice fields in the irrigation areas, abandoned rice field optimization
in the tidal swamp and inland swamp, and extensification of rice field region scale in area large potential like Papua and
Kalimantan.
Keywords : Land necessity, food necessity, land availability, surplus, deficit

enduduk Indonesia dalam waktu empat


puluh tahun ke depan masih akan terus
bertambah dengan pertumbuhan sekitar
1,5%/tahun, sehingga permintaan pangan juga
terus meningkat. Lahan pertanian sawah pada
tahun 2005, seluas 7,89 juta ha (BPS, 2008)
produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan
akan pangan penduduk Indonesia terutama

beras, gula, kacang tanah, dan kedelai, sehingga


perlu impor, yang pada dekade terakhir jumlahnya
meningkat. Irawan (2005) memperkirakan
pengadaan beras impor pada tahun 2010
mencapai 4,12 juta ton. Swastika et al. (2000)
memproyeksikan pada tahun 2010 impor kedelai
dan jagung masing-masing akan mencapai 1,8
dan 1,5 juta ton. Agus dan Irawan (2007)
27

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

memperkirakan bahwa tahun 2025 Indonesia


akan harus mengimpor 11,4 juta ton beras jika
konversi lahan sawah tetap terjadi dengan laju
187.720 ha/th (Sutomo dan Suhariyanto, 2005)
dan pencetakan sawah baru mencapai 100.000
ha/th. Adanya perkiraan impor pangan yang
semakin besar bukan berarti menunjukkan rasa
pesimis terhadap kemampuan bangsa Indonesia
dalam menyediakan pangan, tetapi harus
dimaknai sebagai cambuk peringatan perlunya
pemecahan
yang
berkelanjutan
dalam
menangani produksi pangan. Ketersediaan lahan
untuk
memproduksi
pangan
yang
tidak
bertambah, bahkan berkurang, merupakan
masalah penting yang perlu diatasi secepatnya.
Dengan adanya Undang-undang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
bertujuan untuk menekan laju konversi lahan,
maka diperkirakan pada tahun-tahun mendatang
konversi lahan sawah produktif dapat ditekan
menjadi minimal, atau bahkan dihentikan.
Lahan sawah merupakan penghasil utama
bahan pangan, utamanya beras. Sebagai
gambaran, pada tahun 2008 total luas panen
padi sekitar 12,3 juta ha dengan produksi padi
sebesar 60 juta ton, 95%nya dihasilkan dari
lahan sawah dengan luas panen 11,3 juta ha
dan 5% dihasilkan dari lahan kering dengan luas
panen 1,1 juta ha. Rata-rata produktivitas padi
sawah 5,1 t/ha dan padi ladang 2,9 t/ha
(Deptan, 2008). Kontribusi produksi lahan
sawah terhadap total produksi padi tahun 2009
diperkirakan tetap sekitar 95%.
Luas baku lahan sawah di P. Jawa terus
menurun yang antara lain disebabkan oleh
terjadinya konversi lahan sawah produktif ke
lahan non pertanian (pemukiman, perkotaan,
infrastruktur, dan kawasan industri). Karena itu
Jawa makin sulit diandalkan sebagai pemasok
pangan nasional, karena: (1) tingginya alih
fungsi lahan, (2) pemenuhan kebutuhan pangan
di Jawa sendiri, dan (3) menurunnya kecukupan
air untuk pertanaman padi (Ritung dan Hidayat,
2007). Luar Jawa, permintaan pangan juga
terus meningkat, dengan perkembangan agak
lambat. Maka oleh adanya kecenderungan
menurunnya laju peningkatan produksi padi,
produksi nasional diperkirakan tidak akan
28

mampu memenuhi permintaan, tanpa adanya


penambahan lahan pertanian baru.
Luas wilayah Indonesia mencakup 188,2
juta ha (Puslittanak, 2000). Dari total luas
tersebut, 148,2 juta ha di antaranya berupa
lahan kering dan sisanya 40 juta ha lahan basah,
yang sebagian besar berupa hutan, semak
belukar dan rumput rawa, yang belum
dimanfaatkan, berupa dataran gambut, dataran
aluvial, pasang surut ataupun lebak. Sebagian
kecil dari lahan basah tersebut berupa sawah,
yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah
pasang surut, dan sawah lebak, dengan total
luas 7,89 juta ha (Deptan, 2008), dan
perkebunan kelapa, kelapa sawit, serta hutan
tanaman industri (HTI).
Ketersediaan lahan sawah yang relatif
sempit
dibandingkan
jumlah
penduduk,
mengakibatkan terjadinya defisit pangan secara
kronis. Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu
solusi yang lebih permanen untuk mengatasi
terbatasnya
penyediaan
pangan
nasional
terutama beras, melalui perluasan areal lahan
sawah yang dilaksanakan secara terkendali dan
bijaksana, terutama untuk mengganti lahanlahan sawah produktif yang dikonversi dan
mengoptimalkan lahan sawah bukaan baru.
Tulisan ini bertujuan untuk memprediksi
kebutuhan lahan sawah dalam mencukupi
kebutuhan pangan pada saat ini dan di masa
yang akan datang. Data kebutuhan lahan
didasarkan atas analisis kebutuhan pangan
sejalan
dengan
pertambahan
penduduk.
Sedangkan ketersediaan lahan didasarkan pada
hasil analisis potensi lahan.

SEBARAN LAHAN SAWAH


Berdasarkan data statistik pertanian
(Deptan, 2008), luas lahan sawah di Indonesia
sekitar 7,89 juta hektar, tidak termasuk Papua
dan Maluku. Sebagian besar lahan sawah
terdapat di Jawa 3,23 juta hektar (41,0% dari
luas sawah Indonesia). Lainnya terdapat di
Sumatera 2,34 juta hektar, Kalimantan 0,99 juta
hektar dan Sulawesi 0,89 juta hektar.
Sedangkan di Nusa Tenggara dan Bali hanya
0,42 juta hektar atau 5,35% dari luas sawah
Indonesia.

S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan

Berdasarkan status pengairannya, lahan


sawah irigasi teknis maupun semi teknis adalah
yang terluas sekitar 3,2 juta hektar, tersebar
terutama di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan
Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar dari luasan
sawah irigasi dilayani oleh sumber air berupa
bendungan kecil, sumber air lokal, dan
bendungan sungai kecil, sedangkan yang
dilayani oleh waduk air permanen skala kecil,
sedang dan besar, hanya 10% dari luas lahan
irigasi (Soenarno, 2001). Kondisi ini menunjukkan
bahwa produksi pangan beras nasional sangat
tergantung pada pola dan curah hujan sewaktu.
Lahan sawah tadah hujan mencapai luas 2,09
juta hektar, dan sawah irigasi sederhana seluas
1,58 juta hektar. Sawah tadah hujan dan irigasi
sederhana tersebar di Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi. Luas lahan sawah
pasang surut dan lahan sawah lainnya termasuk
lahan sawah lebak mencapai luas 1 jutaan
hektar, tersebar di Sumatera dan Kalimantan.

kebutuhan beras nasional mencapai 30 juta ton


(Irawan, 2005). Pada tahun 2008 penduduk
Indonesia telah mencapai 237 juta jiwa, dengan
kebutuhan pangan sekitar 32 juta ton. Jika
pertumbuhan penduduk diasumsikan masih 1,5%
pertahun, maka jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2010 adalah 241 juta jiwa, dan pada
tahun 2050 mencapai 436 juta jiwa.

Data
tersebut
menunjukkan
bahwa
produksi pangan pokok nasional sangat
tergantung dari lahan yang relatif sempit,
sumber irigasi yang sebagian airnya berasal dari
hujan sewaktu, serta pola dan curah hujan tahun
berjalan. Oleh karena itu apabila terjadi anomali
iklim, akan secara langsung berpengaruh
terhadap produksi dan ketersediaan pangan
nasional. Dengan adanya pemanasan global,
diperkirakan frekuensi anomali iklim akan lebih
sering terjadi, yang akan berpotensi mengancam
ketahanan pangan nasional. Untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di
masa depan, nampaknya upaya yang paling
aman adalah dengan perluasan lahan pertanian
di wilayah baru.

Dengan peningkatan kebutuhan bahan


pangan yang besar tersebut, penambahan
penyediaan lahan sawah perlu dilakukan lebih
awal dan secara bertahap agar tidak terjadi
kekurangan pangan secara drastis.

JUMLAH PENDUDUK DAN KEBUTUHAN


BAHAN PANGAN
Beras sebagai bahan pangan utama
penduduk Indonesia, jumlah permintaannya terus
meningkat dari tahun ketahun, sejalan dengan
pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2000
dengan penduduk berjumlah 206,27 juta jiwa,

Pada tahun 2010 permintaan beras


diperkirakan sebesarr 33,065 juta ton, dan pada
tahun 2050 meningkat menjadi sebesar 48,182
juta ton atau meningkat 45% (Tabel 1).
Demikian pula untuk komoditas lainnya seperti
jagung dari 8,724 juta ton pada tahun 2010
meningkat 70% menjadi 14,86 juta ton pada
tahun 2050. Kebutuhan pangan pokok lainnya,
seperti kedelai, bawang merah, gula, kacang
tanah, kacang hijau, ubi jalar, juga terus
meningkat cukup besar, yang berdampak
terhadap status kecukupan penyediaan pangan
nasional.

Perhitungan defisit/surplus bahan pangan


pada tahun 2010-2050 apabila tidak ada
penambahan lahan sawah bukaan baru disajikan
pada Tabel 2. Dengan menggunakan data
produksi tahun 2008, produksi beras dari lahan
sawah ditambah produksi padi gogo dari lahan
kering, pada tahun 2010 tersedia total produksi
beras 35,927 juta ton. Apabila pada tahuntahun berikutnya tingkat produktivitas seperti
pada tahun 2008 dan tidak terjadi anomali iklim
yang mengganggu produksi, serta serangan OPT
terjadi pada kerusakan normal, diprediksikan
bahwa produksi beras masih mencukupi hingga
tahun 2013/2014. Defisit beras diprediksikan
mulai terasa pada tahun 2015, disebabkan
kapasitas
produksi
lahan
tidak
mampu
mendukung pertambahan permintaan beras oleh
adanya penambahan penduduk. Hampir semua
komoditas bahan pangan lainnya, kecuali
jagung, akan mulai mengalami defisit sejak
tahun 2010 dan meningkat cukup besar pada

29

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Tabel 1. Jumlah penduduk dan kebutuhan bahan pangan tahun 2010-2050


Tahun

2010
2020
2030
2040
2050
1
2

Jumlah
penduduk
juta jiwa
241
279
324
376
436

Kebutuhan bahan pangan pokok


Bawang
Kacang Kacang
Kedelai
Gula
Ubi jalar
Beras Jagung
merah
tanah
hijau
......................................... ribu ton2 ............................................
33.065
8.724
2.057
704
2.175
815
314
1.881
37.021
9.967
2.381
1.018
2.530
900
347
2.078
40.183 11.386
2.668
1.355
2.940
994
383
2.295
44.500 13.007
2.896
1.687
3.416 1.098
423
2.535
48.182 14.859
3.043
1.986
3.966 1.213
468
2.801
1

Kebutuhan domestik termasuk untuk industri pakan


Perkiraan kebutuhan pangan dalam periode 2010-2050 (Sudaryanto et al., 2010)

tahun 2050. Defisit beras pada tahun 2020


diperkirakan sebesar 1,094 juta ton atau setara
1,8 juta ton GKG. Produksi komoditas pertanian,
terutama
padi,
sangat
rentan
terhadap
perubahan iklim dan dinamika biologis hama dan
penyakit. Produktivitas yang cukup tinggi pada
tahun 2008, tidak selalu dengan pasti dapat
diperoleh pada tahun selanjutnya. Produksi
jagung saat ini sebesar 12,7 juta ton (BPS,
2008) terdiri atas 60% lahan kering dan 40%
lahan sawah. Jika dibandingkan dengan
perkiraan kebutuhan sampai tahun 2050 sebesar
14,859 juta ton, maka defisit diperkirakan mulai
terjadi pada tahun 2039/2040, dan pada tahun
2050 defisit mencapai 2,159 juta ton. Produksi
kedelai akan terjadi defisit sebesar 1,47 juta ton
pada tahun 2010 dan 2,45 juta ton pada tahun
2050. Untuk gula terjadi defisit sebesar 183 ribu
ton pada tahun 2010 dan meningkat tajam pada
tahun 2050 menjadi 2,0 juta ton. Sedangkan
komoditas ubikayu dan ubi jalar produksinya
sesuai kebutuhan.
Kebutuhan beras pada Tabel 2 adalah
kebutuhan domestik untuk konsumsi maupun
untuk bahan mentah industri, tidak dihitung
kebutuhan untuk ekspor. Dalam menghitung
penyediaan
produksi,
untuk
mencukupi
kebutuhan konsumsi perlu ditambah 10% yang
berfungsi sebagai cadangan penyangga pasar
dan sisa terbuang (waste). Atas dasar
perhitungan tersebut, maka angka kebutuhan
produksi beras perlu ditambah 10% menjadi
berturut-turut 2010 = 36,372 juta ton, dan
2050 = 53,00 juta ton. Atas dasar perhitungan
30

tersebut, produksi beras tahun 2010 apabila


hanya sama dengan tahun 2008 (36 juta ton),
maka defisit beras sudah mulai terjadi pada
tahun 2011/2012. Defisit bahan pangan dalam
waktu tiga tahun mendatang masih dapat diatasi
dengan optimasi produktivitas, terutama dari
wilayah yang produktivitasnya masih rendah.
Kebutuhan jagung akan dipengaruhi oleh
kesanggupan Indonesia untuk memasok pasar
internasional (ekspor). Data Tabel 2 adalah
kebutuhan domestik jagung minimal untuk
keperluan sebagai pangan, industri pakan, dan
industri lainnya. Apabila dikehendaki Indonesia
untuk mengekspor jagung, maka kebutuhan total
adalah kebutuhan domestik ditambah ekspor.
Kebutuhan kedelai untuk konsumsi selama
empat puluh tahun ke depan terbesar tetap
sebagai bahan tempe, tahu, dan kecap, yang
jumlahnya terus meningkat. Kebutuhan untuk
komponen ransum pakan berupa bungkil kedelai
(soybean meal), juga akan terus meningkat,
sehingga kebutuhan setara kedelai sebanyak
3,04 juta ton pada tahun 2050 (Tabel 2), ada
kemungkinan merupakan estimasi yang lebih
rendah (under estimate). Dengan tingkat
produksi kini sebanyak 589.000 ton per tahun,
defisit produksi kedelai akan terus bertambah
besar tanpa ada perluasan areal tanam. Defisit
produksi juga telah dialami oleh kacang tanah,
kacang hijau, dan gula. Angka defisit akan
semakin
besar
apabila
tidak
dilakukan
penambahan areal panen, karena penambahan
produksi dari kenaikan produktivitas bagi
komoditas tersebut sangat lamban atau sulit.

Tabel 2. Defisit dan surplus bahan pangan tahun 2010-2050 dengan luas lahan sawah seperti tahun 2008
Beras
Tahun

Total
produksi2

Suplus/
defisit

Kebutuhan1

Kedelai

Total
produksi2

Surplus/
defisit

Kebutuhan1

Total
produksi2

Gula
Surplus/
defisit

Kebutuhan1

Produksi yang
dicapai

Surplus/
defisit

.......................................................................................... ribu ton ..........................................................................................


33.065
35.927
2.862
8.724
12.700
3.976
2.057
589
-1.468
2.175
1.992
-183
37.021
35.927
-1.094
9.967
12.700
2.733
2.381
589
-1.792
2.530
1.992
-538
40.183
35.927
-4.256
11.386
12.700
1.314
2.668
589
-2.079
2.940
1.992
-948
44.500
35.927
-8.573
13.007
12.700
-307
2.896
589
-2.307
3.416
1.992
-1.424
48.182
35.927
-12.255
14.859
12.700
-2.159
3.043
589
-2.454
3.966
1.992
-1.974

Lanjutan Tabel 2.
Kacang tanah
Tahun

2010
2020
2030
2040
2050

Kebutuhan1

Total
produksi2

Ubi jalar

Kacang hijau
Surplus/
defisit

Kebutuhan1

Total
produksi2

Surplus/
defisit

Kebutuhan1

Total
produksi2

Surplus/
defisit

........................................................................ ribu ton .........................................................................


815
815
0
314
314
0
1.881
1.881
0
900
815
-85
347
314
-33
2.078
1.881
-197
994
815
-179
383
314
-69
2.295
1.881
-414
1.098
815
-283
423
314
-109
2.535
1.881
-654
1.213
815
-398
468
314
-154
2.801
1.881
-920

Kebutuhan adalah jumlah keperluan bahan pangan as consumed. Perhitungan penyediaan untuk mencukupi kebutuhan semestinya lebih besar,
diasumsikan perlu ditambah 10%.

Total produksi adalah total produksi yang dicapai waktu kini dari luasan lahan sawah yang tersedia, ditambah produksi dari lahan kering

S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan

2010
2020
2030
2040
2050

Kebutuhan1

Jagung

31

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Hingga tahun 2010 peningkatan produksi


bahan pangan nasional lebih mengandalkan pada
peningkatan produktivitas melalui berbagai upaya
intensifikasi. Program peningkatan produksi
pangan melalui perbaikan teknologi, penyediaan
pengairan, penyediaan sarana produksi, fasilitasi
modal usahatani, pemberdayaan kelembagaan
petani dan kegiatan penyuluhan, telah berhasil
melipatgandakan produksi beras, dari sekitar 9
juta ton pada tahun 1965 menjadi 35 juta ton
pada tahun 2008. Kenaikan produksi yang
spektakuler tersebut perlu dipahami tidak dapat
terus berlanjut, apabila luas areal sawah tetap
atau bahkan semakin berkurang.

GKG atau setara dengan 35,88 juta ton beras.


Peningkatan produksi tersebut tercapai sebagai
akibat penerapan teknologi maju, peningkatan
areal panen, peningkatan indeks pertanaman,
perbaikan sarana dan prasarana pengairan, dan
perbaikan hara melalui pemupukan berimbang.
Dengan memperhatikan peningkatan kebutuhan
beras yang cukup besar, maka peningkatan
produktivitas per ha tidak dapat diandalkan lagi,
dan perluasan areal melalui pembukaan lahan
sawah bukaan baru menjadi sangat penting,
karena produktivitas padi yang dicapai waktu
kini sudah tinggi dan tidak dapat secara terusmenerus ditingkatkan (Tabel 3).

Atas dasar pemikiran tersebut, untuk


mengantisipasi peningkatan permintaan bahan
pangan nasional yang semakin besar di masa
depan, pilihan yang paling bijaksana adalah
dengan penambahan luas areal tanam pada
lahan-lahan pertanian baru, dibarengi dengan
penghentian konversi lahan pertanian yang subur
menjadi fungsi-fungsi non pertanian.

Dengan mempertimbangkan luas baku


sawah, konversi lahan, teknologi usaha tani
padi, pertumbuhan penduduk, konsumsi beras,
bencana alam dan harga gabah, Irawan (2005)
memprediksi neraca ketersediaan dan kebutuhan
beras pada tahun 2010, masing-masing sebesar
32,65 juta ton dan 36,77 juta ton beras,
sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton.
Berdasarkan data produksi beras tahun 2008
sebesar 35,88 juta ton beras, defisit tahun 2010
hanya sebesar 0,9 juta ton. Apabila kebutuhan
beras tahun 2010 menggunakan data prediksi
Sudaryanto et al. (2010) pada Tabel 2, maka
pada tahun 2010 belum terjadi defisit beras.
Dengan jumlah penduduk pada tahun 2010
sebesar 241 juta, apabila konsumsi per kapita

KEBUTUHAN LAHAN SAWAH UNTUK


MENCUKUPI KEBUTUHAN PANGAN
Menurut data BPS (1997-2008), pada
tahun 1997 produksi padi nasional adalah 49,34
juta ton GKG, dan pada tahun 2008 produksi
padi nasional meningkat menjadi 59,88 juta ton

Tabel 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi padi periode 1997-2008


Tahun Luas panen
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008

juta ha
11,13
11,72
11,96
11,79
11,50
11,52
11,49
11,92
11,84
11,78
12,15
12,39

+/-

Produktivitas

+/-

Produksi

+/-

kw/ha GKG
44,32
41,97
42,52
44,01
43,88
44,69
45,38
45,36
45,74
46,18
47,05
48,35

juta ton GKG


49,34
49,20
50,87
51,90
50,46
51,49
52,14
54,09
54,15
54,40
57,16
59,88

5,30
2,11
-1,42
-2,49
0,18
-0,28
4,23
-0,67
-0,51
3,14
1,98

-5,3
1,31
3,5
-0,3
1,85
1,54
0,04
0,84
0,96
1,88
2,76

-0,28
3,39
2,03
-0,28
2,04
1,26
4,23
0,11
0,46
5,07
4,76

Sumber: Data BPS tahun 1997-2008, termasuk lahan sawah rawa dan lahan kering

32

S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan

130 kg/th, maka kebutuhan beras as consumed


adalah 31,3 juta ton. Kebutuhan produksi beras
as produced biasanya ditambah 10% dari
kebutuhan as consumed, atau 34,5 juta ton.
Dengan perhitungan tersebut memang pada
tahun 2010 belum defisit, asalkan produktivitas
dapat dipertahankan tinggi seperti tahun 2008.
Pada tahun 2020 diprediksi terjadi kekurangan
beras sebanyak 1,09 juta ton, dan defisit terus
meningkat hingga mencapai 12,25 juta ton pada
tahun 2050. Pada tahun 2050 dibutuhkan
48,18 juta ton beras, atau 80,3 juta ton GKG.
Untuk menghasilkan padi/beras dan bahan
pangan lainnya pada tingkat kecukupan
kebutuhan
konsumsi
domestik
(taraf
swasembada pangan nasional) dari tahun 2010
sampai dengan 2050 diperlukan peningkatan
luas baku lahan sawah menjadi 10,038 juta ha
dengan asumsi bahwa produktivitas padi sawah
stabil pada 5 t/ha GKG dan indeks pertanaman
(IP) padi 160% (Tabel 4).
Berdasarkan prediksi kebutuhan beras dan
bahan pangan lainnya, termasuk jagung, kedelai,
kacang tanah, ubi jalar, tebu dan sayuran,
secara nasional dari tahun 2010 sampai tahun
2050, dengan mempertimbangkan luas baku
sawah awal 7,89 juta ha, untuk memenuhi
kebutuhan bahan pangan tersebut, yaitu
kebutuhan pangan dan bahan industri domestik,
maka diperlukan penambahan luas baku sawah

sekitar 1,614 juta ha pada tahun 2020, dan


kumulatif tambahan lahan sawah seluas 6,1 juta
ha sampai tahun 2050. Konversi lahan sawah
diasumsikan menurun setelah disahkan Undangundang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (PLPPB). Pada kenyataannya,
konversi lahan sawah menjadi penggunaan
lainnya masih terus terjadi karena kebutuhan
lahan untuk perumahan, industri dan infrastruktur
lainnya.
Kebutuhan penambahan areal sawah
seluas 6 juta ha dari tahun 2010 sampai tahun
2050 memerlukan pendanaan yang besar, tidak
saja untuk pencetakan sawah (land reclamation),
pembangunan prasarana irigasi dan bangunan
sumber pengairan, tetapi juga untuk biaya ganti
rugi lahan yang telah diaku oleh warga
setempat. Program perluasan lahan pertanian
akan berhadapan dengan permasalahan sosial,
pendanaan, teknis agronomis dan teknis
operasional, serta issue lingkungan, Bahkan
kadang-kadang LSM dan NGO internasional ikut
mempermasalahkan aspek kelestarian keaneka
ragaman hayati, kelestarian lingkungan dan
emisi gas rumah kaca. Masyarakat setempat
selalu mengaku bahwa lahan yang akan
direklamasi menjadi lahan pertanian adalah lahan
milik adat/suku, sehingga memerlukan biaya
besar untuk dijadikan lahan pertanian bagi
masyarakat petani calon penggarap.

Tabel 4. Perhitungan kebutuhan penambahan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan
domestik tahun 2010 sampai dengan 2050
Tahun

2010
2020
2030
2040
2050

Kebutuhan lahan sawah


Kebutuhan
Bawang
beras1
Beras/padi
Gula Total
merah
x1.000 ton
33.065
37.021
40.183
44.500
48.182

Sawah yang Prediksi konversi


telah ada lahan sawah

Kebutuhan penambahan
sawah kumulatif

......................................................1.000 ha ..............................................................
7.164
65
245
7.474
7.386
88
8.021
94
285
8.400
7.386
600
1.614
8.706
126
331
9.163
7.386
1.200
2.977
9.631
157
384 10.172
7.386
1.800
4.586
10.439
184
446 11.069
7.386
2.400
6.083

Keterangan : Jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar diasumsikan dapat menggunakan lahan sawah
melalui pola tanam padi-padi palawija atau padi-palawija, sedangkan bawang merah dan tebu umumnya
menggunakan lahan sawah secara terus-menerus dalam setahun
1

Kebutuhan beras adalah jumlah kebutuhan beras as consumed

33

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Namun apabila bangsa dan negara


Indonesia ingin mempunyai ketahanan pangan
nasional yang berkelanjutan, upaya perluasan
areal lahan pertanian dengan biaya besar
tersebut perlu ditempuh. Dalam jangka panjang,
biaya yang harus dikeluarkan atas kekurangan
pangan nasional, jauh akan lebih besar
dibandingkan dengan biaya investasi pembukaan
dan reklamasi lahan pertanian baru.

didelineasi dalam peta skala 1:250.000 yang


digunakan (Ritung dan Suharta, 2007).

WILAYAH POTENSIAL PENGEMBANGAN


LAHAN SAWAH

Potensi lahan untuk perluasan sawah di


seluruh Indonesia berdasarkan hasil perhitungan
Badan Litbang Pertanian (2007) disajikan per
pulau dan per provinsi. Luas lahan yang sesuai
untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia
adalah 8,28 juta ha, terdiri atas potensi sawah
rawa 2,98 juta ha, dan non rawa 5,30 juta ha.
Potensi pengembangan sawah terluas terdapat
di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masingmasing 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta
ha. Di Sulawesi hanya tersedia lahan sekitar
0,42 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,24
juta ha, Nusa Tenggara dan Bali 0,05 juta ha,
dan Jawa hanya 0,014 juta ha.

Untuk melihat berapa luas lahan yang


potensial untuk pengembangan atau perluasan
areal lahan sawah di masa depan, akan
dibandingkan antara data luas lahan yang sesuai
dengan data penggunaan lahan yang ada saat
ini. Potensi lahan sawah diperoleh dari peta
arahan tata ruang pertanian yang disusun oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat atau Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian periode tahun 2002-2006, baik
yang berskala 1:250.000 pada 20 provinsi
maupun skala 1:1.000.000 untuk provinsi
lainnya. Data penggunaan lahan yang digunakan
berskala 1:250.000 bersumber dari Badan
Pertanahan Nasional, Bakosurtanal dan Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Kedua data spasial tersebut, yakni data potensi
lahan dan penggunaan lahan ditumpangtepatkan (overlayed) untuk mendapatkan lahanlahan yang masih tersedia untuk pengembangan
atau perluasan areal persawahan. Lahan-lahan
potensial yang digolongkan tersedia apabila
penggunaan lahannya belum digunakan untuk
pertanian maupun penggunaan lainnya yang
bersifat permanen, yaitu pada saat ini masih
berupa belukar atau hutan yang dapat dikonversi
(Ritung dan Hidayat, 2003). Dari hasil overlay
tersebut, selanjutnya dikalikan dengan suatu
faktor koreksi sebesar 0,7 dengan asumsi
bahwa ada sebesar 0,3 (30%) dari lahan
tersebut tidak sesuai dan sudah digunakan untuk
berbagai macam penggunaan namun tidak dapat
34

Potensi
ketersediaan
lahan
sawah
dibedakan antara lahan rawa dan non rawa
sesuai dengan agroekosistemnya. Lahan rawa
yang potensial untuk sawah diarahkan sebagai
sawah pasang surut dan/atau lebak, sedangkan
lahan non rawa yang potensial diarahkan sebagai
lahan sawah irigasi, berupa sawah irigasi teknis,
semi teknis maupun irigasi sederhana.

SISTEM PRODUKSI BAHAN PANGAN


PADA LAHAN SAWAH BUKAAN BARU
Sawah bukaan baru umumnya mempunyai
tingkat produktivitas yang rendah karena
berbagai faktor, diantaranya: lahan yang ada
saat ini umumnya dari jenis tanah yang
kesuburannya tergolong rendah, kondisi lahan
yang tidak stabil atau homogen, dan tingkat
keracunan dari unsur-unsur besi dan mangan
relatif tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lahan sawah bukaan baru umumnya
mempunyai produktivitas tergolong rendah
sekitar 2-3 t/ha atau 40-50% dari produktivitas
optimal. Produktivitas optimal akan dicapai
setelah lahan dikelola beberapa tahun (5-10
tahun) dengan berbagai perbaikan-perbaikan
yang diperlukan, baik dari segi tanahnya maupun
pengairan dan sarana-prasarana lainnya. Untuk
mempercepat peningkatan produktivitas agar

S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan

dapat memenuhi kebutuhan pangan, perlu


dilakukan pengawalan teknologi pengelolaan
lahan oleh tenaga ahli dan petugas yang terlatih,
pada lahan sawah bukaan baru. Teknologi untuk
sawah bukaan baru telah tersedia. Hasil
penelitian Kasno et al. (1999) menunjukkan
bahwa pengaruh pemupukan dan penggenangan
akan meningkatkan pH tanah dan hasil padi pada
tanah sawah bukaan baru.
Perluasan areal untuk digunakan sebagai
sistem produksi bahan pangan pada lahan
sawah bukaan baru (Tabel 4), persiapan
pembukaan lahannya perlu dipercepat, agar
kebutuhan pangan, terutama beras dapat
terpenuhi.
Walaupun
pada
tahun
2010
penambahan lahan sawah untuk memenuhi
kebutuhan pangan masih sedikit yakni 88.000
ha, namun untuk tahun 2020 perlu penambahan
1,6 juta ha, sehingga penambahan atau
pencetakan lahan sawah baru tetap harus
dilakukan dan bahkan ditingkatkan karena
produktivitas yang dicapai hanya sekitar 4050% dari produktivitas optimal. Oleh karena itu
penambahan sawah baru sampai tahun 2020
seharusnya 1,5 kali dari 1,6 juta ha atau sekitar
2,4 juta ha. Demikian pula untuk tahun 2030
sampai dengan 2050, sehingga dapat dicapai
penambahan sekitar 6,0 juta ha kumulatif. Dari
segi potensi lahan berdasarkan kondisi tahun
2007 masih terdapat lahan yang dapat
dikembangkan untuk pembukaan sawah baru
seluas 8,28 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa
2,98 juta dan lahan non rawa 5,30 juta ha.

HAMBATAN, MASALAH, DAN DUKUNGAN


PRASARANA YANG DIPERLUKAN
Hambatan non teknis yang sering dihadapi
adalah status legal pemilikan lahan, isu terkait
dengan kesukuan, penyebaran penduduk dan
lingkungan. Masalah tersebut apabila tidak
diatasi dapat mengakibatkan gagalnya reklamasi
lahan untuk lahan pertanian baru.
Hambatan dan masalah lainnya dalam
pembukaan lahan sawah seperti yang telah

disebutkan
sebelumnya
antara
lain
(i)
ketersediaan data penyebaran lahan potensial
pada skala operasional di lapangan, (ii) ketidak
jelasan status kepemilikan lahan, baik sebagai
tanah adat maupun tanah Negara atau
kepemilikan lainnya, (iii) ketersediaan air irigasi,
(iv) jumlah penduduk yang masih sedikit di
wilayah potensial, (v) tingkat kesuburan tanah
yang rendah dan keracunan besi tinggi.
Keengganan atau minat masyarakat muda yang
semakin menurun untuk bekerja di sektor
pertanian (bertani sawah) disebabkan oleh selain
harga hasil usahatani yang rendah tidak sesuai
harapan, juga hasilnya tidak dapat dinikmati
secara instant seperti menjadi buruh bangunan
atau bidang-bidang usaha lainnya. Oleh karena
itu, pembukaan lahan pertanian baru selain harus
mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan
dan keberlanjutan sistem produksinya, juga
keharmonisan hubungan sosial masyarakatnya.
Kepemilikan lahan baik oleh suku atau
masyarakat adat maupun status kawasan
kehutanan merupakan hambatan yang sering
dihadapi dalam pelaksanaan perluasan sawah. Di
samping itu hambatan lain muncul karena
adanya tumpang tindih peruntukan lahan antara
sektor pertanian dan non pertanian, atau antara
pertanian tanaman semusim dan tanaman
tahunan, seperti antara pengembangan kelapa
sawit yang berkembang sangat pesat dengan
usaha tanaman semusim.
Ketersediaan sumberdaya air nasional
(annual water resources, AWR) masih sangat
besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi
tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Sebaliknya
di sebagian besar wilayah timur bagian selatan
yang radiasinya melimpah, curah hujan rendah
(< 1.500 mm/tahun) yang hanya terdistribusi
selama 3-4 bulan.
Dewasa
ini,
masalah
meningkatnya
tekanan terhadap sumberdaya air di beberapa
tempat semakin besar, yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk dan permintaan
akibat pertumbuhan ekonomi dan proses
urbanisasi (Pasandaran dan Sugiharto, 1999).
35

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Penyebab berikutnya adalah kelangkaan air


akibat tekanan demografi, anomali iklim (El Nino
dan La Nina) serta rendahnya komitmen
pemerintah dan masyarakat dalam mengelola air
yang tercemar, sehingga ketersediaan air yang
berkualitas cenderung menurun. Penurunan
tersebut mempengaruhi pemenuhan air untuk
kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan
lingkungan.
Selain itu, dengan adanya perubahan iklim
global produksi padi akan menurun. Menurut
Rejekiningrum dan Amin (1998), peningkatan
CO2 akan mengakibatkan perubahan unsur-unsur
iklim, mempengaruhi potensi hasil (produktivitas),
dan kandungan biomassa tanaman padi.
Diperkirakan produktivitas padi di Cianjur dan
Sukabumi akan menurun pada dekade tahun
2010, 2030, dan 2050.
Penyediaan air irigasi melalui pembangunan
waduk merupakan hal yang sangat penting.
Perluasan sawah yang saat ini masih berjalan
lambat antara lain karena ketersediaan air irigasi
yang kurang mendukung. Pengadaan air irigasi
secara besar-besaran memerlukan biaya yang
tidak sedikit, disamping waktu pembangunannya
cukup lama. Oleh karena itu irigasi yang sudah
ada dan irigasi sederhana dalam kapasitas relatif
kecil sering menjadi andalan. Sungai-sungai
besar yang sangat potensial sebagai sumber air
irigasi dan cukup banyak terdapat di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua, belum
dimanfaatkan secara optimal, sehingga terbuang
percuma. Jika potensi sumber air yang besar
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal
dengan
membangun
waduk-waduk
atau
bangunan-bangunan irigasi, maka peluang untuk
memenuhi kebutuhan pangan ke depan terutama
beras melalui perluasan areal sawah dapat
terpenuhi.

PENUTUP
Kebutuhan bahan pangan pada tahun
2010 dan tahun selanjutnya akan terus
meningkat, namun defisit beras apabila
36

produktivitas 5 t/ha GKG dapat dipertahankan,


baru terjadi mulai tahun 2014. Pada tahun 2010
mulai terjadi defisit beberapa komoditas pangan
terutama gula, dan kacang-kacangan, sehingga
perlu dimulai penambahan luas baku lahan
sawah. Total kebutuhan penambahan lahan
sawah 6 juta ha sampai dengan tahun 2050
dapat dibagi menjadi kebutuhan perluasan
bertahap per tahun, menjadi 150.000 ha,
dimulai tahun 2010.
Untuk perluasan lahan sawah di masa
depan
masih
tersedia
peluang
dengan
memanfaatkan lahan tersedia seluas 8,28 juta
ha, terdiri atas lahan potensial sawah rawa 2,98
juta ha dan sawah non rawa 5,30 juta ha.
Sebagai catatan, tanaman pangan spesifik di
lahan rawa, yaitu sagu yang banyak dijumpai di
Kawasan Timur Indonesia (Papua) dan merupakan
makanan pokok masyarakat setempat perlu
tetap dilestarikan. Pengembangan lahan sawah
harus dilengkapi dengan prasarana/infrastruktur
yang dibutuhkan seperti bendungan air, saluran
irigasi dan pengaturan drainase untuk lahan
rawa, pembuatan petakan, prasarana jalan, dan
teknologi pengelolaan tanah dan air.
Perluasan lahan sawah merupakan investasi
untuk mencapai ketahanan pangan nasional
secara berkelanjutan, dinilai menjadi solusi
permanen terhadap kekurangan pangan. Adanya
pro dan kontra antara berbagai golongan
masyarakat lebih sering disebabkan oleh karena
masing-masing golongan yang terkait berpikir
secara sempit berdasarkan minatnya sendirisendiri. Apabila Pemerintah menjadikan program
ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan
menjadi kebijakan nasional yang diprioritaskan,
maka solusinya adalah perluasan areal lahan
pertanian, baik berupa lahan sawah ataupun
lahan kering. Ekses negatif dari perluasan areal
lahan pertanian, seperti isu lingkungan, keaneka
ragaman hayati, kesenjangan kesempatan
ekonomi, keharmonisan hubungan antar suku
dan golongan, perlu di atasi dengan adil dan
sebaik-baiknya.
Kecukupan
pangan
beras
merupakan kebutuhan pokok kehidupan bangsa

S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan

Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah hendaknya


membangun kebijakan yang jelas, kokoh dan
konsisten dalam hal ketahanan pangan nasional
yang berkelanjutan, dan bukan kebijakan
penyelamatan jangka pendek, yang justru
menjadi lebih mahal.

Pasandaran, E. dan B. Sugiharto. 1999.


Kebutuhan Pengairan Bagi Pengembangan
Agribisnis Pangan, Hortikultura, Peternakan dan Perikanan Darat. Makalah
pada Lokakarya Kebijakan Pengairan
Untuk
Mendukung
Pengembangan
Agribisnis. Jakarta, 8 Desember 1999.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah


Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000.
Puslittanak, Bogor.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan


terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
Prof. Dr. Sumarno atas segala masukan yang
telah diberikan selama penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Irawan. 2007. Agricultural land
conversion as a threat to food security
and
environmental
quality.
Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
25(3):90-98.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan
Arah
Pengembangan
Komoditas
Pertanian: Tinjauan Aspek Sumberdaya
Lahan.
BPS. 1997-2008. Statistik Indonesia. Badan
Pusat Statistik. Jakarta.
Departemen Pertanian (Deptan). 2008. Statistik
Pertanian, Departemen Pertanian.
Irawan. 2005. Analisis ketersediaan beras nasional: suatu kajian simulasi pendekatan
sistem dinamis. Hlm 107-130. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Pertanian dan Ketahanan Pangan, Bogor
12 Oktober dan 24 Desember 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Kasno, A., Sulaeman, dan Mulyadi. 1999.
Pengaruh pemupukan dan pengairan
terhadap Eh, pH, ketersediaan P dan Fe,
serta hasil padi pada tanah sawah
bukaan baru. Jurnal Tanah dan Iklim
(17):72-81.

Rejekiningrum, P. dan L.I. Amien. 1998. Skenario


perubahan
iklim
dan
dampaknya
terhadap potensi hasil padi sawah di
Sukabumi dan Cianjur. Jurnal Tanah dan
Iklim (16):43-48.
Ritung, S. dan A. Hidayat. 2003. Potensi dan
ketersediaan lahan untuk pengembangan
pertanian di Provinsi Sumatera Barat,
Hlm
263-282.
Dalam
Prosiding
Simposium Nasional Pendayagunaan
Tanah Masam, Bandar Lampung 29-30
September 2003. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Badan Litbang Pertanian.
Ritung, S. dan A. Hidayat. 2007. Prospek
Perluasan lahan untuk padi sawah dan
padi gogo di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Sumberdaya
Lahan
Pertanian.
Ritung, S. dan N. Suharta. 2007. Sebaran dan
potensi pengembangan lahan sawah
bukaan baru. Dalam Buku Tanah Sawah
Bukaan Baru. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Sumberdaya
Lahan
Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Sudaryanto T., R. Kustiari, dan H.P. Saliem.
2010. Perkiraan kebutuhan pangan
dalam periode 2010-2050. Hlm 1-23.
Dalam buku Analisis Sumber Daya Lahan
Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.

37

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Sunarno. 2001. Penyediaan air irigasi dalam


pencapaian produksi dan antisipasi El
Nino. Hlm 18-23. Dalam M. Sola,
Agusman, S. Munir, M. Thoyib, dan
Mulyadi (Eds.). Prosiding Lokakarya
Nasional Strategi Pengembangan Produksi
Tanaman Pangan, Ditjentan. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Sutomo, S., dan K. Suhariyanto. 2005. Data
Konversi Lahan Pertanian, Hasil Sensus
Pertanian 2003. BPS-Statistik Indonesia.
Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, dan N. Ilham. 2000.
Proyeksi Penawaran dan Permintaan
Komoditas Tanaman Pangan: 20002010. Pusat Penelitian Sosial Ekonom
Pertanian. Hlm 24.

38

ISSN 1907-0799

DEVELOPMENT OF NATIONAL CLIMATE DATABASE SYSTEM


FOR SUPPORTING AGRICULTURE RESEARCH
Pengembangan Sistem Database Iklim Nasional untuk Menunjang Penelitian Pertanian
E. Runtunuwu
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Jl. Tentara Pelajar 1a, Bogor 16111

ABSTRACT
One of the most significant challenges for improving the agroclimate research is availability of integrated climate data.
This paper reviewed several climate database systems development of national and international levels; such as those produced by
Indonesian Meteorological Climatological and Geophysical Agency (BMKG), World Meteorological Organization (WMO), and
New Zealand climatic database systems. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) through
Indonesian Agroclimate and Hydrology Research Institute (IAHRI) has developed a national climate database system (CDS), called
as IAHRI CDS, as a basic part of agroclimatic researches. The system was integrated the numeric climate data and thematic spatial
maps by applying Geographic Information System (GIS) and programming technologies. The data mainly comes from automated
and manual climate stations of Ministry of Agriculture, BMKG and Irrigation service of each province. The development of IAHRI
CDS is expected as a great resource for many potential applications on agriculture research in Indonesia.
Keywords : Aagriculture, climate, database system, Indonesia

ABSTRAK
Ketersediaan data iklim yang terintegrasi untuk seluruh Indonesia merupakan suatu tantangan untuk meningkatkan
penelitian agroklimat. Tulisan ini mereview beberapa pengembangan sistem database iklim untuk skala nasional ataupun
international, seperti Badan Meteolrologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), World Meteorological Organization (WMO), dan
sistem database New Zealand. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
sedang membangun sistem database iklim nasional (disebut IAHRI CDS), sebagai bagian dari penelitian agroklimat. Sistem
tersebut menggabungkan data iklim tabular dengan peta spatial dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis (SIG)
dan programming. Data hujan/iklim dikumpulkan terutama berasal dari stasiun manual dan otomatik milik Kementrian Pertanian,
BMKG, dan Dinas Pertanian dari setiap provinsi. Pengembangan IAHRI CDS diharapkan menjadi sumberdaya yang potensial
untuk aplikasi penelitian di bidang pertanian.
Kata kunci : Pertanian, iklim, sistem database, Indonesia

limate variables, such as rainfall, solar


radiation and air temperature, their
spatial and seasonal variations, are basic
to all climatic, hydrologic, and natural resources
studies. Therefore, a lot of researches have
been done in the area of climate database
development on various levels of region. Hanson
et al. (2001) and Sboarina (2002) have done for
specific watersheds, Froude and Beanland
(1999) have done for national level, as well
Hijman (1999) and Leemans and Cramer (1991)
have done for global levels which based on
available data and purposes.

In Indonesia, some institutions has


developed climatic database based on their own
purposes.
Indonesian
Meteorological
and
Geophysical Agency (BMKG) provides national
climate data in particularly for transportation and
disaster observation. Irrigation Service of each
province provides rainfall data for irrigation uses.
Indonesian Agency for Agricultural Research and
Development (IAARD) through Indonesian
Agroclimate and Hydrology Research Institute
(IAHRI) has developed a national daily climate
database system as a basic part of agroclimatic
researches (Runtunuwu dan Las, 2007).
39

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010

This paper reviewed several climate


database systems development for national and
international levels in order to get better
assessment of the climate database system
development for agriculture purposes. Several
examples have been described on this paper,
such
as
BMKG,
World
Meteorological
Organization (WMO), and New Zealand climatic
database systems. Based on this information,
we considered some efforts that we have to
improve the climate database system in
Indonesia in the future.

CLIMATE DATABASE SYSTEM


REFERENCES
Indonesian meteorological climatological and
geophysical agency (BMKG)
Indonesian Meteorological and Geophysical
Agency (BMKG) provides national climate data
from around 4000 rainfall stations in Indonesia
(Figure 1). Beside the rainfall station, BMKG also
managed around 60 meteorology stations,
which contain of daily radiation, air temperature,
wind, air humidity, air pressure, rainfall and
evapotranspiration/evaporation. The data could
be obtained by order of BMKG branches at each
region or province.
Time series of monthly rainfall data is then
analyzed by BMKG into 220 zones to determine
monthly rainfall estimation (in mm) and monthly

rainfall characteristics (wet, normal or dry


conditions). This information is available at http:
//iklim.bmg.go.id.
Other
information
such
flooding and water balance also available at that
address.
Irrigation service
Irrigation service (Former Ministry of Public
Works) of each province in Indonesia collects
the climate especially rainfall data. Usually the
data has been collected based on the watershed
project. The data could be accessed direct to
local office of each province or by browsing in
internet, such as produced by Irrigation Service
of East Java Province at http://www.
dpuairjatim.org.
In agricultural sector, a real-time irrigation
scheduling computer package for use on farms
is imperative. Hes (1996) developed that kind of
software by combining four models, i.e. a
reference crop evapotranspiration model, an
actual evapotranspiration model, a soil water
balance model and an irrigation forecast model.
World meteorological organization (WMO)
Since before 1950, World Meteorological
Organization (WMO) has been conducting a
Climate Databases Project (http://www.wmo.
int),
notably
through
publication
the
climatological data for consecutive periods of 30
years. Those for 1931-1960 were published by
WMO in 1962 to be followed by an enlarged

Figure 1. Distribution of rainfall stations managed by BMKG


40

E. Runtunuwu : Development of National Climate Database System

edition in 1971. The National Climatic Data


Center (NCDC) in the USA prepared the 19611990 which were published by WMO in 1996,
followed by an electronic edition on CD-ROM
from NCDC in 1998.
Similarly, WMO published the World
Weather Records (WWR) which contains
monthly and annual means or totals for each
year of a decade, and the corresponding decadal
(10-year) averages of pressure, temperature and
precipitation. WWRs have been routinely
published in regional volumes since the 1920s.
The last of the five volumes for the decade
1981-1990 was published late in 1999.
In addition, WMO also made publication of
Monthly Climate Data of the World that contains
monthly
mean
temperature,
pressure,
precipitation, vapor pressure, and sunshine for
approximately 2,000 surface data collection
stations worldwide and monthly mean upper air
temperatures, dew point depressions, and wind
velocities for approximately 500 observing sites
of the world. The data could be online and
offline accessed at http://www.ncdc.noaa.gov/
oa/mpp.
New Zealand's National Climate Database
CliFlo is the web system that provides a
free access to New Zealand's National Climate

Database (http://cliflo.niwa.co.nz/). The climate


database holds data from about 6,500 climate
stations which have been operating for various
periods since the earliest observations were
made in the year 1850. The database continues
to receive data from over 600 stations that are
currently operating including wind, precipitation,
temperature and humidity, sunshine and
radiation, weather, pressure, clouds, and
evaporation/soil moisture. CliFlo returns raw
data and statistical summaries. Raw data
include ten minute, hourly and daily frequencies
as well the statistical data include about eighty
different types of monthly and annual statistics.
Global climate perspectives system (GCPS)
The climate data could be derived also
from Global Climate Perspectives System
(GCPS) at http://iridl.ldeo.columbia.edu. This is a
collection
of
quality-controlled
monthly
temperature and precipitation data from over
8,000 weather stations located around the
world (Baker et al., 1994). The data is available
here as a dataset, including an interactive data
viewer and downloadable data files (Figure 2).
Indonesia also supported this database system
even only with around 110 stations.

(Source : http://iridl.ldeo.columbia.edu)

Figure 2. The locations of the 8000 GCPS weather stations over the world
41

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010

CLIMATE DATABASE SYSTEM


DEVELOPED BY IAARD
Indonesian
Agency
for
Agricultural
Research and Development (IAARD) through
Indonesian Agroclimate and Hydrology Research
Institute (IAHRI) has developing national climate
database system (IAHRI CDS) for agriculture
purpose. Figure 3 showed the capture of the
IAHRI CDS for Indonesia developed by IAARD.
The strengths of the system are user friendly;
fast compute long term climate data average
based on the users requirement (daily, 10-days,
three-days, weekly, 15-days, monthly, and
annual); updatable with unlimited time;
connected to water balance analysis software
(Runtunuwu et al., 2007a), and the computed
result could be display in graph, or tabular into
monitor display, print out or in file.

The daily meteorological data were


obtained from various sources (Table 1). Each
institution has its own data format, schedule
and
timing
of
observed,
position
of
meteorological stations, as well the policy how
to obtain data. The data were homogeneous;
therefore, we have to pull together in a standard
database system. Approximately 95% of the
data is only on paper forms. This older data is
being entered year by year into the electronic
database by IAHRI technicians. It is also often
difficult to identify specific climate information
for a specific time. This is because individual
sites only record some data; some stations can
be for a short term only; and some long term
stations can be closed for various reasons such
as equipment was missed and broken, limited
financial for management, and no human
resources.

Source : Runtunuwu et al. (2005)


Notes : (a) distribution of climatic station spatially, (b) information of the name and location of the
station, (c) data display in graph, and (d) data display in tabular.

Figure 3.
42

The capture of the national climatic database system which managed by IAHRI:

E. Runtunuwu : Development of National Climate Database System

Table 1. Main sources of climate data


No.
1.
2.
3.

Institution

Types of stations

Indonesian Agency for Agricultural Research and Development


Indonesia Meteorological and Geophysical Agency
Irrigation Service

Climatic automatic and manual


Climate/rainfall manual
Climate/rainfall manual

Table 2. Variables, units, and abbreviations used in IAHRI CDS


No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Variables
Rainfall
Humidity (07.00)
Humidity (12.00)
Mean humidity
Evaporation
Wind speed
Solar radiation
Sunshine duration
Minimum temperature
Maximum temperature
Mean temperature

Different climate stations report different


parameters, particularly rainfall data; therefore,
determining the main climate variable before
design the system was important. Table 2
provides a summary of the variables, their units,
and abbreviations. All variables from all climate
stations were collected, computed, processed,
and stored in a single standard database by
using specific software.
Principally, all inventory data might be
classified into two types of data, i.e. digital
spatial information such as administration
boundary and tabular data set. Combination of
spatial and tabular data in IAHRI CDS using
programming technology made not difficult to
search
the
climate
information.
The
administration boundaries file in 1:250.000
scale updated in 1996 by National Mapping and
Survey Agency (Bakosurtanal). The climate
stations are located using latitude and longitude
grid references.

Unit

Abbreviations

mm
%
%
%
mm
m2
cal/m2
jam
o
C
o
C
o
C

RR
UNM
UND
UNM
EV
WTM
RGM
SD
TN
TX
TM

Since mid 2003, IAHRI has been


developing the IAHRI CDS with collecting,
entering, and evaluation to update the climate
data actively. Until at the end of December
2009 the computed data for whole Indonesia
was 3,366 stations and distributed by province
as shown in Table 3, covering a period of
around 30 years from 1975-2009, but, in
general; the record is from 1990s. The major
recorded is daily rainfall. Recently, the amount
of computer-accessible data series is about 4
gigabytes of data.
Recently, IAHRI develops automating data
delivery system from rainfall gauge to IAHRI
CDS by using Global System for Mobile
communication (GSM) modem (Unadi et al.,
2009). Until the end of 2009, we have five
automatic weather stations of Java Island could
be accessed automatically. In the near future,
the other weather stations will also be developed
to cover other islands all over Indonesia.

43

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010

Table 3. The distribution of climate station in Indonesia by province


No.
1.
2.
3.
4.
5.

Islands
Java and Bali
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku, Papua, Nusa Tenggara

Total

FUTURE CHALANGES
Janssen et al. (2009) noted that to
develop a good database system, data sources
for database has to be collected, managed, and
distributed by different institutions, residing in
different locations, resulting in conceptual and
practical problems. Therefore, in the future
IAARD through IAHRI has to improve the climate
database system by concerning the following
aspects:
Spatial climate database system development
Ideally, the database system must cover
not only the information of climate station but
every hectare of the region/province, as
developed by The Climatic Research Unit
(Brohan et al., 2006) about the spatial variability
in monthly global temperature. For this aim it is
essential for IAHRI to face an interpolation
process. The choice of the best spatial
interpolator, the one that minimizes errors, is
especially important in regions with complex
geography like Indonesia, where variables may
considerably change in few hundred meters.
The best way to work with georeferred
data, like the meteorological ones, is to use a
GIS because it allows managing a great number
of data without loosing their geographic
information. One method is artificial neural
networks (ANN) that has been trying to utilize in
spatial climate interpolation (Nasseri et al.,
2008) or by using radar-rainfall product
(Mandapaka et al., 2009) and other remote
sensing technologies (Jenifer et al., 2010). To
44

Time range Number of stations


1975-2009
1982-2007
1975-2009
1980-2009
1975-2007

1,860
482
468
345
211
3,366

interpolate data in area with no climatic station


it is necessary to integrate with other spatial
data like topographic and slope data. The IAHRI
CDS was designed to store a variety of climate
information from climate stations as well as
other spatial datasets.
Enhancement of climate database application
The IAHRI CDS was primarily established
for scientific research purposes especially to get
climate information of a given area. The
application uses of the IAHRI CDS are expected
to aggregate and report climate information in
real time (Unadi et al., 2009), assist with
modeling possible more accurate of climate
estimation (Pramudia et al., 2008), to assist
climate, environmental and crop correlation (Tao
et al., 2009; Rodrguez et al., 2010), and to
analyze risk assessment of climate hazards such
as flooding (Cloke and Pappenberger, 2009) and
drought (Runtunuwu et al., 2007b).
National climate networking
As mentioned before, the climate data
was collected from several difference institutions.
Therefore, we have to develop national climate
networking. This networking could be share in
climate data, information, method, and
equipments; hence the coverage of climate
information becomes more representatives for
whole Indonesia.
Janssen et al. (2009) noted that the use
of dispersed data for agricultural systems
research requires the integration of data sources,

E. Runtunuwu : Development of National Climate Database System

which means to ensure consistency in data


interpretations, units, spatial and temporal
scales, to respect legal regulations of privacy,
ownership and copyright, and to enable easy
dissemination of data. However, it is very
important to utilize in Indonesia since the area is
extremely large and almost impossible to
maintain only by one institute or ministry.

climate station especially in agricultural area in


whole Indonesia. In the future, by learning from
other institutions, we realized some aspects that
have to improve are spatial climate database
system, climate analyses applications, and web
based national climate information system.

Web based national climate information

Baker, C.B., J.K. Eischeid, T.R. Karl, and H.F.


Diaz. 1994. The quality control of longterm climatological data using objective
data analysis. Preprints of AMS Ninth
Conference on Applied Climatology,
Dallas, TX.

Interactive web access is also essential to


assist the users in getting the climate
information faster, such as produced by United
States Geological Survey (USGS). USGS has a
distributed water database that is locally
managed and easy to access by user (http://
groundwaterwatch.usgs.gov/). The objective of
those efforts in climate information access is to
simplify and effectives for users to access and
further process large and unwieldy amounts of
data and information.

CONCLUSIONS
This paper reviewed several climate
database systems development for national and
international levels in order to get better
assessment of the climate database system
development for agriculture purposes. Several
examples have been described on this paper,
such as BMKG, WMO, and New Zealand
climatic database systems. IAARD through
IAHRI has developed the daily national climate
database system for agriculture, called IAHRI
CDS. This IAHRI CDS stores a variety of climate
information from climate stations for whole
Indonesia. Since, different climate stations
report different parameters and forms, especially
rainfall data, IAHRI CDS has standardized in one
system. This system is updatable for data
entering, applications and output of analysis.
Since this product describes the climate
information for whole Indonesia, consequently,
this system has to update time to time. For that
reason, we have to cooperate with other link
institutes and also improve the distribution of

REFERENCES

Brohan, P., J.J. Kennedy, I. Harris, S.F.B. Tett,


and P.D. Jones. 2006. Uncertainty
estimates in regional and global
observed temperature changes: A new
data set from 1850, J. Geophys. Res.,
111, D12106, doi:10.1029/2005JD006
548.
Cloke,

H.L. and F. Pappenberger. 2009.


Ensemble flood forecasting: A review.
Journal of Hydrology 375(3-4):613-626.

Froude, V.A. and R.A. Beanland. 1999. Review


of Spatial Frameworks and Environmental
Classification Systems. Report prepared
for the Ministry for the Environment.
Pacific Ecologic Resource Management
Associates and Ruth Ann Beanland
Planning and Resource Management
Consultant.
Hanson, C.L., D. Marks, and S.S. Van Vactor.
2001. Long-term climate database,
Reynolds Creek experimental watershed,
Idaho, United States. Water Resources
Research 37(11):2839-2841.
Hijmans, R.J. 1999. Global Climate Surfaces at
a 10-minute Resolution (GCLIM10).
Production Systems and Natural Resource
Management Working Paper No. 3.
International Potato Center, Lima, Peru.
Hess, T. 1996. Computers and electronics in
agriculture 15(3):233-243.
http://cliflo.niwa.co.nz. Accesed on March 2010.
http://iridl.ldeo.columbia.edu.
February 2010.

Accesed

on

45

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010

http://iklim.bmg.go.id. Accesed on April 2010.


http://www.wmo.int. Accesed on March 2010.
http://www.ncdc.noaa.gov/oa/mpp. Accesed on
March 2010.
http://groundwaterwatch.usgs.gov. Accesed on
March 2010.
http://www.dpuairjatim.org. Accesed on April
2010.
Janssen, S., E. Andersen, I.N. Athanasiadis, and
M.K. van Ittersum. 2009. A database for
integrated assessment of European
agricultural
systems.
Environmental
Science and Policy 12(5):573-587.
Jeniffer, K., Z. Su, T. Woldai, and B. Maathuis.
2010. Estimation of spatialtemporal
rainfall distribution using remote sensing
techniques: A case study of Makanya
catchment,
Tanzania.
International
Journal of Applied Earth Observation and
Geoinformation 12(1):S90-S99.
Leemans, R. and W. Cramer. 1991. The IIASA
Database for Mean Monthly Values of
Temperature,
Precipitation
and
Cloudiness on A Global Terrestrial Grid.
IIASA Research Report RR-91-18.
International
Institute
of
Applied
Systems Analyses, Laxenburg. 61 p.
Mandapaka, P.V., W.F. Krajewski, G.J. Ciach,
G. Villarini, and J.A. Smith. 2009.
Estimation of radar-rainfall error spatial
correlation. Advances in Water Resources
32(7):1020-1030.
Nasseri, M., K. Asghari, and M.J. Abedini.
2008. Optimized scenario for rainfall
forecasting using genetic algorithm
coupled with artificial neural network.
Expert Systems with Applications 35(3):
1415-1421.
Pramudia, A., Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I
W. Astika, dan E. Runtunuwu. 2008.
Pewilayahan hujan dan model prediksi
curah hujan untuk mendukung analisis
ketersediaan dan kerentanan pangan di
sentra produksi padi. Forum Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor 31(2):1-8.
Rodrguez, E.F., C. Kubota, G.A. Giacomelli,
M.E. Tignor, S.B. Wilson, and M. Mc

46

Mahon. 2010. Dynamic modeling and


simulation of greenhouse environments
under several scenarios: A web-based
application. Computers and Electronics
in Agriculture 70(1):105-116.
Runtunuwu, E., E. Surmaini, W. Estiningtyas,
dan Suciantini. 2005. Sistem basis data
sumberdaya iklim dan air. Hlm 39-54.
Dalam Sistem Informasi Sumberdaya
Iklim dan Air. E. Pasandaran, H. Pawitan,
and L.I. Amien (Eds.). Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Runtunuwu, E. dan I. Las. 2007. Penelitian
agroklimat dalam mendukung perencanaan pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan
1(3):33-42.
Runtunuwu, E., F. Ramadhani, dan K. Sari.
2007a. Petunjuk Teknis Penggunaan
Perangkat Lunak Neraca Air Tanaman
WARM 2.0. Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi. Bogor. Hlm 55.
Runtunuwu, E., E. Susanti, dan S.H. Adi.
2007b. Analisis kekeringan meteorologis
berdasarkan standard precipitation index
Provinsi Jawa Tengah. Hlm 173-184.
Dalam Prosiding Seminar Nasional
Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai
Besar
Litbang
Sumberdaya
Lahan
Pertanian. Bogor.
Sboarina, Ch. 2002. Development of a complete
climate database using a new GRASS
module. In Proceedings of the Open
source GISGRASS users conference.
Trento, Italy, 11-13 September 2002.
Unadi, A., B. Budiman, A. Pramudia, dan
Nasrullah. 2009. Pengembangan Jaringan
AWS
Telemetri
untuk
Percepatan
Delivery Data Iklim Guna Meningkatkan
Akurasi Analisis Dan Prediksi Iklim.
Laporan akhir Penelitian. Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Tao, F., Z. Zhang, J. Liu, and M. Yokozawa.
2009. Modeling the impacts of weather
and climate variability on crop productivity over a large area: A new superensemble-based probabilistic projection.
Agricultural and Forest Meteorology
149(8):1266-1278.

ISSN 1907-0799

RETENSI P OLEH OKSIDA BESI DI TANAH SULFAT MASAM SETELAH REKLAMASI LAHAN
Retention P by Iron Oxide in Acid Sulphate Soil after Land Reclamation
W. Annisa1 dan B.H. Purwanto2
1

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebon Karet, Lok Tabat, Banjarbaru 70700
2
Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta

ABSTRAK
Tanah Sulfat Masam merupakan tanah yang banyak mengandung pirit (FeS2). Kesalahan reklamasi pada tanah sulfat
masam mengakibatkan timbulnya permasalahan akibat teroksidasinya pirit sehingga tanah menjadi sangat masam. Oksidasi pirit
pada tanah sulfat masam akan menghasilkan oksida-oksida besi seperti goethite (-FeOOH) dan hematit (Fe2O3). Besi oksida baik
berupa goethite maupun hematit memiliki kemampuan untuk berikatan dengan anion maupun kation dalam tanah seperti P yang
menghasilkan kompleks permukaan binuklear dengan model jerapannya Fe-O-P(O2)-O-Fe. Di lahan basah seperti lahan sulfat
masam P merupakan faktor pembatas karena asosiasinya dengan Fe tanah dan kelarutannya berubah selama proses reduksi dan
oksidasi tanah. Semakin banyak oksida besi dalam tanah maka akan semakin banyak P yang diretensi dan diduga bahwa setiap
m.mol Fe dalam tanah akan meretensi P sebanyak 0,17 m.mol.
Kata kunci : Tanah sulfat masam, besi oksida, fosfor, reklamasi

ABSTRACT
Acid Sulphate Soil is a kind of soil with high pyrite (FeS2) content. Miss management in land reclamation of acid sulphate
soil will cause pyrite oxidation that made the soil becomes very acid. Pyrite oxidation on acid sulphate soil will produce iron oxides
such as goethite (-FeOOH) and hematite (-Fe2O3). Goethite and hematite have ability to bind the anions and cations in the soil
such as phosphate which produces a complex surface binuclear with model of Fe-OP(O2)-O-Fe. On acid sulphate land because of
its association with soil Fe and its solubility alteration during reduction and oxidation processes of land, P is a limiting factor. More
iron oxide in the soil, more P is retentioned. Each m.mol Fe in soil will bind P as much as 0,17 m.mol P.
Keywords : Acid sulphate soil, iron oxide, phosphorus, reclamation

ebutuhan lahan yang terus meningkat


menjadi
penyebab
dimanfaatkannya
lahan-lahan marginal seperti lahan rawa.
Reklamasi lahan merupakan salah satu cara yang
dilakukan agar lahan marginal dapat dijadikan
sebagai lahan pertanian. Namun demikian, pada
kenyataannya banyak kasus yang menunjukkan
bahwa setelah tanah sulfat masam direklamasi
muncul masalah-masalah yang sukar diatasi.
Kondisi inilah yang sering terjadi pada saat
reklamasi dijalankan akibat dari penggalian
saluran-saluran irigasi/drainase berdimensi besar,
yang
memungkinkan
terjadinya
drainase
berlebihan (overdrain) yang mengakibatkan
teroksidasinya pirit sehingga tanah menjadi
masam (Widjaja-Adhi, 1997). Hal inilah yang
menjadi penyebab degradasi pada lahan rawa.
Widjaja-Adhi et al. (1992) menyatakan bahwa

untuk menghindari kerusakan yang berkelanjutan,


maka sistem pengelolaan lahan rawa harus
didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan
air. Pada dasarnya sawah merupakan alternatif
yang sangat memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan
reduktif. Namun demikian, bervariasinya tipologi
lahan pada setiap kawasan dengan tipe luapan
yang berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan
lahan yang berbeda
Kemasaman tanah yang tinggi di lahan
sulfat masam setelah reklamasi merupakan salah
satu permasalahan yang timbul (Noor, 2004).
Pirit menjadi tidak stabil dengan kehadiran O2,
sehingga merubah kelarutan Fe3+ dan SO42menjadi jarosit atau goethite, tetapi bagaimanapun juga hasil akhir dari oksidasi pirit ini adalah
terbentuknya ion H+ yang akan menurunkan pH
47

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

tanah (Breemen and Buurman, 2002). Selain itu,


timbulnya retakan (crack) dan meningkatnya
unsur-unsur toksik seperti Al3+, Fe3+, sulfida,
dan asam-asam organik merupakan permasalahan
lain yang juga timbul sesudah reklamasi tanah
sulfat masam (Noor, 2004).

setelah reklamasi lahan sehingga menurunkan


kelarutan P.

Reaksi oksidasi pirit pada tanah sulfat


masam akan menghasilkan oksida-oksida besi
seperti goethite (-FeOOH) dan hematit (
Fe2O3). Namun pada kondisi pH terlalu masam
(<4) dan potensial redoks tinggi (Eh 400 mV)
oksidasi pirit akan menghasilkan jarosit
[KFe3(SO4)2(OH)6] (Dent, 1986). Jarosit akan
mengalami perubahan bentuk menjadi oksida
melalui proses hidrolisis (Stahl et al., 1993).
Kelarutan dan reaktifitas dari bentuk oksida besi
diantaranya ditentukan oleh pH tanah dan
potensial redoks.

Tanah sulfat masam merupakan tanah


yang umumnya ditemukan di daerah rawa dan
mengandung pirit (FeS2). Pemanfaatan lahan
rawa khususnya tanah sulfat masam baik
sebagai lahan transmigrasi maupun lahan
pertanian sudah lama dilakukan. Mengingat
kondisi tanah sulfat masam yang marginal dan
fragile maka untuk menjadikannya sebagai lahan
pertanian yang berproduktivitas tinggi dalam
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan diperlukan perencanaan yang sangat
teliti, agar kesalahan dalam pengembangan dan
kerusakan lingkungan yang terjadi dapat
dihindari.

Besi oksida baik berupa goethite maupun


hematit memiliki kemampuan untuk berikatan
dengan anion maupun kation karena dapat
terhidrolisis secara sempurna (Liu, 1999).
Adapun mekanisme serapan fosfat oleh oksida
besi berdasarkan hasil pengamatan Parfitt et al.
(1975) adalah melalui penggantian satu ion
fosfat oleh dua ion hidroksil permukaan (atau
molekul air) dari oksida besi. Kemudian dua
atom oksigen dari ion fosfat tersebut akan
berkoordinasi dengan masing-masing ion Fe3+
yang
menghasilkan
kompleks
permukaan
binuklear dengan model jerapannya adalah: FeO-P(O2)-O-Fe. Dan hasil penelitian Parfitt et al.
(1975) menunjukkan bahwa semakin besar
jumlah oksida besi dalam tanah maka akan
semakin banyak pula fosfat yang teradsorbsi.
Adapun prinsip dari adsorbsi ion oleh oksida besi
adalah ikatan binuklear yang kuat oleh ion Fe di
permukaan (Parfitt et al., 1975). Pada dasarnya
sifat kimia permukaan besi oksida inilah yang
menentukan reaktivitas penjerapan besi oksida
terhadap anion terutama fosfat (Liu, 1999).
Bohn et al. (2003) menyatakan bahwa besar
kecilnya muatan positif dan negatif permukaan
Fe oksida ini yang menentukan reaktivitas
jerapannya terhadap ion-ion dalam tanah.
Makalah ini bertujuan membahas tentang
jerapan P oleh oksida-oksida besi yang terbentuk
di tanah sulfat masam akibat teroksidasinya pirit
48

TANAH SULFAT MASAM

Adapun kendala utama dalam reklamasi


tanah sulfat masam ini adalah bahan yang timbul
akibat oksidasi pirit. Menurut Dent (1986) pirit
terakumulasi pada tanah tergenang yang kaya
kandungan bahan organik dan mendapat
tambahan sulfur yang umumnya dari air laut.
Pembentukan pirit digambarkan berikut ini (Dent,
1986) :
Fe2O3 + 4SO42- + 8CH2O + O2
2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O
Pirit ini akan stabil dan tidak berbahaya
pada kondisi anaerob atau tergenang. Akan
tetapi apabila permukaan air bawah permukaan
(groundwater)
menurun
hingga
melebihi
kedalaman lapisan pirit dapat mengakibatkan
pirit teroksidasi dan tanah menjadi masam (Dent,
1986). Kondisi ini terjadi karena reklamasi yang
dijalankan kurang tepat. Menurut Widjaja-Adhi
(1997) ada beberapa faktor penyebab degradasi
pada lahan rawa, antara lain: (a) reklamasi lahan
yang dilakukan dengan membangun saluran
drainase
dalam
dimensi
besar,
yang
memungkinkan terjadinya drainase berlebihan
(overdrain) yang mengakibatkan pirit teroksidasi,
dan (b) penerapan sistem pemanfaatan lahan
yang tidak memperhatikan tipologi lahan dan
tipe luapan.

W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfidik

Penurunan agrofisik
lahan

Reklamasi

Tanah sulfat masam

Penurunan sifat-sifat
tanah

Penurunan
produktivitas
Sumber : Noor (2004)

Gambar 1. Bagan alur perubahan pada tanah sulfat masam dan


penurunan produktivitas lahan
Degradasi pada lahan sulfat masam
umumnya
didominasi
oleh
(a)
proses
pemasaman tanah dan air sebagai akibat dari
oksidasi pirit, dan (b) pencucian basa-basa
sebagai
dampak
dari
pencucian
asam
(Adimihardja et al., 2006).

OKSIDASI BESI AKIBAT


REKLAMASI LAHAN
Reklamasi lahan yang kurang tepat dengan
penggalian
saluran-saluran
irigasi/drainase
berdimensi besar memungkinkan terjadinya
drainase
berlebihan
(overdrain)
yang
mengakibatkan teroksidasinya pirit. Menurut
Fanning dan Burch (1997) pada saat tanah
sulfat masam didrainasekan maka pirit akan
teroksidasi secara aerob. Pirit yang stabil pada
kondisi reduksi mengalami oksidasi menghasilkan
asam sulfat yang dapat menurunkan pH tanah
secara drastis. Reaksi oksidasi pirit dengan
oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung
dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi
kimia dan biologis (Dent, 1986). Pada tahap
awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi
dengan pirit yang akan menghasilkan 4 molekul
H+ per molekul pirit yang dioksidasi. Reaksinya

adalah sebagai berikut (Dent, 1986; Breemen


and Buurman, 2002) :
FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O Fe(OH)3 + 2SO42+ 4 H+
Apabila pH menurun hingga di bawah 4,
maka feri (Fe3+) menjadi larut dan akan
mengoksidasi pirit dengan cepat. Adapun reaksi
oksidasi pirit oleh Fe3+ secara lengkap
menghasilkan 16 molekul H+ sebagai berikut
(Dent, 1986) :
FeS2 + 14 Fe3+ + 8H2O 15 Fe2+ + 2SO42+ 16 H+
Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat
dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut
pada nilai pH dibawah 4 dan Thiobacillus
ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi
(Nordstrom, 1982 dalam Noor, 2004). Oksidasi
besi ini akan merubah bentuk kelarutan Fe2+ dan
SO42- menjadi jarosit dan goethite (Breemen dan
Buurman, 2002). Menurut Brady et al, (1986)
reaksi oksidasi dan hidrolisis akan menyebabkan
peningkatan dua mol H+ tiap mol Fe yang
terhidrolisis. Reaksi kimia pembentukan FeOOH
dari Fe2+ adalah sebagai berikut :
49

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Fe2+ + O2 + 3/2H2O FeOOH + 2H+


Selain itu, hasil akhir dari oksidasi pirit
adalah terbentuknya ion H+ yang akan
mengakibatkan penurunan pH tanah dan
kemudian sebagian dari ion tersebut juga
digunakan untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi
Fe3+ (Dent, 1986; Breemen and Buurman, 2002).
Menurut Subagyo (2006) terlalu banyaknya ion
H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur
dari mineral liat, sehingga membebaskan banyak
ion aluminium (Al3+) yang bersifat toksik
terhadap tanaman.
Pada pH tanah > 4 sebagian besar dari
besi-III koloidal atau Fe(OH)3 yang terbentuk
pada akhirnya mengkristal menjadi oksida besi
goethite yang berwarna coklat, kemerahan,
berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam
tanah dan dinding-dinding saluran drainase
(Dent, 1986; Breemen dan Buurman, 2002;
Subagyo, 2006). Menurut Dent (1986) goethite
ini lambat laun akan berubah menjadi hematit
dengan reaksi sebagai berikut :
2FeO.OH Fe2O3 + H2O
goethite
hematit

terbentuk oleh hidrolisis Fe3+ atau proses


hidrolisis yang diikuti dengan proses dehidrasi,
sedangkan jarosit terbentuk dari banyak jenis ion
(seperti: SO42-, K+, Fe3+, OH-) yang diperlukan
untuk membentuk mineral tersebut. Mineral
jarosit mengalami perubahan bentuk menjadi
oksida melalui proses hidrolisis (Stahl et al.,
1993). Brady et al. (1986) menyatakan bahwa
penjenuhan selama kurang lebih 30 hari dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari mineral
jarosit.

STABILITAS OKSIDA BESI


Perubahan potensial redoks dan pH tanah
mempengaruhi terhadap bentuk Fe yang aktif di
larutan tanah. Berdasarkan penelitian Brown
(1971) dalam Stahl et al. (1993) pada pH
rendah dan oksidasi berada pada kondisi
moderat dengan aktivitas SO4 yang tinggi akan
menghasilkan endapan jarosit. Hal tersebut
dapat diprediksi dengan menggunakan Diagram
Stabilitas Fe akibat pengaruh Eh dan pH seperti
ditunjukkan oleh Bohn et al. (2003) pada
Gambar 2.

merupakan
Jarosit
[KFe3(SO4)2(OH)6]
endapan
berwarna
kuning
pucat
yang
merupakan hasil dari oksidasi pirit pada kondisi
yang sangat masam, yaitu pada Eh di atas 400
mV dan pH kurang dari 3,7 (Dent, 1986). Reaksi
pembentukan jarosit adalah :
FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3 K+
1/3(KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO42- + 3H+
Pada pH lebih tinggi (pH>4), jarosit
menjadi tidak stabil dan berubah menjadi
goethite dan terhidrolisis menjadi besi oksida
dengan persamaan sebagai berikut (Dent, 1986):
KFe3(SO4)2(OH)6 3FeO.OH + K+ + 3H+ + 2SO42jarosit
goethite

Hasil penelitian Stahl et al. (1993)


menunjukkan pembentukan goethite lebih cepat
dibandingkan jarosit karena goethite dapat

50

Sumber : Bohn et al. (2003)

Gambar 2. Diagram stabilitas bentuk Fe pada


beberapa nilai Eh dan pH

W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam

Gambar 2 merupakan diagram stabilitas


yang menunjukkan bentuk/spesies dominan dari
besi yang stabil pada kondisi potensial redoks
dan pH yang spesifik. Pengendapan besi
ditentukan oleh kisaran nilai pH dan potensial
redoks. Potensial redoks inilah yang menentukan
besi mengalami oksidasi atau reduksi. Diagram
pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada
kondisi kemasaman sedang FeOOH akan larut
menjadi Fe2+, sedangkan Fe3+ akan dominan
pada kondisi sangat oksidatif dengan nilai
potensial redoks >400 mV dan pH < 2. Bentuk
besi yang stabil adalah dalam bentuk Fe2+.
Siderit (FeCO3) terbentuk pada kondisi reduksi
sedang dan pH >7. Menurut Kirk, (2004) besi
akan stabil pada kondisi yang sangat reduktif.

MEKANISME FIKSASI P OLEH OKSIDA BESI


AKIBAT REKLAMASI LAHAN SULFAT
MASAM
Liu (1999) menyatakan bahwa besi oksida
memiliki sifat kimia permukaan, yang dapat
mengadsorbsi anion maupun kation. Besar
kecilnya muatan positif dan negatif permukaan
inilah yang menentukan reaktivitas jerapan dari
oksida besi terhadap ion-ion dalam tanah (Reddy
and De Laune, 2008). Muatan permukaan
merupakan fungsi pH dan kekuatan ion dalam
larutan, dimana bisa bermuatan positif atau
negatif bahkan bisa bermuatan nol. Point Zero
Charge (PZC) adalah penting untuk menentukan
karakteristik permukaan. Menurut Breemen dan
Buurman (2002) PZC adalah saat muatan
permukaan negatif sama dengan muatan positif.
PZC ini juga mencerminkan dari kemasaman
permukaan, dimana pada saat pH < PZC
muatan permukaan positif, tetapi apabila pH >
PZC muatan permukaan adalah negatif. PZC
inilah yang menentukan dari reaktivitas
permukaan, dimana nilai PZC goethite (
FeOOH) adalah 7,8 dan nilai PZC untuk hematit
(Fe2O3) adalah 8,2-9,5 (Essington, 2004; Kirk,
2004; Violente et al., 2005).

Sumber : Reddy dan De Laune (2008)

Gambar 3. Pengaruh pH terhadap muatan tanah


pada fase padat
Gambar 3 menunjukkan hubungan antara
PZC dengan muatan permukaan. Goethite
memiliki PZC pada pH 7,8 sehingga pada kondisi
pH di bawah 7,8 muatan permukaan didominasi
oleh muatan positif tanah, sedangkan di atas pH
7,8 muatan permukaan didominasi oleh muatan
negatif. Bohn et al. (2003) menyatakan bahwa
dengan semakin bertambahnya muatan positif
tanah maka kemampuan dalam meretensi anion
melebihi kemampuan dalam meretensi kation.
Adapun mekanisme penjerapan fosfat oleh
oksida besi berdasarkan pengamatan Parfitt, et
al. (1975) menggunakan metode Infrared
spectroscopic didapatkan model struktur reaksi
permukaan antara oksida besi dengan ion fosfat
yaitu dengan menggantikan dua ion hidroksil
permukaan oleh satu ion fosfat. Dua atom
oksigen fosfat akan berkoordinasi dengan
masing-masing ion Fe3+ yang berbeda, sehingga
menghasilkan kompleks permukaan binuklear
dengan tipe Fe-O-P(O2)-O-Fe. Kenyataannya
bahwa absorpsi fosfat akan menghasilkan
struktur koordinasi permukaan dari oksida besi
seperti goethite, hematit, lepidocrocite, -ferric
hydroxide dan ferric hydroxide amorf.
Pembentukan dari kompleks fosfat meliputi
perubahan ataupun pemindahan dari ligan-ligan
(hidroksil atau air) dari koordinasi Fe3+(Parfitt et
al., 1975). Berdasarkan hasil pengamatan
dengan infrared spectroscopic diperoleh bahwa
frekuensi dari pita adsorbsi fosfat berbeda untuk

51

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

masing-masing oksida besi. Untuk goethite pada


pH 4 hasil infrared spectroscopic memperlihatkan
tiga pita hasil pengamatan dengan frekuensi:
1191 cm-1, 1105 cm-1, dan 993 cm-1 (Parfitt et
al., 1975). Ketiga pita tersebut menunjukkan
karakteristik
dari
adsorbsi
fosfat
yang
membentuk kompleks binuklear dengan dua
oksigen dari fosfat berkoordinasi dengan dua ion
ferric yang berbeda di permukaan (Gambar 4).

ion ferri. Keberadaan air akan menghasilkan


ikatan hidrogen yang kuat untuk dua atom fosfat
sehingga terjadi perluasan pita P-O, dan
akibatnya frekunsi pita spektra menurun dari
1191 menjadi 1130 cm-1. Pada Gambar 5
terlihat model ideal permukaan goethite dengan
tipe hidroksil berwarna gelap.

Sumber : Parfitt et al. (1975)

Gambar 5. Struktur ideal goethite (satu


koordinasi OH ditunjukkan oleh
warna gelap)

Sumber : Parfitt et al. (1975)

Gambar 4. Pita infrared (A) goethite


menghilang; (B) serapan max fosfat
oleh goethite pada pH 4 di udara; (C)
serapan max fosfat goethite pH 4,
menghilang; (D) fosfat goethite pada
pH 10 di udara; dan (E) fosfat
goethite pH 10, menghilang
Pita yang sangat tajam terbentuk pada
frekuensi 1.191 dan 993 cm-1 akibat
menghilangnya air sehingga dua atom oksigen
bebas dari fosfat dan tidak berkoordinasi dengan

52

Untuk hematit pada pH 10 hasil infrared


pita adsorbsi fosfat terlihat pada frekuensi:
1.163 cm-1, 1.100 cm-1, 990 cm-1, dan 860 cm-1
dan memperlihatkan kemungkinan terbentuknya
kompleks binuklear oleh dua hidroksil yang
berdekatan (Gambar 6). Bentuk pita pada pH
tinggi ini menunjukkan hubungan terhadap
kehilangan proton dari permukaan grup OH dan
sebagai akibat dari pemindahan ikatan hidrogen
untuk mengadsorbsi fosfat yang berdekatan
(Parfitt et al., 1975). Pada contoh yang
disiapkan pada pH tinggi pita infrared terlihat
pada frekuensi 1163 cm-1, yang disebabkan
karena hematit pada pH 10 membawa muatan
negatif. Menurut Kirk (2004) nilai PZC hematit
berkisar
antara
8,2-9,5.
Gambar
7
memperlihatkan permukaan natural dari hematit,
dan OH berkoordinasi dengan Fe3+ ditunjukkan
pada gambar dengan bagian yang berwarna
gelap.

W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam

Sumber : Parfitt et al. (1975)

Gambar 7. Struktur ideal hematit (satu


koordinasi OH ditunjukkan oleh
warna gelap)
Adsorbsi fosfat oleh goethite akan
membentuk kompleks permukaan binuklear, dan
mekanisme penjerapannya adalah sebagai
berikut (Parfitt et al., 1975) :

atau
Sumber : Parfitt et al. (1975)

Gambar 6. Pita infrared (A) hemathite


menghilang; (B) serapan fosfat oleh
hemathite pada pH 4 di udara; (C)
fosfat hematit, menghilang ; (D) Fe
(OH)3 gel menghilang; (E) fosfat Fe
(OH)3 gel diudara; dan (F) fosfat Fe
(OH)3 gel, menghilang

Hasil penelitiannya Parfitt et al. (1975)


menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya
oksida besi maka akan semakin banyak pula P
yang diadsorbsi. Prinsip dari absorpsi ion oleh
oksida besi adalah melalui ikatan binuklear yang
kuat oleh ion Fe di permukaan.
Pospor
merupakan
faktor
pembatas
dilahan basah karena asosiasinya dengan Fe
tanah, dimana kelarutannya berubah selama
proses reduksi dan oksidasi. Hasil penelitian
Kirk, (2004) menunjukkan penggenangan selama
6 minggu dapat meningkatkan konsentrasi P
pada larutan Tanah (Gambar 8).

53

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

dalam tanah (Khalid et al., 1977; Berkheiser et


al., 1980; Richardson, 1985; Walbridge and
Struthers, 1993; Gale et al., 1994; Reddy et al.,
1998 dalam Reddy and De Laune, 2008).
Hubungan kapasitas serapan P (dihitung dengan
persamaan Langmuir) atau adsorbsi maksimum
dari P dan ekstrak oksalat besi dan aluminium
pada Gambar 9.
Jumlah
besi
dan
aluminium
yang
terekstrak dengan amonium oksalate berkorelasi
tinggi dengan kapasitas serapan P di tanah
mineral basah yang didominasi oleh besi dan
aluminium. Berdasarkan Gambar 9 dapat diduga
bahwa kira-kira 0,17 m.mol P akan diretensi
setiap m.mol Fe dan Al.

Sumber : Kirk (2004)

Gambar 8. Perubahan konsentrasi P pada


larutan tanah pada berbagai jenis
tanah akibat penggenangan
Hasil penelitian Larsen et al. (1959)
menunjukkan pemberian Fe-oksida pada tanah
organik akan meningkatkan kapasitas jerapan P
pada tanah tersebut. Sebaliknya, jumlah P yang
terfiksasi dari kompleks Fe-senyawa humat
dapat mencapai 6 kali lebih besar dibandingkan
dengan jerapan P oleh oksida besi. Peneliti
umumnya menyatakan bahwa ada korelasi yang
nyata secara statistik antara bentuk amorf dari
besi dan Al dengan retensi maksimum posfor

KESIMPULAN
Upaya reklamasi tanah sulfat masam
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan
keberadaan pirit agar tidak teroksidasi ke
permukaan sehingga pirit stabil. Teroksidasinya
pirit mengakibatkan tanah menjadi sangat
masam dan kahat hara terutama P akibat
diretensi oleh besi oksida seperti goethit dan
hematit. Keberadaan goethit dan hematit dalam
tanah berkorelasi nyata dengan retensi P
maksimum dan diduga bahwa setiap m.mol Fe

Sumber : Reddy et al. (1995) dalam Reddy dan De Laune


(2008)

Gambar 9. Hubungan antara ekstrak oksalat besi dan


aluminium dan serapan fosfat maksimum
pada tanah mineral rawa
54

W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam

dalam tanah akan meretensi P sebanyak 0,17


m.mol. Retensi P oleh goethit maupun hematit
akan membentuk kompleks permukaan binuklear
dengan tipe Fe-O-P(O2)-O-Fe melalui ikatan
binuklear yang kuat oleh ion Fe di permukaan.

DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., K. Subagyono, dan M. Al-Jabri.
2006. Konservasi dan rehabilitasi lahan
rawa
Dalam
Karakteristik
dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Berkheiser, V.E., J.J. Street, P.S.C. Rao, and
T.L. Yuan. 1980. Partitioning of
inorganic orthophosphate in soil-water
systems. Crit. Rev. Environ. Sci.
Technol. 10:179-224.
Bohn, H.L., B.L. McNeal, and G.A. OConnor.
2003. Soil Chemistry. 3rd Edition. John
Wiley and Sons. New York, USA.
Brady, K.S., J.M. Bingham, W.F. Jaynes, and
T.J. Logan. 1986. Influence of Sulphate
on Fe-oxide formation: Comparison with
a Stream Receiving Acid Main Drainage,
Clay Miner.
Breemen, N.V. and P. Buurman. 2002. Soil
Formation. Second Edition. Kluwer
Academic Publishers. New York, Boston,
Dordrecht, London, Moscow.
Cornell, R.M. and U. Schwertmann. 1996. The
Iron Oxides. VCH Verlagsgesellschaft,
Weinheim.
Dent. 1986. Acid Sulphate Soils. A Baseline for
Research and Development Publication
39. ILRI. Wageningen, Nederland.
Essington, M.E. 2004. Soil and Water Chemistry:
An integrative approach. CRC. Press.
Boca Raton, Florida, USA.
Fanning, D.S. and S.N. Burch. 1997. Acid
Sulphate Soil and Some Associated
Environmental
Problems.
Advances
Geoecology.
Gale, P.M., K.R. Reddy, and D.A. Graetz. 1994.
Phosphorus retention by wetland soils
used for treted wastewater disposal. J.
Environ. Qual. 23:370-377.

Guenzi, W.D. 1974. Pesticides in Soil and


Water. American Society of Agronomy,
Madison In H.L. Bohn, B.L. McNeal, and
G.A. OConnor. 2001. Soil Chemistry.
3rd Edition. John Wiley and Sons. New
York, USA.
Khalid, R.A., W.H. Patrick Jr., and R.D. De
Laune. 1977. Phosphorus sorption
characteristics of flooded soils. Soil Sci.
Soc. Am. J. 41:305-310.
Kirk,

G. 2004. The Biogeochemistry of


Submerged Soils. John Wiley and Sons
Ltd, England.

Liu, C. 1999. Surface Chemistry of Iron Oxide


Mineral Formed in Different Ionic
Environment. A Dissertation. Department
of
Soil
Science,
University
of
Saskatchewan, Saskatoon, Canada.
Noor,

M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan


Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.

Parfitt, R.L., R.J. Atkinson, and R.ST.C. Smart.


1975. The Mechanism of Fosfat Fixation
by Iron Oxides. Soil Science Society
America. Proc. 39. Pp. 837-841.
Reddy, K.R. and R.D. De Laune. 2008. The
Bigeochemistry of Wetland; Science and
Application. CRC Press. New York.
Reddy, K.R., G.A. OConnor, and P.M. Gale.
1998. Phosphorus sorption capacities of
wetland soils and stream sediments
impacted by dairy effluent. J. Environ.
Qual. 27:438-447.
Reddy, K.R., Y. Wang, W.F. De Busk, M.M.
Fisher, and S. Newman. 1998. Forms of
soil phosphorus in selected hydrologic
units of the Florida Everglades. Soil
Sci.Soc. Am. J. 62:1134-1147.
Richardson, C.J. 1985. Mechanisms controlling
phosphorus
retention
capacity
in
freshwater wetlands. Science 228:
1424-1426.
Richardson, J.L. and M.J. Vepraskas. 2001.
Wetland Soils. Genesis, Hydrology,
Landscapes and Classification. Lewis
Publishers. Boca Raton London New
York. Washington, D.C.
55

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010

Stahl, R.S., D.S. Fanning, and B.R. James. 1993.


Goethite and jarosite precipitation from
ferrous sulfate solution. Soil Science
Society American Journal. Vol. 57.
January-February.

elements onto metal oxides and organomineral complexes. In P.M. Huang and
G.R. Gobran (Ed.). Biogeochemistry of
Trace Elements in tha Rhizosphere.
Elsevier.

Subagyo, H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran


Lahan Rawa. Hlm. 1-23. Dalam
Karakteristik dan Pengelolaan Lahan
Rawa. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Sumberdaya
Lahan
Pertanian.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.

Walbridge, M.R. and J.P. Struthers. 1993.


Phosphorus
retention
in
non-tidal
palustrine forested wetlands of the midAtlantic region. Wetlands 13:84-94.

Van Mensvoort, M.E.F. and D.L. Dent. 1998.


Acid sulphate soil. Pp. 301-337. In R.
Lal, W.H. Blum, C. Valentine, and B.A.
Steward (Eds.). Methods for Assessment
of Soil Degradation. Florida. CRC Press
LLC.
Violente, A., M. Ricciarrdella, M. Pigna, and R.
Capasso. 2005. Effects of organic
ligands on the adsorption of trace

56

Widjaja-Adhi, I P.G. 1997. Mencegah Degradasi


dan Merehabilitasi Lahan Sulfat Masam.
Makalah disajikan dalam Pertemuan
Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut
Kalimantan Selatan, 18 Maret 1997 di
Banjarmasin (tidak dipublikasikan).
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D. Ardi S., dan
A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan
rawa:
potensi,
keterbatasan,
dan
pemanfaatan Dalam P. Sutjipto dan M.
Syam (Ed.). Risalah Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4
Maret 1992.

Anda mungkin juga menyukai