ISSN 1907-0799
Sumberdaya
Lahan
Indonesian Journal of Land Resources
Vol. 4 No. 1
Juli 2010
Hal.
1-12
Hal.
13-25
Hal.
27-38
Hal.
39-46
Hal.
47-56
Vol. 4
No. 1
Hal. 1-56
ISSN 1907-0799
Jurnal
Sumberdaya
Lahan
ISSN 1907-0799
Diterbitkan oleh :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
Tlp. 0251 8323012 Fax 0251 8311256
e-mail : csar@indosat.net.id
http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id
DEWAN PENYUNTING
Penanggungjawab
: Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS (Kepala Balai Besar Litbang SDLP)
Penyunting Pelaksana
Mitra Bestari
Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian
atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan.
Jurnal Sumberdaya Lahan terbit dua nomor dalam setahun.
Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan
sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan
mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk
dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis
diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.
ISSN 1907-0799
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan eks-penambangan untuk perluasan areal pertanian merupakan suatu peluang untuk memecahkan
persoalan pangan dan lingkungan. Paper ini membahas prospektif pemanfaatan lahan eks penambangan untuk perluasan areal
pertanian. Areal pertambangan resmi yang dilengkapi dengan izin usaha penambangan di Indonesia jumlahnya cukup luas,
diantaranya sekitar 2,2 juta ha di bawah Perjanjian Pengusahaan Batu Bara (PKP2B), dan 2,9 juta ha berdasarkan Kontrak Karya
(KK). Sebagian lahan tersebut sudah selesai ditambang, dan perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak
merusak lingkungan. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah pemetaan lahan-lahan bekas tambang tersebut, yang dilengkapi
dengan status kepemilikan (land tenure) atau penguasaan lahannya, agar pemanfaatan selanjutnya baik untuk pertanian maupun
usaha lain, dapat berjalan berkelanjutan. Reklamasi lahan perlu dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya
guna bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi
bio-fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan pengelolaan lahan tambang tidak cukup
hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan
penutupannya (planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi. Hal ini
perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin penambangan.
Kata kunci : Tambang, reklamasi, pertanian
ABSTRACT
Utilization of ex-mining land for agricultural extensification is an opportunity to solve the problem of food and
environment. This paper discusses prospective utilization of ex-mining land for agricultural extensification. Mining area equipped
with a business license for mining in Indonesia is around 2.2 million ha under Coal Concession Agreement, and 2.9 million ha
under the Contract of Effort. A part of land is already finished being mined, and be managed properly in order to benefit the
community and not damage the environment. The initial steps that need to be done is mapping of mined lands, included a status of
ownership (land tenure), so that subsequent use of both for agriculture and other businesses can be sustainable. Land reclamation is
necessary to increase capacity and efficiency for biomass production. Determination of land use types, should be based on land
tenure, bio-physical conditions of land, and the needs of the community or local government. In the future, mining land management
requirements is not enough simply by opening a feasibility study for mining operations, but need to be accompanied also with its
closure plan (planning of closures), which includes environmental protection and mitigation of socio-economic problems. This
needs to be one of the terms of the granting of mining permits.
Keywords : Mining, reclamation, agriculture
Reklamasi
Pemanfaatan
Jumlah
lain
.. ha ..
516.803,30
15.856,48
9.088,09
877,81
9.965,90
Luas wilayah
825.862,60
36.988,63
15.077,32
735,30
15.812,62
862.682,46
25.965,78
7.044,29
944,77
7.989,06
2.205.348,35
78.810,89
31.209,70
2.557,88
33.767,58
Sumber : Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (2009)
* Khusus data untuk KP setelah otonomi tidak termutahirkan karena tidak ada data dari daerah dan begitu juga dari
Perusahaan Pemegang Izin KP Daerah, yang masih ada data dari pemegang KP BUMN dan 5 KP Perusahaan
Nasional). Data Periznan KP Eksploitasi dari berbagai wilayah yang dilaporkan ke Direktorat Pengusahaan mineral
dan Batubara per Juli 2009 adalah 770 KP.
** Pada areal bekas tambang dan penimbunan material buangan (dimanfaatkan untuk perumahan, perkantoran,
penampung air bersih, dan tempat rekreasi) selain luas lahan untuk penambangan tersebut di atas, diperlukan luas
lahan utuk jaringan jalan, pelabuhan udara, pelabuhan air, perkotaan, pabrik, pembangkit listrik, pengelolaan tailing,
dan lain-lain. Luas total yang dibuka untuk pertambangan mencapai 135.000 ha.
Limbah tailing
Permasalahan
Perusahaan penambangan dituntut untuk
mampu mengembalikan lahan bekas tambang ke
kondisi yang sesuai dengan persyaratan tata
guna lahan berdasarkan tata ruang daerah
(Mulyanto, 2008; Soelarso, 2008). Artinya,
setelah penambangan selesai, harus terjadi
transformasi manfaat atau mengembalikan lahan
yang ditambang ke kondisi awal, sehingga
selaras dengan azas manfaat dan bersifat
berkelanjutan. Namun, kedua hal tersebut sulit
dicapai,
karena
umumnya
perencanaan
penutupan tambang (termasuk reklamasinya)
tidak terintegrasi dengan operasi pertambangan
sejak awal sampai penutupan, sehingga pasca
penambangan timbul berbagai permasalahan.
Aspek teknis
Tailing
Tailing
Tailing
Tailing
Tailing
putih
coklat
putih
kekelabuan
campuran
Pasir
%
94
91
98
89
94
pH
H2O
4,9
4,4
4,5
4,6
4,8
Bahan org.
C
... % ...
0,07 0,01
0,73 0,07
0,24 0,02
0,59 0,05
0,09 0,01
HCl 25%
P2O5
K2O
..mg/100g..
1
3
5
3
7
9
5
4
1
6
P Bray
ppm
3,8
1,5
6,2
NH4OAc 1 N, pH 7
Ca
Mg
Na
KTK
KB
Kej.
Al
..... % .....
29
3
13
56
20
18
11
56
16
10
Sampur
Jurung
Lempung berpasir
73
15
12
Lempung berdebu
15,0
71,1
25,5
Masam
4,8
4,3
Sangat masam
2,7
2,6
1.17
0,08
7,7
2,0
0,35
0,07
0,03
2,72
17,33
5,7
0,18
8
11
2,86
1.41
0.04
17.42
25,00
pH
H2 O
KCl
C-organik (%)
N- Total (%)
P2O5 HCl 25% (mg/100g
K2O HCl 25% (mg/100g)
Ca (cmol(+)/100g)
Mg (cmol(+)/100g)
K (cmol(+)/100g)
KTK (cmol(+)/100g)
KB (%)
Sumber : Puslittanak, 1995
Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia overburden dari lokasi
penambangan batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan
Parameter
3
BD (g/cm )
pH (H2O)
pH (KCl)
C-organik (%)
Ca (me/100g)
Mg (me/100g)
K (me/100g)
Na (me/100g)
KTK
KB
Al3+
DHL
Lokasi
Klawas Timur
Mahayung
Suban
Udongang
1,35
2,90
2,75
5,12
7,12
9,42
0,10
0,15
11,70
91,00
5,43
2.58
1,28
4.65
4.15
1.75
7.40
11.61
0.41
0.59
20.0
95.5
1.18
0,91
1,12
4,70
3,60
0.35
3.04
7.16
0,38
0,39
18,40
60,50
6,26
0,73
1,21
4,90
4,55
1,50
8,87
13,79
0,56
2,25
23,8
98,0
1,01
1,39
Tabel 5. Sifat fisik tanah pada areal bekas tambang batu bara di Kutai Kartanegara,
Kalimantan
Lokasi
KTD-02 = area lahan reklamasi
dengan Acasia sp. umur 1 tahun
Kedalaman
cm
0-20
20-60
Kelas tekstur
0-20
20-60
Liat
Liat
0,17 (lambat)
0-20
20-60
Liat
Liat
0,45 (lambat)
0-20
20-60
0-20
20-60
Liat
Liat
Lempung berliat
Lempung berliat
Permeabilitas
cm/jam
1,13 (agak lambat)
Aspek sosial-ekonomi
fikasi
Pemanfaatan
areal
bekas
tambang
seringkali terbentur pada permasalahan status
lahan. Sebagian besar aktivitas penambangan di
Indonesia berada dalam kawasan hutan (Tabel
6). Tabel 6 menunjukkan luas izin penambangan
yang tumpang tindih dengan kawasan hutan,
yang berjumlah sekitar 5 juta ha. Sekitar
620.000 ha diantaranya merupakan kawasan
lindung, yang seharusnya tidak digunakan untuk
pemanfaatan lain. Izin penambangan yang berada
dalam kawasan hutan produksi dan penggunaan
lain, mempunyai peluang dimanfaatkan untuk
Tabel 6. Luas izin penambangan yang bertumpang tindih dengan kawasan hutan
Jenis usaha/status lahan
Tahapan kegiatan
Eksplorasi
Studi kelayakan
Konstruksi
Produksi
.. ha .
PKP2B
1. Hutan lindung
2. Hutan produksi
3. Hutan produksi terbatas
4. Hutan produksi dikonversi
5. Hutan konservasi
6. Areal penggunaan lain
Luas
100.793,916
57.262,197
167.789,868
17.098,647
8.498,044
143.279,328
494.722,000
53.946,824
199.348,721
128.769,676
58.787,171
1.277,572
280.925,636
723.055,600
7.516,035
106.277,061
34.612,950
15.631,258
4.673,391
3.992,305
172.703,000
5.703,019
167.959,794
242.164,454
605.052,433
30.794,895
361.967,389
11.455,218
102.972,294
6.866,222
21.315,229
467.189,242
895.386,511
764.173,050 2.154.653,650
Kontrak karya
1. Hutan lindung
256.418,925
2. Hutan produksi
90.711,041
3. Hutan produksi terbatas
193.073,788
4. Hutan produksi dikonversi
13.534,937
5. Hutan konservasi
30.382,291
6. Areal penggunaan lain
1.250.094,018
32.073,715
10.243,625
25.795,199
15.871,871
775,738
458.844,852
1.410,188
12.049,439
1.746,003
288,341
33.275,029
165.259,186
455.162,014
47.474,265
160.478,370
114.152,649
334.767,639
57.350,658
87.045,807
8.446,283
39.604,312
94.388,960 1.836.602,859
543.605,000
48.769,000
487.072,001 2.913.661,001
Luas
1.834.215,000
Sumber : Direktorat Teknik Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (2009)
Penataan lahan
Reklamasi
lahan
bekas
tambang
memerlukan pendekatan dan teknologi yang
berbeda tergantung atas sifat gangguan yang
terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan
setelah proses reklamasi). Namun secara umum,
garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai
berikut:
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam, antara lain dengan
cara: (a) menutup lubang galian (kolong) dengan
menggunakan limbah tailing (overburden).
Lubang kolong yang sangat dalam dibiarkan
terbuka, untuk penampung air; (b) membuat
saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan
air, (c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah
dan erosi terkendali, diantaranya dilakukan
dengan cara meratakan permukaan tanah, jika
tanah sangat bergelombang penataan lahan
dilakukan bersamaan dengan penerapan suatu
teknik konservasi, misalnya dengan penterasan,
(d) menempatkan tanah pucuk agar dapat
digunakan secara lebih efisien. Karena umumnya
jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah pucuk
diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah
pucuk dapat pula diletakkan pada lubang tanam.
aspek teknis
ekonominya.
maupun
aspek
perhitungan
STRATEGI REKLAMASI
Internatioanal Institute for Environmental
and Development (IIED) dan World Bisiness
Counsil for Sustainable Development (WBCSD)
dalam Soelarno (2008) menyebutkan bahwa
agar pertambangan dapat berkontribusi positif
Tabel 7. Kadar logam berat dalam tanaman dan kadar yang dapat ditoleransikan
Unsur
Fe
Mn
Cu
Pb
Kandungan dalam
Akar
Beras
ppm
26.471,67
2,784,67
232,33
1.500
55,67
245,00
106,00
2.000
1,67
1,33
1,00
100
17,33
3,67
0,00
10
10
KESIMPULAN
1. Areal pertambangan resmi yang dilengkapi
dengan izin usaha penambangan di Indonesia
jumlahnya cukup luas, diantaranya sekitar
2,2 juta ha di bawah Perjanjian Pengusahaan
Batu Bara (PKP2B), dan 2,9 juta ha
berdasarkan Kontrak Karya (KK). Sebagian
lahan tersebut sudah selesai ditambang, dan
perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat
bagi masyarakat dan tidak merusak
lingkungan hidup. Langkah awal yang perlu
dilakukan adalah pemetaan lahan-lahan bekas
tambang tersebut, yang dilengkapi dengan
status kepemilikan (land tenure) atau
penguasaan lahannya, agar pemanfaatan
selanjutnya baik untuk pertanian maupun
usaha lain, dapat berjalan berkelanjutan.
2. Upaya pemanfaatan lahan bekas tambang
perlu memperhatikan aspek-aspek teknis
(seperti kualitas tanah, erosi dan pencemaran
logam berat), dan non teknis (kesiapan
masyarakat beralih usaha, kekurangan tenaga
trampil, penyediaan dana, dan sebagainya).
Oleh karena itu, Departemen Teknis dan
Pemda bersangkutan perlu menyiapkan
perencanaan yang matang dan komprehensif
meliputi semua aspek penting tersebut, agar
pelaksanaan reklamasi lahan dan pemanfaatan selanjutnya dapat berjalan secara efektif.
3. Penentuan jenis pemanfaatan lahan, apakah
untuk tanaman pangan, perkebunan, perikanan, agrowisata, atau lainnya, antara lain
perlu didasarkan atas status kepemilikan dan
kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan
masyarakat atau Pemda setempat. Bagi
Provinsi Bangka-Belitung misalnya, yang
produksi beras tahunannya hanya cukup
untuk konsumsi penduduk dalam waktu satu
bulan saja, maka pemilihan reklamasi lahan
untuk pertanian tanaman pangan merupakan
satu alternatif yang tepat. Namun demikian,
untuk mereklamasi lahan bekas tambang
timah menjadi sawah subur memerlukan
waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta
perlu didukung oleh teknologi pengelolaan
lahan dan air yang lebih maju, lebih rumit
dari teknologi tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Ambodo, A.P. 2008. Rehabilitasi lahan pasca
tambang sebagai inti dari rencana
penutupan tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop
Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan
Tambang Pasca Penutupan Tambang.
Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPMIPB. Bogor, 22 Mei 2008.
Direktotat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas
Bumi, Depertemen Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM). 2006. Peraturan
tentang Reklamasi Tambang. Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional
Rehablitasi Lahan Tambang. 11 Pebruari
2006, Kampus UGM Bulaksumur,
Yogyakata.
Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral,
Batubara, dan Panas Bumi. 2009.
Rekapitulasi Lahan Bekas Tambang.
Direktotat Jenderal Mineral, Batubara,
dan Panas Bumi, Depertemen Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM).
Haryono dan S. Soemono. 2009. Rehabilitasi
tanah tercemar mercuri (Hg) akibat
penambangan emas dengan pencucian
dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal
Tanah dan Iklim (29):53-64.
Isa, I.T. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi
tanah pertanian. Hlm. 17 Dalam
Prosiding Seminar Multifungsi dan
Revitalisasi Pertanian. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.
11
12
ISSN 1907-0799
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan di kawasan vulkanik tropika basah memiliki keanekaragaman hayati tanah, laju
pelapukan dan erosi tanah tinggi, namun memiliki kesuburan dan kandungan bahan organik tanah yang rendah. Perbaikan kesuburan
tanah untuk tanaman secara langsung dengan pemberian bahan organik memerlukan jumlah yang besar dan mahal. Masalah yang
dihadapi kemampuan produksi bahan organik rendah, laju pelapukan tinggi, diperlukan dalam jumlah besar dan berada di wilayah
kepulauan, sehingga sulit dalam pengadaan dan konservasi bahan organik di dalam tanah serta biaya transportasi mahal. Pemberian
bahan organik dengan tujuan untuk pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah potensial
diupayakan. Selain memerlukan dosis pemberian bahan organik yang relatif lebih rendah juga dapat mencegah munculnya serangan
hama penyakit tular tanah dan meningkatkan konservasi bahan organik tanah. Dalam menentukan evaluasi kesesuaian lahan di
kawasan vulkanik tropika basah hendaknya perlu mempertimbangkan adanya peranan populasi organisme tanah untuk mendukung
produksi tanaman dan menjaga kelestarian kandungan bahan organik tanah.
Kata kunci : Kesuburan dan produktivitas tanah, keaneka-ragaman hayati, bahan organik, pemberdayaan hayati tanah
ABSTRACT
Indonesia is an archipelago in wet tropical volcanic regions have high soil biodiversity, high rate of weathering and high
of soil erosion, but low on soil fertility and soil organic matter content. Improvement of soil fertility to plant directly with the
provision of organic materials requires a large amount and expensive. Problems faced by low organic matter production ability,
high decomposition rate, bulky and is in the archipelago, making it difficult in the procurement and conservation of organic matter
in soil and expensive transportation costs. Provision of organic materials with the aim of empowering the soil biology resources to
enhance soil fertility potential pursued. In addition to the dose of organic matters required is relatively lower may also prevent the
emergence of soil born diseases are also increasing of soil organic matter conservation. In determining land suitability evaluation
in wet tropical volcanic region should consider the role of soil organism populations to support crop production and protected soil
organic matter content.
Keywords : Soil fertility and productivity, biodiversity, organic matter, empowering soil biology
14
tersebut
dapat
membantu
produktivitas tanah.
memperbaiki
R2 = 0,9011
Dari nilai persamaan kwadratik ini
menunjukkan bahwa puncak produksi jagung
dicapai pada kandungan 2,9% C-organik tanah
dengan puncak produksi 11,21 t/ha. Sedang
untuk kandungan C-organik 1% dicapai produksi
7,31 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan produksi jagung dari C-organik
1,0% menjadi 2,9% terjadi peningkatan
produksi 3,90 t/ha atau dengan pemberian
bahan organik sebanyak 65,36 t/ha dapat
memberikan hasil jagung 3,90 t/ha. Sementara
pengadaan pupuk kandang tersebut juga
membutuhkan hijauan pakan yang besarnya 2
kali lipat ( 130,72 ton hijauan). Sementara
potensi kemampuan produksi hasil samping/
limbah bahan organik dari tanaman semusim
relatif rendah <10 t/ha. Bahkan apabila
mempertimbangkan nilai laju perkembangan/
penyusutan alami bahan organik tanah pertanian
kawasan tropika basah (internal rate natural of
increase) yang bernilai <1, akan memerlukan
tambahan bahan organik tanah yang lebih besar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Jerami padi
Sekam
Batang jagung
Serbuk kayu
Kotoran sapi perah
Kotoran sapi daging
Kotoran unggas
Kotoran domba
Ca
...................... % ......................
0,66
0,07
0,93
0,29
0,49
0,05
0,49
0,06
0,81
0,15
1,42
0,24
1,33
0,07
0,60
1,44
0,53
0,35
0,41
0,28
0,65
0,15
0,30
0,12
1,50
0,77
0,89
0,30
1,28
0,19
0,93
0,59
15
Tabel 2. Rata-rata produksi padi gogo (MT I) dan ketela pohon (MT II) pada penelitian pengaruh
pemberian beberapa bahan organik pada tanah Ultisols Lampung
Perlakuan **
Petak utama : BO (10 t/ha)
Anak petak : urea (kg/ha)
Tanpa BO (kontrol)
Produksi*
0
200
200
BO kotoran sapi
57,0 a
A
59,8 a
A
57,5 a
A
58,6 a
A
31,5 a
A
34,3 a
A
31,5 a
A
35,2 a
A
BO sisa tanaman
51,0 ab
A
51,6 b
A
52,4 a
A
51,7 a
A
32,2 a
A
36,0 a
A
37,6 a
A
35,4 a
A
BO Flemingia congesta
49,8 ab
A
51,9 b
A
54,6 a
A
53,9 a
A
30,4 a
A
34,2 a
A
36,9 a
A
37,8 a
A
51,1
53,9
55,0
54,4
30,9
33,9
35,0
36,4
Rata-rata produksi
16
Rendah
5 10
5 10
<2,00
<0,200
Sedang
11
11
2,02
0,21
15
15
6,35
0,32
Tinggi
>15
16 20
6,36 12,70
>0,33
1,0 2,0
0,1 0,2
5 10
15 20
57
5 10
10 20
56
2,01 3,00
0,21 0,50
11 15
21 40
8 10
11 15
21 40
17 24
3,01
0,51
16
41
11
16
41
25
5,00
0,75
25
60
15
20
60
40
0,1 0,3
0,1 0,3
0,4 1,0
25
20 40
5 10
5 10
12
25
Masam
4,5 5,5
0,40 0,50
0,40 0,70
1,10 2,00
6 10
41 60
11 20
11 20
23
5 10
Agak masam
5,6 6,5
0,60 1,00
0,80 1,00
2,10 8,00
11 20
61 80
20 40
20 40
3 4
10 15
Agak alkalis
7,6 8,5
17
19
Tabel 4. Populasi cacing tanah Pheretima hupiensis pada tanah Ultisols beberapa penggunaan lahan
Penggunaan lahan
Bulan (musim)
20
Semak
belukar
Padang
rumput
Kebun
sengon
Kebun
pisang
Kebun
karet
Padi gogo
Olah atas
Olah dalam
Rata-rata
t/ha
2,36 b
2,17 a
1,77 a
2,10
B
B
A
2.
Alur
1,83 a
2,11 a
1,95 a
1,96
A
A
A
3.
Mulsa
1,90 a
1,88 a
2,06 a
1,95
A
A
A
Rata-rata
2,04
2,05
1,93
Sumber : Subowo et al. (2002)
Catatan :* Angka yang diikuti dengan oleh huruf kecil dalam kolom dan huruf
besar dalam baris yang sama tidak berbeda nyata sampai taraf nyata
5% (DMRT).
1.
Vertikal
KESIMPULAN
1. Dalam upaya meningkatkan produktivitas
tanah di Indonesia yang berada di kawasan
vulkanik tropika basah dengan kandungan
bahan organik tanah rendah, pemberian
bahan organik mutlak diperlukan. Masalah
23
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction of Soil
Microbiology. John Wiley and Sons,
New York-Chichester-Brisbane-TorontoSingapore.
Anas, I., M.P. Utami, N. Hakim, dan F. Rozie.
2010. Peranan Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati dalam Meningkatkan Produksi
Padi untuk Mencapai Swasembada beras
berkelanjutan. Hlm 20. Dalam Prosiding
Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik
dalam Meningkatkan Produksi dan
Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai
Besar
Litbang
Sumberdaya
Lahan
Pertanian. Bogor, 24 Februari 2010.
Coleman, D.C. and D.A. Crossley Jr. 1995.
Fundamental of Soil Ecology. Academic
Press. San Diego. New York. Boston.
London. Sydney. Tokio. Toronto.
Curry, J.P., D. Byrne, and K.E. Boyle. 1995. The
earthworm population of winter cereal
field and its effects on soil and nitrogen
turnover. Biol. Fertil. Soils. (19):166172.
Edwards, C.A., and J.R. Lofty. 1977. Biology of
Earthworms. A Halsted Press Boo, John
Wiley & Sons, New York.
24
Pusat
25
ISSN 1907-0799
ABSTRAK
Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,5%/tahun, sehingga
mendorong permintaan pangan yang terus meningkat. Lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luasnya pada tahun 2005
mencapai 7,89 juta ha ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia, sehingga perlu ditambah dengan impor yang
pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Kebutuhan bahan pangan mulai meningkat dan pada tahun 2020 diperkirakan terjadi
defisit jika tidak ada penambahan produksi sebesar 1,1 juta ton beras atau setara 1,8 juta ton GKG. Pada tahun 2050 kebutuhan beras
akan mencapai 48,2 juta ton atau meningkat 145%. Komoditas jagung dan kedelai diperkirakan akan terjadi defisit masing-masing
2,2 juta ton dan 2,5 juta ton pada 2050. Untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan hingga tahun 2050, dengan asumsi bahwa
konversi lahan sawah dapat ditekan menjadi 60.000 ha/tahun, diperlukan pencetakan sawah baru sekitar 1,6-2,4 juta ha pada tahun
2020 dan luas kumulatif hingga tahun 2050 adalah 6,0 juta ha. Potensi ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di Indonesia adalah
8,28 juta ha, terdiri atas sawah rawa 2,98 juta ha dan non rawa 5,30 juta ha. Potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua,
Kalimantan, dan Sumatera, masing-masing 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Strategi perluasan sawah dapat dilakukan
melalui pemanfaatan lahan sawah potensial di daerah irigasi, optimalisasi lahan sawah terlantar di daerah rawa pasang surut dan
rawa lebak, dan perluasan sawah secara kawasan di daerah yang potensinya cukup luas seperti Papua dan Kalimantan.
Kata kunci : Kebutuhan lahan, kecukupan pangan, ketersediaan lahan, surplus, defisit
ABSTRACTS
Indonesian population from year to year increasing, with growth of about 1.5%/year, thus pushing food demands
continues to increase. Particularly agricultural land especially rice field, covering an area in 2005 reached 7.89 million hectares
was not able to meet the food needs of Indonesia, so that needs to be supplemented by imports which in the last decade it has
increased. The need for food began to increase and in the year 2020 deficit is estimated to occur if there is no additional production
of 1.1 million tons of rice or equivalent to 1.8 million tons of GKG. In 2050 demand for rice will reach 48.2 million tons, an increase
of 145%. Commodity corn and soybeans are expected to occured a deficit each of 2.2 million tons and 2.5 million tons in 2050. To
sufficient the necessity of food until the year 2050, assuming that the conversion of rice land could be reduced to 60,000
hectares/year, required the new rice fields of about 1,6-2,4 million hectares in 2020 and the cumulative area until the year 2050 is
6.0 million hectares.The potential availability of land for extensification of rice field in Indonesia is 8.28 million hectares, consists
of 2.98 million hectares swamp rice field and 5.30 million hectares of non swamp rice field. The largest potential development are in
Papua, Kalimantan, and Sumatra, each of 5.19 million hectares, 1.39 million hectares, and 0.96 million hectares. Rice field
extensification strategies can be done through land use potential rice fields in the irrigation areas, abandoned rice field optimization
in the tidal swamp and inland swamp, and extensification of rice field region scale in area large potential like Papua and
Kalimantan.
Keywords : Land necessity, food necessity, land availability, surplus, deficit
Data
tersebut
menunjukkan
bahwa
produksi pangan pokok nasional sangat
tergantung dari lahan yang relatif sempit,
sumber irigasi yang sebagian airnya berasal dari
hujan sewaktu, serta pola dan curah hujan tahun
berjalan. Oleh karena itu apabila terjadi anomali
iklim, akan secara langsung berpengaruh
terhadap produksi dan ketersediaan pangan
nasional. Dengan adanya pemanasan global,
diperkirakan frekuensi anomali iklim akan lebih
sering terjadi, yang akan berpotensi mengancam
ketahanan pangan nasional. Untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di
masa depan, nampaknya upaya yang paling
aman adalah dengan perluasan lahan pertanian
di wilayah baru.
29
2010
2020
2030
2040
2050
1
2
Jumlah
penduduk
juta jiwa
241
279
324
376
436
Tabel 2. Defisit dan surplus bahan pangan tahun 2010-2050 dengan luas lahan sawah seperti tahun 2008
Beras
Tahun
Total
produksi2
Suplus/
defisit
Kebutuhan1
Kedelai
Total
produksi2
Surplus/
defisit
Kebutuhan1
Total
produksi2
Gula
Surplus/
defisit
Kebutuhan1
Produksi yang
dicapai
Surplus/
defisit
Lanjutan Tabel 2.
Kacang tanah
Tahun
2010
2020
2030
2040
2050
Kebutuhan1
Total
produksi2
Ubi jalar
Kacang hijau
Surplus/
defisit
Kebutuhan1
Total
produksi2
Surplus/
defisit
Kebutuhan1
Total
produksi2
Surplus/
defisit
Kebutuhan adalah jumlah keperluan bahan pangan as consumed. Perhitungan penyediaan untuk mencukupi kebutuhan semestinya lebih besar,
diasumsikan perlu ditambah 10%.
Total produksi adalah total produksi yang dicapai waktu kini dari luasan lahan sawah yang tersedia, ditambah produksi dari lahan kering
2010
2020
2030
2040
2050
Kebutuhan1
Jagung
31
juta ha
11,13
11,72
11,96
11,79
11,50
11,52
11,49
11,92
11,84
11,78
12,15
12,39
+/-
Produktivitas
+/-
Produksi
+/-
kw/ha GKG
44,32
41,97
42,52
44,01
43,88
44,69
45,38
45,36
45,74
46,18
47,05
48,35
5,30
2,11
-1,42
-2,49
0,18
-0,28
4,23
-0,67
-0,51
3,14
1,98
-5,3
1,31
3,5
-0,3
1,85
1,54
0,04
0,84
0,96
1,88
2,76
-0,28
3,39
2,03
-0,28
2,04
1,26
4,23
0,11
0,46
5,07
4,76
Sumber: Data BPS tahun 1997-2008, termasuk lahan sawah rawa dan lahan kering
32
Tabel 4. Perhitungan kebutuhan penambahan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan
domestik tahun 2010 sampai dengan 2050
Tahun
2010
2020
2030
2040
2050
Kebutuhan penambahan
sawah kumulatif
......................................................1.000 ha ..............................................................
7.164
65
245
7.474
7.386
88
8.021
94
285
8.400
7.386
600
1.614
8.706
126
331
9.163
7.386
1.200
2.977
9.631
157
384 10.172
7.386
1.800
4.586
10.439
184
446 11.069
7.386
2.400
6.083
Keterangan : Jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar diasumsikan dapat menggunakan lahan sawah
melalui pola tanam padi-padi palawija atau padi-palawija, sedangkan bawang merah dan tebu umumnya
menggunakan lahan sawah secara terus-menerus dalam setahun
1
33
Potensi
ketersediaan
lahan
sawah
dibedakan antara lahan rawa dan non rawa
sesuai dengan agroekosistemnya. Lahan rawa
yang potensial untuk sawah diarahkan sebagai
sawah pasang surut dan/atau lebak, sedangkan
lahan non rawa yang potensial diarahkan sebagai
lahan sawah irigasi, berupa sawah irigasi teknis,
semi teknis maupun irigasi sederhana.
disebutkan
sebelumnya
antara
lain
(i)
ketersediaan data penyebaran lahan potensial
pada skala operasional di lapangan, (ii) ketidak
jelasan status kepemilikan lahan, baik sebagai
tanah adat maupun tanah Negara atau
kepemilikan lainnya, (iii) ketersediaan air irigasi,
(iv) jumlah penduduk yang masih sedikit di
wilayah potensial, (v) tingkat kesuburan tanah
yang rendah dan keracunan besi tinggi.
Keengganan atau minat masyarakat muda yang
semakin menurun untuk bekerja di sektor
pertanian (bertani sawah) disebabkan oleh selain
harga hasil usahatani yang rendah tidak sesuai
harapan, juga hasilnya tidak dapat dinikmati
secara instant seperti menjadi buruh bangunan
atau bidang-bidang usaha lainnya. Oleh karena
itu, pembukaan lahan pertanian baru selain harus
mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan
dan keberlanjutan sistem produksinya, juga
keharmonisan hubungan sosial masyarakatnya.
Kepemilikan lahan baik oleh suku atau
masyarakat adat maupun status kawasan
kehutanan merupakan hambatan yang sering
dihadapi dalam pelaksanaan perluasan sawah. Di
samping itu hambatan lain muncul karena
adanya tumpang tindih peruntukan lahan antara
sektor pertanian dan non pertanian, atau antara
pertanian tanaman semusim dan tanaman
tahunan, seperti antara pengembangan kelapa
sawit yang berkembang sangat pesat dengan
usaha tanaman semusim.
Ketersediaan sumberdaya air nasional
(annual water resources, AWR) masih sangat
besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi
tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Sebaliknya
di sebagian besar wilayah timur bagian selatan
yang radiasinya melimpah, curah hujan rendah
(< 1.500 mm/tahun) yang hanya terdistribusi
selama 3-4 bulan.
Dewasa
ini,
masalah
meningkatnya
tekanan terhadap sumberdaya air di beberapa
tempat semakin besar, yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk dan permintaan
akibat pertumbuhan ekonomi dan proses
urbanisasi (Pasandaran dan Sugiharto, 1999).
35
PENUTUP
Kebutuhan bahan pangan pada tahun
2010 dan tahun selanjutnya akan terus
meningkat, namun defisit beras apabila
36
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Irawan. 2007. Agricultural land
conversion as a threat to food security
and
environmental
quality.
Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
25(3):90-98.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan
Arah
Pengembangan
Komoditas
Pertanian: Tinjauan Aspek Sumberdaya
Lahan.
BPS. 1997-2008. Statistik Indonesia. Badan
Pusat Statistik. Jakarta.
Departemen Pertanian (Deptan). 2008. Statistik
Pertanian, Departemen Pertanian.
Irawan. 2005. Analisis ketersediaan beras nasional: suatu kajian simulasi pendekatan
sistem dinamis. Hlm 107-130. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Pertanian dan Ketahanan Pangan, Bogor
12 Oktober dan 24 Desember 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Kasno, A., Sulaeman, dan Mulyadi. 1999.
Pengaruh pemupukan dan pengairan
terhadap Eh, pH, ketersediaan P dan Fe,
serta hasil padi pada tanah sawah
bukaan baru. Jurnal Tanah dan Iklim
(17):72-81.
37
38
ISSN 1907-0799
ABSTRACT
One of the most significant challenges for improving the agroclimate research is availability of integrated climate data.
This paper reviewed several climate database systems development of national and international levels; such as those produced by
Indonesian Meteorological Climatological and Geophysical Agency (BMKG), World Meteorological Organization (WMO), and
New Zealand climatic database systems. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) through
Indonesian Agroclimate and Hydrology Research Institute (IAHRI) has developed a national climate database system (CDS), called
as IAHRI CDS, as a basic part of agroclimatic researches. The system was integrated the numeric climate data and thematic spatial
maps by applying Geographic Information System (GIS) and programming technologies. The data mainly comes from automated
and manual climate stations of Ministry of Agriculture, BMKG and Irrigation service of each province. The development of IAHRI
CDS is expected as a great resource for many potential applications on agriculture research in Indonesia.
Keywords : Aagriculture, climate, database system, Indonesia
ABSTRAK
Ketersediaan data iklim yang terintegrasi untuk seluruh Indonesia merupakan suatu tantangan untuk meningkatkan
penelitian agroklimat. Tulisan ini mereview beberapa pengembangan sistem database iklim untuk skala nasional ataupun
international, seperti Badan Meteolrologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), World Meteorological Organization (WMO), dan
sistem database New Zealand. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
sedang membangun sistem database iklim nasional (disebut IAHRI CDS), sebagai bagian dari penelitian agroklimat. Sistem
tersebut menggabungkan data iklim tabular dengan peta spatial dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis (SIG)
dan programming. Data hujan/iklim dikumpulkan terutama berasal dari stasiun manual dan otomatik milik Kementrian Pertanian,
BMKG, dan Dinas Pertanian dari setiap provinsi. Pengembangan IAHRI CDS diharapkan menjadi sumberdaya yang potensial
untuk aplikasi penelitian di bidang pertanian.
Kata kunci : Pertanian, iklim, sistem database, Indonesia
(Source : http://iridl.ldeo.columbia.edu)
Figure 2. The locations of the 8000 GCPS weather stations over the world
41
Figure 3.
42
The capture of the national climatic database system which managed by IAHRI:
Institution
Types of stations
Variables
Rainfall
Humidity (07.00)
Humidity (12.00)
Mean humidity
Evaporation
Wind speed
Solar radiation
Sunshine duration
Minimum temperature
Maximum temperature
Mean temperature
Unit
Abbreviations
mm
%
%
%
mm
m2
cal/m2
jam
o
C
o
C
o
C
RR
UNM
UND
UNM
EV
WTM
RGM
SD
TN
TX
TM
43
Islands
Java and Bali
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku, Papua, Nusa Tenggara
Total
FUTURE CHALANGES
Janssen et al. (2009) noted that to
develop a good database system, data sources
for database has to be collected, managed, and
distributed by different institutions, residing in
different locations, resulting in conceptual and
practical problems. Therefore, in the future
IAARD through IAHRI has to improve the climate
database system by concerning the following
aspects:
Spatial climate database system development
Ideally, the database system must cover
not only the information of climate station but
every hectare of the region/province, as
developed by The Climatic Research Unit
(Brohan et al., 2006) about the spatial variability
in monthly global temperature. For this aim it is
essential for IAHRI to face an interpolation
process. The choice of the best spatial
interpolator, the one that minimizes errors, is
especially important in regions with complex
geography like Indonesia, where variables may
considerably change in few hundred meters.
The best way to work with georeferred
data, like the meteorological ones, is to use a
GIS because it allows managing a great number
of data without loosing their geographic
information. One method is artificial neural
networks (ANN) that has been trying to utilize in
spatial climate interpolation (Nasseri et al.,
2008) or by using radar-rainfall product
(Mandapaka et al., 2009) and other remote
sensing technologies (Jenifer et al., 2010). To
44
1,860
482
468
345
211
3,366
CONCLUSIONS
This paper reviewed several climate
database systems development for national and
international levels in order to get better
assessment of the climate database system
development for agriculture purposes. Several
examples have been described on this paper,
such as BMKG, WMO, and New Zealand
climatic database systems. IAARD through
IAHRI has developed the daily national climate
database system for agriculture, called IAHRI
CDS. This IAHRI CDS stores a variety of climate
information from climate stations for whole
Indonesia. Since, different climate stations
report different parameters and forms, especially
rainfall data, IAHRI CDS has standardized in one
system. This system is updatable for data
entering, applications and output of analysis.
Since this product describes the climate
information for whole Indonesia, consequently,
this system has to update time to time. For that
reason, we have to cooperate with other link
institutes and also improve the distribution of
REFERENCES
Accesed
on
45
46
ISSN 1907-0799
RETENSI P OLEH OKSIDA BESI DI TANAH SULFAT MASAM SETELAH REKLAMASI LAHAN
Retention P by Iron Oxide in Acid Sulphate Soil after Land Reclamation
W. Annisa1 dan B.H. Purwanto2
1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebon Karet, Lok Tabat, Banjarbaru 70700
2
Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta
ABSTRAK
Tanah Sulfat Masam merupakan tanah yang banyak mengandung pirit (FeS2). Kesalahan reklamasi pada tanah sulfat
masam mengakibatkan timbulnya permasalahan akibat teroksidasinya pirit sehingga tanah menjadi sangat masam. Oksidasi pirit
pada tanah sulfat masam akan menghasilkan oksida-oksida besi seperti goethite (-FeOOH) dan hematit (Fe2O3). Besi oksida baik
berupa goethite maupun hematit memiliki kemampuan untuk berikatan dengan anion maupun kation dalam tanah seperti P yang
menghasilkan kompleks permukaan binuklear dengan model jerapannya Fe-O-P(O2)-O-Fe. Di lahan basah seperti lahan sulfat
masam P merupakan faktor pembatas karena asosiasinya dengan Fe tanah dan kelarutannya berubah selama proses reduksi dan
oksidasi tanah. Semakin banyak oksida besi dalam tanah maka akan semakin banyak P yang diretensi dan diduga bahwa setiap
m.mol Fe dalam tanah akan meretensi P sebanyak 0,17 m.mol.
Kata kunci : Tanah sulfat masam, besi oksida, fosfor, reklamasi
ABSTRACT
Acid Sulphate Soil is a kind of soil with high pyrite (FeS2) content. Miss management in land reclamation of acid sulphate
soil will cause pyrite oxidation that made the soil becomes very acid. Pyrite oxidation on acid sulphate soil will produce iron oxides
such as goethite (-FeOOH) and hematite (-Fe2O3). Goethite and hematite have ability to bind the anions and cations in the soil
such as phosphate which produces a complex surface binuclear with model of Fe-OP(O2)-O-Fe. On acid sulphate land because of
its association with soil Fe and its solubility alteration during reduction and oxidation processes of land, P is a limiting factor. More
iron oxide in the soil, more P is retentioned. Each m.mol Fe in soil will bind P as much as 0,17 m.mol P.
Keywords : Acid sulphate soil, iron oxide, phosphorus, reclamation
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfidik
Penurunan agrofisik
lahan
Reklamasi
Penurunan sifat-sifat
tanah
Penurunan
produktivitas
Sumber : Noor (2004)
merupakan
Jarosit
[KFe3(SO4)2(OH)6]
endapan
berwarna
kuning
pucat
yang
merupakan hasil dari oksidasi pirit pada kondisi
yang sangat masam, yaitu pada Eh di atas 400
mV dan pH kurang dari 3,7 (Dent, 1986). Reaksi
pembentukan jarosit adalah :
FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3 K+
1/3(KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO42- + 3H+
Pada pH lebih tinggi (pH>4), jarosit
menjadi tidak stabil dan berubah menjadi
goethite dan terhidrolisis menjadi besi oksida
dengan persamaan sebagai berikut (Dent, 1986):
KFe3(SO4)2(OH)6 3FeO.OH + K+ + 3H+ + 2SO42jarosit
goethite
50
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
51
52
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
atau
Sumber : Parfitt et al. (1975)
53
KESIMPULAN
Upaya reklamasi tanah sulfat masam
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan
keberadaan pirit agar tidak teroksidasi ke
permukaan sehingga pirit stabil. Teroksidasinya
pirit mengakibatkan tanah menjadi sangat
masam dan kahat hara terutama P akibat
diretensi oleh besi oksida seperti goethit dan
hematit. Keberadaan goethit dan hematit dalam
tanah berkorelasi nyata dengan retensi P
maksimum dan diduga bahwa setiap m.mol Fe
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., K. Subagyono, dan M. Al-Jabri.
2006. Konservasi dan rehabilitasi lahan
rawa
Dalam
Karakteristik
dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Berkheiser, V.E., J.J. Street, P.S.C. Rao, and
T.L. Yuan. 1980. Partitioning of
inorganic orthophosphate in soil-water
systems. Crit. Rev. Environ. Sci.
Technol. 10:179-224.
Bohn, H.L., B.L. McNeal, and G.A. OConnor.
2003. Soil Chemistry. 3rd Edition. John
Wiley and Sons. New York, USA.
Brady, K.S., J.M. Bingham, W.F. Jaynes, and
T.J. Logan. 1986. Influence of Sulphate
on Fe-oxide formation: Comparison with
a Stream Receiving Acid Main Drainage,
Clay Miner.
Breemen, N.V. and P. Buurman. 2002. Soil
Formation. Second Edition. Kluwer
Academic Publishers. New York, Boston,
Dordrecht, London, Moscow.
Cornell, R.M. and U. Schwertmann. 1996. The
Iron Oxides. VCH Verlagsgesellschaft,
Weinheim.
Dent. 1986. Acid Sulphate Soils. A Baseline for
Research and Development Publication
39. ILRI. Wageningen, Nederland.
Essington, M.E. 2004. Soil and Water Chemistry:
An integrative approach. CRC. Press.
Boca Raton, Florida, USA.
Fanning, D.S. and S.N. Burch. 1997. Acid
Sulphate Soil and Some Associated
Environmental
Problems.
Advances
Geoecology.
Gale, P.M., K.R. Reddy, and D.A. Graetz. 1994.
Phosphorus retention by wetland soils
used for treted wastewater disposal. J.
Environ. Qual. 23:370-377.
elements onto metal oxides and organomineral complexes. In P.M. Huang and
G.R. Gobran (Ed.). Biogeochemistry of
Trace Elements in tha Rhizosphere.
Elsevier.
56