Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala

1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang
otak dan serebelum.

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteriarteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 1,4 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum bertanggungjawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.

5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
6. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis
2.2 Definisi
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. (Brain Injury
Assosiation of America )
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks.Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit
kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya.Hal ini
disebabkan

oleh

karena

trauma

kepala

dapat

mengenai

berbagai

komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk


tengkorak dan otak (Soertidewi,2006).Cedera kepala merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Arif,
2000).
2.3. Etiologi
Penyebab cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Trauma oleh benda tajam


Seperti luka karena peluru, benda tajam menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan
cedera lokal.
2. Trauma oleh benda tumpul
Menyebabkan cedera menyeluruh (difus) kerusakan terjadi ketika kekuatan diteruskan ke
subtansi otak, dimana energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan
tengkorak, sehingga menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan kejaringan
otak.
2.4 Patofisiologi
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya
seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian
besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan
yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama
glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat
kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena
itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan
hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme
jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibatkan hernia melalui foramen
tentorium,

foramen

magnum,

atau

herniasi

dibawah

falks

serebrum.

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat
menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian.
Patofisiologi

cedera

kepala

dapat

dijelaskan

sebagai

berikut

1 Cedera Primer Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak,
robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater,
laserasi,kontusio).
2.Cedera Sekunder Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa
ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen
yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral
(CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :


CPP

=MAP-ICP

CPP

:Cerebral Perfusion

MAP :Mean Arterial


ICP

Pressure
Pressure

:Intra CranialPressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang,dll.
3.EdemaSitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang
menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor
AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca
influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta
menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4.Kerusakan Membran Sel
Dipicu Cainfluks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA,
protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang
berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga
integritas dan repair membran tersebut).melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan
terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5.Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi
kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut
(shrinkage).Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang
dapat dihentikan.
2.5 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek:
2.5.1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus.Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan

mobilmotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala tembus


disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput durameter
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.
2.5.2. Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala
2.5.2.1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde.
2.5.2.2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam.
2.5.2.3. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Glasgow Coma Scale
No

Respon

1 Membuka Mata:

Nilai

Spontan

Terhadap Rangsang Suara

Terhadap Nyeri

Tidak Ada

2 Verbal:
Orientasi Baik

Orientasi Terganggu

KataKata Tidak Jelas

Suara Tidak Jelas

Tidak Ada Respon

Motorik:
Mampu Bergerak

Melokalisasi Nyeri

Fleksi Normal

Fleksi Abnormal

Extensi

Tidak Mampu bergerak

Total

3 15

2.5.3. Morfologi Cedera


Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
2.5.3.1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
-Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
-Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
-Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
-Parese nervus facialis ( N VII )
2.5.3.2. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua
jenis

lesi

sering

terjadi

bersamaan.

Cedera

otak

difus

umumnya

menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis


neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.
Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak
difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera
Aksonal Difus (CAD).
2.5.3.2.1 Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi


pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri
meningea media (Sudiharto, 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan
kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.
Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan
neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang
secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan
gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior
dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan
menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral
dan

paresis

nervus

kranialis.

Ciri

perdarahan

epidural

berbentuk

bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

Gambar Epidural Hematom.(sumber: The Student Doctor Network)


2.5.3.2.2 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural
(kira-kira 30% dari cedera kepala berat).Perdarahan ini sering terjadi
akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri
dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga
akibat

laserasi

pembuluh

arteri

pada

permukaan

otak.Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural.

Gambar Subural Hematom (Sumber: The Student Doctor


Network)
2.5.3.2.3 Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari
atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.

Gambar Intraserebral Hematom (Sumber: The Student Doctor


Network)
2.5.3.2.4 Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi


dan deselerasi.Cedera ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi
pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara
dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan
sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd,
amnesia integrad (keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah
cedera). Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunya atau hilangnya kesadaran.Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran
beratnya cedera.Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa
waktu lamanya dan reversible. Penderita akan sadar kembali dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih
kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat
timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu
misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta
gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat.Cedera Aksonal Difus (CAD) adalah dimana
penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Penderita
akan dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa
waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi
dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila
bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom
seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedera batang otak primer.
2.6.Diagnosis
2.6.1.Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan

kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau
sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke)
karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian
tidak

sadar

atau

kehilangan

kesadaran

lebih

dahulu

sebelum

jatuh.

rumah

sakit.

Anamnesis lebih rinci tentang:


a.Sifat kecelakaan.
b.Saat

terjadinya,

beberapa

jam/hari

sebelum

dibawa

ke

c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.


d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si
pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya
kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia
retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu
dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung /
disorientas (kesadaran berubah)
2.5.2.Indikasi Rawat Inap:
1.Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2.Fraktur tulang tengkorak.
3.Terdapatdefisitneurologik.
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol,
pasien tidak kooperatif.
5.Adanya faktor sosial seperti:
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b.Kurangnya pendidikan orangtua/keluarga.
c.Sulitnya transportasi kerumah sakit.
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila
timbul gejala sebagai berikut:
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam
2.
3.
4.
5.
6.
7.

selama periodetidur.
Disorientasi,kacau,perubahan tingkahlaku
Nyeri kepala yang hebat,muntah,demam.
Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.
Kejang,pingsan.
Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat

dobel, atau gangguan penglihatan lain


8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi
ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan
lain

yang

tidak

segera

memberi

tanda

atau

gejala.

Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari
penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama
untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman.
2.7.Pemeriksaan
2.7.1.Pemeriksaan Fisik Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias
adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien.Status fungsi vital Yang dinilai dalam
status fungsi vital adalah:
Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera
dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus
berhati-hati

bila

ada

riwayat

dugaan

trauma

servikal

(whiplash

injury).

Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot /


hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat
kesadaran.
Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock,
terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen,
fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya
frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya
dalam

fase

akut

disebabkan

oleh

hematoma

epidural.

Status kesadaran
pasien Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow;
cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh
dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari
waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata,
respon verbal dan respon motorik.
Status neurologis
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi
adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini
perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks
patologis..
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti

trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan
dan dideteksi secepat mungkin
2.7.2.Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik
fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan
kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya
lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit.
CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis
kranii dan kejang.
2.8. Penanggulangan Perawatan
Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan
kesembilan aspek sebagai berikut.
1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya
hidrasi

berlebih

dan

hiponatremia

yang

akan

memperberat

edem

otak.

2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan.


3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah
secara

berkala

posisi

berbaring,

dan

mengisap

timbunan

sekret.

4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.
5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi.
6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk mencegah
keratitis.
7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung
kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi, baru
boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan, yang justru
akan menaikkan tekanan intrakranial.
8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan kenaikan
tekanan darah serta memperberat edem otak.
Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada
hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat
disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi
tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat
menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa,
dan mengundang terjadinya sepsis.

2.9 Penatalaksanaan Cedera Kepala


Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk
memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan
untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil
CT Scan pada pasien .Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam
prinsip penatalaksanaan pada cedera kepala agar dapat menurunkan
hantaran oksigen dengan induksi koma.Pasien yang mengalami kejang
diberikan terapi profilaksis.
2.9.1. Terapi Farmakologi
Terapi

farmakologi

menggunakan

cairan

intravena

ditujukan

untuk

mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila ditemukan


peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa cedera difus,
autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan
barbiturat.

Mekanisme

kerja

barbiturat

adalah

dengan

menekan

metabolisme serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume


darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari
peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez
menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma
dengan

hasil

pengkerutan

otak

sehingga

menurunkan

tekanan

intrakranial, mempertahankan volume intravaskular volume. Dengan


akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat
50% target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap
4-6 jam.
Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
2.9.2. Terapi Nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan
kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan
melebihi

30%

akan

meningkatkan

mortalitas.

diberikan

kebutuhan

metabolisme istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi


protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat
mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
2.9.3. Terapi Prevensi Kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK,
penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang
dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek
kindling).Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif
pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi pada
terapi prevensi kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi, gangguan
elektrolit,dan infeksi.
2.9.4. Penanganan Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan
apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual
dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga,
nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas,
bingung

dan

tingkah

laku

aneh,

pupil

anisokor,

penglihatan

dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas


yang abnormal.
2.9.5. Penanganan Cedera Kepala Sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow
Coma

Scale

Extended

(GCSE)

dengan

menambahkan

skala

Postrauma

Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami


amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.
Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi :
1.Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2.Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post
trauma
3.Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat
penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali. Gejala
terbanyak antara lain :
mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness.
Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala,
strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi)
untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi.
2.9.6. Penanganan Cedera Kepala Berat

Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:


Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini
neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan
di
ICU.
2.10 Komplikasi
2.10.1. Kejang Pasca Trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di
awalcedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah
7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom
(subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri,
GCS <10.
2.10.2. Demam dan Menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome.Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral.Penatalaksanaan

dengan

asetaminofen,

neuro

muskular

paralisis.Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat,


asetazolamid.
2.10.3. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan.Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel.Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
papil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
2.10.4. Spastisitas
Spastisitas

adalah

kecepatan

gerakan.

fungsi

tonus

Membentuk

yang

meningkat

ekstrimitas

pada

tergantung
posisi

pada

ekstensi.

Beberapa penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri,


pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi
primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan

splinting, casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen,


tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.
2.10.5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan,

antihipertensi,

antipsikotik,

buspiron,

stimulant,

benzodiazepin
dan terapi modifikasi lingkungan.
2.10.6. Mood, Tingkah Laku dan Kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan
fisik

setelah

cedera

Ford,menunjukkan

kepala
tahun

dalam
setelah

jangka
cedera

lama.
kepala

Penelitian
masih

Pons

terdapat

gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat
pada 74%,gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan
berpikir 67%.Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk
perbaikan gangguan kognitif.Methyl phenidate sering digunakan pada
pasien

dengan

problem

hipoarousal.Dopamine,

gangguan

Amantadinae

perhatian,

dilaporkan

dapat

inisiasi

dan

memperbaiki

fungsi perhatian dan fungsi luhur.Donepezil dapat memperbaiki daya


ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu.Depresi mayor dan minor
ditemukan 40-50%. Faktor risiko depresi pasca cedera kepala adalah
wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku
dapat membaik dengan antidepresan.
2.10.7. Sindroma Post Kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan
pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah
lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi,
memori, Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

2.11. Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang
dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki
nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat
mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai
mortalitas 5-10%.Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu
diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu
berkonsentrasi dan irritable.
2.12. Pengukuran Outcome
2.12.1. Glasgow Outcome Scale (GOS)
Glasgow Outcome Scale (GOS) terdiri dari 5 kategori, antara lain:
-Meninggal
-Status vegetative
-Kecacatan yang berat
-Kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke
sekolah dan pekerjaannya)
-Kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).
2.12.2. Disability Rating Scale (DRS)
Disability Rating Scale (DRS) merupakan skala tunggal untuk melihat progress
perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8
kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan.
2.12.3. Functional Independent Measure (FIM)
Pengukuran outcome dengan menggunakan Functional Independent Measure
(FIM) banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 item skala yang
digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan
diri, kognitif.

Anda mungkin juga menyukai