Anda di halaman 1dari 55

BAB II

STATUS PASIEN

I.Identitas Pasien

Nama : Sumingan

Umur : 67 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jl. Dr. Wahidin

Tanggal Masuk : 11 April 2017

Jam Masuk : 13.30 WIB

II.Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri pinggang

Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang ke RS dengan keluhan nyeri pinggang sejak


5 bulan yang lalu, nyeri pinggang terasa semakin
sering sakit 2 bulan sebelum Os masuk ke RS. Os
sebelumnya pernah jatuh dari tangga rumah 1x dan
jatuh dari motor 3 bulan yang lalu. Os mengeluh
pinggang terasa sakit bila beraktifitas, demam (-), sesak
(+), bak (+) N, bab (+)N.

Riwayat Penyakit Dahulu : cardiomegali, DM tipe 2

Riwayat Pemberian Obat :-

Riwayat Alergi :-
III.Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


B. Kesadaran : Compos mentis
C. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Heart Rate : 80x/menit
Respiration Rate: 18x/menit
Temperature : 36,8 C
D. Status Generalis
1. Kepala :
Kepala : normocepali
Mata : conjungtiva palpebra anemis -
Hidung : deviasi septum nasi - , sekret -
Mulut : mukosa bibir kering - , sianosis -

2. Leher : pembesaran KGB - , thyroid -, jvp -

3. Thorax (pulmo)
Depan
Inspeksi : simetris, pernafasan tertinggal -
Palpasi : stem premitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : sonor
Batas paru hepar R/A ICS V/VI
Auskultasi : SP vesikuler (+/+)
ST Ronki (basah/kering) (-/-), wheezing (-/-)

Belakang
Inspeksi : simetris
Palpasi : stem premitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : SP vesikuler (+/+)
ST Ronki (basah/kering) (-/-), wheezing (-/-)
4. Thorax (Cardio)
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS
Batas jantung kanan linea parasternalis dextra ICS
Batas jantung Kiri Linea Midclavicula sinistra, ICS
Auskultasi : HR = 82 x/i
Desah (-)
5. Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan abdomen (-)
Hepar :Tidak teraba
Perkusi : Timpani

6. Genitalia : Tidak diperiksa


7. Ektremitas
Superior : Oedem (-/-), akral dingin (-/-)
Inferior : Oedem (-/-), akral dingin (-/-)

IV. Diagnosa Kerja : DM tipe II + CHF + LBP

VI. Anjuran : Darah Lengkap, KGD 2 jam PP, lipid profil, EKG

Hasil lab

KGD 2 jam pp 110417 : 475 mg/dl

KGD 2 jam pp 120417 : 343 mg/dl

KGD 2 jam pp 130417 : 308 mg/dl

KGD 2 jam pp 140417 : 225 mg/dl

KGD 2 jam pp 150417 : 206 mg/dl


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes mellitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2010


adalalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,kerja insulin atau kedua duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh. Dan menurut World Health Organization (WHO),
diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.

2.2Klasifikasi Diabetus Melitus

Diabetus Melitus Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus


defisiensi insulin absolut.
- autoimun
- idiopatik
Diabetus Melitus Tipe 2 Mulai yang pedominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relaive sampai
yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin
Diabetus Melitus Tipe Lain A. Defek genetik fungsi sel beta :
MODY (Maturity OnsetDiabetic
of Young)
B. Defek genetika kerja insulin :
resistensi insulin tioe A, l
eprechaunism2,sindrom Rabson
Mendenhail diabetes lipoatrofik,
lainnya
C. Penyakit Eksokrin Pankreas :
pankreatitis, tumor pankreas,dll
D. Endokrinopati : akromegali,
hipertiroidisme, dll
E. Karena Obat/zat kimia : asam
nikotinat, glukokortikoid,dll
F. Infeksi : rubella kongenital,
G. Imunologi (jarang)
H. Sindroma genetik lain: sindrom
turner, dll
Diabetes Kehamilan
Tabel 1 Klasifikasi Diabetes Melitus

2.3 Etiologi

Sesuai dengan klasifikasi yang telah disebutkan sebelumnya maka


penyebabnyapun pada setiap jenis dari diabetes juga berbeda. Berikut ini
merupakan beberapa penyebabdari penyakit diabetes mellitus:6

1. Diabetes Melitus tipe 1 (non-insulin-dependent diabetes mellitus/ NIDDM


)
a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans
dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.

2. Diabetes Tipe II (insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM)


Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui.
Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.
Faktor-faktor resiko :
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di
atas 65 th)
Obesitas
Riwayat keluarga

2.4 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat
terjadi melalui 3 jalan, yaitu: a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh
dari luar (virus,zat kimia,dll) b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa
pada kelenjar pankreas c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di
jaringan perifer.7

2.5 Patofisologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya
aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya
bersifat relatif dan tidak absolut8,10
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

2.6 Faktor resiko


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah,
faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain.
Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan
dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi:
1. Riwayat keluarga dengan DM (first degree relative),
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif.
Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut
yang menderita Diabetes Mellitus.
2. Umur 45 tahun,
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes
Mellitus adalah > 45 tahun. 6. Riwayat persalinan Riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000gram
3. Etnik,
4. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000
gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat
lahir dengan berat badan rendah(2,5 kg).
Faktor risiko yang dapatdiubah meliputi :
1. Obesitas berdasarkan IMT 25kg/m2 atau lingkar perut 80 cm
pada wanita dan 90 cm pada laki-laki,
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Kurangnya aktivitas fisik,
3. Hipertensi,
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat
dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau
meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh
darah perifer.
4. Dislipidemi dan diet tidak sehat.
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan
plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat
pada pasien Diabetes.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah
1. Penderita polycystic ovarysindrome (PCOS),
2. Penderita sindrom metabolikmemiliki riwatyat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya,
3. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau
peripheral rrterial Diseases (PAD),
4. Konsumsi alkohol, kebiasaan merokok,
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan
peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan
pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional
kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan
dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam
peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme
gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan
mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.
Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi
etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof
wiski, 240ml wine atau 720 ml.
5. Faktor stres,
6. Jenis kelamin,
7. Konsumsi kopi dan kafein.

2.7 Gejala klinis


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala akut
(khas) diabetes melitus yaitu :
- Poliphagia (banyak makan)
- Polidipsia (banyak minum),
- Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari),

- Nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu),

- Mudah lelah.

Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir 4000 gram.

2.8 Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas
hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis,
berat badan yang menurun cepat .
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia> 45 tahun, berat badan lebih,
hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi >
4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO).

200 DM
TTGO

GD 2 JAM PASCA
140-199 TGT
PEMBERIAN

140 Normal

Gambar 1 Langkah diagnostik DM dan TGT dan TTGO

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkankedalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT), glukosa darahpuasa terganggu (GDPT).

1. Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):


Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGOglukosa plasma 2 jam <140 mg/dl

2. Toleransi glukosa terganggu (TGT):


Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dlDiagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c 5,7-6,4%.

Tabel 2 Nilai KGD setelah diberi glukosa 72 gram :


Plasma Vena Darah Kapiler
Diabetes Melitus
Puasa 140 120
2 jam PP 200 200
Toleransi Glukosa Tertentu
Puasa 140 140
2 jam PP 140-200 140-200

Tabel 3 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus menurut PERKENI 2015

Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral
(TTGO) dengan beban 75 gram. (peringkat bukti B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance
Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
.
2.9 Penatalaksanaan diabetes melitus
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah
:
- Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas
penyulitmikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.


Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit

Gejala yang dialami oleh pasien.

Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa

darah.

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung

koroner, obesitas, danriwayat penyakit keluarga (termasuk


penyakit DM dan endokrin lain).

Riwayat penyakit dan pengobatan.

Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status

ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.

Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid,

paru dan jantung


Pemeriksaan kaki secara komprehensif

c. Evaluasi Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien

yang mencapaisasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik


stabil. dan 4 kali dalam 1 tahunpada pasien dengan perubahan
terapi atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.

d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang
baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :

Profil lipid dan kreatinin serum.

Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.

Elektrokardiogram.

Foto sinar-X dada

Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif

oleh dokter spesialismata atau optometris.

Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk

mengenali faktor risiko


prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi, denyut pembuluh darah
kaki, tes monofilament10 g, dan Ankle Brachial Index (ABI).
2.9.1 Pengaturan Diet DM
Target diet DM adalah menuju ke BB ideal (BBI). Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masingmasing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%
danprotein 10-15%.Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan
BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body
Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan
dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk mengetahui
nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:

BeratBadan (Kg) BMI: = Berat Badan (kg)


Tinggi Badan (m)Xtinggi Badan (m)

Interpretasi :

18,5 = Kekurangan BB

18,5-24,9 = Normal (ideal)

25,0-29,9 = Kelebihan berat badan

30,0 = Kegemukan (Obesitas)

: Untuk Mengatur pola diet DM, diperlukan rumus:

BBI = (TB-100) 10%

Jika perempuan 150 cm

Jika laki-laki 160 cm

BBI = (TB-100)

Jika perempuan 150 cm

Jika laki-laki 160 cm

- Karbohidrat : 60-70%
- Protein : 10-15%
- Lemak : 20-25%

BMR Laki-laki = 30 x BBI

BMR Perempuan = 25 x BBI


Jadi diet DM = BMR + Faktor koreksi

Faktor koreksi :

1. Usia
40 tahun : - 5%
40 tahun : 0%
2. Aktivitas
Ringan : +10%
Sedang : +205
Berat : +30%
3. Stress
Trauma, Infeksi : 10-30 %
4. RBW
Under weight 90% : +20%
Normo weight 90-110% : 0%
Overweight : -10%
Obesitas : -20%
2.9.2 Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,
Progresive, Endurance (CRIPE).Training sesuai dengan kemampuan
pasien.Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit.Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
2.9.3 Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi.Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada
kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan
tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit
menahun.
2.10 Medikamentosa
1. Obat hipoglikemik oral (OHO)
OHO dimulaidengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuairespons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan
glinid
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin,tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa
Indikasi Pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) :
1. Diabetes melitus tipe 2
2. Usia 40 tahun
3. BB normal/gemuk
4. Menderita DM 5 tahun
5. Belum pernah mendapat insulin atau pernah tapi 40 UI

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Golongan Sulfonil Urea (Klomprepamid, Glibenklamid)
Obat Dosis Awal Dosis Max
Glibenklamid 2,5 mg 15mg
Glikoid 80 mg 240mg
Glipizid 5mg 20mg
Glikoidon 30mg 120mg
Klorpropamid 50mg 500mg

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkansekresi


insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakanpilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normaldan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasiendengan berat badan lebih.Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan padaberbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjaldan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidakdianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengansulfonilurea,dengan penekanan pada meningkatkan
sekresiinsulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obatyaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepatsetelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepatmelalui hati.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin
1.Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan
padaPeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma(PPAR-),
suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensiinsulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkutglukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagaljantung klas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensicairan dan juga pada
gangguan faal hati.Pada pasien yangmenggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauanfaal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi
produksiglukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaikiambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandangdengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5
mg/dL)dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderunganhipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular,
sepsis,renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan
efeksamping mual.Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapatdiberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehinggaGLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentukaktif. Aktivitas GLP-1
untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresiglukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
E.Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes
oral jenisbaru yangmenghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambattransporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain:Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.

Tabel 5 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di


Indonesia
Golongan Obat Cara Kerja Efek Samping Penurunan
Utama HbA1c
Utama
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik 1,0-2,0%
sekresi insulin hipoglikemia

Glinid Meningkatkan BB naik 0,5-1,5%


hipoglikemia
sekresi insulin
Metformin Menekan produksi Dispepsia, diare, 1,0-2,0%
glukosa hati & asidosis laktat
menambah
sensitifitas
terhadap insulin

Penghambat Menghambat Flatulen, tinja 0,5-0,8%


Alfa-Glukosidase absorpsi glukosa lembek
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4%
sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat Meningkatkan Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV sekresi insulin,
menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat ISK 0,5-0,9%
SGLT-2 reabsorpsi
glukosa ditubuli
distal ginjal
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empatjenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan
menengah(premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah
terjadinyahipoglikemia.
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam
babkomplikasi akut DM.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi
terhadapinsulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau
resistensiinsulin.

Jenis Insulin Awitan Puncak LamaKerja Kemasan


(onset) Efek

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Lispro(Humalog) 5-15 1-2 jam 4-6 jam Pen/cartridge


Insulin Aspart(Novorapid) menit Pen, vial
Insulin Glulisin(Apidra) Pen

Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )

Humulin R 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial,


Actrapid menit pen/cartridge
Sansulin
Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)
Humulin 1,54 jam 4-10 jam 8-12 jam Vial,
N pen/cartridge
Insulatard
Insuman
Basal

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)


Insulin Glargine(Lantus) 13 jam Hampir 12-24 jam Pen
Insulin Detemir(Levemir) tanpa
puncak

Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin Analog)


Degludec (Tresiba)* 30-60 Hampir Sampai 48
menit tanpa jam
Puncak
Campuran (Premixed) (Insulin Manusia)
70/30 Humulin 30-60 312 jam
(70%NPH, 30% reguler) menit
70/30 Mixtard
(70%NPH, 30% reguler)

Campuran (Premixed, Insulin Analog)


75/25 Humalogmix 12-30 1-4 jam
(75% protamin lispro,25% menit
lispro)
70/30 Novomix
(70%protamine aspart, 30%
aspart)

2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untukpengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasaninsulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yangbiasanya terjadi pada pengobatan insulin
ataupun sulfonilurea.Agonis GLP-1 bahkanmungkin menurunkan berat
badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obatini antara lain rasa
sebah dan muntah.

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengandosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuaidengan respons kadar glukosa
darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal ataukombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi,harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyaimekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darahbelum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHOdari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO denganinsulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapidengan kombinasi tiga OHO.
(lihat bagan 2 tentang algoritmapengelolaan DM tipe-2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakanadalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerjamenengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan padamalam hari
menjelang tidur.Dengan pendekatan terapi tersebutpada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baikdengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerjamenengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilaikadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darahsepanjang hari
masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemikoral dihentikan dan
diberikan insulin saja.
2.9 Komplikasi diabetes melitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
- Hipoglikemia,
Adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal (< 50
mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang
dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah
meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma
Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
- Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler
yangumum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), mengalamipenyakit jantung
koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
- Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama
terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi.

2.10 Pencegahan
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu7 :
2.11.1 Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan
kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko
lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan
multimitra.Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya
adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa
konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang
kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas
adalah kurang baik bagi kesehatan.

2.11.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada


orangorang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka
yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM
diantaranya :

a. Kelompok usia tua (>45tahun)

b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27


(kglm2))

c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)

d. Riwayat keiuarga DM

e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.

f. Disiipidemia (HvLTrigliserida>250mg/dl).

g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)

Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang


berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya untuk
menghilangkan faktor-faktor tersebut.Oleh karena sangat penting
dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan
pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan
jenis makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:,
dan risiko merokok bagi kesehatan.

2.11.3 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan
memberikan pengobatan sejak awal penyakit.Dalam pengelolaan
pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat
mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar
utama pengelolaan DM meliputi:

a. penyuluhan

b. perencanaan makanan

c. latihan jasmani

d. obat berkhasiat hipoglikemik.

2.11.4 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan


lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan
tersebut menetap.Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar
disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan,
misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung,
mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain.
3.1 Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan


curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang.
Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi
suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan -
perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel. Salah satu respon hemodinamik yang
tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung
atau preload. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan
edema paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang
sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam waktu singkat
menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat
mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis maka keadaan ini disebut gagal
jantung kongestif akut (Dumitru, I., 2010).
2.2 Epidemiologi

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit,
4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan
2,3 3,7 per 1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung
umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi
menanjak tajam pada usia 75 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar
0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74
tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam
4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih
dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan
550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan
oleh gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang
pasti (Maggioni, A., 2005).

2.3 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi


cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%
pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan
faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung
(Rodeheffer, R., 2005).

Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung (Jackson, G., 2000).

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang


bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan


(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi
septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan
kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan
dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat
pengisian ventrikel (Rodeheffer, R., 2005).

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun


saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan
(Rodeheffer, R., 2005).

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal


jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

2.4 Klasifikasi

Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam


pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
New York Heart Association (Santoso, A., 2007). Klasifikasi berdasarkan Killip
digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian:

Derajat I : Tanpa gagal jantung


Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3
galop
dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis).

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda


kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang
berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status
perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans,
hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang
mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien
dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas
(warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)


Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold)
Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold)

Pembahagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan


fungsional jantung yaitu:

Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa


keluhan.
Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih
berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 3 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan.
Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun
dan
harus tirah baring.

2.5 Patogenesis
2.6 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan


pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks.

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang


menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin Angiotensin
Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama


yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi
ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks.

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang


menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).

Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada


fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA
menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide
yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi.

Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,


khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron
dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya


pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium.

Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan


derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung
sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski
dapat timbul sendiri.
(Harbanu
H.M, 2007)

Manifestasi Klinis Umum Deskripsi Mekanisme


Sesak napas (juga disebut dyspnea) Sesak napas selama Darah dikatakan
melakukan aktivitas backs up di
(paling sering), saat pembuluh darah paru
istirahat, atau saat (pembuluh darah
tidur, yang mungkin yang kembali dari
datang tiba-tiba dan paru ke jantung)
membangunkan. Pasien karena jantung tidak
sering mengalami dapat
kesulitan bernapas mengkompensasi
sambil berbaring datar suplai darah.Hal ini
dan mungkin perlu menyebabkan cairan
untuk menopang tubuh bocor ke paru-paru.
bagian atas dan kepala
di dua bantal. Pasien
sering mengeluh
bangun lelah atau
merasa cemas dan
gelisah.
Batuk atau mengi yang persisten Batuk yang Cairan menumpuk di
menghasilkan lendir paru-paru (lihat di
darah-diwarnai putih atas).
atau pink.
Penumpukan kelebihan cairan dalam Bengkak pada Aliran darah dari
jaringan tubuh (edema) pergelangan kaki, kaki jantung yang
atau perut atau melambat tertahan
penambahan berat dan menyebabkan
badan. cairan untuk
menumpuk dalam
jaringan. Ginjal
kurang mampu
membuang natrium
dan air, juga
menyebabkan retensi
cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat
sepanjang waktu dan memompa cukup
kesulitan dengan darah untuk
kegiatan sehari-hari, memenuhi kebutuhan
seperti belanja, naik jaringan tubuh.
tangga, membawa
belanjaan atau berjalan.
Kurangnya nafsu makan dan mual Perasaan penuh atau Sistem pencernaan
sakit perut. menerima darah yang
kurang, menyebabkan
masalah dengan
pencernaan.
Kebingungan dan gangguan berpikir Kehilangan memori Perubahan pada
dan perasaan menjadi tingkat zat tertentu
disorientasi. dalam darah, seperti
sodium, dapat
menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar- Untuk "menebus"
debar, yang merasa kerugian dalam
seperti jantung Anda memompa kapasitas,
balap atau berdenyut. jantung berdetak
lebih cepat.

( American Heart Association, 2011)


Gambar menunjukkan gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti

Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria


utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor.

Kriteria Mayor:
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena pada leher
Rales
Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
Edema paru akut
S3 ( Suara jantung ketiga )
Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
Hepatojugular refluks
Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan

Kriteria Minor:
Bilateral ankle edema
Batuk nokturnal
Dyspnea pada aktivitas biasa
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)

Kriteria Minor diterima hanya jika mereka tidak dapat dikaitkan dengan kondisi
medis yang lain (seperti hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis,
sirosis, asites, atau sindrom nefrotik).

Kriteria Framingham Heart Study adalah 100% sensitif dan 78% khusus untuk
mengidentifikasi orang dengan gagal jantung kongestif yang pasti.

( Medical Criteria.com, 2010 )


2.7 Diagnosis

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena
jugular, hepatomegali dan edema tungkai. Dari hasil anamnesis perlu juga
diketahui sekiranya pasien mempunyai riwayat penyakit terdahulu seperti
penyakit arteri koroner yang signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi,
diabetes, gagal ginjal atau penggunaan alkohol yang signifikan. Pemeriksaan fisik
difokuskan pada pendeteksian kehadiran cairan ekstra dalam tubuh seperti suara-
suara napas tambahan, pembengkakan kaki serta pengkarakteristikan yang hati-
hati kondisi dari jantung seperti nadi, ukuran jantung, suara-suara jantung, dan
desah jantung (Nieminen, M.S., 2005).

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosisnya dapat


ditegakkan dengan setidaknya dijumpai 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan
2 kriteria minor dari Framingham.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya


gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklid, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan
foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic
ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada
tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut
kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing
pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat pula
tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak
terkena adalah bagian kanan (Singh, V., 2010).

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada


hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispnea
pada pasien sangat kecil kemungkinannya.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna


pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi
atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai


penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat
terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium
sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring.

Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongestif hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan
plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated
ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi
dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel
kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk
mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure (Lee, T.H., 2005).

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis gagal jantung kongestif mungkin dapat ditentukan dengan


mengamati beberapa kombinasi manifestasi klinis gagal jantung, bersama dengan
karakteristik yang ditemui dari satu bentuk etiologi penyakit jantung. Gagal
jantung sulit dibedakan dengan penyakit paru. Emboli paru juga ada dalam
manifestasi gagal jantung, tetapi hemoptisis, nyeri dada pleuritik, angkatan
ventrikel kiri dan karakteristik yang tidak cocok antara ventilasi dan perfusi harus
mengarah ke diagnosis ini.

Edema pergelangan kaki mungkin disebabkan oleh vena varikosa, edema


siklik, atau efek gravitasi tetapi pada pasien ini tidak ada hipertensi vena jugularis
saat istirahat atau dengan penekanan di atas abdomen. Edema sekunder terhadap
penyakit ginjal biasa dapat dikenal dengan tes fungsi ginjal yang sesuai dan
urinalisis, serta jarang berkaitan dengan peningkatan tekanan vena jugularis.
Pembesaran hati dan asites terjadi dalam pasien dengan sirosis hepatitis dan juga
dapat dibedakan dari gagal jantung dengan tekanan vena jugularis yang normal
dan tidak adanya refluks abdominojugularis yang positif. Diagnosis banding untuk
gagal jantung dirincikan sebagai berikut (Davies, M.K., 2000):
Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
Trauma Akut
Altitude sickness
Asma
Syok kardiogenik
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
Overdosis Obatan
Infark miokard
Pneumonia
Fibrosis Pulmonal
Respiratory failure
Sepsis

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan


secara farmakologis dan non farmakologis. Keduanya dibutuhkan karena akan
saling melengkapi. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut atau kronik ditujukan
untuk memperbaiki gejala dan prognosis, meskipun penatalaksanaan secara
individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat
kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya
(Santoso, A., 2007).

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain


adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan
serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita yang kegemukan.
Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan
perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif
berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan
hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat
dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan
pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan
prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer
maupun pengguna katup prosthesis (Santoso, A., 2007).

Gagal jantung kronis bisa terkompensasi atau dekompensasi. Gagal


jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan edema paru
tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul
seperti episode edema paru akut, malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak
nafas saat beraktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan
memperbaiki kualitas hidup.

Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain
seperti, diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors,
Beta-blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton,
vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, dan obat positif
inotropik. Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka
pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan immobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita
dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel
(Millane, T., 2000).

Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dyspnea,


takikardia serta cemas. Pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias yang terdiri daripada hipotensi (tekanan darah sistolik <
90 mmHg), oliguria dan cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa
penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta
syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokardia, aritmia (fibrilasi atrium
maupun ventrikel) atau adanya masalah mekanis seperti ruptur otot papilari akut
maupun defek septum ventrikel pasca infark (Maggioni, A.P., 2005).

Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana


memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongestif paru, dan perbaikan oksigenasi
jaringan. Menempatkan penderita pada posisi duduk disertai dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi dengan masker merupakan tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta urin output dan oksigenasi jaringan
dilakukan di ruangan khusus.

Base excess (BE) menunjukkan perfusi jaringan. Nilai BE yang rendah


menunjukkan adanya asidosis laktat akibat daripada metabolisme anaerob dan
umumnya mempunyai prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki
asidosis dan pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter.
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid
(NSAID), sehingga harus dihindari (Millane, T., 2000).

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam


penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat mengurangkan kecemasan,
nyeri, stress serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan
preload dan tekanan pengisian ventrikel serta edema paru. Dosis pemberian
berbentuk 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai dengan kebutuhan.

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenous) mengurangi preload


serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta
gagal jantung. Pada dosis rendah, nitrat bertindak sebagai vasodilator pada vena
dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi pada arteri termasuk
arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi
keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator pada pasien


dengan gagal jantung refrakter dan pasien dengan gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi. Pemberian nitropusside harus dihindari pada pasien dengan gagal
ginjal berat dan mempunyai gangguan fungsi hati. Dosis pemberian adalah 0,3
0,5 g/kg/menit (Santoso, A., 2007).

Nesiritide adalah peptide natriuretik yang bersifat sebagai vasodilator.


Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan oleh
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal
serta dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar
epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan
tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, dan stroke volume
karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1
menit dan dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit.

Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100
mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi
jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg (Maggioni, A.P., 2005).

Pemberian dopamine dengan dosis 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi


pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah
jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik
alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.
Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, sehingga
menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan
meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt. Sekiranya
bertujuan untuk meningkatkan curah jantung, diperlukan dosis yang lebih tinggi
yaitu 2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi beta blocker,
dosis yang dibutuhkan adalah lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt.

Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi


AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan
untuk terapi penderita gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat
terapi beta blocker yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena
25 g/kg bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis
enoximone 0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt (Maggioni,
A.P., 2005).

Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang


disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan
syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi
penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa
digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu
dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1
g/kg/mnt.

Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan


terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang sering adalah
penyakit jantung koroner dan sindroma koroner akut. Apabila penderita datang
dengan hipertensi emergensi, pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload
dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood
diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun antagonis kalsium
intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda
kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload,
meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi
sesuai dengan penyakit dasar.

Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah pamasangan pompa


balon intra aorta, pacu jantung (pace maker), implantable cardioverter defibrilator,
dan ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
gagal jantung berat atau dengan syok kardiogenik yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung (pace maker) bertujuan untuk mempertahankan laju
jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan
pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular
derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa
mekanis yang mengantikan sebagian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik
(Maggioni, A.P., 2005).

Berikut pada mukasurat selanjutnya merupakan alogrithma untuk


penanganan kasus gagal jantung kongestif:
2.10 Komplikasi

Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya
mengalami gangguan pertumbuhan. Umumnya, berat badan akan mengalami
hambatan yang lebih berat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan
gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru
dan selanjutnya dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan akibat daripada
kompensasi jantung dan selanjutnya menimbulkan dyspnea. Pada gagal jantung
kanan dapat terjadinya hepatomegali, asites, bendungan pada vena perifer dan
gangguan gastrointestinal. Menurut Brunner & Suddarth, potensial komplikasi
mencakup syok kardiogenik, episode tromboemboli, efusi perikardium, dan
tamponade perikardium.

2.11 Prognosis

Prognosis CHF tergantung dari derajat disfungsi miokardium. Menurut


New York Heart Assosiation, CHF kelas I-III mempunyai kadar mortalitas 1
tahun sekitar 25% dan kadar mortalitas 5 tahun sekitar 52%. Sedangkan kadar
mortalitas 1 tahun untuk CHF kelas IV adalah sekitar 40%-50%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bennett,P.EpidemiologyofType2DiabetesM

llitus.InLeRoithet.al,DiabetesMillitusaFundamentalandClinical

Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1):

544-7.

2. Sujaya, I Nyoman. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali

sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.

Jurnal Skala Husada. 2009;6(1);75-81.

3. PENATALAKSANAAN DM SESUAI KONSESNSUS

PERKENI 2015

4. Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Edisi III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008

5. Wild S , Roglic G, GreenA, Sicree R, king H.Global prevalence

of diabetes: estimates for the year 2000 and projections for

2030. Diabetic care. 2004;27(3);1047-53.

6. Price, Sylvia A.2005.Patofisiologi volume Edisi 6.Jakarta:EGC

7. Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe

2 di Puskesmas Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah

Nasional;2010 [cited 2010 feb 17]. Available from


:http://lib.Atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=

61&src=a&id=186192

8. Bennett,P.EpidemiologyofType2DiabetesMi

llitus.InLeRoithet.al, DiabetesMillitusaFundamentalandClinical

Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1):

544-7

9. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in

preventing type 2 diabetes development: focus on its

antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed Central

Cardiovascular Diabetology.2011; 10(2);1-15.

10.Sujaya, I Nyoman. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali

sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.

Jurnal Skala Husada. 2009;6(1);75-81

11. Sudoyo,Aru W,dkk. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM

Jilid III Edisi V.Jakarta:2006

12. Jurnal kedokteran Universitas Lampung. Fatimah,Noor


Restyana. DIABETES MELITUS TYPE 2. J MAJORITY
.Volume 4 Nomor 5. Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai