STATUS PASIEN
I.Identitas Pasien
Nama : Sumingan
Umur : 67 Tahun
Pekerjaan : Swasta
II.Anamnesis
Riwayat Alergi :-
III.Pemeriksaan Fisik
3. Thorax (pulmo)
Depan
Inspeksi : simetris, pernafasan tertinggal -
Palpasi : stem premitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : sonor
Batas paru hepar R/A ICS V/VI
Auskultasi : SP vesikuler (+/+)
ST Ronki (basah/kering) (-/-), wheezing (-/-)
Belakang
Inspeksi : simetris
Palpasi : stem premitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : SP vesikuler (+/+)
ST Ronki (basah/kering) (-/-), wheezing (-/-)
4. Thorax (Cardio)
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS
Batas jantung kanan linea parasternalis dextra ICS
Batas jantung Kiri Linea Midclavicula sinistra, ICS
Auskultasi : HR = 82 x/i
Desah (-)
5. Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan abdomen (-)
Hepar :Tidak teraba
Perkusi : Timpani
VI. Anjuran : Darah Lengkap, KGD 2 jam PP, lipid profil, EKG
Hasil lab
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.3 Etiologi
2.4 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat
terjadi melalui 3 jalan, yaitu: a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh
dari luar (virus,zat kimia,dll) b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa
pada kelenjar pankreas c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di
jaringan perifer.7
2.5 Patofisologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya
aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya
bersifat relatif dan tidak absolut8,10
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
- Nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu),
- Mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir 4000 gram.
2.8 Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas
hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis,
berat badan yang menurun cepat .
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia> 45 tahun, berat badan lebih,
hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi >
4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO).
200 DM
TTGO
GD 2 JAM PASCA
140-199 TGT
PEMBERIAN
140 Normal
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkankedalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT), glukosa darahpuasa terganggu (GDPT).
Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral
(TTGO) dengan beban 75 gram. (peringkat bukti B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance
Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
.
2.9 Penatalaksanaan diabetes melitus
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah
:
- Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas
penyulitmikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.
darah.
ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.
c. Evaluasi Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang
baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
Elektrokardiogram.
Interpretasi :
18,5 = Kekurangan BB
BBI = (TB-100)
- Karbohidrat : 60-70%
- Protein : 10-15%
- Lemak : 20-25%
Faktor koreksi :
1. Usia
40 tahun : - 5%
40 tahun : 0%
2. Aktivitas
Ringan : +10%
Sedang : +205
Berat : +30%
3. Stress
Trauma, Infeksi : 10-30 %
4. RBW
Under weight 90% : +20%
Normo weight 90-110% : 0%
Overweight : -10%
Obesitas : -20%
2.9.2 Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,
Progresive, Endurance (CRIPE).Training sesuai dengan kemampuan
pasien.Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit.Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
2.9.3 Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi.Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada
kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan
tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit
menahun.
2.10 Medikamentosa
1. Obat hipoglikemik oral (OHO)
OHO dimulaidengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuairespons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan
glinid
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin,tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa
Indikasi Pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) :
1. Diabetes melitus tipe 2
2. Usia 40 tahun
3. BB normal/gemuk
4. Menderita DM 5 tahun
5. Belum pernah mendapat insulin atau pernah tapi 40 UI
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengandosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuaidengan respons kadar glukosa
darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal ataukombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi,harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyaimekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darahbelum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHOdari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO denganinsulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapidengan kombinasi tiga OHO.
(lihat bagan 2 tentang algoritmapengelolaan DM tipe-2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakanadalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerjamenengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan padamalam hari
menjelang tidur.Dengan pendekatan terapi tersebutpada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baikdengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerjamenengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilaikadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darahsepanjang hari
masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemikoral dihentikan dan
diberikan insulin saja.
2.9 Komplikasi diabetes melitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
- Hipoglikemia,
Adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal (< 50
mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang
dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah
meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma
Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
- Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler
yangumum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), mengalamipenyakit jantung
koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
- Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama
terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi.
2.10 Pencegahan
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu7 :
2.11.1 Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan
kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko
lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan
multimitra.Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya
adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa
konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang
kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas
adalah kurang baik bagi kesehatan.
d. Riwayat keiuarga DM
f. Disiipidemia (HvLTrigliserida>250mg/dl).
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit,
4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan
2,3 3,7 per 1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung
umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi
menanjak tajam pada usia 75 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar
0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74
tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam
4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih
dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan
550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan
oleh gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang
pasti (Maggioni, A., 2005).
2.3 Etiologi
Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung (Jackson, G., 2000).
2.4 Klasifikasi
2.5 Patogenesis
2.6 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Kriteria Mayor:
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena pada leher
Rales
Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
Edema paru akut
S3 ( Suara jantung ketiga )
Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
Hepatojugular refluks
Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan
Kriteria Minor:
Bilateral ankle edema
Batuk nokturnal
Dyspnea pada aktivitas biasa
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)
Kriteria Minor diterima hanya jika mereka tidak dapat dikaitkan dengan kondisi
medis yang lain (seperti hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis,
sirosis, asites, atau sindrom nefrotik).
Kriteria Framingham Heart Study adalah 100% sensitif dan 78% khusus untuk
mengidentifikasi orang dengan gagal jantung kongestif yang pasti.
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena
jugular, hepatomegali dan edema tungkai. Dari hasil anamnesis perlu juga
diketahui sekiranya pasien mempunyai riwayat penyakit terdahulu seperti
penyakit arteri koroner yang signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi,
diabetes, gagal ginjal atau penggunaan alkohol yang signifikan. Pemeriksaan fisik
difokuskan pada pendeteksian kehadiran cairan ekstra dalam tubuh seperti suara-
suara napas tambahan, pembengkakan kaki serta pengkarakteristikan yang hati-
hati kondisi dari jantung seperti nadi, ukuran jantung, suara-suara jantung, dan
desah jantung (Nieminen, M.S., 2005).
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongestif hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan
plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated
ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi
dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel
kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk
mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure (Lee, T.H., 2005).
2.9 Penatalaksanaan
Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain
seperti, diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors,
Beta-blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton,
vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, dan obat positif
inotropik. Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka
pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan immobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita
dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel
(Millane, T., 2000).
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100
mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi
jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg (Maggioni, A.P., 2005).
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya
mengalami gangguan pertumbuhan. Umumnya, berat badan akan mengalami
hambatan yang lebih berat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan
gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru
dan selanjutnya dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan akibat daripada
kompensasi jantung dan selanjutnya menimbulkan dyspnea. Pada gagal jantung
kanan dapat terjadinya hepatomegali, asites, bendungan pada vena perifer dan
gangguan gastrointestinal. Menurut Brunner & Suddarth, potensial komplikasi
mencakup syok kardiogenik, episode tromboemboli, efusi perikardium, dan
tamponade perikardium.
2.11 Prognosis
1. Bennett,P.EpidemiologyofType2DiabetesM
llitus.InLeRoithet.al,DiabetesMillitusaFundamentalandClinical
Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1):
544-7.
PERKENI 2015
61&src=a&id=186192
8. Bennett,P.EpidemiologyofType2DiabetesMi
llitus.InLeRoithet.al, DiabetesMillitusaFundamentalandClinical
Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1):
544-7