Anda di halaman 1dari 6

37

PERTEMUAN KE- 4
2. KETERKAITAN MATEMATIKA DALAM IPA
2.1 Peranan matematika dalam IPA
Ditinjau dari segi perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap
yaitu :

Tahap sistematika

Tahap komparatif

Tahap kuantitatif

Pada tahap sistematik, ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam


kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciriciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri
yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia
fisik.
Pada tahap komparatif, mulai dilakukan perbandingan antara abyek yang satu dengan
obyek yang lain, kategori satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai
mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara berbagai obyek yang
kita kaji.
Tahap kuantitatif, dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan
perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang
kita selidiki. Pengetahuan membutuhkan matematika.
Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap pertama namun dalam
tahap ketiga pengetahuan membutuhkan matematika.
Contoh : Pengetahuan tentang hewan; digolongkan,
Invertebrata :

Amoeba (Protozoa)
Cacing (Vermes)
Cumi-cumi (Mollusca)
Kupu-kupu
Kumbang
Semut

Vertebrata :

Ikan (Pisces)
Katak (Amphibia)
Buaya (Reptilia)
Biawak (Reptilia)
Ayam (Unggas/Aves)

(Serangga)

38
Itik
Sapi

(Mammalia)

Gajah
Kita membandingkan dua obyek yang berlainan, misalnya : Gajah dan Semut.
Dengan bahasa verbal kita menggolongkan, juga dnegan bahasa verbal (lisan) kita hanya
bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut.
Kalau kita ingin menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan
semut maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian
jika sekiranya kita ingin mengetahui secara eksak (tepat) berapa besar gajah jika
dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak bisa mengatakan
apa-apa.
Bahasa verbal hanya mampu menyatakan/mengemukakan pernyataan yang
bersifat kualitatif. Demikian pula penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam
bahasa verbal semuannya bersifat kualitatif. Kita hanya bisa mengetahui bahwa logam
kalau dipanaskan akan memanjang. Namun pengertian kita hanya bisa sampai disitu. Kita
tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Hal ini
menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidal bersifat
eksak yang menyebabkan daya produk dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
Untuk mengatasi matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat
pengukuran, maka dapat diketahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan
berapa pertambahan panjangnya jika logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini
maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti sebatang logam
kalau dipanaskan akan memanjang dpat diganti dengan pernyataan matematik yang
lebih eksak, umpamanya : Pt = P0 (1 + t)
Pt = Panjang logam pada temperatur
P0 = Panjang logam tersebut pada temperatur nol
= Koefisien pemuaian logan tersebut.
Sifat kuantitatif matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu.
Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan
masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal
yang imperatif kalau kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan
cermat dari ilmu.
Menurut dugaan sejarah kemampuan matematika disamping sebagai bahasa
ilmiah juag sebagai alat berfikir. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti
pada tahap kualitatif, yang tidak mungkin untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh.

39
Matematika adalah sesuatu yang imperatif (suatu keharusan) merupakan sarana untuk
meningkatkan kemampuan penalaran deduktif dan kuantitatif.

Matematika melukiskan kelakuan alam

Matematika dan pemecahan masalah

Matematika dan pengukuran

Matematika tidak diragukan lagi merupakan salah satu puncak alam pikiran manusi.
perhitungan matematis menjadi dasar teknologi sebagai ilmu terapan ilmu alamiah. ciri
utama matematika adalah suatu cara penalaran ( reasoning). dengan jalan mengkur
sudut sejumlah segitiga yang mempunyai berbagai ukuran dan bentuk, maka kita dapat
menentukan bahwa jumlah sudut dari tiap segitiga adalah 180 derajat. dalam hal ini
secara deduktif fapat disimpulkan bahwa jumlah sudut dari segitiga adalah 190 derajat.
disamping itu juga orang berfikir secara analogi, misalnya karena lingkaran
membentuk sebuah bidang yang mempunyai luas terbesar dengan garis lengkung
lainnya, maka sebuah bola mempunyai isi yang terbesar pula.
Menalar secara induksi dan anlogi memerlukan pengamatan bahkan percobaan.,
untuk memperoleh fakta yang dapat dipakai sebagai dasar argumentasi, tetapi
pancaindera kita adalah terbatas dan kurang teliti. sehingga metode itu tidak
memberikan suatu kesimpulan

yang tidak dapat dibantah lagi, walaupun fakta yang

dikumpulkan untuk induksi dan analogi itu masuk akal. misalnya : babi serupa dengan
sapi tetapi tidaklah benar bahwa bab makan rumput.
2.2 IPA UNTUK MATEMATIKAWAN
Dari hasil observasi suatu gejala alam akan memberikan informasi buat
matematikawan untuk diujicoba melalui IPA atas kebenarannya.
Ilmu alamiah pada mulanya menggantungkan diri pada pendekatan induksi.
Dengan pendekatan induksi saja, manusia tidak mungkin mengetahui jarak antara bumi
dengan bulan atau matahari, bahkan mengetahui keliling bumi saja hampir tidak
mungkin. berkat bantuan matematika, Erathotenes (240 SM) pada zaman yunani dapat
menghitung besarnya bumi. dengan mengunakan pendekatan induksi dan deduksi. dapat
dihitung bahwa keliling bumi adalah 39.360 km dan garis tengan adalah 12.800 km.
Ahli matematika yang banyak sumbangannya terhadap ilmu alamiah antara lain:
1) Phytagoras yang menghitung benda-benda yang berbentuk segi banyak,
2) Apollonius yang menghitung benda-benda bergaris lengkung
3) Kepler (1609) berjasa dalam perghitungan jarak peredaran yang berbentuk elips
pada planet-planet

40
4) Galileo (1642) berjasa dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak
percepatan
5) Hugens (1695) dapat memecahkan teka-teki cincin yang terdapat pada planet
saturnus. kecuyali itu dapat menghitung kecepatan cahaya yaitu 600.000 tahun
kali kecepatan suara dan seterusnya.
2.3 PERANAN IPA DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Sebagai umpan balik dari peranan matematika terhadap IPA, maka dengan
adanya gejala alam (IPA) akan memungkinkan orang akan mengidentifikasi variabelvariabel di dalam gejala alam tersebut (terikat, bebas dan kontrol).
Dari sini kemudian dibuatkan model matematika untuk menjelaskan gejala alam
tersebut, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk hubungan variabel-variabel tersebut
(rumus matematika). Dengan demikian maka wawasan matematika semakin bertambah.
Hal ini berarti terjadinya pengembangan ketrampilan matematika melelui pengalaman
IPA.
2.4 PERANAN MATEMATIKA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN ALAM
Menurut dugaan sejarah, kemampuan manusia untuk mulai dapat menulis sama
tuanya dengan kemampuan manusia untuk dapat berhitung, yaitu kurang lebih 10.000
tahun sebelum masehi. Tulisan itu pada hakekatnya simbol dari apa yang ia tulis.
Berhitung, pada awal mulanya berbentuk korespondensi persatuan dari onyek
yang dihitung. Misalnya sesorang ingin menghitung berapa jumlah ternaknya, maka
ternak itu dimasukkan ke dalam kandang satu persatu. Tiap ekor diwakili oleh satu batu
kecil, maka jumlah ternaknya adalah jumlah batu kecil itu. Dengan sekantung batu-batu
itu ia dapat mengontrol apakah ada ternak yang belum kembali atau hilang atau malah
bertambah karena beranak.
Jadi, setiap awal kehidupan manusia matematika itu merupakan alat bantu untuk
mengatasi

setiap

permasalahan

menghadapi

lingkungan

hidupnya.

Sumbangan

matematika terhadap perkembangan IPA sudah jelas bahkan boleh dikatakan bahwa
tanpa matematika IPA tidak akan berkembang. Hal ini disebabkan oleh karena IPA
menggantungkan diri dari metode induksi. Dengan metoda induksi semata tak mungkin
orang mengetahui jarak antara bumi dan bulan atau bumi dnegan matahari, bahkan
untuk

menyatakan

keliling

bumi

saja

hampir

tidak

mungkin.

Berkat

bantuan

matematikalah maka Erathotenes (240 SM) pada zaman Yunani dapat menghitung
besarnya bumi dnegan metode gabungan antara induksi dan deduksi matematika
sebagai berikut:
Pada tanggal 21 juni di Syene (Mesir) pada tengah hari matahari berada tepat di
atas kepala. Saat yang mana di kota Alexandria yang jauhnya 500 Mil tepat berada

41
disebelah utara Syene matahari jatuh dnegan membentuk 7,4o . Ini dapat diukur melalui
bayang-bayang sebuah tongkat. Dengan asumsi bahwa bumi ini bulat maka keliling bumi
atau besarnya bumi dapat dihitung secara matematika. Erathotenes sampai pada
kesimpulan bahwa keliling bumi adalah 24.000 mil dan garis tengah bumi adalah 8.000
mil.
Hipparchus (150 SM) dapat menghitung jarak bumi ke bulan. perhitungannya
diilhami oleh ajaran Aristoteles yang menyatakan bahwa bulan terletak di anatar bumi
dan matahari, juga diilhami oleh gerhana bulan dimana bayang-bayang bumi pada bulan
dipergunakan untuk memperkirakan besarnya bumi. Ia berkesimpulan bahwa jarak bumi
ke bulan adalah 24.000 mil.
Aristarchus juga secara matematika mencoba menghitung jarak bumi ke
matahari. Namun karena kesalahan instrumen ia berkesimpulan bahwa jarak bumi ke
matahari itu adalah 20 kali jarak bumi ke bulan, padahal jarak yang benar adalah 400
kali. Kesimpulan lain yang ia peroleh berdasarkan matematika adalah sinar matahari itu
tentunya lebih besar dari bumi. Ia perkirakan sedikitnya tujuh kali lebih besar. Ia
berpendapat tidak logis kalau matahari yang besar itu beredar mengelilingi bumi yang
jauh lebih kecil. Mestinya sebaliknya bumilah yang mengelilingi matahari. Namun
pendapatnya tak mendapat tanggapan oleh masyarakat, sampai pada zaman baru
dimana

Copernicus

dnegan

bantuan

teleskopnya

serta

perhitungan

matematik

mengumumkan prinsip heliosentrik.


Ahli-ahli matematika yang banyak sumbangannya dalam IPA antara lain adalah :
Phthagoras mengadakan perhitungan terhadap benda-benda segi banyak.
Apollonius mengadakan perhitungan pada benda-benda yang bergaris lengkung. Kepler
(1609) berjasa dalam perhitungan jarak beredar yang berbentuk elips dari planet-planet.
Galileo (1642) berjasa dalam menetapkan hukum lintasa peluru, gerak dan percepatan.
Huygens (1695) dapat memecahkan teka teki adanya cincin Saturnus, perhitungan
tentang bandulan dan ini terkenal dnegan perhitungan tentang kecepatan cahaya, yaitu
600.000 kali kecepatan suara (pada masa itu orang beranggapan bahwa cahaya tak
membutuhkan waktu untuk memancar). Ini semua adalah sekedar gambaran yang
menunjukkan

bahwa

perkembangan

IPA

selalu

ditunjang

atau

secara

mutlak

membutuhkan tunjangan matematika.


Bagaimana dalam masa sekarang? kiranya tak dapat diragukan lagi fungsi
matematika itu dalam zaman modern sekarang ini pembuatan mesin-mesin, pabrikpabrik, bendungan-bendungan, jembatan, bahkan perjalanan ke ruang angkasa tak akan
berlangsung tanpa bantuan matematika.
2.5 IPA KUALITATIF DAN KUANTITATIF

42
Pada uraian terdahulu telah diterangkan bahwa penemuan-penemuan yang
didapat oleh Copernicus sampai Galileo pada awal abad 17 merupakan perintis ilmu
pengetahuan. Artinya ialah bahwa penemuan-penemuan itu berdasarkan empirik dengan
metode induksi yang objektif dan bukan atas dasar deduksi filosopik seperti zaman
Yunani atau berdasar mitos seperti zaman Babylonia. Penemuan-penemuan itu misalnya
saja bahwa di bulan terdapat gunung-gunung, Jupiter mempunyai empat buah bulan, di
matahari terdapat bercak hitam yang dapat digunakan untuk mengukur percepatan rotasi
matahari dan sebagainya.
Penemuan-penemuan seperti ini kita sebut sebagai ilmu pengetahuan alam yang
sifatnya kualitatif. Ipa yang kualitatif ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang sifatnya
kausal atau hubungan
DAFTAR PUSTAKA

Jasin, Maskuri. 2000. Ilmu Alamiah Dasar, Untuk Perguruan Tinggi Non
Eksakta dan Umum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Karso, dkk 1993/1994. Materi Pokok Dasardasar Pendidikan MIPA. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat

Anda mungkin juga menyukai