BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan kepribadian yang
berbeda-beda dalam kehidupannya, Perilaku dan kepribadian didasarkan dari berbagai
macam faktor penyebab, salah satunya faktor lingkungan, yang berusaha beradaptasi
untuk bertahan dalam kehidupannya.
Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar dalam beradaptasi
menjaga kestabilan dan keseimbangan tubuh dengan cara selalui berespon bila terjadi
tubuh terkena hal yang negatif dengan berusaha menyeimbangkannya kembali sehingga
dapat bertahan atas serangan negatif, misal mata kena debu maka akan berusaha dengan
mengeluarkan air mata.
Keseimbangan juga terjadi dalam budaya daerah dimana manusia itu tinggal, seperti
kita ketahui bahwa di Indonesia sangat beragam budaya dengan berbagai macam corak
dan gaya, mulai dari logat bahasa yang digunakan, cara berpakaian, tradisi prilaku
keyakinan dalam beragama, maupun merespon atas kejadian dalam kehidupan sehariharinya seperti halnya dalam menangani rasa nyeri akibat terjadi perlukaan dalam tubuh
dengan direspon oleh manusia dengan berbagai macam adaptasi, mulai dari suara
meraung-raung, ada juga cukup dengan keluar air mata dan kadang dengan gelisah yang
sangat.
Atas dasar tersebut maka sebagai pemberi terapi medis harus mengetahui atas berbagai
perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam penanganan terhadap nyeri
yang dirasakan oleh setiap orang dapat melakukan pengkajian dan tindakan pemberian
terapi secara obyektif, maka untuk itu RSU Bhakti Husada Krikilan menyusun panduan
dalam penanganan nyeri.
B. TUJUAN
Panduan Manajemen Nyeri ini disusun dengan tujuan adanya standarisasi dalam asesmen
dan manajemen nyeri di RSU Bhakti Husada Krikilan sehingga kualitas pelayanan
kesehatan khususnya penanganan nyeri di RSU Bhakti Husada Krikilan semakin baik.
C. DEFINISI
1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan
jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolaholah terjadi kerusakan jaringan (interational association for the
study of pain).
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki
hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri
kronik yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering
sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.
BAB II
RUANG LINGKUP
Ruang Lingkup pelayanan nyeri meliputi pelayanan bagi pasien-pasien di Unit Gawat
Darurat, Unit Rawat Jalan, Unit Rawat Inap, dan Unit Kamar Operasi RSU Bhakti Husada
Krikilan. Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu semua pasien dengan kondisi nyeri yang
membutuhkan pelayanan manajemen nyeri, pengobatan dan observasi nyeri. Pada tahun
1986, The Nasional Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorikan
nyeri menjadi 2 tipe yaitu :
1. Nyeri Akut, merupakan hasil dari injuri acut,penyakit dan pembedahan.
Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki
hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
2. Nyeri Kronik :
a. Non keganasan di hubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam
masa
BAB III
TATALAKSANA
A. ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Onset nyeri akut atau kronik, traumatik atau non- traumatik.
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri, nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar,
tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
3) Pola penjaaran / penyebaran nyeri
4) Durasi dan lokasi nyeri
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik
6) Faktor yang memperhambat dan memperingan
7) Kronisitas
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon terapi
9) Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
10) Penggunaan alat bantu
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living)
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya
faktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan
dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
c. Riwayat psiko- sosial
1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
2) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yanga berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
4) Pembatasan / restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien
dengan program penanganan/ manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien
dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
5) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung.
e. Obat-obat dan alergi
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu
studi menunjuakan bahwa 14% populasi di Indonesia mengkonsumsi
suplemen /herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, efektifitas, dan efek
samping.
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
denga efek samping kognitif dan fisik.
f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskular psikiatri pulmoner, gastrointestial, neurolgi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskuloskeletal.
2) Gejala kontitusional penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat
malam, dan sebagainya.
2. Asesmen Nyeri
a. Asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale
1) Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 3 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
2) Instruksi pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 10.
0 = tidak nyeri
1 3 = nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan
baik)
4 6 = nyeri sedang (secara obyektif pasien menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri, atau mendeskripsikan, dapat mengikuti perintah
dengan baik)
7 9 = nyeri berat (secara objektif pesien terkadang tidak mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan dan menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat mendiskripsikan dan tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas. distraksi )
10 = nyeri yang sangat (pasien sudah tidak dapat mendiskripsikan lokasi
4 nyeri berat
5 nyeri sangat berat
Derajat
5
4
3
2
Definisi
Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
Mampu melawan tahanan ringan
Mampu bergerak melawan gravitasi
Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
Tidak terapat kontraksi otot
e. Pemerikasaan sensorik
Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum, pin prick),
gerakan, dan suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus kranial I XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah
2)
3) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
5) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
1) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilosis-spondilasis, neoplasma )
2) MRI gold standart
3) CT-scan 4) Radionuklida dalam mendeteksi perubahan metabolisme tulang
7. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, adakah ketakutan, despresi
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sisoal, interaksi sosial.
10
11
infus.
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin, antiasmatik
tertentu)
Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia,
12
2) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan
skor sedasi, yaitu:
0 = sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
3) Sistem Saraf pusat:
Euforia, halusinasi, miosis, kekakuan otot
Pemakaian MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan koma
4) Toksisitas metabolit
Petidin (norpetidin) menimbulkan tremo, twitching, mioklonus, multifokal,
kejang
Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan
nyeri pasca-bedah
Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal terutama
13
14
4.
15
ekstremitas bawah.
Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/ lebih jenis otot, berakibat
16
OAINS, kortikosteroid
4) Nyeri mekanis / kompresi:
Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/spain
ligament / otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan faktur kompresi,
faktur.
Merupakan nyeri nosiseptif
Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi,
cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara
seksual/fisik, verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi;
1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
2) Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1) Hambatan komunikasi / bahasa
2) Faktor finansial
3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
4) Kepatuhan pasien yang buruk
5) Kurangnya dukungan keluarga dan teman
5. Manajemen Nyeri Kronik berdasarkan Level
a. LEVEL I
Prinsip level I:
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki
tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres).
2) Pasien harus berpatisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi
3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan
restorasi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
4) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan
kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stres, latihan fisik, terapi
relaksasi, dan sebagainya
5) Beritahu kepada pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyeri
6) Ajaklah untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri
17
kompresi saraf
- Kontrol infeksi (antibiotik)
Terapi simptomatik:
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
- Antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
- Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi )
- OAINS, kortikosteroid, opioid
- Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intraketal, infus epidural
/ intratekal
- Terapi berbasis- stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat
- Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi,
metode ergonomis
- Prosedur ablasi: kormiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi
- Terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan
toleransi terhadap nyeri), tetapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
kardiovaskular,
fleksibilitas,
18
- Mekanik
- Pijat, terapi akuatik
Manajemen perilaku:
- Stress / depresi
- Teknik relaksasi
- Perilaku kognitif
- Ketergantungan obat
- Manajemen amarah
Terapi obat:
- Analgesik dan sedasi
- Antidepressant
- Opioid jarang dibutuhkan
3) Nyeri inflamasi
Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya
Obat anti inflamasi utama OAINS kortikosteroid
3) Nyeri mekanis kompresi
Penyebab yang seiring tumor / kista yang menimbulkan kompresi pada
alat bantu.
Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi
nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
19
sebagai level 1
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri
neuropatik.
Kategori:
- Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adremergic alfa-2,
-
relaksasi
otot,
20
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa
mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian
parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan
absorsi obat tidak dapat diandalkan
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan
subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan /
keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada
anak. Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian per oral dan opioid parenteral
intermitten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat
(tidak dapat memberika obat per oral)
e. Analgesik dan anetesi regional: epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit
diatasi dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik
3) Beriakn edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan
dan peralatan resusitasi, dan pencatatan yang akurat mengenai tanda vital /
skor nyeri.
f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik
1) Lakukan anamnesis dan fisik menyeluruh
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi
4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik dan
perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin
g. Panduan penggunaan opioid pada anak:
1) Pilih rute yang paling sesuia. Untuk pemberian jangka panjang, pilih jalur
oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan
dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu prn.
3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis
infus IV per-jam kontinu sejumlah total dosis opioid prn yang diberikan
dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan
kecepatan infus sebesar 50%
21
Kognitif
Informasi
Pilihan dan kontrol
Distraksi dan atensi
Hypnosis
Psikoterapi
Perilaku
Latihan
Terapi relaksasi
Umapan balik positif
Modifikasi gaya hidup /
perilaku
Fisik
Pijat
Fisioterafi
Stimulasi ternal
Stimulasi sensorik
Akupuntur
TENS
22
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga 2 kali lipatnya dibandingkan
dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, polimialgia, dan penyakit degeneratif.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri, sendi utama / penyangga tubuh, punggung,
tungkai bawah dan kaki.
5. Alasan seringgnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatri.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriartri yang valid, reliable dan dapat diaplikasikan
menggunakan Function Pain Scaleseperti dibawah ini:
Tabel 3.8 Function Pain Scale
Skala Nyeri
0
1
2
3
Keterangan
Tidak nyeri
Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terpengaruh )
Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
Tidak dapat ditoleransi (tetapi dapat menggunakan telepon
7. Intervensi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nyeri untuk
menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan: perkutan, akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif relaksasi umpan balik
positif, hypnosis.
e. Fioterapi dan terapi okupasi
8. Intervesi farmakologi (tekanan pada keamanan pasien)
a. Non-opiod: OAINS, parasetamol, COX-2 Inhibitor, antidepressant trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
b. Opioid:
1) Risiko adiksi rendah jika digunakan nyeri akut (jangka pendek).
23
2) Hindari yang cukup dan konsumsi serat / talking agent untuk mencegah
konstipasi (preparat senna, serbital)
3) Berikan opioid jangka pendek
4) Dosis rutin dan teratur memberikan analgesik yang lebih baik daripada
pemberian intermiten.
5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat , dapat menaikkan opioid
sebesar 50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan opioid dan resolusi nyeri
2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepine, gabapentin, tramadol,
mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigennital Gabapentin: neuralgia pascaherpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg / hari
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada perdarahan gastrointestinal
meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 6,5 tahun
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eleminasi
11. Pasien lansia cederung memerlukan pengarahan dosis analgesik. Absorbsi sering
tidak teratur karena adanya pemindahan waktu . sindrom malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opioid paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antideprassant, dan sedasi secara rutin harian )
17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang dinginkan
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan / keterbatasan mobilisasi, pada akhirnya mengarah ke depresi
karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunyan
kemampuan fungsional
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkakn
imunitas tubuh
c. Kontrol nyreri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi
dan gelisah
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
24
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphano (merupakan campuran antagonis dan agonis,
cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia): metadon,
levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik d. Antidepresan: tertiary amine tricyclisc (efek
samping antikolinergik )
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnaya harus diberikan
kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents)
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen
pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS analgesik
adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten . Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini
adalah penyesuaian dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi
25
BAB IV
DOKUMENTASI
1. SPO Manajemen Nyeri
2. Formulir Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik RSU Kaliwates
26
REFERENSI
Diunduh
dari:www.hospitalsoup.com
7. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline: assessment and
management of acute pain. Edisi ke-6. ICSI; 2008.
8. Pain Management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy Forum. Adult
pain management guidelines. NHS; 2006.
9. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI).health care guideline: assessment and
management of choronic pain. Edisi ke-5. ICSI; 2011.
10. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets: questions you will be asked. Edisi
ke-3. Philadelphia: mosby Elsevier;2009.
KATA PENGANTAR
27
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas kemudahan yang diberikan
olehNya kami dapat menyelesaikan panduan ini. Panduan Manajemen Nyeri RSU Kaliwates
Jember adalah suatu acuan dalam asesmen dan manajemen nyeri pasien-pasien di RSU
Kaliwates JemberPanduan dalam penanganan nyeri yang terdiri dari pengertian, serta asuhan
dan terapi yang harus diberikan. Semoga Panduan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan
sebaik-baiknya oleh seluruh unit terkait di RSU Kaliwates Jember
Tim Penyusun