Anda di halaman 1dari 53

ACUTE KIDNEY INJURY

Disusun Oleh :

Ariani Dwi Artanti 202102047


Awy Gustiani Yasa 202102075
Birgita Juliani Tukau Luhat 202102050
Fitrianita Maria 202102058
Indriana Muryani 202102077
Maya Yuli Lestari 202102066
Maria Goreti Mening 202102065
Neny Rachmawati Yustina 202102067
Rut Grace Ika 202102081
Veby Indah Y 202102082

MATA KULIAH KMB II


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KATOLIK
ST. VINCENTIUS A PAULO
SURABAYA
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang
sampah metabolism dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah. Dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal ini
karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian.
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA)
atau acute renal failure (ARF) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang
dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Insidens di negara berkembang,
khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah
sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis .Beberapa laporan di
dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,50,9% pada komunitas, 0,7-18% pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25%
hingga 80%.

Dampak pada pasien yang menderita Acute Kidney Injury jadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai creatinin clearance turun sampai 15 ml/menit
atau lebih rendah.
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup dan pengobatan penyakit yang mendasari
sangatlah penting pada pasien dengan AKI. AKI merupakan penyakit life threatening
disease, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan
dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit
dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan,
serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah faktor -
faktor yang mempengaruhi penderita Acute Kidney Injury (AKI ) terhadap pengobatan.

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor- faktor apa yang mempengaruhi penderita Acute Kidney Injury (AKI)
terhadap pengobatan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Penderita atau Masyarakat


Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya tingkat
kepatuhan minum obat pasien Acute Kidney Injury (AKI ) terhadap keberhasilan
terapi.

1.4.2 Bagi Puskesmas atau Institusi Pelayanan Kesehatan


Dapat menjadi masukan sehingga memberikan informasi dan bahan evaluasi bagi
pelayanan kesehatan/Puskesmas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Acute Kidney Injury (AKI )

2.1.1 Definisi

Acute Kidney Injury merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fingsi
ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan
azotemia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat
menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5mg/dl/hari dan kadar nitrogen
urea darah sebanyak 10mg/dl/hari dalam beberapa hari (Price & Wilson, 2012).
Acute Kidney Injury adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengeksresi
sisa metabolisme nitrogen, dengan atau tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sinto & Nainggolan, 2010)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kesimpulannya adalah Acute Kidney Injury
merupakan suatu penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang berlangsung dengan cepat.
Penurunan filtrasi glomerulus (60-89%) menyebabkan peningkatan pada kreatinin dan
kegagalan ginjal untuk mengsekresi sisa metabolisme nitrogen.

2.1.2 Anatomi Ginjal

Setiap manusia mempunyai dua ginjal yang terletak retroperitoneal dalam rongga
abdomen dan berat masing-masing ± 150 gram. Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang
berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar
kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125-175g pada laki-laki dan 115155g pada
perempuan. Ginjal terletak di area yang tinggi, yaitu pada dinding abdomen posterior yang
berdekatan dengan dua pasang iga terakhir. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri,
karena adanya lobus hepatis dekstra yang besar. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang
disebut kapsula fibrosa.
Gambar 2.1 Anatomi ginjal

2.1.3 Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara
membuang sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang diperlukan oleh tubuh. Fungsi ini amat
penting bagi tubuh untuk menjaga hemeostatis. Homeostatis amat penting dijaga karena sel – sel
tubuh hanya bisa berfungsi pada keadaan cairan tertentu. Walaupun begitu, ginjal tidak selalu
bisa mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal
mengeluarkan minimal 0,5 liter air per hari untuk kebutuhan pembuangan racun. Hal ini tetap
harus dilakukan walaupun tubuh berada dalam kondisi dehidrasi berat.
Secara singkat, kerja ginjal bisa diuraikan menjadi :

a. Mempertahankan keseimbangan kadar air (H2O) tubuh


b. Mempertahankan keseimbangan osmolaritas cairan tubuh
c. Mengatur jumlah dan konsentrasi dari kebanyakan ion di cairan ekstraseluler.
Ion – ion ini mencakup Na +, Cl-, K+, Mg2+, SO4+, H+, HCO3-, Ca2+, dan PO42-. Kesemua
ion ini amat penting dijaga konsentrasinya dalam kelangsungan hidup organisme.
d. Mengatur volume plasma
e. Membantu mempertahankan kadar asam – basa cairan tubuh dengan mengatur
ekskresi H+ dan HCO3-
f. Membuang sisa metabolisme yang beracun bagi tubuh, terutama bagi otak
g. Membuang berbagai komponen asing seperti obat, bahan aditif makanan,
pestisida, dan bahan lain yang masuk ke tubuh
h. Memproduksi erythropoietin
i. Memproduksi renin untuk menahan garam
j. Mengubah vitamin D ke bentuk aktifnya.

Sistem ekskresi sendiri terdiri atas 2 buah ginjal dan saluran keluarnya urin. Ginjal
sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke medialnya. Ginjal akan
mengambil zat –zat yang berbahaya dari darah dan mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di
kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan micturisi dan keadaan memungkinkan,
maka urin yang ditampung dikandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra.

Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut nefron. Susunan
nefron – nefron ini membagi ginjal menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medulla. Nefron sendiri
terdiri atas glomerulus dan tubulus. Glomerulus tersusun atas pembuluh darah – pembuluh darah
yang membentuk suatu untaian di kapsula Bowman. Glomerulus berasal dari arteri ginjal, arteri
ini awalnya terbagi menjadi afferent arterioles yang masing – masing menuju 1 nefron dan
menjadi glomerulus. Glomerulus akan berakhir di efferent arterioles. Arteriol terakhir tersebut
lalu menjadi kapiler yang berfungsi memberi pasokan oksigen dan energi bagi ginjal. Kapiler ini
sekaligus berfungsi menerima zat – zat reabsorbsi dan membuang zat – zat sekresi ginjal.

Tubulus ginjal tersusun atas sel – sel epitel kuboid selapis. Tubulus ini dimulai dari
kapsul Bowman lalu menjadi tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontrotus
distal, dan berakhir di tubulus pengumpul. Seluruh bagian tubulus kontortus berada di korteks,
sementara lengkung Henle di medulla. Jalur naik dari tubulus kontortus distal akan lewat diantara
afferent dan efferent arterioles yang disebut juxtaglomerulus apparatus.

Nefron ginjal sendiri terbagi atas 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung Henlenya hanya
sedikit masuk medulla dan memiliki kapiler peritubular, dan nefron juxtamedullary yang
lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan memiliki vasa recta. Vasa recta dalam
susunan kapiler yang memanjang mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara
makroskopis, korteks ginjal akan terlihat berbintik – bintik karena adanya glomerulus, sementara
medulla akan terlihat bergaris – garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus kolektus.

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorbsi, dan sekresi. Filtrasi akan mengambil 20 % plasma yang masuk glomerulus tanpa
menyeleksinya. Kurang lebih akan didapat 125 ml filtrate/menit atau 180 liter/hari. Dari jumlah
itu, 178,5 liter/hari akan direabsorbsi. Maka rata – rata urin orang normal 1,5 liter/hari.

2.1.4 Klasifikasi

Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus mencakup:
1) Sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal,
2) Penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas,
3) Penilaian yang cermat pada status volume, dan
4) Langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah
memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan
AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal.
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal yang terjadi
dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin serum
yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang menurun, meskipun
terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili
tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler
atau penurunan aliran darah ginjal.
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :

a. Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48 jam atau
b. Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau
dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
c. Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan
prognosis gangguan ginjal seperti terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007

Peningkatan Penurunan
Kategori Kriteria UO
SCr LFG
Risk > 1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar <0 ,5 mL/kg/jam,
>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar > 50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar > 75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL > 24 jam atau
dengan kenaikan
Anuria ≥12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetapselama lebih dari 4 minggu

End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari3 bulan

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan
intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan
peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan. Dengan beberapa modifikasi,
kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN
tahap 1, 2, dan 3. Kategori L dan E pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome)
sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.
Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2.
Tahap Peningkatan SCr Kriteria UO
1 >1,5 kali nilai dasar atau <0 ,5 mL/kg/jam, ≥6 jam
peningkatan > 0,3 mg/dL
2 >2,0 kali nilai dasar <0 ,5 mL/kg/jam, ≥12jam
3 >3,0 kali nilai dasar atau <0 ,5 mL/kg/jam, ≥24
jam atau
>4 mg/dL dengan kenaikan akut > 0,5
mg/dL atau Anuria ≥12 jam
inisiasi terapi pengganti ginjal

Gambar 2.1. Kriteria RIFLE yang dimodifikasi

Table 2 Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN

Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga memberikan evaluasi
yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan derajat AKI juga harus akurat karena dengan
peningkatan derajat, maka risiko meninggal dan TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko
jangka panjang setelah terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit kardiovaskuler atau CKD dan
kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus diklasifikasikan berdasarkan derajat
tertingginya. Jadi jika SCr dan UO memberikan hasil derajat yang berbeda, pasien
diklasifikasikan dalam derajat yang lebih tinggi.

2.1.5 Etiologi
Menurut Sinto & Nainggolan (2010), etiologi Acute Kidney Injury dibagi menjadi 3
kelompok utama berdasarkan patogenesis Acute Kidney Injury, yakni penyakit yang
menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (Acute
Kidney Injury prarenal 55%); penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (Acute Kidney Injury renal 40%); penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (Acute Kidney Injury pascarenal 5%). Angka kejadian penyebab Acute
Kidney Injury sangat tergantung dari tempat terjadinya Acute Kidney Injury.

2.1.5.1 Acute Kidney Injury Prerenal

1) Hipovolemia
(1) Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskuler kerusakan jaringan

(pankreatitis), hypoalbuminemia obstruksi usus.


(2) Kehilangan darah

(3) Kehilangan cairan keluar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar).
2) Penurunan curah jantung
(1) Penyebab miokard: infark, kardiomiopati

(2) Penyebab perikard: tamponade

(3) Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal

(4) Aritmia

(5) Penyebab katup jantung

3) Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


(1) Penurunan resistensi vaskular perifer sepsis sindrom hepatorenal obat dalam dosis berlebihan
(contoh: barbiturate), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
(2) Vasokontriksi ginjal hiperkalsemia, norepinephrine, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin, a-1 antitripsin.
(3) Hipoperfusi ginjal lokal stenosis renalis, hipertensi maligna
4) Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
(1) Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis,
hipertensi kronik, penyakit ginjal kronik, hipertensi maligna, penurunan prostaglandin
(penggunaan inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia sindrom
hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras).
(2) Kegagalan peningkatan resistensi arterial eferen

(3) Penggunaan penyekat ACE,ARB

(4) Stenosis renalis

2.1.6 Patofisiologi AKI

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan
dalam autoregulasi ini adalah:

Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen • Timbal balik
tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada
keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin
serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada
keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek
miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang
terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1.

Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :

1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)


2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)

3. Obstruksi renal akut (post renal)

- Bladder outlet obstruction (post renal)

- Batu, trombus atau tumor di ureter

1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)

Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung
dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol
afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium
dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi
kerusakan struktural dari ginjal.

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intrarenal menjadi


normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI,
NSAID terutama pada pasien – pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2
mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa
pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renal
seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan
nefrosklerosis intrarenal. Sebuah penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal
akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis.

2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)

Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit parenkim ginjal.
Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :

1. Pembuluh darah besar ginjal

2. Glomerulus ginjal
3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut

4. Interstitial ginjal

Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut disebabkan oleh
keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering
menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada
kelainan vaskuler terjadi:

• peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan sensitifitas
terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
• terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal,
yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan
nitric oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
• peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-18, yang
selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari
sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-
sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik dan nefrotoksik
baik endogenous dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan
perubahan perfusi regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab lain
yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan
parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.(Marlies Ostermann, MD,
MRCP (UK); René W. S. Chang, BSc, MS, 2007)

Sepsis-associated AKI

Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang. Penurunan LFG
pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan kasus sepsis
yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui
tubular injury berhubungan secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris
tubular dan cast pada urin.
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena terjadi vasodilatasi arterial yang
tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah.
Jadi terjadi vasodilatasi arteriol eferen yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada
sepsis yang berlanjut akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron,
vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang menghasilkan
thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies serta adesi dan migrasi leukosit yang dapat
merusak sel tubular renal.

3. Gagal Ginjal Akut Post Renal

Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-renal
disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi
kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat
terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila obstruksi akut terjadi
pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya
tidak berfungsi.

Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah
ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2.
Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam
mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan
penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah
24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini
mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang menyebabkan
fibrosis interstisial ginjal.

2.1.7 Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer & Bare (2013), hampir semua sistem tubuh dipengaruhi ketika terjadi
kegagalan mekanisme pengaturan ginjal normal. Pasien tampak sangat menderita dan letargi
disertai mual persisten, muntah dan diare. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
dan napas mungkin berbau urin (fetor uremik). Manifestasi sistem saraf pusat mencakup rasa
lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang. Manifestasi klinis Acute Kidney Injury yaitu:
2.1.7.1 Perubahan Haluaran Urin

Haluaran urin sedikit, dapat mengandung darah, dan gravitas spesifiknya rendah.

2.1.7.2 Peningkatan BUN dan Kadar Kreatinin

Terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN dan laju peningkatannya bergantung pada
tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantuan
fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.

2.1.7.3 Hiperkalemia

Pasien yang mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan
kalium. Katabolisme protein menghasilkan pelepasan kalium seluler kedalam cairan tubuh,
menyebabkan hiperkalemia berat (kadar serum K + tinggi). Hiperkalemia menyebabkan disritmia
dan henti jantung. Sumber kalium mencakup katabolisme jaringan normal; masukkan diet, darah
disaluran gastrointestinal; atau transfusi darah dan sumber-sumber (infus intravena, penisilin
kalium dan pertukaran ekstraseluler sebagai respons terdapat adanya asidosis metabolik).

2.1.7.4 Asidosis Metabolik

Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis asam
yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah.
Sehingga, asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.

2.1.7.5 Abnormalitas Ca++ dan PO4


Peningkatan konsentrasi serum fosfat mungkin terjadi; serum kalsium mungkin menurun
sebagai respons terhadap penurunan absorbsi kalsium di usus dan sebagai mekanisme kompensasi
terhadap peningkatan kadar serum
fosfat.

2.1.7.6 Anemia

Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakan
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia
sel darah merah dan kehilangan darah, biasanya saluran gastrointestinal. Adanya bentuk
eritropoetin (epogen) yang sekarang banyak tersedia, menyebabkan anemia tidak lagi menjadi
masalah utama dibanding sebelumnya.

2.1.8 Diagnosis

2.1.8.1. Pendekatan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan
di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau
merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan
kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan
klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran
ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran
kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati
diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada
penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.

2. 1.8.2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal, renal dan post-
renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya seperti misalnya
operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi
saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan gagal ginjal kronis.

3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar ureum,
kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu diperiksa asupan dan keluaran
cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh.
Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang
sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau
edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi
oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.

4. Assessment pasien dengan AKI

a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali
kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG
karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi
oleh ginjal

b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik
untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia
darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA
prerenal biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria
maupun poliuria.

c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu


mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik
pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA.
Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak,
seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase, alanine
aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu penelitian pada anak-anak
pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocain (NGAL) terbukti dapat
dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan kadar
kreatinin.
Tabel 5. Evaluasi pada pasien dengan AKI

Prosedur Informasi yang dicari

Anamnesis dan pemeriksaan fisis Tanda-tanda untuk penyebab AKI

Indikasi beratnya gangguan metabolic

Perkiraan status volume (hidrasi)

Mikroskopik urin Petanda inflamasi glomerulus atau


tubulus

Infeksi saluran kemih atau uropati

Kristal

Pemeriksaan biokima darah Mengukur pengurangan LFG dan


gangguan metabolic yang
diakibatkannya

Pemeriksaan biokimia urin Membedakan gagal ginjal pre-renal dan


renal

Darah perifer lengkap Menentukan ada tidaknya anemia,


leukositosis dan kekurangan
trombosit akibat pemakaian

USG ginjal Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya


obstruksi, tekstur parenkim ginjal yang
abnormal

CT scan abdomen Mengetahui struktur abnormal dari ginjal


dan traktus urinarius

Pemindaian radionuklir Mengetahui perfusi ginjal yang


abnormal
Pielogram Evaluasi perbaikan dari obstruksi

traktus urinarius

Biopsi ginjal Menentukan berdasarkan

pemeriksaan patologi penyakit ginjal

2.1.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,


tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prerenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI postrenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada
obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang
dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast,
cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada
kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy
brown” granular cast pada nefritis interstitial.
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI.
Kelainan analisis urin dapat dilihat pada tabel 4.

Indeks diagnosis AKI prerenal AKI renal


Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik >1,020 1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH.0) >500 300
Kadar natrium urin (mmol/L) >10 (>20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi Na (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin dan Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

Tabel 6. Kelainan Analisis Urin


Ada beberapa factor resiko pengendalian dan pencegahan Diabetes Mellitus menurut
(Yosdimyati,2017) yaitu :

1. Faktor risiko yang tidak dapat di ubah

1) Ras dan etnis


2) Riwayat penyakit keluarga dengan diagnosa yang sama yaitu diabetes Mellitus
3) Usia
Resiko meningkatnya kadar glukosa seiring dengan meningkatnya usia. Usia >45 tahun
perlu di lakukan pemeriksaan Diabetes Mellitus sejak tanda dan gejala dasar mulai
muncul.
4) Diabetes Gestasional yaitu riwayat kelahiran BBLR >4000 gr.
5) Riwayat lahir dengan BBLR < 2500 gr. Bayi yang lahir dengan BBLR rendah mempunyai
risiko yang jauh lebih tinggi di banding bayi lahir dengan BBL normal

2. Faktor Resiko yang dapat di ubah

1) Berat badan lebih atau IMT > 23 kg/m3


2) Aktivitas fisik yang kurang
3) Hipertensi (>140/90mmHg)
4) Disipedima (HDL < 35 mg/dl atau trigliserida > 250 mg/dl)
5) Diet yang salah dan tidak sehat, Yaitu diet dengan tinggi gula namun rendah serat justru akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan Diabetes Mellitus tipe II.

3. Faktor lain yang terkait dengan Diabetes Mellitus

1) Pada penderita PCOS (Polyccystic ovary syndrome) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin.
2) Pada penderita sindrome metabolik mempunyai riwayat TGT (toleransi gangguan glukosa)
atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dan sebelumnya memiliki riwayat penyakit
kardiovaskuler seperti stroke, Jantung koroner atau PAD (peripheral arterial diseases).
2.1.9 Pemeriksaan diagnostik

Menurut Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2014), pemeriksaan diagnostik pada Acute Kidney Injury,
yaitu:

2.1.9.1 Urin

1) Volume

Biasanya kurang dari 400 ml per 24 jam (fase oliguria), yang terjadi dalam 24-48 jam setelah
ginjal rusak.

2) Warna

Kotor sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, HB, myoglobin, porfirin

3) Berat jenis

Kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan
kehilangan kemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat.
4) Potensial hidrogen

Lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kemih nekrosis tubular rise ginjal dan gagal
ginjal kronis.

5) Osmolaritas

Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan urin/serum sering 1:1.

6) Klirens Kreatinin

Mungkin Secara bermakna menurun sebelum BUN dan Kreatinin serum menunjukkan
peningkatan bermakna.
7) Natrium
Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 m/S bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
8) Bikarbonat

Meningkat bila ada asidosis metabolik

9) Sel darah merah

Mungkin ada karena infeksi batu trauma tumor atau peningkatan GF

10) Protein

Proteinuria derajat tinggi (3-4+) sangat menyejukkan kerusakan glomerulus bila sel darah
merah dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM (sel darah
merah) dapat menunjukkan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria
minimal.
11) Warna tambahan

Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi. Warna tambahan seluler dengan pigmen kecoklatan
dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga
nefritis glomular.

2.1.9.2 Darah

1) Hemoglobin

Menurun pada adanya anemia

2) Potensial hidrogen

Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan, ginjal
untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.

3) BUN/kreatinin
Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1

4) Osmolalitas serum

Lebih besar dari 2850 mOsm/kg sering sama dengan urin kalium meningkat sehubungan
dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah).

5) Natrium

Biasanya meningkat tetapi dapat bervariasi.

6) PH, kalsium dan bikarbonat menurun

7) Klorida, fosfat dan magnesium: meningkat

8) Protein

Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein melalui, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
esensial.

2.1.9.3 Pencitraan Radionuklida

Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya pengisian dan


pengosongan sebagai akibat dari Acute Kidney Injury.

2.1.9.4 KUB (abdomen)

Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih, adanya kista, tumor dan perpindahan


ginjal atau obstruksi batu.

2.1.10 Penatalaksanaan
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada
terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas.
Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau
toksin, menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan
khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari.
2.1.10.1. AKI Prarenal

Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia harus
disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan
harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang
sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar,
pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan
cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus
yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik cairan
yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hatihati. Gagal
jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan
afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon
intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk
komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.

2.1.10.2. AKI intrinsic renal

AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis
dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau plasmapheresis, tergantung pada
patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial
nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi
cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh
darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan
dengan inhibitor ACE.
2.1.10.3. AKI postrenal

Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist, urologi,


dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh
penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan
bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif.
Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus,
sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan
pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5%
dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan
pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap
apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien
jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal,
dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan
harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan),
beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat
serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta
elektrolit urin dan serum.

2.1.10.4. Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 7. Klasifikasi Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI


Variabel Katabolisme
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena obat Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,
klinis infeksi
MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering

Rute pemberian Oral Enteral +/- Enteral +/-

nutrisi parenteral parenteral


Rekomendasi 20-25 25-30 25-30
energy kkal/kg/BBari kkal/kg/BBari kkal/kg/BBari

Sumber energy Glukosa 3-5 Glukosa 3-5 Glukosa 3-5

g/kgBB/hari g/kgBB/hari g/kgBB/hari


Lemak 0,8-1,2
Lemak 0,5-1
g/kgBB/hari
g/kgBB/hari
Kebutuhan 0,6-1 g/kgBB/hari 0,8-1,2 1,0-1,5
protein g/kgBB/hari g/kgBB/hari

Pemberian Makanan Formula enteral Formula enteral

nutrisi Glukosa 50- Glukosa 50-

70% 70%

Lemak 10-20% Lemak 10-20%

AA 6,5-10 % AA 6,5-10 %

Mikronutrien Mikronutrien

Adapun kriteria untuk memulai terapi pengganti ginal pada pasien kritis dengan gangguan ginal
akut adalah :
 Oliguria : produksi urin < 2000 ml dalam 12 jam

 Anuria : produksi urin < 50 ml dalam 12 jam

 Hiperkalemia : Kadar potassium > 6.5 mmol/L


 Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0

 Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L

 Ensefalopati uremikum

 Neuropati / miopati uremikum

 Pericarditis uremikum

 Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau <120 mmol/L

 Hipertermia

 Keracunan obat

2.1.11 Komplikasi

Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait AKI yang ringan dan
sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya saat awal. Pada tabel berikut
dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan penangannya untuk AKI.

Tabel.8 Komplikasi dan penanganan pada AKI 5,10

Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<

1L/hari)

Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis


Hiponatremia

Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari


infuse larutan hipotonik.

Hiperkalemia Batasi asupan diet K (<40 mmol/hari),


hindari diuretic hemat kalium

Natrium bikarbonat ( upayakan bikarbonat


Asidosis metabolic serum > 15 mmol/L, pH

>7.2 )

Batasi asupan diet fosfat (<800 mg/hari)

Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,


Hiperfosfatemia
kalsium karbonat)

Kalsium karbonat; kalsium glukonat ( 10-


20 ml larutan 10% )

Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)


Hipokalsemia jika tidak dalam kondisi katabolic

Karbohidrat 100 g/hari.

Nutrisi
2.1.13 Prognosis

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu diperhatikan
faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai, perdarahan
gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab kematian
tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-
20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%,
karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan

2.1.14 Pencegahan

Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik seorang pasien,
mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun
obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi
ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI

BAB IV
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
a. Data Demografi

Pada data demografi menuliskan identitas pasien serta penanggung jawab pasien.dari kasus
Gagal Ginjal 70 % kasus GGA terjadi pada bayi di bawah 1 tahun pada minggu pertama
kehidupannya. Dan pada GGK akan pada semua umur dan semua tingkat sosial
ekonomi yang terjadi secara perlahan dan bersifat kronis.

b. Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. Keluhan utama : pasien biasanya datang dengan keluhan air kencing sedikit
dan sampai hilang
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang, oliguria
atau anuria (<300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam), hiperventilasi karena
asidosis,bengkak, hipertensi, hematuria, proteinuria, pancaran urine yang lemah,kencing
menetes atau adanya masa pada palpasi abdomen, diare dengan dehidrasi berat,
penggunaan aminoglikosida, khemoterapi pada leukemia akut
3. Riwayat Penyakit Dahulu: Diare hingga terjadi dehidrasi, glomerulonefritis akut
pasca streptokok,penyakit infeksi pada saluran kemih yang penyembuhannya tidak
adekuatsehingga menimbulkan obstruksi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga tidak ada hubungan secara langsung dalam timbulnya
penyakit gagal ginjal

c. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan gagal ginjal meliputi pemeriksaan fisik umum per
system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tandavital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6(Bone)
1. Breathing : hiperventilasi, asidosis, napas dangkal, kusmaul.
2. Blood : hipertensi, kelebihan cairan, anemia
3. Brain : kelemahan dan keletihan, drowsiness atau kejang.
4. Bladder : hematuria, proteinuria, pancaran urine yang lemah, kencing menetes
atau adanya masa pada palpasi abdomen, oliguria atau anuria
5. Bowel : anorexia, nausea, konstipasi/diare, vomitus
6. Bone : kram otot, kehilangan kekuatan otot.

Pengkajian yang khusus dilakukan pada sistem perkemihan yaitu catat frekuensi urine, adanya
inkontinensia, terasa panas, atau bau aneh. Kaji lokasi nyeri, sakit, dan karakter. Apakah
ada riwayat infeksi saluran kemih atau masalah ginjal. Apakah warna urine normal, jika
pasien melaporkan adanya urine yang mengandung darah, tanyakan pengobatan yang sedang
dijalani seperti antikoagulan. Palpasi kandung kemih dan lakukan perkusi pada lipatan
costovertebral. Bila didapatkan keluhan nyeri atau sakit padasaluran kemih, vagina, atau uretra,
maka curigai adanya penyakit menular seksual. Pada lansia sering didapatkan riwayat gangguan
BAK, mudah BAK atau susah BAK, maka harus diperiksa tekanan urine yang disebabkan oleh
pembengkakan prostat atau infeksi saluran kemih. (Kartikawati, 2013).
Pengkajian lainnya dalam Taylor dan Ralph (2015):
a. Status neurologic : meliputi tingkat kesadaran, orientasi dan status mental
b. Status pernapasan: meliputi frekwensi dan kedalaman pernapasan,kesimetrisan
ekspansi dada, penggunaan otot-otot bantu pernapasan,batuk, sputum, palpasi
fremitus, perkusi lapang paru, auskultasi bunyi napas, kadar gas darah arteri, studi
fungsi paru
c. Status kardiovaskuler: meliputi meliputi warna dan suhu kulit, frekwensi dan irama jantung,
tekanan darah, hemoglobin dan hematokrit, hitung sel darah merah, hitung sel darah
putih, hitung thrombosit, waktu prothrombin, waktu tromboplastin, besi serum
d. Status aktivitas: meliputi kemampuan berfungsi seperti rentang gerak dan kekuatan otot,
aktivitas kehidupan sehari-hari, pekerjaan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial. Diagnosis keperawatan dibagi menjadi dua jenis, yaitu diagnosis negatif dan diagnosis
positif . diagnosis negative menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sakit atau beresiko
mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan mengarahkan pemberian intervensi
keperawatan yang bersifat penyembuhan, pemulihan dan pencegahan. Diagnosis ini terdiri atas
Diagnosis Aktual dan Diagnosis Resiko. Sedangkan diagnosis positif menunjukkan bahwa pasien
dalam kondisi sehat dan dapat mencapai kondisi yang lebih sehat dan optimal. Diagnosis ini
disebut juga dengan Diagnosis Promosi Kesehatan (ICNP, 2015). Pada diagnosis aktual, indikator
diagnostiknya terdiri atas penyebab dan tanda/gejala. Pada diagnosis resiko tidak memiliki
penyebab dan tanda/gejala, hanya memiliki faktor resiko. Diagnosa keperawatan ditegakkan atas
dasar data pasien.
Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal akut adalah sebagai
berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2016):

1) Hipervolemia
2) Defisit nutrisi
3) Nausea
4) Gangguan pertukaran gas
5) Intoleransi aktivitas
6) Resiko penurunan curah jantung
6) Nyeri akut

C. PERENCANAAN

Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, pasien, keluarga, dan orang terdekat
pasien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami
pasien. Tahap perencanaan ini memiliki beberapa tujuan penting, diantaranya sebagai alat
komunikasi antar sesame perawat dan tim kesehatan lainnya, meningkatkan kesinambungan
asuhan keperawatan bagi pasien, serta mendokumentasikan proses dan kriteria hasil asuhan
keperawatan yang ingin dicapai. Unsur terpenting dalam tahap perencanaan ini adalah membuat
orioritas urutan diagnosa keperawatan, merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi, dan
merumuskan intervensi keperawatan (Asmadi, 2008).

D. ASUHAN KEPERAWATAN

NO DX TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
pertukaran gas tindakan keperawatan Observasi
selama 1x24 jam - Monitor frekuensi, irama,
diharapkan pertukaran kedalaman dan upaya napas
gas tidak terganggu - Monitor pola napas
dengan - Monitor saturasi oksigen
kriteria hasil: - Auskultasi bunyi napas
1. Tingkat kesadaran Terapeutik
membaik. - Atur interval pemantauan respirasi
2. Dispnea menurun sesuai kondisi pasien
3. Bunyi napas - Bersihkan sekret pada mulut dan
tambahan menurun hidung, jika perlu
4. Takikardia menurun - Berikan oksigen tambahan, jika
5. Diaphoresis menurun perlu
6. Gelisah menurun - Dokumentasikan hasil
7. Pola napas membaik pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
- Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
2. Nausea Setelah dilakukan Manajemen Mual
tindakan Observasi
keperawatan selama - Identifikasi pengalaman mual
1x24jam maka nausea - Monitor mual (mis. Frekuensi,
membaik durasi, dan tingkat keparahan)
dengan kriteria hasil: Terapeutik
1. Nafsu makan - Kendalikan faktor lingkungan
membaik penyebab (mis. Bau tak sedap,
2. Keluhan mual suara, dan rangsangan visual yang
menurun tidak menyenangkan)
3. Pucat membaik - Kurangi atau hilangkan keadaan
4. Takikardia membaik penyebab mual (mis. Kecemasan,
(60-100 kali/menit) ketakutan, kelelahan)
Edukasi
- Anjurkan istirahat dan tidur cukup
- Anjurkan sering membersihkan
mulut, kecuali jika merangsang
mual
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengatasi mual(mis.
Relaksasi, terapi musik, akupresur)
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiemetik,
jika perlu
3 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawtan Observasi
agen pencedera selama 1x24 jam tingkat - Identifikasi lokasi, karakteristik,
fisiologis. nyeri menurun dengan durasi, frekuensi, kualitas,
Kriteria hasil: intensitas nyeri
- Kemampuan - Identifikasi skala nyeri
menuntaskan aktifitas - Identifikasi respons nyeri non
meningkat verbal
- Keluhan nyeri - Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan memperingan
- Meringis menurun nyeri - Identifikasi pengetahuan dan
- Perasaan takut keyakinan tentang nyeri
mengalami cidera tulang - Identifikasi pengaruh budaya
menurun terhadap respon nyeri
- Ketegangan otot - Identifikasi pengaruh nyeri pada
menurun kualitas hidup
- Pola napas membaik - Monitor keberhasilan terapi
- Tekanan darah komplementer yang sudah
membaik diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis
yntuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

Pemberian Analgesik
Observasi
- Identifikasi karakteristik nyeri
(mis. pencetus, pereda, kualitas,
lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
- Identifikasi riwayat alergi obat
– Identifikasi kesesuaian jenis
analgesik (mis. narkotika, non-
narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
-Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian analgesik
- Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
- Diskusikan jenis analgesik yang
disukai untuk mencapai analgesik
optimal, jika perlu
- Perimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam
serum - Tetapkan target efektifitas
untuk mengoptimalkan respons
pasien
- Dokumentasikan respons terhadap
efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
- Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgetik, sesuai indikasi
4 Hipervolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipervolemia
intervensi keperawatan Observasi:
selama 1x24 jam maka -Periksa tanda dan gejala
keseimbangan cairan hypervolemia(mis. Ortopnea,
meningkat dengan dispnea, edema,
kriteria hasil: JVP/CVPmeningkat, refleks
1.Asupan cairan hepatojugular positif,suara napas
meningkat tambahan)
2.Haluan urine -Identifikasi penyebab
meningkat hypervolemia
3.Kelembaban -Monitor status hemodinamik
membrane mukosa (mis.Frekuensi jantung, tekanan
meningkat darah, MAP,CVP, PAP, POMP,
4.Asupan makanan CO, CI) jika tersedia-Monitor
meningkat intake dan output cairan-Monitor
5.Edema menurun efek samping deuretik
6.Asites menurun (mis.Hipotensi ortortostatik,
7.Dehidrasi menurun hypovolemia,hipokalemia,
hyponatremia)
-Monitor tanda peningkatan
tekanan onkotikplasma (mis. Kadar
protein dan albuminmengingkat)

Terapeutik:
-Timbang berat badan setiap hari
padawaktu yang sama
-Batasi asupan cairan dan garam-
Tinggikan kepala tempat tidur 30°
-40°Edukasi
-Anjurkan melapor jika haluaran
urine <0,5ml/kg/jam dalam 6 jam
-Anjurkan melaporkan jika BB
bertambah>1 kg dalam sehari
-Ajarkan cara mengukur dan
mencatatasupan dan haluaran cairan

Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian diuretic
-Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat deuretik

Pemantuan Cairan
Observasi:
-Monitor frekuensi dan kekuatan
nadi
-Monitor frekuensi napa
Monitor tekanan darah
-Monitor berat badan
-Monitor waktu pengisian kapiler
-Monitor jumlah, warna dan berat
jenis urine
-Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia (misdispnea, edema
perifer, edema anasarca,JVP
meningkat, CVP meningkat, reflex
hepatojugularis positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)

Terapeutik:
-Atur interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
-Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi:
-Jelaskan tujuan prosedur
pemantauan
-Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu

Contoh Kasus
A. Pengkajian

1. Identitas pasien
Nama : Ny. F
Umur : 35 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SLTA
Pengkajian : 01-8-2022

2. Riwayat sakit dan kesehatan


a. Keluhan utama
Pasien mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah kanan, nyeri saat BAK

b. Riwayat penyakit sekarang


Pasien mengatakan sulit berkemih, sakit pinggang sebelah kanan, lemah, mual, sakit kepala,
nafsu .makan akhir-akhir ini berkurang, dan penurunan berat badan yang cukup drastis sejak
1 minggu.

c. Riwayat penyakit dahulu


Pasien mengatakan belum pernah sakit atau nyeri saat kencing, sering minum minuman
manis, kurang konsumsi air putih. Pasien tidak punya riwayat alergi obat, makanan atau
udara.

d. Riwayat keluarga
Pasien mengatakan kalau orang tua yaitu bapak memiliki riwayat sakit hipertensi

e. Riwayat psikososial
Pasien mengatakan merasa cemas dan takut.
 
 w w w . s a k t y a i r l a n g g a . b .
B. Pemeriksaan fisik
a. B1(BREATH) : Napas pendek, dispnea, RR : 28x/menit. Pada pemeriksaan
perkusi : redup

b. B2(BLOOD) : Nadi lemah dan cepat, pucat, TD : 130/90, nadi : 110x/menit, Hb :


10,3 g/dl, CRT: <2 detik.

c. B3(BRAIN) : Ansietas, takut, pasien sadar baik, GCS 456,

d. B4(BLADDER): Oliguria (produksi urine 500cc/24 jam), adanya rasa nyeri saat
buang air kecill.

e. B5(BOWEL): Antropomeri : BB = 55kg, TB = 160 cm Biochemical : Hb= 10,3


g/dl, creatinine = 23 µmol/l, Clinis : Pucat, nafsu makan menurun, mual dan
muntah, turgor kulit baik dan oedem extremitas ringan. Diet : Makan 2x sehari, porsi
makan tidak pernah habis.

f. B6(BONE) : Klien mengalami kelemahan serta edema ekstremitas ringan.


 
C. Pemeriksaan diagnostik
a. Urin Warna : Kecoklatan seperti teh menunjukkan adanya darah
b. Darah
 HT: menurun karena adanya anemia. Hb 10,3 gr/ dl
 BUN/ kreatinin : 23 µmol/l
 GDA: asidosis metabolic, pH 6
 Albumin = 60 g/dl
 Natrium serum: 125 mEq/L
 Kalium : 7,0 mEq/L
c. USG ginjal: ginjal berukuran 11-12cm, lebar 5-7cm, tebal 2,3-3cm dan tidak ada massa kista

D. Analisa Data

Data Etiologi Masalah


DS: Pasien mengatakan mual, tidak Sindrom uremik Nausea b/d gangguan biokimiawi
nafsu makan ↓ (Uremia)
Ureum pada saluran cerna
DO: Porsi makan sedikit dan tidak ↓
pernah habis, hanya 3 Peradangan mukosa
sendok makan. Nadi saluran cerna
110x/mnt, wajah pucat ↓
Ulkus lambung

Mual, muntah

DS:- aliran darah ginjal Hipovolemia



DO: Destruksi struktur ginjal
- Natrium 125 mEq/ L ↓
(normal= 135-145 mEq/ L GFR menurun
(mmol/L)) – ↓
- Kalium 7.0 mEq/ L (normal 3,5 Penyerapan elektrolit di tubulus
– 5 mEq/L) - terganggu
- Kreatinin 95 mg/dl (normal: 20- ↓
40 mg/dl) Penumpukan toksik uremia,
- TD 130/90 nadi 110x/mnt rr hiponatremia, dan
28x/mnt hiperkalemia
- Nadi lemah, volume urin
500ml/24jam
DS: pasien mengatakan nyeri Iskemik / nefrotksin Nyeri akut
pinggang kanan, nyeri saat ↓
berkemih dan BAK sulit kerusakan sel tubuulus atau
keluar glomerulus
DO: BAK sulit keluar, produksi ↓
urine dalam 24jam hanya obstruksi tubulus
500ml. nafas pendek, RR ↓
28x/mnt, TD 130/90mmHg penurunan GFR
nadi 110x/mnt ↓
AKI

kelelahan, kram otot

E. Diagnosa Keperawatan
1. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimiawi ditandai dengan mengeluh mual, tidak nafsu
makan, pucat, takikardia
2. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme regulasi
ditandai dengan frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah meningkat, volume
urin menurun
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan mengeluh nyeri,
frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan berubah.
F. Intervensi keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


1. Nausea Setelah dilakukan tindakan Manajemen Mual
keperawatan selama 1x24jam maka nausea Observasi
membaik. - Identifikasi pengalaman mual
- Monitor mual (mis. Frekuensi,
Kriteria hasil: durasi, dan tingkat keparahan)
1. Nafsu makan membaik Terapeutik
2. Keluhan mual menurun - Kendalikan ntiem lingkungan
3. Pucat membaik penyebab (mis. Bau tak sedap, suara, dan rangsangan
4. Takikardia membaik visual yang tidak menyenangkan)
(60-100 kali/menit) - Kurangi atau hilangkan keadaan
penyebab mual (mis. Kecemasan,
ketakutan, kelelahan)
Edukasi
- Anjurkan istirahat dan tidur cukup
- Anjurkan sering membersihkan
mulut, kecuali jika merangsang
mual
- Ajarkan ntiem nonfarmakologis
untuk mengatasi mual(mis. Relaksasi, terapi ntie,
akupresur)
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian ntiemetic,
jika perlu
2. Gangguan keseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen hypovolemia
cairan dan elektrolit 1x24jam diharapkan terjadinya keseimbangan Observasi
dairan dan elektrolit 1. Periksa tanda dan gejala hypovolemia(misal:
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
Kriteria hasil: tekanan darah menurun, tekanan nadi
1. Kekuatan nadi meningkat menyempit, turgor kulit menurun, membrane
2. Output urin meningkat mukosa kering, volume urin menurun,
3. Frekuensi nadi membaik hematokrit meningkat, haus, lemah)
4. Tekanan darah membaik 2. Monitor intake dan output cairan
5. Hemoglobin membaik Terapeutik
1. Hitung kebutuhan cairan
2. Berikan posisi modified Trendelenburg
3. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2. Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis:
NaCL, RL)
2. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis
(mis: glukosa 2.5%, NaCl 0.4%)
3. Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin,
plasmanate)
4. Kolaborasi pemberian produk darah

3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 Manajemen nyeri


jam tingkat nyeri menurun. Observasi
1.Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Kriteria hasil: kualitas, intensitas nyeri
- keluhan nyeri menurun skala nyeri 2-3
- pola nafas membaik 2. identifkasi skala nyeri

- frekuensi nadi membaik 60-100 x/mnt 3. identifikasi respon nyeri non verbal

- tekanan darah membaik 4. identifikasi faktor yang memperberat dan


120-130 mmHg per systole, 70-80 mmHg per memperingan nyeri
diastole
5. monitor efek samping penggunaan analgetic

Terapeutik
1. berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
2. fasilitasi istirahat tidur

Edukasi
1. jelaskan strategi meredakan nyeri

2. ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi


rasa nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetic

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari,Tanggal/Jam No. Dx Keperawatan Implementasi Perawat


Senin, 1 Agustus 1 Melakukan pengkajian
2022 / jam 09.00 Melakukan pemeriksaan fisik,
Jam 09.05 Memonitor frekuensi mual dan muntah, tingkat keparahan mual dan
muntah seberapa sering. px sering mual dan muntah, muntah berwarna
kekuningan dan sisa makanan.
Jam 09.10 2 Memeriksa tanda-tanda vital, TD 145/78 mmHg N 98x RR 20-22x Suhu
37,2c Spo2 99%
Mengobservasi mukosa bibir kering/tidak, mukosa bibir kering
Mengidentifikasi lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
Jam 09.15 3 dan intensitas nyeri, nyeri hebat dirasa saat buang air kecil dengan skala
4-6.
Mengidentifikasi skala nyeri, skala nyeri 4-6.
Mengidentifikasi respon nyeri non verbal, wajah tampak menyeringai
Jam 09.20 seperti menahan sakit.
Memberikan air putih hangat
Jam 10.00 1 Menghitung kebutuhan cairan
Jam 11.00 2 Berkoolaborasi pemberian cairan IV isotonis
3 Berkolaborasi memberikan terapi anti emetic
Jam 12.00 1 Memonitor kebutuhan cairan, minum habis 150ml air putih
2 Menganjurkan px untuk istirahat dan tidur cukup
Jam 13.30 1 Mengajarkan px tehnik relaksasi
3 Berkolaborasi memberikan terapi analgetik
Jam 14.00 2 Memonitor intak dan output cairan, makan habis ½ porsi.
3 Memfasilitasi istirahat tidur
Selasa, 2 Agustus 2022 Merapikan tempat tidur px
Jam 07.30 Mengobservasi makan px ( px makan habis ½ porsi)
1 Memonitor frekuensi mual dan muntah, tingkat keparahan mual dan
muntah seberapa sering.
3 Mengidentifikasi lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan intensitas nyeri. nyeri dirasa saat buang air kecil dengan skala 4-6.
Mengidentifikasi skala nyeri, skala nyeri 2-3
Jam 08.00 Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
2 Mengobservasi kepatenan iv line dan kebutuhan cairan
Jam 09.00 Memberikan terapi anti emetik sesuai program
Jam 10.00 2 Mengobservasi ttv, mukosa bibir, TD: 127/70 mmHg, N: 88x/mnt, S:
Jam 12.00 36,90C, RR : 18x/mnt, mukosa bibir lembab
Jam 14.00 2 Memonitor intake dan output cairan
1 Memberikan terapi anti emetic sebelum makan
Memfasilitasi px untuk istirahat tidur
3 Menganjurkan px untuk istirahat cukup
Memonitor intake dan output cairan, keluhan nyeri dan skala nyeri.
EVALUASI

Hari/Tanggal/Jam No. Dx Evaluasi Perawat


Keperawatan
Selasa, 2 Agustus 1 S: Pasien mengatakan mual
2022 berkurang, tidak muntah.
14.30
O: Keadaan umum pasien baik,
mukosa bibir lembab, GCS : 4-5-
6, akral hangat,TD: 127/70
mmHg, N: 80x/mnt, S: 36,90C,
RR : 18x/mnt, wajah tak tampak
pucat, makan habis ¾ porsi.

A: Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

S: Pasien mengatakan badan


2 tidak lemas, kencing mulai
banyak

O: Keadaan umum pasien baik,


mukosa bibir lembab
GCS : 4-5-6, akral hangat,
kering, merah, CRT < 2 detik
TD: 127/70 mmHg, N: 80x/mnt,
teratur, kuat, S: 36,90C, RR: 18
x/ mnt. Intake per 24 jam :
2100ml, output : 1700 ml.
balance cairan : + 400ml

A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan.
S: Pasien mengatakan tidak nyeri
saat kencing
3
O: Keadaan umum pasien baik,
GCS : 4-5-6, akral hangat,
kering, merah, pasien tampak
rileks, skala nyeri : 0
TD: 127/70 mmHg, N: 80x/mnt,
teratur, kuat, S: 36,90C, RR: 18
x/ mnt. Intake per 24 jam :
1700ml, output : 1400 ml.
balance cairan : + 300ml

A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan.

DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keprawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan,

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: ECG

Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin : Bandung, Indonesia.


CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.

M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. 6 th edition.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889.

Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice Guideline
for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012. Vol.2. 19-36

Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality of
patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not tell us.
J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
Nash K, Hafeez A, Hou S: Hospital-acquired renal insufficiency. American Journal of
Kidney Diseases 2002; 39:930-936.

United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute Kidney
Injury. 2015. Vol. 1. 57-66

Markum, H. M. S. Gangguan Ginjal Akut. In : Sudoyo AW et al (ed). Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: InternaPublishing; 2009.p1041

Hoste E, Clermont G, Kersten A, et al.: RIFLE criteria for acute kidney injury are associated
with hospital mortality in critically ill patients: A cohort analysis. Critical Care 2006;
10:R73.

Anonymous. (2015). 13 Bagian-Bagian Ginjal Manusia – Fungsi dan Penjelasannya. Diambil


tanggal 05 Juli 2018 dari https://dosenbiologi.com

Corwin, Elizabeth. (2009). Buku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC


Doenges, Moorhouse, dan Geissler. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Muliani. (2014). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Asupan Serat Penderita

DM Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah
Manutung. Lampung.

Maryani, H. (2010). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pola Kematian pada Penyakit
Degeneratif di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 13 No. 1. Surabaya.

Nurarif & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. Jakarta : Mediaction

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2.
Salemba Medika. Jakarta. Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC

Sinto & Nainggolan G. (2010). Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata Laksana.
Jurnal Indonesian Medical Association. Diambil tanggal 04 Juni 2018 dari http://www.tropic-
infection.ui.ac.id

Sloane, Ethel. (2014). Anatomi dan Fisiologi, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai