Disusun Oleh :
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang
sampah metabolism dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah. Dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal ini
karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian.
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA)
atau acute renal failure (ARF) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang
dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Insidens di negara berkembang,
khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah
sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis .Beberapa laporan di
dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,50,9% pada komunitas, 0,7-18% pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25%
hingga 80%.
Dampak pada pasien yang menderita Acute Kidney Injury jadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai creatinin clearance turun sampai 15 ml/menit
atau lebih rendah.
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup dan pengobatan penyakit yang mendasari
sangatlah penting pada pasien dengan AKI. AKI merupakan penyakit life threatening
disease, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan
dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit
dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan,
serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah faktor -
faktor yang mempengaruhi penderita Acute Kidney Injury (AKI ) terhadap pengobatan.
Mengetahui faktor- faktor apa yang mempengaruhi penderita Acute Kidney Injury (AKI)
terhadap pengobatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Acute Kidney Injury (AKI )
2.1.1 Definisi
Acute Kidney Injury merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fingsi
ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan
azotemia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat
menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5mg/dl/hari dan kadar nitrogen
urea darah sebanyak 10mg/dl/hari dalam beberapa hari (Price & Wilson, 2012).
Acute Kidney Injury adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengeksresi
sisa metabolisme nitrogen, dengan atau tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sinto & Nainggolan, 2010)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kesimpulannya adalah Acute Kidney Injury
merupakan suatu penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang berlangsung dengan cepat.
Penurunan filtrasi glomerulus (60-89%) menyebabkan peningkatan pada kreatinin dan
kegagalan ginjal untuk mengsekresi sisa metabolisme nitrogen.
Setiap manusia mempunyai dua ginjal yang terletak retroperitoneal dalam rongga
abdomen dan berat masing-masing ± 150 gram. Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang
berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar
kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125-175g pada laki-laki dan 115155g pada
perempuan. Ginjal terletak di area yang tinggi, yaitu pada dinding abdomen posterior yang
berdekatan dengan dua pasang iga terakhir. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri,
karena adanya lobus hepatis dekstra yang besar. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang
disebut kapsula fibrosa.
Gambar 2.1 Anatomi ginjal
Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara
membuang sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang diperlukan oleh tubuh. Fungsi ini amat
penting bagi tubuh untuk menjaga hemeostatis. Homeostatis amat penting dijaga karena sel – sel
tubuh hanya bisa berfungsi pada keadaan cairan tertentu. Walaupun begitu, ginjal tidak selalu
bisa mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal
mengeluarkan minimal 0,5 liter air per hari untuk kebutuhan pembuangan racun. Hal ini tetap
harus dilakukan walaupun tubuh berada dalam kondisi dehidrasi berat.
Secara singkat, kerja ginjal bisa diuraikan menjadi :
Sistem ekskresi sendiri terdiri atas 2 buah ginjal dan saluran keluarnya urin. Ginjal
sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke medialnya. Ginjal akan
mengambil zat –zat yang berbahaya dari darah dan mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di
kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan micturisi dan keadaan memungkinkan,
maka urin yang ditampung dikandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra.
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut nefron. Susunan
nefron – nefron ini membagi ginjal menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medulla. Nefron sendiri
terdiri atas glomerulus dan tubulus. Glomerulus tersusun atas pembuluh darah – pembuluh darah
yang membentuk suatu untaian di kapsula Bowman. Glomerulus berasal dari arteri ginjal, arteri
ini awalnya terbagi menjadi afferent arterioles yang masing – masing menuju 1 nefron dan
menjadi glomerulus. Glomerulus akan berakhir di efferent arterioles. Arteriol terakhir tersebut
lalu menjadi kapiler yang berfungsi memberi pasokan oksigen dan energi bagi ginjal. Kapiler ini
sekaligus berfungsi menerima zat – zat reabsorbsi dan membuang zat – zat sekresi ginjal.
Tubulus ginjal tersusun atas sel – sel epitel kuboid selapis. Tubulus ini dimulai dari
kapsul Bowman lalu menjadi tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontrotus
distal, dan berakhir di tubulus pengumpul. Seluruh bagian tubulus kontortus berada di korteks,
sementara lengkung Henle di medulla. Jalur naik dari tubulus kontortus distal akan lewat diantara
afferent dan efferent arterioles yang disebut juxtaglomerulus apparatus.
Nefron ginjal sendiri terbagi atas 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung Henlenya hanya
sedikit masuk medulla dan memiliki kapiler peritubular, dan nefron juxtamedullary yang
lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan memiliki vasa recta. Vasa recta dalam
susunan kapiler yang memanjang mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara
makroskopis, korteks ginjal akan terlihat berbintik – bintik karena adanya glomerulus, sementara
medulla akan terlihat bergaris – garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus kolektus.
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorbsi, dan sekresi. Filtrasi akan mengambil 20 % plasma yang masuk glomerulus tanpa
menyeleksinya. Kurang lebih akan didapat 125 ml filtrate/menit atau 180 liter/hari. Dari jumlah
itu, 178,5 liter/hari akan direabsorbsi. Maka rata – rata urin orang normal 1,5 liter/hari.
2.1.4 Klasifikasi
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus mencakup:
1) Sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal,
2) Penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas,
3) Penilaian yang cermat pada status volume, dan
4) Langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah
memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan
AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal.
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal yang terjadi
dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin serum
yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang menurun, meskipun
terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili
tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler
atau penurunan aliran darah ginjal.
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :
a. Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48 jam atau
b. Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau
dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
c. Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan
prognosis gangguan ginjal seperti terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Peningkatan Penurunan
Kategori Kriteria UO
SCr LFG
Risk > 1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar <0 ,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar > 50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar > 75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL > 24 jam atau
dengan kenaikan
Anuria ≥12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetapselama lebih dari 4 minggu
End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari3 bulan
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan
intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan
peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan. Dengan beberapa modifikasi,
kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN
tahap 1, 2, dan 3. Kategori L dan E pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome)
sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.
Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2.
Tahap Peningkatan SCr Kriteria UO
1 >1,5 kali nilai dasar atau <0 ,5 mL/kg/jam, ≥6 jam
peningkatan > 0,3 mg/dL
2 >2,0 kali nilai dasar <0 ,5 mL/kg/jam, ≥12jam
3 >3,0 kali nilai dasar atau <0 ,5 mL/kg/jam, ≥24
jam atau
>4 mg/dL dengan kenaikan akut > 0,5
mg/dL atau Anuria ≥12 jam
inisiasi terapi pengganti ginjal
Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga memberikan evaluasi
yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan derajat AKI juga harus akurat karena dengan
peningkatan derajat, maka risiko meninggal dan TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko
jangka panjang setelah terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit kardiovaskuler atau CKD dan
kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus diklasifikasikan berdasarkan derajat
tertingginya. Jadi jika SCr dan UO memberikan hasil derajat yang berbeda, pasien
diklasifikasikan dalam derajat yang lebih tinggi.
2.1.5 Etiologi
Menurut Sinto & Nainggolan (2010), etiologi Acute Kidney Injury dibagi menjadi 3
kelompok utama berdasarkan patogenesis Acute Kidney Injury, yakni penyakit yang
menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (Acute
Kidney Injury prarenal 55%); penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (Acute Kidney Injury renal 40%); penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (Acute Kidney Injury pascarenal 5%). Angka kejadian penyebab Acute
Kidney Injury sangat tergantung dari tempat terjadinya Acute Kidney Injury.
1) Hipovolemia
(1) Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskuler kerusakan jaringan
(3) Kehilangan cairan keluar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar).
2) Penurunan curah jantung
(1) Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
(4) Aritmia
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan
dalam autoregulasi ini adalah:
Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen • Timbal balik
tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada
keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin
serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada
keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek
miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang
terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1.
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung
dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol
afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium
dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi
kerusakan struktural dari ginjal.
Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit parenkim ginjal.
Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :
2. Glomerulus ginjal
3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
4. Interstitial ginjal
Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut disebabkan oleh
keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering
menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada
kelainan vaskuler terjadi:
• peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan sensitifitas
terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
• terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal,
yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan
nitric oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
• peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-18, yang
selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari
sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-
sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik dan nefrotoksik
baik endogenous dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan
perubahan perfusi regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab lain
yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan
parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.(Marlies Ostermann, MD,
MRCP (UK); René W. S. Chang, BSc, MS, 2007)
Sepsis-associated AKI
Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang. Penurunan LFG
pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan kasus sepsis
yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui
tubular injury berhubungan secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris
tubular dan cast pada urin.
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena terjadi vasodilatasi arterial yang
tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah.
Jadi terjadi vasodilatasi arteriol eferen yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada
sepsis yang berlanjut akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron,
vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang menghasilkan
thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies serta adesi dan migrasi leukosit yang dapat
merusak sel tubular renal.
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-renal
disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi
kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat
terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila obstruksi akut terjadi
pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya
tidak berfungsi.
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah
ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2.
Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam
mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan
penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah
24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini
mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang menyebabkan
fibrosis interstisial ginjal.
Menurut Smeltzer & Bare (2013), hampir semua sistem tubuh dipengaruhi ketika terjadi
kegagalan mekanisme pengaturan ginjal normal. Pasien tampak sangat menderita dan letargi
disertai mual persisten, muntah dan diare. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
dan napas mungkin berbau urin (fetor uremik). Manifestasi sistem saraf pusat mencakup rasa
lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang. Manifestasi klinis Acute Kidney Injury yaitu:
2.1.7.1 Perubahan Haluaran Urin
Haluaran urin sedikit, dapat mengandung darah, dan gravitas spesifiknya rendah.
Terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN dan laju peningkatannya bergantung pada
tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantuan
fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
2.1.7.3 Hiperkalemia
Pasien yang mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan
kalium. Katabolisme protein menghasilkan pelepasan kalium seluler kedalam cairan tubuh,
menyebabkan hiperkalemia berat (kadar serum K + tinggi). Hiperkalemia menyebabkan disritmia
dan henti jantung. Sumber kalium mencakup katabolisme jaringan normal; masukkan diet, darah
disaluran gastrointestinal; atau transfusi darah dan sumber-sumber (infus intravena, penisilin
kalium dan pertukaran ekstraseluler sebagai respons terdapat adanya asidosis metabolik).
Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis asam
yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah.
Sehingga, asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
2.1.7.6 Anemia
Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakan
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia
sel darah merah dan kehilangan darah, biasanya saluran gastrointestinal. Adanya bentuk
eritropoetin (epogen) yang sekarang banyak tersedia, menyebabkan anemia tidak lagi menjadi
masalah utama dibanding sebelumnya.
2.1.8 Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan
di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau
merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan
kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan
klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran
ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran
kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati
diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada
penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal, renal dan post-
renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya seperti misalnya
operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi
saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan gagal ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar ureum,
kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu diperiksa asupan dan keluaran
cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh.
Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang
sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau
edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi
oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali
kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG
karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi
oleh ginjal
b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik
untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia
darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA
prerenal biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria
maupun poliuria.
Kristal
traktus urinarius
1) Pada penderita PCOS (Polyccystic ovary syndrome) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin.
2) Pada penderita sindrome metabolik mempunyai riwayat TGT (toleransi gangguan glukosa)
atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dan sebelumnya memiliki riwayat penyakit
kardiovaskuler seperti stroke, Jantung koroner atau PAD (peripheral arterial diseases).
2.1.9 Pemeriksaan diagnostik
Menurut Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2014), pemeriksaan diagnostik pada Acute Kidney Injury,
yaitu:
2.1.9.1 Urin
1) Volume
Biasanya kurang dari 400 ml per 24 jam (fase oliguria), yang terjadi dalam 24-48 jam setelah
ginjal rusak.
2) Warna
3) Berat jenis
Kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan
kehilangan kemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat.
4) Potensial hidrogen
Lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kemih nekrosis tubular rise ginjal dan gagal
ginjal kronis.
5) Osmolaritas
Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan urin/serum sering 1:1.
6) Klirens Kreatinin
Mungkin Secara bermakna menurun sebelum BUN dan Kreatinin serum menunjukkan
peningkatan bermakna.
7) Natrium
Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 m/S bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
8) Bikarbonat
10) Protein
Proteinuria derajat tinggi (3-4+) sangat menyejukkan kerusakan glomerulus bila sel darah
merah dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM (sel darah
merah) dapat menunjukkan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria
minimal.
11) Warna tambahan
Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi. Warna tambahan seluler dengan pigmen kecoklatan
dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga
nefritis glomular.
2.1.9.2 Darah
1) Hemoglobin
2) Potensial hidrogen
Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan, ginjal
untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
3) BUN/kreatinin
Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1
4) Osmolalitas serum
Lebih besar dari 2850 mOsm/kg sering sama dengan urin kalium meningkat sehubungan
dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah).
5) Natrium
8) Protein
Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein melalui, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
esensial.
2.1.10 Penatalaksanaan
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada
terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas.
Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau
toksin, menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan
khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari.
2.1.10.1. AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia harus
disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan
harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang
sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar,
pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan
cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus
yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik cairan
yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hatihati. Gagal
jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan
afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon
intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk
komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis
dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau plasmapheresis, tergantung pada
patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial
nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi
cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh
darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan
dengan inhibitor ACE.
2.1.10.3. AKI postrenal
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 5.
70% 70%
AA 6,5-10 % AA 6,5-10 %
Mikronutrien Mikronutrien
Adapun kriteria untuk memulai terapi pengganti ginal pada pasien kritis dengan gangguan ginal
akut adalah :
Oliguria : produksi urin < 2000 ml dalam 12 jam
Ensefalopati uremikum
Pericarditis uremikum
Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau <120 mmol/L
Hipertermia
Keracunan obat
2.1.11 Komplikasi
Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait AKI yang ringan dan
sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya saat awal. Pada tabel berikut
dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan penangannya untuk AKI.
Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<
1L/hari)
>7.2 )
Nutrisi
2.1.13 Prognosis
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu diperhatikan
faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai, perdarahan
gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab kematian
tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-
20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%,
karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan
2.1.14 Pencegahan
Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik seorang pasien,
mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun
obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi
ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI
BAB IV
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
a. Data Demografi
Pada data demografi menuliskan identitas pasien serta penanggung jawab pasien.dari kasus
Gagal Ginjal 70 % kasus GGA terjadi pada bayi di bawah 1 tahun pada minggu pertama
kehidupannya. Dan pada GGK akan pada semua umur dan semua tingkat sosial
ekonomi yang terjadi secara perlahan dan bersifat kronis.
1. Keluhan utama : pasien biasanya datang dengan keluhan air kencing sedikit
dan sampai hilang
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang, oliguria
atau anuria (<300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam), hiperventilasi karena
asidosis,bengkak, hipertensi, hematuria, proteinuria, pancaran urine yang lemah,kencing
menetes atau adanya masa pada palpasi abdomen, diare dengan dehidrasi berat,
penggunaan aminoglikosida, khemoterapi pada leukemia akut
3. Riwayat Penyakit Dahulu: Diare hingga terjadi dehidrasi, glomerulonefritis akut
pasca streptokok,penyakit infeksi pada saluran kemih yang penyembuhannya tidak
adekuatsehingga menimbulkan obstruksi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga tidak ada hubungan secara langsung dalam timbulnya
penyakit gagal ginjal
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan gagal ginjal meliputi pemeriksaan fisik umum per
system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tandavital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6(Bone)
1. Breathing : hiperventilasi, asidosis, napas dangkal, kusmaul.
2. Blood : hipertensi, kelebihan cairan, anemia
3. Brain : kelemahan dan keletihan, drowsiness atau kejang.
4. Bladder : hematuria, proteinuria, pancaran urine yang lemah, kencing menetes
atau adanya masa pada palpasi abdomen, oliguria atau anuria
5. Bowel : anorexia, nausea, konstipasi/diare, vomitus
6. Bone : kram otot, kehilangan kekuatan otot.
Pengkajian yang khusus dilakukan pada sistem perkemihan yaitu catat frekuensi urine, adanya
inkontinensia, terasa panas, atau bau aneh. Kaji lokasi nyeri, sakit, dan karakter. Apakah
ada riwayat infeksi saluran kemih atau masalah ginjal. Apakah warna urine normal, jika
pasien melaporkan adanya urine yang mengandung darah, tanyakan pengobatan yang sedang
dijalani seperti antikoagulan. Palpasi kandung kemih dan lakukan perkusi pada lipatan
costovertebral. Bila didapatkan keluhan nyeri atau sakit padasaluran kemih, vagina, atau uretra,
maka curigai adanya penyakit menular seksual. Pada lansia sering didapatkan riwayat gangguan
BAK, mudah BAK atau susah BAK, maka harus diperiksa tekanan urine yang disebabkan oleh
pembengkakan prostat atau infeksi saluran kemih. (Kartikawati, 2013).
Pengkajian lainnya dalam Taylor dan Ralph (2015):
a. Status neurologic : meliputi tingkat kesadaran, orientasi dan status mental
b. Status pernapasan: meliputi frekwensi dan kedalaman pernapasan,kesimetrisan
ekspansi dada, penggunaan otot-otot bantu pernapasan,batuk, sputum, palpasi
fremitus, perkusi lapang paru, auskultasi bunyi napas, kadar gas darah arteri, studi
fungsi paru
c. Status kardiovaskuler: meliputi meliputi warna dan suhu kulit, frekwensi dan irama jantung,
tekanan darah, hemoglobin dan hematokrit, hitung sel darah merah, hitung sel darah
putih, hitung thrombosit, waktu prothrombin, waktu tromboplastin, besi serum
d. Status aktivitas: meliputi kemampuan berfungsi seperti rentang gerak dan kekuatan otot,
aktivitas kehidupan sehari-hari, pekerjaan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial. Diagnosis keperawatan dibagi menjadi dua jenis, yaitu diagnosis negatif dan diagnosis
positif . diagnosis negative menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sakit atau beresiko
mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan mengarahkan pemberian intervensi
keperawatan yang bersifat penyembuhan, pemulihan dan pencegahan. Diagnosis ini terdiri atas
Diagnosis Aktual dan Diagnosis Resiko. Sedangkan diagnosis positif menunjukkan bahwa pasien
dalam kondisi sehat dan dapat mencapai kondisi yang lebih sehat dan optimal. Diagnosis ini
disebut juga dengan Diagnosis Promosi Kesehatan (ICNP, 2015). Pada diagnosis aktual, indikator
diagnostiknya terdiri atas penyebab dan tanda/gejala. Pada diagnosis resiko tidak memiliki
penyebab dan tanda/gejala, hanya memiliki faktor resiko. Diagnosa keperawatan ditegakkan atas
dasar data pasien.
Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal akut adalah sebagai
berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2016):
1) Hipervolemia
2) Defisit nutrisi
3) Nausea
4) Gangguan pertukaran gas
5) Intoleransi aktivitas
6) Resiko penurunan curah jantung
6) Nyeri akut
C. PERENCANAAN
Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, pasien, keluarga, dan orang terdekat
pasien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami
pasien. Tahap perencanaan ini memiliki beberapa tujuan penting, diantaranya sebagai alat
komunikasi antar sesame perawat dan tim kesehatan lainnya, meningkatkan kesinambungan
asuhan keperawatan bagi pasien, serta mendokumentasikan proses dan kriteria hasil asuhan
keperawatan yang ingin dicapai. Unsur terpenting dalam tahap perencanaan ini adalah membuat
orioritas urutan diagnosa keperawatan, merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi, dan
merumuskan intervensi keperawatan (Asmadi, 2008).
D. ASUHAN KEPERAWATAN
NO DX TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
pertukaran gas tindakan keperawatan Observasi
selama 1x24 jam - Monitor frekuensi, irama,
diharapkan pertukaran kedalaman dan upaya napas
gas tidak terganggu - Monitor pola napas
dengan - Monitor saturasi oksigen
kriteria hasil: - Auskultasi bunyi napas
1. Tingkat kesadaran Terapeutik
membaik. - Atur interval pemantauan respirasi
2. Dispnea menurun sesuai kondisi pasien
3. Bunyi napas - Bersihkan sekret pada mulut dan
tambahan menurun hidung, jika perlu
4. Takikardia menurun - Berikan oksigen tambahan, jika
5. Diaphoresis menurun perlu
6. Gelisah menurun - Dokumentasikan hasil
7. Pola napas membaik pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
- Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
2. Nausea Setelah dilakukan Manajemen Mual
tindakan Observasi
keperawatan selama - Identifikasi pengalaman mual
1x24jam maka nausea - Monitor mual (mis. Frekuensi,
membaik durasi, dan tingkat keparahan)
dengan kriteria hasil: Terapeutik
1. Nafsu makan - Kendalikan faktor lingkungan
membaik penyebab (mis. Bau tak sedap,
2. Keluhan mual suara, dan rangsangan visual yang
menurun tidak menyenangkan)
3. Pucat membaik - Kurangi atau hilangkan keadaan
4. Takikardia membaik penyebab mual (mis. Kecemasan,
(60-100 kali/menit) ketakutan, kelelahan)
Edukasi
- Anjurkan istirahat dan tidur cukup
- Anjurkan sering membersihkan
mulut, kecuali jika merangsang
mual
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengatasi mual(mis.
Relaksasi, terapi musik, akupresur)
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiemetik,
jika perlu
3 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawtan Observasi
agen pencedera selama 1x24 jam tingkat - Identifikasi lokasi, karakteristik,
fisiologis. nyeri menurun dengan durasi, frekuensi, kualitas,
Kriteria hasil: intensitas nyeri
- Kemampuan - Identifikasi skala nyeri
menuntaskan aktifitas - Identifikasi respons nyeri non
meningkat verbal
- Keluhan nyeri - Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan memperingan
- Meringis menurun nyeri - Identifikasi pengetahuan dan
- Perasaan takut keyakinan tentang nyeri
mengalami cidera tulang - Identifikasi pengaruh budaya
menurun terhadap respon nyeri
- Ketegangan otot - Identifikasi pengaruh nyeri pada
menurun kualitas hidup
- Pola napas membaik - Monitor keberhasilan terapi
- Tekanan darah komplementer yang sudah
membaik diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis
yntuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
Pemberian Analgesik
Observasi
- Identifikasi karakteristik nyeri
(mis. pencetus, pereda, kualitas,
lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
- Identifikasi riwayat alergi obat
– Identifikasi kesesuaian jenis
analgesik (mis. narkotika, non-
narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
-Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian analgesik
- Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
- Diskusikan jenis analgesik yang
disukai untuk mencapai analgesik
optimal, jika perlu
- Perimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam
serum - Tetapkan target efektifitas
untuk mengoptimalkan respons
pasien
- Dokumentasikan respons terhadap
efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
- Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgetik, sesuai indikasi
4 Hipervolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipervolemia
intervensi keperawatan Observasi:
selama 1x24 jam maka -Periksa tanda dan gejala
keseimbangan cairan hypervolemia(mis. Ortopnea,
meningkat dengan dispnea, edema,
kriteria hasil: JVP/CVPmeningkat, refleks
1.Asupan cairan hepatojugular positif,suara napas
meningkat tambahan)
2.Haluan urine -Identifikasi penyebab
meningkat hypervolemia
3.Kelembaban -Monitor status hemodinamik
membrane mukosa (mis.Frekuensi jantung, tekanan
meningkat darah, MAP,CVP, PAP, POMP,
4.Asupan makanan CO, CI) jika tersedia-Monitor
meningkat intake dan output cairan-Monitor
5.Edema menurun efek samping deuretik
6.Asites menurun (mis.Hipotensi ortortostatik,
7.Dehidrasi menurun hypovolemia,hipokalemia,
hyponatremia)
-Monitor tanda peningkatan
tekanan onkotikplasma (mis. Kadar
protein dan albuminmengingkat)
Terapeutik:
-Timbang berat badan setiap hari
padawaktu yang sama
-Batasi asupan cairan dan garam-
Tinggikan kepala tempat tidur 30°
-40°Edukasi
-Anjurkan melapor jika haluaran
urine <0,5ml/kg/jam dalam 6 jam
-Anjurkan melaporkan jika BB
bertambah>1 kg dalam sehari
-Ajarkan cara mengukur dan
mencatatasupan dan haluaran cairan
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian diuretic
-Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat deuretik
Pemantuan Cairan
Observasi:
-Monitor frekuensi dan kekuatan
nadi
-Monitor frekuensi napa
Monitor tekanan darah
-Monitor berat badan
-Monitor waktu pengisian kapiler
-Monitor jumlah, warna dan berat
jenis urine
-Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia (misdispnea, edema
perifer, edema anasarca,JVP
meningkat, CVP meningkat, reflex
hepatojugularis positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
Terapeutik:
-Atur interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
-Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi:
-Jelaskan tujuan prosedur
pemantauan
-Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
Contoh Kasus
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Ny. F
Umur : 35 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SLTA
Pengkajian : 01-8-2022
d. Riwayat keluarga
Pasien mengatakan kalau orang tua yaitu bapak memiliki riwayat sakit hipertensi
e. Riwayat psikososial
Pasien mengatakan merasa cemas dan takut.
w w w . s a k t y a i r l a n g g a . b .
B. Pemeriksaan fisik
a. B1(BREATH) : Napas pendek, dispnea, RR : 28x/menit. Pada pemeriksaan
perkusi : redup
d. B4(BLADDER): Oliguria (produksi urine 500cc/24 jam), adanya rasa nyeri saat
buang air kecill.
D. Analisa Data
E. Diagnosa Keperawatan
1. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimiawi ditandai dengan mengeluh mual, tidak nafsu
makan, pucat, takikardia
2. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme regulasi
ditandai dengan frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah meningkat, volume
urin menurun
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan mengeluh nyeri,
frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan berubah.
F. Intervensi keperawatan
- frekuensi nadi membaik 60-100 x/mnt 3. identifikasi respon nyeri non verbal
Terapeutik
1. berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
2. fasilitasi istirahat tidur
Edukasi
1. jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetic
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
A: Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan.
S: Pasien mengatakan tidak nyeri
saat kencing
3
O: Keadaan umum pasien baik,
GCS : 4-5-6, akral hangat,
kering, merah, pasien tampak
rileks, skala nyeri : 0
TD: 127/70 mmHg, N: 80x/mnt,
teratur, kuat, S: 36,90C, RR: 18
x/ mnt. Intake per 24 jam :
1700ml, output : 1400 ml.
balance cairan : + 300ml
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. 6 th edition.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889.
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice Guideline
for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012. Vol.2. 19-36
Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality of
patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not tell us.
J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
Nash K, Hafeez A, Hou S: Hospital-acquired renal insufficiency. American Journal of
Kidney Diseases 2002; 39:930-936.
United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute Kidney
Injury. 2015. Vol. 1. 57-66
Hoste E, Clermont G, Kersten A, et al.: RIFLE criteria for acute kidney injury are associated
with hospital mortality in critically ill patients: A cohort analysis. Critical Care 2006;
10:R73.
DM Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah
Manutung. Lampung.
Maryani, H. (2010). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pola Kematian pada Penyakit
Degeneratif di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 13 No. 1. Surabaya.
Nurarif & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. Jakarta : Mediaction
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2.
Salemba Medika. Jakarta. Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC
Sinto & Nainggolan G. (2010). Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata Laksana.
Jurnal Indonesian Medical Association. Diambil tanggal 04 Juni 2018 dari http://www.tropic-
infection.ui.ac.id