Anda di halaman 1dari 10

A.

ANATOMI KANDUNG EMPEDU


Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk seperti buah pir,
berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu
cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati oleh jaringan ikat yang longgar. Dinding
kandung empedu terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan
duktus koledokus lewat duktus sistikus (Smeltzer dan Bare, 2002). Kandung empedu memiliki
bagian berupa fundus, korpus, dan kolum. Fundus berbentuk bulat, berujung buntu pada
kandung empedu sedikit memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari
kandung empedu. Kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu yang terletak antara
korpus dan duktus sistika Empedu yang disekresikan dari hati akan disimpan sementara
waktu dalam kandung empedu. Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak
diantara lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit dan membawanya ke
saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus
hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu bergabung untuk membentuk
duktus koledokus (common bile duct) yang akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum.
Aliran empedu ke dalam intestinum dikendalikan oleh sfingter oddi yang terletak pada tempat
sambungan (junction) dimana duktus koledokus memasuki duodenum (Smeltzer dan Bare,
2002).
B. FISIOLOGI
1. FISIOLOGI SALURAN EMPEDU
Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan
empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan
empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2015). Empedu diproduksi oleh
sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami
pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter akan
mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum. Sewaktuwaktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermitten karena tekanan saluran
empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan empedu diatur oleh tiga
faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan dari
sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013).
Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.

Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk


buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh
sel- sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal


ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah
makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding
kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang
bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis
kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat
oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.
Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum

terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak


terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi
bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung
empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam (Townsend, 2012).
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan (Sjamsuhidayat, 2010;
Hunter, 2014).

C. DEFINISI KOLELITIASIS
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.3,4 Kandung empedu
adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan dan menyimpan
empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran
balik karena adanya penyempitan saluran.3,18 Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat,
maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri
bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya
D. ETIOLOGI KOLELITIASIS
Penyebab dan faktor resiko terjadinya batu empedu masih belum diketahui secara
pasti. Kumar et al (2000) dalam Gustawan (2007) mendapatkan penyebab batu kandung
empedu adalah idiopatik, penyakit hemolitik, dan penyakit spesifik non-hemolitik. Schweizer
et al (2000) dalam Gustawan (2007) mengatakan anak yang mendapat nutrisi parenteral total
yang lama, setelah menjalani operasi by pass kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan
anak perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal mempunyai resiko untuk
menderita kolelitiasis.
Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal, pembentukan batu empedu
terjadi karena adanya peningkatan saturasi kolesterol bilier (Smeltzer dan Bare, 2002).
Kegemukan merupakan faktor yang signifikan untuk terjadinya batu kandung
empedu. Pada keadaan ini hepar memproduksi kolesterol yang berlebih, kemudian dialirkan
ke kandung empedu sehingga konsentrasinya dalam kandung empedu menjadi sangat jenuh.
Keadaan ini merupakan faktor predisposisi terbentuknya batu (Gustawan, 2007). Orang
dengan usia lebih dari 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang yang usia lebih muda. Hal ini terjadi akibat bertambahnya sekresi kolesterol
oleh hati dan menurunnya sintesis asam empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
Selain itu adanya proses aging, yaitu suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan

struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono, 1994). Angka prevalensi orang dewasa lebih
tinggi di negara Amerika latin (20-40%) dan rendah di negara Asia (3-4%) (Robbin, 2007). Di
Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan dari
hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu
E. TIPE BATU EMPEDU
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan
batu terutama yang tersusun dari kolesterol (Smeltzer dan Bare, 2002). Komposisi dari batu
empedu merupakan campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks
inorganik (Gustawan, 2007).
1. Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari seluruh beratnya,
sisanya terdiri dari protein dan garam kalsium. Batu kolesterol sering mengandung
kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal kolesterol yang murni biasanya agak
lunak dan adanya protein menyebabkan konsistensi batu empedu menjadi lebih
keras (Gustawan, 2007). Batu kolesterol terjadi karena konsentrasi kolesterol di
dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi.
Jika kolesterol dalam kandung empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama
kelamaan menjadi batu. Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk
empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam
empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi
getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap
dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan
predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang
menyebabkan peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut,
terdiri dari kalsium bilirubinat, kalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Kolesterol
terdapat dalam batu pigmen dalam jumlah yang kecil yaitu 10% dalam batu pigmen
hitam dan 10-30% dalam batu pigmen coklat. Batu pigmen dibedakan menjadi dua
yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat, keduanya mengandung garam
kalsium dari bilirubin. Batu pigmen hitam mengandung polimer dari bilirubin dengan
musin glikoprotein dalam jumlah besar, sedangkan batu pigmen coklat mengandung
garam kalsium dengan sejumlah protein dan kolesterol yang bervariasi. Batu pigmen
hitam umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau penyakit hemolitik kronik seperti
thalasemia dan anemia sel sikle. Batu pigmen coklat sering dihubungkan dengan
kejadian infeksi (Gustawan, 2007). Batu pigmen akan terbentuk bila pigmen
takterkonyugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga
terjadi batu (Smeltzer dan Bare, 2002).

F. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terbentuknya batu kolesterol diawali adanya pengendapan kolesterol
yang membentuk kristal kolesterol. Batu kolesterol terbentuk ketika konsentrasi kolesterol
dalam saluran empedu melebihi kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu
pelarut, kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya membentuk batu. Pembentukan batu
kolesterol melibatkan tiga proses yang panjang yaitu pembentukan empedu yang sangat
jenuh (supersaturasi), pembentukan kristal kolesterol dan agregasi serta proses pertumbuhan
batu. Proses supersaturasi terjadi akibat peningkatan sekresi kolesterol, penurunan sekresi
garam empedu atau keduanya (Gustawan, 2007). Patogenesis batu pigmen melibatkan
infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas enzim
b-glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis
batu pigmen pada pasien dinegara Timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan
membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagaicalcium bilirubinate.
enzim b-glucuronidase bakteri berasal kuman E.coli dan kuman lainnya di saluran empedu.
Enzim ini dapat dihambat glucarolactone yang kadarnya meningkat pada pasien dengan diet
rendah protein dan rendah lemak (Lesmana, 2006)
Patogenesis batu pigmen hitam banyak dijumpai pada pasien-pasien sirosis, penyakit
hemolitik seperti thalasemia dan anemia sel sikle. Batu pigmen hitam terjadi akibat
melimpahnya bilirubin tak terkonyugasi dalam cairan empedu. Peningkatan ini disebabkan
karena peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisis, proses konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna (penyakit sirosis hati) dan proses dekonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi ini
kemudian membentuk kompleks dengan ion kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat
yang mempunyai sifat sangat tidak larut. Proses adifikasi yang tidak sempurna menyebabkan
peningkatan pH, dan keadaan ini merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium
bilirubinat yang terbentuk terikat dengan musin tertahan di kandung empedu. Hal ini sebagai
awal proses terbentuknya batu (Gustawan, 2007).
Patogenesis batu pigmen coklat umumnya terbentuk dalam duktus biliaris yang
terinfeksi. Batu pigmen coklat mengandung lebih banyak kolesterol dibanding batu pigmen
hitam, karena terbentuknya batu mengandung empedu dan kolesterol yang sangat jenuh.
Garam asam lemak merupakan komponen penting dalam batu pigmen coklat. Palmitat dan
stearat yang merupakan komponen utama garam tersebut tidak dijumpai bebas dalam
empedu normal, dan biasanya diproduksi oleh bakteri. Kondisi stasis dan infeksi
memudahkan pembentukan batu pigmen coklat (Gustawan, 2007). Dalam keadaan infeksi
kronis dan stasis empedu dalam saluran empedu, bakteri memproduksi enzim bglucuronidase yang kemudian memecah bilirubin glukoronida menjadi bilirubin tak
terkonjugasi. Bakteri juga memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam
empedu. Phospholipase A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh dan enzim
hidrolase garam empedu mengubah garam empedu menjadi asam empedu bebas. Produkproduk tersebut kemudian mengadakan ikatan dengan kalsium membentuk suatu garam
kalsium. Garam kalsium bilirubinat, garam kalsium dari asam lemak (palmitat dan stearat)
dan kolesterol membentuk suatu batu lunak. Bakteri berperan dalam proses adhesi dari
pigmen bilirubin (Gustawan, 2007).
G. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang mengalami
gejala asimptomatik dan gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat mengalami dua jenis
gejala: gejala yang disebabkan oleh penyakit kandung empedu itu sendiri dan gejala yang
terjadi akibat obstruksi pada jalan perlintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa
bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan
nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat
terjadi bila individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer
dan Bare, 2002)
Gejala yang mungkin timbul pada pasien kolelitiasis adalah nyeri dan kolik bilier,
ikterus, perubahan warna urin dan feses dan defisiensi vitamin. Pada pasien yang mengalami
nyeri dan kolik bilier disebabkan karena adanya obstruksi pada duktus sistikus yang
tersumbat oleh batu empedu sehingga terjadi distensi dan menimbulkan infeksi. Kolik bilier
tersebut disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas, pasien akan mengalami
mual dan muntah dalam beberapa jam sesudah mengkonsumsi makanan dalam posi besar.
Gejala kedua yang dijumpai pada pasien kolelitiasis ialah ikterus yang biasanya terjadi pada
obstruksi duktus koledokus. Salah satu gejala khas dari obstruksi pengaliran getah empedu
ke dalam duodenum yaitu penyerapan empedu oleh darah yang membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning sehingga terasa gatal-gatal di kulit. Gejala selanjutnya terlihat dari
warna urin yang berwarna sangat gelap dan feses yang tampak kelabu dan pekat. Kemudian
gejala terakhir terjadinya
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Diagnosis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi
kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
b) USG
USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik untuk
menegakkan diagnosa Batu Kantong Empedu. Kebenaran dari USG ini dapat
mencapai 95%.
c) Pemeriksaan sinar X abdomen
Pemeriksaan Sinar-X Abdomen, dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat
tampak melalui pemeriksaan sinar-x.

d) Ct scan

Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila batu berada di dalam


saluran empedu.30
e) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan ini apabila ada komplikasi sakit
kuning.
I.

PENATALAKSANAAN
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri
berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani
pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak
menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010).
Pilihan penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat, 2010; Doherty, 2015) :
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparoskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil risiko kematian
dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi
komplikasi pada jantung dan paru-paru Kandung empedu diangkat melalui selang
yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya penderita
dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin
bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
penderita dengan kolesistitis akut dan penderita dengan batu duktus koledokus.
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah
dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, penderita
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2007).
c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif
acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya
batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu
tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan
cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu,
fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014).
d) Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten


yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada
penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (Garden, 2007).
e) Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan
gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu,
analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi
ini
f)

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik
dengan melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak
tahun 1974 hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu
saluran empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan
basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju
lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran
empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang
terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan
litotripsi mekanik dan litotripsi laser.

J. KOMPLIKASI
a) Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.
b) Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi
yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran
menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.24
c) Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi
bersifat kuratif.
d) Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
K. ASUHAN KEPERAWATAN
a) Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al (1996) dalam
Setiadi (2012)). Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
metode, yaitu wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik.

Pada saat pengkajian pada klien kolelitiasis, tenaga kesehatan khususnya


perawat dapat menanyakan keluhan utama klien seperti apakah ada rasa sakit pada
bagian abdomen kanan dan perubahan warna urin dan feses, riwayat penyakit
dahulu, kebiasaan makan dan gaya hidup klien seperti apakah klien senang
mengkonsumsi makanan berlemak dan berkolesterol, untuk klien wanita dapat
ditanyakan apakah klien menggunakan kontrasepsi hormonal atau tidak. Selain itu,
perawat dapat mengobservasi warna kulit dan sklera klien apakah mengalami ikterik
atau tidak. Pada klien yang akan menjalani pembedahan penyakit kandung empedu
(kolesistektomi), anamnesis dan pemeriksaan harus difokuskan pada persoalan yang
paling penting bagi klien serta bagi tim kesehatan yang akan menangani perawatan
klien selama dan sesudah pembedahan. Pengkajian harus difokuskan kepada status
pernapasan klien. Jika operasi yang direncanakan berupa pembedahan tradisional,
insisi abdomen yang diperlukan selama pembedahan dapat mempengaruhi gerakan
penuh pernapasan. Riwayat merokok atau masalah pernapasan sebelumnya perlu
diperhatikan. Respirasi dangkal, batuk persisten atau tidak efektif, dan adanya suara
napas tambahan juga harus dicatat. Status nutrisi dievaluasi melalui anamnesis
riwayat diet, pemeriksaan umum dan pemantauan hasil-hasil laboratorium yang
didapat sebelumnya. (Smeltzer dan Bare, 2002)
b) Diagnosa Keperawatan
Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan insisi bedah; 2.
Gangguan nutrisi berhubungan dengan sekresi getah empedu yang tidak
adekuat;
Kurang pengetahuan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kekurangan volume cairan
c) Rencana Keperawatan
Diagnosa

NIC

NOC

Penatalaksanaan Nyeri :meringankan

Nyeri: Efek Merusak : efek merusak

atau mengurangi nyeri sampai pada

dari nyeri terhadap emosi dan perilaku

tingkat

yang diamati atau dilaporkan.

Keperawatan
Nyeri akut

kenyamanan

yang

dapat

diterima oleh pasien.


1.

Lakukan

pengkajian

komprehensif

Dibuktikan dengan indikator berikut :


nyeri

meliputi

yang
1.
lokasi,

karakteristik, awitan/durasi, frekuensi,


2.

2.

Pasien akan melapor bahwa nyeri


akan hilang (4)
Pasien

akan

menunjukkan

kualitas, intensitas atau keparahan

penggunaan keterampilan relaksasi dan

nyeri, dan faktor presipitasinya.

aktifitas hiburan sesuai indikasi untuk

Ajarkan

penggunaan

teknik

nonfarmakologi (misalnya, umpan balik


3.
biologis,

transcutaneous

electrical

nerve stimulation (TENS), hipnosis,


4.
relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi
musik, distraksi, terapi bermain, terapi
aktivitas,

akupresur,

kompres

hangat/dingin, dan masase) sebelum,

situasi individual (4)


Penurunan penampilan peran atau
hubungan interpersonal (4)
Gangguan kerja, kepuasan hidup atau
kemampuan untuk mengendalikan (4)

setelah

dan

jika

memungkinkan,

selama aktivitas yang menyakitkan;


sebelum nyeri terjasi atau meningkat;
dan

selama

penggunaan

tindakan

pengurangan nyeri yang lain.


3.

Kelola

nyeri

dengan

pascaoperasi

pemberian

awal

opiat

yang

terjadwal (misalnya, setiap 4 jam atau


36 jam) atau PCA.
4.

Berikan perubahan posisi, masase


punggung, dan relaksasi.

Ketidakefektifan

Pengelolaan

Pola Nafas

untuk kepatenan jalan nafas.


1.

jalan

nafas:Fasilitasi

dalam dan ke luar paru-paru.

Pantau kecepatan,irama, kedalaman


dan usaha respirasi.

2.

3.

Informasikan

1.

kepada

Status Respirasi: Pergerakan udara ke

pasien

dan

ditandai dengan indikator:


Kedalaman inspirasi dan kemudahan
bernafas (3)

keluarga tentang tehnik relaksasi untuk


2.

Tidak ada otot bantu (3)

meningkatkan pola pernafasan

Bunyi nafas tambahan tidak ada (3)

Berikan

obat

nyeri

3.
untuk
4.

Nafas pendek tidak ada (3)

pengoptimalan pola pernafasan.


4.

Posisikan

pasien

untuk

mengoptimalkan pernafasan.
Kekurangan

Pengelolaan

volume cairan

keseimbangan cairan dan pencegahan

Basa: Keseimbangan

komplikasi akibat kadar cairan yang

nonelektrolit dalam ruang intrasel dan

tidak normal atau tidak diinginkan.

ekstrasel tubuh.

Aktivitas:

Ditunjukkan dengan indikator:

1.

Pantau

Cairan: Peningkatan

relevan dengan keseimbangan cairan

kaliun, kalsium, dan magnesium) dalam

(misalnya, kadar hematokrit, BUN,

batas normal (4).

total,

osmolalitas
2.

serum, dan berat jenis urine).


2.

Anjurkan
Berikan

pasien

nasogastrik

ketentuan

Serum dan pH urine dalam batas


normal (4).

untuk
3.

menginformasikan perawat bila haus.


3.

dan

Elektrolit serum (misalnya, natrium,

protein

laboratorium

elektrolit

yang
1.

albumin,

hasil

Keseimbangan Elektrolit dan Asam-

Tidak memiliki konsentrasi urine yang


berlebihan. BJ urine normal: 1003-1030

penggantian

berdasarkan

haluaran,

sesuai dengan kebutuhan.


4.

Pasang kateter urine, bila perlu.

Ketidakseimban

Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau

Status Gizi: Nilai Gizi :Keadekuatan

gannutrisi

pemberian asupan diet makanan dan

zat gizi yang dikonsumsi tubuh.

kurang

dari

kebutuhan tubuh
1.

cairan yang seimbang.

Dibuktikan dengan indikator berikut :

Pantau kandungan nutrisi dan kalori


1.
pada catatan asupan.

2.

2.

Berikan informasi yang tepat tentang


kebutuhan

nutrisi

dan

bagaimana
3.

memenuhinya.
3.

melakukan

kolaborasi bersama ahli gizi, secara


tepatjumlah kalori dan jenis zat gizi
dibutuhkan

untuk

memenuhi

kebutuhan nutrisi (khususnya untuk


pasien

dengan

kebutuhan

energi

tinggi, seperti pasien pascoperasi dna


luka bakar, trauma, demam, dan luka).
4.

Berikan

pasien

minuman

dan

camilan bergizi, tinggi protein, tinggi


kalori

yang

Mempertahankan massa tubuh dan


berat badan dalam batas normal (4)
Melaporkan
energi (4)

Tentukandengan

yang

Asupan mkanan dan cairan oral (4)

siap

memungkinkan.

dikonsumsi,

bila

keadekuatan

tingkat

Anda mungkin juga menyukai