Anda di halaman 1dari 23

Presentasi Kasus

ILMU KESEHATAN MATA

Oleh:
Anindhito Kurnia P

G99122014

Dhiandra Dwi H

G99122034

Elanda Rahmat A

G99122038

Fitri Prawitasari

G99122047

Junita Ayu

G99122063

Pembimbing :

, dr., Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013

STATUS PENDERITA
I.

IDENTITAS
Nama

: Tn S

Umur

: 47 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Suku

: Jawa

Kewarganegaraan

: Indonesia

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Gombelan Rt 13, Tegalrejo

Tgl pemeriksaan

: 3 Agustus 2013

No. CM

: 01209794

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama

: pandangan mata kabur

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur pada mata kanan dan kiri.
Pasien mengakui pandangan matanya kabur semenjak 15 tahun yang lalu
karena terdapat benda asing yang mengenai matanya saat mengendarai sepeda.
Pasien pernah memeriksakan kejadian tersebut ke dokter, namun tidak
mengikuti saran dokter untuk operasi dan hanya melakukan rawat jalan
dengan mengunakan obat tetes mata. Pasien juga sering merasakan rasa peri di
mata namun membaik setelah diberikan obat tetes mata

C. Riwayat Penyakit Dahulu


1.

Riwayat hipertensi

: disangkal

2.

Riwayat kencing manis

: disangkal

3.

Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

4.

Riwayat trauma mata

: disangkal

5.

Riwayat kacamata

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


1.

Riwayat hipertensi

: disangkal

2.

Riwayat kencing manis

: disangkal

3.

Riwayat sakit serupa

: disangkal

D. Kesimpulan Anamnesis
III.

Proses
Lokalisasi
Sebab
Perjalanan
Komplikasi

OD

OS

Peradangan, infeksi
Konjungtiva

Akut

E
E

RIKSAAN FISIK
A. Kesan umum
1.

Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup

B. Pemeriksaan subyektif
OD
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh
a. pinhole
b. koreksi
2. Visus sentralis dekat
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes
2. Proyeksi sinar
3. Persepsi warna

OS

6/20
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

6/15
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Baik
Baik

C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
a. tanda radang
b. luka

OD
Tidak ada
Tidak ada

OS
Tidak ada
Tidak ada
3

c. parut
d. kelainan warna
e. kelainan bentuk
2. Supercilia
a. warna
b. tumbuhnya
c. kulit
d. gerakan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Hitam
Normal
Sawo matang
Dalam batas normal

Hitam
Normal
Sawo matang
Dalam batas normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat

Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak tertinggal
Tidak tertinggal

Tidak tertinggal
Tidak tertinggal

10 mm
Tidak ada
Tidak ada

10 mm
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Sawo matang
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Sawo matang
Tidak ada
Tidak ada

3. Pasangan bola mata dalam orbita

a. heteroforia
b. strabismus
c. pseudostrabismus
d. exophtalmus
e. enophtalmus
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus
b. makroftalmus
c. ptisis bulbi
d. atrofi bulbi
5. Gerakan bola mata
a. temporal
b. temporal superior
c. temporal inferior
d. nasal
e. nasal superior
f. nasal inferior
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema
2.) hiperemi
3.) blefaroptosis
4.) blefarospasme
b. gerakannya
1.) membuka
2.) menutup
c. rima
1.) lebar
2.) ankiloblefaron
3.) blefarofimosis
d. kulit
1.) tanda radang
2.) warna
3.) epiblepharon
4.) blepharochalasis

e. tepi kelopak mata


1.) enteropion
2.) ekteropion
3.) koloboma
4.) bulu mata
7. sekitar glandula lakrimalis
a. tanda radang
b. benjolan
c. tulang margo tarsalis
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang
b. benjolan
9. Tekanan intraocular
a. palpasi
b. tonometri schiotz
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra superior
1.) edema
2.) hiperemi
3.) sekret
4.) sikatrik
b. konjungtiva palpebra inferior
1.) edema
2.) hiperemi
3.) sekret
4.) sikatrik
c. konjungtiva fornix
1.) edema
2.) hiperemi
3.) sekret
4.) benjolan
d. konjungtiva bulbi
1.) edema
2.) hiperemis
3.) sekret
4.) injeksi konjungtiva
5.) injeksi siliar
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema
2.) hiperemis
3.) sikatrik
11. Sclera
a. warna

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan

Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada

Kesan normal
Tidak dilakukan

Kesan normal
Tidak dilakukan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Putih

Putih

b. tanda radang
c. penonjolan
12. Kornea
a. ukuran
b. limbus
c. permukaan
d. sensibilitas
e. keratoskop ( placido )
f. fluorecsin tes
g. arcus senilis
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan
b. kedalaman
14. Iris
a. warna
b. bentuk
c. sinekia anterior
d. sinekia posterior
15. Pupil
a. ukuran
b. bentuk
c. letak
d. reaksi cahaya langsung
e. tepi pupil
16. Lensa
a. ada/tidak
b. kejernihan
c. letak
e. shadow test
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan
b. Reflek fundus

Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada

12 mm
Jernih
Keruh sebagian
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak ada

12 mm
Jernih
Rata, mengkilap
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak ada

Jernih
Dalam

Jernih
Dalam

Cokelat
Tampak lempengan
Tidak tampak
Tidak tampak

Cokelat
Tampak lempengan
Tidak tampak
Tidak tampak

3 mm
Bulat
Sentral
Positif
Tidak ada kelainan

3 mm
Bulat
Sentral
Positif
Tidak ada kelainan

Ada
Jernih
Sentral
Tidak dilakukan

Ada
Jernih
Sentral
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


A.
Visus sentralis jauh
B.
Visus perifer
Konfrontasi tes
Proyeksi sinar
Persepsi warna
C.
Sekitar mata
D.
Supercilium

OD
6/20

OS
6/15

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Baik
Baik
Dalam batas normal
Dalam batas normal

Baik
Baik
Dalam batas normal
Dalam batas normal

E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.

Pasangan bola mata


dalam orbita
Ukuran bola mata
Gerakan bola mata
Kelopak mata
Sekitar saccus
lakrimalis
Sekitar glandula
lakrimalis
Tekanan
intarokular
Konjungtiva
palpebra
Konjungtiva bulbi
Konjungtiva fornix
Sklera
Kornea
Camera okuli
anterior
Iris
Pupil

T.

Lensa

U.

Corpus vitreum

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

injeksi konjungtiva(+)
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Kesan normal

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Kesan normal

Bulat, warna coklat


Diameter 3 mm, bulat, sentral
Kesan normal

Bulat, warna coklat


Diameter 3 mm, bulat,
sentral
Kesan normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS BANDING
OD Pinguekula
OD Pseudopterigium
VI. TERAPI
Genoint E.D 4 dd gtt 1
Na diclofenac tab No. X 2 dd 1
VII. PLANNING
Eksisi apabila menggangu pergerakan bola mata, mengganggu visus,
ketidaknyamanan yang menetap, progresif, dan ukuran 3 4 mm.
VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam
2. Ad fungsionam
3. Ad sanam
4. Ad kosmetikum

OD
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam

OS
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam

TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM
A. LATAR BELAKANG
Pterygium adalah suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap pada
permukaan basement membrane sebagai akibat dari pertumbuhan epitel limbus
yang masuk ke kornea secara sentripetal (Saerang, 2013). Etiologi pterygium
bersifat multifaktorial seperti paparan sinar matahari, debu, udara kering.Faktor
risiko untuk terjadinya pterygium adalah komponen genetik, mekanisme anti
apoptotic, sitokin, growth factor, factor angiogenik, ekstraseluler matrix
remodelling, mekanisme imunologik, dan infeksi virus semua terlibat sebagai
pathogenesis. Studi epidemiologik menunjukkan paparan kronis sinar matahari,
kemungkinan besar Ultraviolet B (UVB) iradiasi, sebagai faktor penting pada
pertumbuhan pterygium (Saerang, 2011). Di daerah tropis seperti Indonesia,
dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44 lebih tinggi
dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40
tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Hasil survei
morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993

1996, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua
penyakit mata. (Chyntia, 2010).
B. ANATOMI
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus.
Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).
Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva
melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo
palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi
konjuntiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi
bola mata hingga tepi kornea. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian : 1)
Konjungtiva palpebra, 2) Konjungtiva forniks, dan 3) Konjungtiva bulbi (Al
Ghozie, 2002).

10

Gambar 1. Anatomi konjungtiva


Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan
sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus
yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2010).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun
dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar
pada mata (Vaughan, 2010).

Gambar 2. Histologi Konjungtiva

Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di


forniks atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan
pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi
kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi
nasal menuju punctum lakrimalis (Al Ghozie, 2002).
Kedudukan konjungtiva mempunyai resiko mudah terkena mikroorganisme
atau benda lain. Air mata akan melarutkan materi infektius atau mendorong debu
keluar. Alat pertahanan ini menyebabkan peradangan menjadi self-limited disease.
Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen limfoid, mekanisme eksfoliasi

11

epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat dilihat pada
kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat
tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata (Al Ghozie,
2002).
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan
pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).

C. DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada
subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral
di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke
sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus (Ardalan,
2010; Vaughan, 2010)
Pterygium adalah

kelainan

pada

konjungtiva

bulbi,

pertumbuhan

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini


biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium sering mengenai
kedua mata (Ilyas, 2009; Pope, 2009).
Pterygium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau
konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea.
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena
biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah
kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke
pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan akan terganggu. Suatu
pterygium merupakan massa occular eksternal superficial yang mengalami
12

elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas
ke permukaan kornea. Pterygium ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil,
jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas
fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi
kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi
pusat optik dari kornea (Ilyas, 2009).
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata,
menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa
mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun
jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama
akan menyebabkan hilangnya penglihatan (Ilyas, 2009).
D. ETIOLOGI
Hingga saat ini etiologi pterygium masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan
banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan (Caldwell, 2011; Laszuarni, 2009).
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut
13

termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,


seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal
atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia (Anonimus, 2009).
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan
iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.
Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar
ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan
orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang
sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan
tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan
termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter) (Anonimus, 2009).
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area
tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke
area nasal tersebut (Anonimus, 2009).
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis
ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degenerative (Skuta, 2008).
1.

Paparan sinar matahari (UV)


Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan
terjadinya pterygium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi
pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang
yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.

2.

Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)


Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterygium adalah alergen,
bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B

14

merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu
terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.
Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid
kolagen

dan

timbulnya

jaringan

fibrovaskuler

subepitelial.

Kornea

menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan


fibrovaskuler.

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :


1.

Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.

2.

Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.

3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4.

Jenis kelamin

5.

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.


Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal

6.

dominan.
Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
15

7.

Faktor risiko lainnya


Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterygium (Skuta, 2008).

E. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400 (Laszuarni, 2009).
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang
28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang
terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat
disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif
angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi
pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2
dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren
sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua (Laszuarni, 2009;
Fisher, 2009).
F. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan dengan paparan dari luar seperti sinar
ultraviolet, angin, dan debu. Paparan tersebut dapat mengiritasi permukaan mata ,
kemudian akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti
dengan pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh
darah. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia
propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan
16

sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan
mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel
dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. Epitel merupakan
lapisan sel yang meliputi permukaan luar mata. Epitel pada mata lebih sensitif
dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan
jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak
mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran
dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan
merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan
faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan
baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea.
Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya
perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang
mengenainya (Fisher dan Trattler, 2013; Laszuarni, 2009, Caldwell, 2011).
G. MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang menderita pterigium sering mempunyai berbagai macam
keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah
sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai
dengan jejas pada konjungtiva yang membesar (Fisher dan Trattler, 2013).
Menurut Aminlari,dkk (2010) gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan
bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda
asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut
stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
dapat menurun.
Sedangkan menurut Wijaya (1993), bila masih baru, banyak mengandung
pembuluh darah, sehingga warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran
tipis berwarna putih yang stationer. Bagian sentral melekat pada kornea dapat
tumbuh memasuki kornea kemudian menggantikan epitel dan membrana
Bowman, dengan jaringan elastik dan hyaline.

17

H. DIAGNOSIS BANDING
1.

Pinguekula
Bentuknya

kecil

dan

meninggi,

merupakan

massa

kekuningan

berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan


kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini.
Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguecuela
sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki
laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
pinguecula.

Gambar 3. Mata dengan pinguekula


2.

Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut

miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut


fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea.
Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium merupakan akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada
pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing
dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterygium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopterygium tidak didapat bagian head, cap dan body
dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang
berbeda dengan true pterygium.

18

Gambar 4. Mata dengan pseudopterigium


I. DIAGNOSIS
1.

Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,

gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di
luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
2.

Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada

permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang


vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
kekornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.
3.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah

topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa


astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
IX.

19

A. PENATALAKSANAAN
Keluhan fotophobia dan mata merah dari pterigium ringan sering
ditangani dengan mengindari asap dan debu. Beberapa obat topical seperti
lubricant vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan secara aman untuk
menghilangkan gejala jika digunakan secara benar. Untuk mencegah
progresifitas beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata
pelindung ultraviolet.
Indikasi untuk eksisi pterigium termasuk ketidaknyamanan yang menetap,
gangguan pengeliatan, ukuran > 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif
menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakn bola
mata (Lazuarni, 2009).
B. PROGNOSIS
Pengelihatan dan kosmetik pasien setelah di eksisi pada hari pertama post
operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graf dengan konjungtiva autograph atau
trasplantasi membrane amnion.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga
atau terpapar sinar matavari yang lama. Dianjurkan memakai kacamata
sunblok dan mengurangi terpapar sinar matahari (Lazuarni, 2009)..
C. KOMPLIKASI
Komplikasi Pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva
dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di
atas Pterygium yang ada.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem,
graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,

20

granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar


kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak
adalah rekuren Pterygium post operasi (Lazuarni, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

21

Al-Ghozie, M. (2002). Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical


Examination. Yogyakarta: FK UMY.
Aminlari A, Singh R, Liang D. 2010. Management of Pterygium. Opthalmic
Pearls.
Anonymus.

Pterygium.

(2009).

http://www.dokter-online.org/index.php.htm

(Diakses tanggal 3 Agustus 2013).


Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. (2010).
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.
Caldwell, M. Pterygium. (2011). www.eyewiki.aao.org/Pterygium (Diakses
tanggal 2 Agustus 2013).
Fisher

JP,

Trattler

W.

2013.

Pterygium.

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall.
Diakses Agustus 2013.
Fisher, J. Pterygium. (2009). http://emedicine.medscape.com/article/1192527overview (Diakses tanggal 4 Agustus 2013).
Ilyas, S. (2009). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Junqueira, L.C., Carneiro, J.,( 2007). Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Dalam:
Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text & Atlas. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Kemkes RI, 2010. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2009. http://www.depkes.go.id. (Diakses 1 Agustus 2013).

Laszuarni. (2009). Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter


Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Majmudar, P.A. (2010). Allergic Conjunctivitis Rush-Presbyterian-St Lukes
Medical

Center.

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-

overview. (Diakses 1 Agustus 2013).


Pope, DB. Pterygium and Pinguecula. (2009). http://eyenet.org (Diakses tanggal 1
Agustus 2013).
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology.
http://one.aao.org/asset.axd. (Diakses 1 Agustus 2013).

22

Saerang, Josefien (2011). The Risk Factors of Human Papilloma Virus 18 on the
Recurrences of Pterygium. Jurnal Oftalmologi Indonesia. Vol: 7 (5): 185188
Saerang, Josefien (2013). Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai
Faktor Risiko Tumbuh Ulang Pterygium. Journal Indonesian medical
Association. Vol: 63 (3): 100-105
Shintya, Djajakusli. (2010). The Profile of Tear Mucin Layer and Impression
Cytology in Pterygium Patients. Vol:7 (4) 139-143
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. (2008). Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera.
In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. P.8-13, 366
Tortora, G.J., Derrickson, B.H., (2009). The Special Senses. In: Tortora, Gerard J.,
Derrickson, Bryan H. (eds). Principles of Anatomy and Physiology. 12th
edition. New York: John Wiley & Sons, Inc, 605-611.

Vaughan, D. (2010). Oftalmologi Umum, Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
Wijaya N. 1993. Ilmu Penyakit Mata Cetakan ke-6. Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Fraktur Moteggia L KK
    Fraktur Moteggia L KK
    Dokumen10 halaman
    Fraktur Moteggia L KK
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • REFERAT Uveitis
    REFERAT Uveitis
    Dokumen20 halaman
    REFERAT Uveitis
    Puji Rahayu
    100% (3)
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen21 halaman
    Tinjauan Pustaka
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Tugas Awal Koas Mata
    Tugas Awal Koas Mata
    Dokumen19 halaman
    Tugas Awal Koas Mata
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Tinjauan Pustaka
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Soal Mid Repro
    Soal Mid Repro
    Dokumen10 halaman
    Soal Mid Repro
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Pinguecula Case
    Pinguecula Case
    Dokumen19 halaman
    Pinguecula Case
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Bedah
    Laporan Kasus Bedah
    Dokumen13 halaman
    Laporan Kasus Bedah
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga
    Laporan Jaga
    Dokumen17 halaman
    Laporan Jaga
    Widyasari Wuwungan
    Belum ada peringkat
  • Referat Tumor Testis
    Referat Tumor Testis
    Dokumen17 halaman
    Referat Tumor Testis
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Vela CA Sekum
    Lapkas Vela CA Sekum
    Dokumen28 halaman
    Lapkas Vela CA Sekum
    Cut Aini Fauzi Yanti
    Belum ada peringkat
  • Apendikular Abses
    Apendikular Abses
    Dokumen15 halaman
    Apendikular Abses
    'Ema Surya Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • LAPJAG
    LAPJAG
    Dokumen12 halaman
    LAPJAG
    Widyasari Wuwungan
    Belum ada peringkat
  • Widyasari Kasus TQ
    Widyasari Kasus TQ
    Dokumen12 halaman
    Widyasari Kasus TQ
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus BPH
    Laporan Kasus BPH
    Dokumen7 halaman
    Laporan Kasus BPH
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Konjungtivitis Bakteri Pada Anak
    Konjungtivitis Bakteri Pada Anak
    Dokumen8 halaman
    Konjungtivitis Bakteri Pada Anak
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Varikokel
    Varikokel
    Dokumen4 halaman
    Varikokel
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus BPH
    Laporan Kasus BPH
    Dokumen7 halaman
    Laporan Kasus BPH
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Katarak Matur
    Katarak Matur
    Dokumen13 halaman
    Katarak Matur
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Referat Tumor Testis
    Referat Tumor Testis
    Dokumen17 halaman
    Referat Tumor Testis
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Refrat Fraktur Monteggia
    Refrat Fraktur Monteggia
    Dokumen11 halaman
    Refrat Fraktur Monteggia
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Tinjauan Pustaka
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Tinjauan Pustaka
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • Keratitis Case
    Keratitis Case
    Dokumen11 halaman
    Keratitis Case
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    Belum ada peringkat
  • LBM 4 THT
    LBM 4 THT
    Dokumen38 halaman
    LBM 4 THT
    Millatiazmi Maulida Ardiani
    100% (1)