Oleh:
Anindhito Kurnia P
G99122014
Dhiandra Dwi H
G99122034
Elanda Rahmat A
G99122038
Fitri Prawitasari
G99122047
Junita Ayu
G99122063
Pembimbing :
, dr., Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
STATUS PENDERITA
I.
IDENTITAS
Nama
: Tn S
Umur
: 47 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Suku
: Jawa
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Alamat
Tgl pemeriksaan
: 3 Agustus 2013
No. CM
: 01209794
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur pada mata kanan dan kiri.
Pasien mengakui pandangan matanya kabur semenjak 15 tahun yang lalu
karena terdapat benda asing yang mengenai matanya saat mengendarai sepeda.
Pasien pernah memeriksakan kejadian tersebut ke dokter, namun tidak
mengikuti saran dokter untuk operasi dan hanya melakukan rawat jalan
dengan mengunakan obat tetes mata. Pasien juga sering merasakan rasa peri di
mata namun membaik setelah diberikan obat tetes mata
Riwayat hipertensi
: disangkal
2.
: disangkal
3.
4.
: disangkal
5.
Riwayat kacamata
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
2.
: disangkal
3.
: disangkal
D. Kesimpulan Anamnesis
III.
Proses
Lokalisasi
Sebab
Perjalanan
Komplikasi
OD
OS
Peradangan, infeksi
Konjungtiva
Akut
E
E
RIKSAAN FISIK
A. Kesan umum
1.
B. Pemeriksaan subyektif
OD
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh
a. pinhole
b. koreksi
2. Visus sentralis dekat
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes
2. Proyeksi sinar
3. Persepsi warna
OS
6/20
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
6/15
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Baik
Baik
C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
a. tanda radang
b. luka
OD
Tidak ada
Tidak ada
OS
Tidak ada
Tidak ada
3
c. parut
d. kelainan warna
e. kelainan bentuk
2. Supercilia
a. warna
b. tumbuhnya
c. kulit
d. gerakan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Hitam
Normal
Sawo matang
Dalam batas normal
Hitam
Normal
Sawo matang
Dalam batas normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak terhambat
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tertinggal
Tidak tertinggal
Tidak tertinggal
Tidak tertinggal
10 mm
Tidak ada
Tidak ada
10 mm
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sawo matang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sawo matang
Tidak ada
Tidak ada
a. heteroforia
b. strabismus
c. pseudostrabismus
d. exophtalmus
e. enophtalmus
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus
b. makroftalmus
c. ptisis bulbi
d. atrofi bulbi
5. Gerakan bola mata
a. temporal
b. temporal superior
c. temporal inferior
d. nasal
e. nasal superior
f. nasal inferior
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema
2.) hiperemi
3.) blefaroptosis
4.) blefarospasme
b. gerakannya
1.) membuka
2.) menutup
c. rima
1.) lebar
2.) ankiloblefaron
3.) blefarofimosis
d. kulit
1.) tanda radang
2.) warna
3.) epiblepharon
4.) blepharochalasis
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada kelainan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kesan normal
Tidak dilakukan
Kesan normal
Tidak dilakukan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Putih
Putih
b. tanda radang
c. penonjolan
12. Kornea
a. ukuran
b. limbus
c. permukaan
d. sensibilitas
e. keratoskop ( placido )
f. fluorecsin tes
g. arcus senilis
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan
b. kedalaman
14. Iris
a. warna
b. bentuk
c. sinekia anterior
d. sinekia posterior
15. Pupil
a. ukuran
b. bentuk
c. letak
d. reaksi cahaya langsung
e. tepi pupil
16. Lensa
a. ada/tidak
b. kejernihan
c. letak
e. shadow test
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan
b. Reflek fundus
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
12 mm
Jernih
Keruh sebagian
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak ada
12 mm
Jernih
Rata, mengkilap
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak ada
Jernih
Dalam
Jernih
Dalam
Cokelat
Tampak lempengan
Tidak tampak
Tidak tampak
Cokelat
Tampak lempengan
Tidak tampak
Tidak tampak
3 mm
Bulat
Sentral
Positif
Tidak ada kelainan
3 mm
Bulat
Sentral
Positif
Tidak ada kelainan
Ada
Jernih
Sentral
Tidak dilakukan
Ada
Jernih
Sentral
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
OD
6/20
OS
6/15
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Baik
Baik
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Baik
Baik
Dalam batas normal
Dalam batas normal
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.
T.
Lensa
U.
Corpus vitreum
injeksi konjungtiva(+)
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Kesan normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
V. DIAGNOSIS BANDING
OD Pinguekula
OD Pseudopterigium
VI. TERAPI
Genoint E.D 4 dd gtt 1
Na diclofenac tab No. X 2 dd 1
VII. PLANNING
Eksisi apabila menggangu pergerakan bola mata, mengganggu visus,
ketidaknyamanan yang menetap, progresif, dan ukuran 3 4 mm.
VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam
2. Ad fungsionam
3. Ad sanam
4. Ad kosmetikum
OD
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam
OS
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam
Dubia et bonam
TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM
A. LATAR BELAKANG
Pterygium adalah suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap pada
permukaan basement membrane sebagai akibat dari pertumbuhan epitel limbus
yang masuk ke kornea secara sentripetal (Saerang, 2013). Etiologi pterygium
bersifat multifaktorial seperti paparan sinar matahari, debu, udara kering.Faktor
risiko untuk terjadinya pterygium adalah komponen genetik, mekanisme anti
apoptotic, sitokin, growth factor, factor angiogenik, ekstraseluler matrix
remodelling, mekanisme imunologik, dan infeksi virus semua terlibat sebagai
pathogenesis. Studi epidemiologik menunjukkan paparan kronis sinar matahari,
kemungkinan besar Ultraviolet B (UVB) iradiasi, sebagai faktor penting pada
pertumbuhan pterygium (Saerang, 2011). Di daerah tropis seperti Indonesia,
dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44 lebih tinggi
dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40
tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Hasil survei
morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993
1996, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua
penyakit mata. (Chyntia, 2010).
B. ANATOMI
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus.
Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).
Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva
melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo
palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi
konjuntiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi
bola mata hingga tepi kornea. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian : 1)
Konjungtiva palpebra, 2) Konjungtiva forniks, dan 3) Konjungtiva bulbi (Al
Ghozie, 2002).
10
11
epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat dilihat pada
kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat
tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata (Al Ghozie,
2002).
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan
pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).
C. DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada
subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral
di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke
sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus (Ardalan,
2010; Vaughan, 2010)
Pterygium adalah
kelainan
pada
konjungtiva
bulbi,
pertumbuhan
elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas
ke permukaan kornea. Pterygium ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil,
jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas
fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi
kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi
pusat optik dari kornea (Ilyas, 2009).
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata,
menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa
mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun
jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama
akan menyebabkan hilangnya penglihatan (Ilyas, 2009).
D. ETIOLOGI
Hingga saat ini etiologi pterygium masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan
banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan (Caldwell, 2011; Laszuarni, 2009).
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut
13
2.
14
merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu
terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.
Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid
kolagen
dan
timbulnya
jaringan
fibrovaskuler
subepitelial.
Kornea
Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
2.
Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4.
Jenis kelamin
5.
6.
dominan.
Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
15
7.
E. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400 (Laszuarni, 2009).
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang
28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang
terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat
disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif
angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi
pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2
dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren
sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua (Laszuarni, 2009;
Fisher, 2009).
F. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan dengan paparan dari luar seperti sinar
ultraviolet, angin, dan debu. Paparan tersebut dapat mengiritasi permukaan mata ,
kemudian akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti
dengan pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh
darah. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia
propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan
16
sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan
mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel
dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. Epitel merupakan
lapisan sel yang meliputi permukaan luar mata. Epitel pada mata lebih sensitif
dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan
jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak
mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran
dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan
merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan
faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan
baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea.
Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya
perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang
mengenainya (Fisher dan Trattler, 2013; Laszuarni, 2009, Caldwell, 2011).
G. MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang menderita pterigium sering mempunyai berbagai macam
keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah
sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai
dengan jejas pada konjungtiva yang membesar (Fisher dan Trattler, 2013).
Menurut Aminlari,dkk (2010) gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan
bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda
asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut
stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
dapat menurun.
Sedangkan menurut Wijaya (1993), bila masih baru, banyak mengandung
pembuluh darah, sehingga warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran
tipis berwarna putih yang stationer. Bagian sentral melekat pada kornea dapat
tumbuh memasuki kornea kemudian menggantikan epitel dan membrana
Bowman, dengan jaringan elastik dan hyaline.
17
H. DIAGNOSIS BANDING
1.
Pinguekula
Bentuknya
kecil
dan
meninggi,
merupakan
massa
kekuningan
Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut
18
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di
luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
2.
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
19
A. PENATALAKSANAAN
Keluhan fotophobia dan mata merah dari pterigium ringan sering
ditangani dengan mengindari asap dan debu. Beberapa obat topical seperti
lubricant vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan secara aman untuk
menghilangkan gejala jika digunakan secara benar. Untuk mencegah
progresifitas beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata
pelindung ultraviolet.
Indikasi untuk eksisi pterigium termasuk ketidaknyamanan yang menetap,
gangguan pengeliatan, ukuran > 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif
menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakn bola
mata (Lazuarni, 2009).
B. PROGNOSIS
Pengelihatan dan kosmetik pasien setelah di eksisi pada hari pertama post
operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graf dengan konjungtiva autograph atau
trasplantasi membrane amnion.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga
atau terpapar sinar matavari yang lama. Dianjurkan memakai kacamata
sunblok dan mengurangi terpapar sinar matahari (Lazuarni, 2009)..
C. KOMPLIKASI
Komplikasi Pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva
dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di
atas Pterygium yang ada.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem,
graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,
20
DAFTAR PUSTAKA
21
Pterygium.
(2009).
http://www.dokter-online.org/index.php.htm
JP,
Trattler
W.
2013.
Pterygium.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall.
Diakses Agustus 2013.
Fisher, J. Pterygium. (2009). http://emedicine.medscape.com/article/1192527overview (Diakses tanggal 4 Agustus 2013).
Ilyas, S. (2009). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Junqueira, L.C., Carneiro, J.,( 2007). Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Dalam:
Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text & Atlas. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Kemkes RI, 2010. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2009. http://www.depkes.go.id. (Diakses 1 Agustus 2013).
Center.
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-
22
Saerang, Josefien (2011). The Risk Factors of Human Papilloma Virus 18 on the
Recurrences of Pterygium. Jurnal Oftalmologi Indonesia. Vol: 7 (5): 185188
Saerang, Josefien (2013). Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai
Faktor Risiko Tumbuh Ulang Pterygium. Journal Indonesian medical
Association. Vol: 63 (3): 100-105
Shintya, Djajakusli. (2010). The Profile of Tear Mucin Layer and Impression
Cytology in Pterygium Patients. Vol:7 (4) 139-143
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. (2008). Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera.
In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. P.8-13, 366
Tortora, G.J., Derrickson, B.H., (2009). The Special Senses. In: Tortora, Gerard J.,
Derrickson, Bryan H. (eds). Principles of Anatomy and Physiology. 12th
edition. New York: John Wiley & Sons, Inc, 605-611.
23