Anda di halaman 1dari 95

1

KOMPARASI ANALISA DINAMIK TERHADAP STATIK PORTAL


GEDUNG DENGAN KONFIGURASI TIDAK BERATURAN UNTUK
BANGUNAN 5 LANTAI KEBAWAH
A.

Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan bangunan sebagai tempat

tinggal, ketersediaan lahan yang dibutuhkan kini semakin sedikit. Untuk itu salah
satu cara atau solusi yang dapat dilakukan untuk dapat memanfaatkan lahan yang
terbatas

tersebut

dengan

seoptimal

mungkin

yaitu

dengan

melakukan

pembangunan secara vertikal, yakni dengan pembangunan gedung bertingkat.


Dalam perancangan struktur suatu bangunan gedung bertingkat ada banyak faktor
yang harus diperhatikan, antara lain meliputi fungsi gedung, keamanan, kekuatan,
kekakuan, kestabilan, keindahan serta pertimbangan ekonomis. Jadi, suatu
bangunan harus didesain sehingga memenuhi kriteria bangunan yang kuat, aman,
nyaman tetapi tetap ekonomis.
Dari sekian banyak faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan
suatu gedung bertingkat tinggi tersebut, keamanan merupakan faktor yang paling
utama. Gaya lateral maupun gaya aksial harus diperhitungkan agar struktur
memiliki kemampuan untuk dapat menahan gaya-gaya tersebut. Di dalam
perencanaan suatu struktur gedung, perlu dilakukan analisis terhadap reaksi yang
ditimbulkan oleh gaya-gaya yang bekerja terhadap struktur gedung. Terutama
pada gedung bertingkat,harus dilakukan dengan menggunakan analisis statik dan
analisis dinamik.
Untuk struktur bangunan beraturan pengaruh gempa rencana dapat ditinjau
sebagai pengaruh beban gempa yang berprilaku statik, yaitu suatu representasi
dari beban gempa setelah di sederhanakan dan di modifikasi. Gaya inersia yang
bekerja pada suatu massa akibat gempa di sederhanakan menjadi ekivalen beban
statik. Kelemahan dari analisis statik ekivalen tidak dapat menghitung ragam
gempa pada bangunan yang tidak beraturan. Dan tinggi struktur dari taraf
penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat atau 40m.
Untuk struktur bangunan gedung yang tidak beraturan, pengaruh gempa
rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan gempa yang berprilaku
1

dinamik dan analisisnya dilakukan berdasarkan analisis respons dinamik yaitu


suatu analisis dinamik yang memperhatikan semua ragam getar yang mungkin
terjadi pada struktur bangunan. Untuk mengantisipasi gempa yang akan terjadi
pada bangunan maka dibuatlah pembesaran atau pemanjangan pada dimensi
kolom.
Untuk penulisan tugas akhir, dalam melaksanakan analisis statik ekivalen
dan analisis dinamik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara manual
maupun dengan menggunakan bantuan komputer. Untuk lebih mempermudah
perhitungan struktur atau menghitung gaya-gaya yang terjadi di dalam struktur
gedung bertingkat dengan konfigurasi beraturan, maka dalam penulisan tugas
akhir ini digunakan program ETABS.
B.

Rumusan dan Batasan Masalah


Mengacu pada kondisi tersebut perlu diteliti perbandingan analisa

dinamika dan analisa statik ekivalen, penelitian ini akan menggunakan program
ETABS.
Dalam penulisan Tugas Akhir ini, penulis akan membatasi masalah antara
lain sebagai berikut:
1. Penentuan dimensi dilakukan dengan cara pra design.
2. Berdasarkan batasan periode getar interstory drift dan total story drift
disesuaikan dengan dimensi
3. Pada perbandingan base shear dan story shear, tidak dibahas perhitungan
tulangannya.
4. Merencanakan bangunan gedung tidak beraturan untuk bangunan 5 lantai
kebawah menggunakan konfigurasi T dan L dapat di lihat pada Gambar di
bawah ini.

Gambar B.1 Denah Bangunan T

(a
(a
) (b) Tampak Depan
)
Gambar B.2 Portal
Bangunan T (a) Tampak Samping,

Gambar B.3 Portal Bangunan L

Gambar B.4 Portal Bangunan L

C. Tujuan Perencanaan
Tujuan dari tugas akhir ini:
1. Penentuan base shear dan story shear pada masing-masing model
menurut metode perencanaan gempa.
2. Membandingkan Analisa dinamik dengan Analisa statik ekivalen.
D. Manfaat Perencanaan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan Tugas Akhir ini ialah:
1. Mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan, pemahaman,

dan

pengalaman dalam membandingkan base shear dan story shear pada


bangunan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan analisa statik
ekivalen dan analisa dinamika.
3. Tugas Akhir ini dapat menjadi referensi bagi rekan-rekan mahasiswa
lainnya.
E. Metode Perencanaan

Mulai

Penyusunan Tugas Akhir


dilakukan
dengan mendata dan mencari
Study
Literatur
informasi yang mendukung perencanaan dengan metode berikut :
Metode Studi Literatur

Pengumpulan Data

Metode studi literatur yaitu suatu studi perpustakaan dengan menelah


Periliminasi design Meliputi:

melalui berbagai literatur atau buku-buku


dan dokumen yang diperlukan dalam
Pradesain
Membuat
permodelan
struktur 3D memakai program etabs.
penulisan
Tugas Akhir
ini.

Adapun tahapan perencanaan dalam penyelesaian Tugas Akhir ini dapat


dilihat pada flow chart di Gambar E.1
Perhitungan dengan analisis dinamik
Perhitungan dengan analisis statik

Pembahasan:
Membandingkan Story Drift dan Inter Story Drift dari kedua analisa, analisa statik dan analisa dinamik.
Membandingkan Base Shear dan Story Shear

Kesimpulan dan Saran


Selesai

Proses Perhitungan Dengan Analisa Dinamik

Membuat Pendimensian Kolom

Menentukan Ukuran Dimensi

Pengecekan Batasan Waktu Getar


Yang Diinginkan untuk dimensi yang
diambil

Gambar E.1. Flow Chart perencanaan Tugas Akhir.


Menghitung Base shear dan story shear

Pengecekan Persyaratan Story Drift dan Inter Story


Drift dalam Unlimited State dan Service Ability Limit
State

PEMBAHASAN
Selesai

Tidak

Tidak

Proses Perhitungan Dengan Analisa Statik

Ya
Menentukan Dimensi Kolom

Pengguanaan Rumus Empiric Waktu Getar Reyleigh Pada Base Shear dan Story Shear

Pengecekan Batasan Waktu Getar Yang Diinginkan untuk


Ya dimensi yang diambil Mengguanakan Me
Gambar E.1.a Flow Chart Anak Proses Perhitungan Dengan Analisa
Dinamik

Pengecekan Persyaratan Story Drift dan Inter Story Drift dalam Unlimited State dan Service Abilit

Tidak
PEMBAHASAN
Selesai

Tidak

Ya

Ya

Gambar E.1.b Flow Chart Anak Proses Perhitungan Dengan


Analisa Statik

F.

Landasan Teori

F.1

Analisa Statik Ekivalen


Analisis statik ekivalen merupakan salah satu metode menganalisis

struktur gedung terhadap pembebanan gempa dengan menggunakan beban gempa


nominal statik ekivalen. Menurut Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung (SNI 1726 2002), analisis statik ekivalen cukup
dapat dilakukan pada gedung yang memiliki struktur beraturan. Ketentuan-

ketentuan mengenai struktur gedung beraturan disebutkan dalam pasal 4.2.1 dari
SNI 1726 2002.
Apabila gedung memiliki struktur yang tidak beraturan maka selain
dilakukan analisis statik ekivalen juga diperlukan analisis lebih lanjut, yaitu
analisis respon dinamik. Perhitungan respon dinamik struktur gedung tidak
beraturan terhadap pembebanan gempa, dapat menggunakan metode analisis
ragam spektrum respons atau metode analisis respons dinamik riwayat waktu.
Pada pasal 7.1.3 dari SNI 1726 2002, bila nilai akhir respon dinamik tersebut
dinyatakan dalam gaya geser dasar nominal, maka nilainya tidak boleh kurang
dari 80% gaya geser dasar yang dihasilkan dari analisis statik ekivalen.
Karena analisis statik ekivalen dipandang merupakan langkah awal dalam
perencanaan gedung tahan gempa.
F.1.2 Beban Gempa Nominal Statik Ekivalen
Analisis perancangan struktur bangunan terhadap pengaruh beban gempa
secara statik, pada prinsipnya adalah menggantikan gaya-gaya horizontal yang
bekerja pada struktur bangunan akibat pengaruh pergerakan tanah yang
diakibatkan gempa, dengan gaya-gaya statik yang ekuivalen.
Dalam analisis respons dinamik terhadap pengaruh gempa, suatu struktur
gedung dimodelkan sebagai suatu sistem Banyak Derajat Kebebasan (BDK).
Dengan menerapkan metoda Analisis Ragam, persamaan-persamaan gerak dari
sistem BDK tersebut yang berupa persamaan-persamaan diferensial orde dua
simultan yang saling terikat, dapat dilepaskan saling keterikatannya sehingga
menjadi persamaan-persamaan gerak terlepas sistem Satu Derajat Kebebasan
(SDK). Hal ini dilakukan melalui suatu transformasi koordinat dengan matriks
eigenvektor sebagai matriks transformasinya. Respons dinamik total dari sistem
BDK tersebut selanjutnya menampilkan diri sebagai superposisi dari respons
dinamik masing-masing ragamnya. Respons dinamik masing-masing ragamnya
ini berbentuk respons dinamik suatu sistem SDK, dimana ragam yang semakin
tinggi memberikan sumbangan respons dinamik yang semain kecil dalam
menghasilkan respons dinamik total.

Pada struktur gedung beraturan akan berperiilaku sebagai struktur 2D,


respons dinamik ragam fundamentalnya adalah sangat dominan, sehingga respons
dinamik ragam-ragam lainnya dianggap dapat diabaikan. Kemudian, berhubung
struktur gedung tidak terlalu tinggi yaitu kurang dari 10 tingkat atau 40 m, maka
bentuk ragam fundamental dapat dianggap mengikuti garis lurus. Dengan dua
anggapan penyederhanaan ini, respons dinamik dari struktur bangunan gedung
beraturan dapat ditampilkan seolah-olah sebagai akibat dari suatu beban gempa
statik ekuivalen. Analisis perancangan struktur bangunan terhadap pengaruh
beban gempa secara statik, pada prinsipnya adalah menggantikan beban-beban
horizontal yang bekerja pada struktur bangunan akibat pengaruh dinamik
pergerakan tanah yang diakibatkan gempa, dengan beban-beban statik yang
ekuivalen.
Tujuan dari analisis statik adalah untuk menyederhanaan prosedur
perhitungan. Prosedur analisis statik yang sering digunakan pada praktek
perencanaan struktur bangunan gedung, adalah Analisis Beban Gempa Nominal
Statik Ekuivalen. Pada metode ini diasumsikan bahwa gaya horizontal akibat
gempa yang bekerja pada suatu elemen struktur, besarnya ditentukan berdasarkan
perkalian antara suatu koefisien atau konstanta, dengan berat atau massa dari
elemen-elemen struktur tersebut.
Pada standar gempa yang berlaku di Indonesia, metode analisis statik untuk
memperhitungkan pengaruh beban gempa pada struktur bangunan hanya boleh
digunakan untuk menganalisis struktur bangunan yang beraturan. Struktur
bangunan gedung dapat dianggap beraturan jika memenuhi beberapa ketentuan
antara lain, tinggi struktur bangunan tidak lebih dari 10 tingkat atau 40 meter,
denah struktur bangunan berbentuk persegi panjang tanpa adanya tonjolantonjolan, sistem struktur bangunan gedung mempunyai bentuk yang sederhana
dan beraturan, serta mempunyai massa dan kekakuan yang hampir seragam pada
seluruh tingginya.
Analisis Beban Gempa Nominal Statik Ekivalen merupakan

metode

pendekatan dari sifat-sifat dinamik yang sebenarnya dari beban gempa yang
bekerja pada struktur. Struktur-struktur

yang tidak begitu mudah untuk

10

diperkirakan perilakunya terhadap beban gempa, struktur-struktur dengan tinggi


tingkat lebih dari 40 meter, atau struktur-struktur gedung yang tidak beraturan
dengan ketinggian tingkat kurang dari 40 meter, harus dianalisis dengan prosedur
analisis dinamik.
Besarnya beban Gempa Nominal statik ekuivalen yang digunakan untuk
perencanaan struktur ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa
Rencana, oleh tingkat daktilitas yang dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor
tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur. Berdasarkan pedoman gempa
yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur
Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya Beban Gempa Nominal (V)
yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :

V =

C .I
Wt
R

Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur, C adalah nilai Faktor Respon


Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana untuk waktu getar
alami fundamental struktur T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban mati
ditambah beban hidup yang direduksi. R adalah Faktor Reduksi Gempa yang
besarnya tergantung dari besarnya tingkat daktilitas struktur. Untuk struktur
bangunan gedung yang berperilaku elastik penuh harga R=1,6, sedangkan untuk
bangunan gedung yang berperilaku daktail penuh harga R=8,5.
Pada struktur bangunan gedung bertingkat, beban gempa horizontal V, untuk
selanjutnya didistribusikan pada setiap tingkat dari struktur bangunan gedung.
Besarnya gaya gempa yang bekerja pada masing-masing tingkat dari bangunan
gedung tergantung dari berat dan ketinggian tingkat.
Beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan merupakan gaya inersia.
Besarnya gaya inersia ini tergantung dari banyak faktor. Berat atau massa
bangunan dan percepatan gempa merupakan faktor yang paling utama. Faktorfaktor lainnya yang juga mempengaruhi besarnya beban gempa pada struktur
adalah bagaimanan cara massa dari bangunan tersebut terdistribusi, kekakuan dari
sistem struktur bangunan, kondisi tanah di dasar bangunan, mekanisme redaman

11

pada struktur bangunan, dan perilaku dari getaran gempa. Faktor yang terakhir ini
paling sulit ditentukan secara tepat karena sifatnya yang acak (random). Gerakan
tanah yang ditimbulkan oleh getaran gempa dapat berperilaku tiga dimensi. Pada
umumnya, hanya gerakan tanah kearah horizontal saja yang ditinjau di dalam
perencanaan struktur.
Periode atau waktu getar struktur yang besarnya dipengaruhi oleh massa dan
kekakuan struktur, merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon struktur
terhadap getaran gempa. Struktur yang kaku dengan periode getar yang pendek,
misalnya struktur portal dengan dinding geser, akan menerima beban gempa yang
lebih besar dibandingkan struktur yang fleksibel dengan periode getar yang
panjang, misalnya struktur portal biasa. Penggunaan dinding geser pada sistem
struktur sering tidak dapat dihindari, khususnya pada bangunan-bangunan tinggi
atau pada bangunan-bangunan yang didirikan di wilayah atau zona gempa yang
berat. Fungsi dari dinding geser disini adalah untuk membatasi besarnya
simpangan horizontal yang terjadi pada struktur.

Gambar F.1. (a) Struktur fleksibel : Struktur portal, periode getar panjang, (b)
Struktur kaku : Struktur portal dengan dinding geser, periode getar pendek
F.1.3 Waktu Getar Struktur
Untuk keperluan analisis pendahuluan, waktu getar alami (T) dari struktur
bangunan gedung (dalam detik) dapat ditentukan dengan rumus pendekatan atau
rumus empiris sebagai berikut :
a. Untuk struktur-struktur bangunan gedung yang berbentuk portal tanpa
unsur pengaku (dinding geser/ shear wall atau bracing) yang membatasi
simpangan :
T empiris = 0,085 H 0,75 ( untuk portal baja )

12

T empiris = 0,060 H 0,75 ( untuk portal beton )


b. Untuk struktur-struktur bangunan gedung lainnya :
T empiris = 0,009 H/( B ) 0,5
Dimana H adalah ketinggian dari struktur bangunan gedung (dalam meter) di ukur
dari taraf penjepitan lateral, dan B adalah panjang dari denah struktur bangunan
dalam arah gempa yang ditinjau (dalam meter).
Setelah didapatkan gaya-gaya gempa pada struktur dengan menggunakan T
empiris, waktu getar sebenarnya dari struktur gedung beraturan dalam arah
masing-masing sumbu utama dapat dihitung ulang dengan menggunakan Rumus
Rayleigh sebagai berikut :
n

Wi d i 2

i 1
n

g Fi d i
i 1

T = 6,3
Dimana :
Wi

= Bagian dari seluruh beban vertikal yang disumbangkan oleh bebanbeban vertikal yang bekerja pada lantai tingkat ke i (dalam kg) pada
peninjauan gempa

Fi

= Beban gempa horizontal pada arah yang ditinjau yang bekerja pada
lantai tingkat ke i (dalam kg)

di

= Simpangan horizontal pusat berat pada lantai tingkat ke i (dalam mm)


akibat beban gempa

= Jumlah lantai tingkat pada struktur bangunan gedung

= Percepatan gravitasi yang ditetapkan sebesar 9810 mm/det2.


Waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung ditentukan

dengan rumus-rumus empirik atau didapat dari hasil analisis vibrasi bebas 3
dimensi, nilainya tidak boleh menyimpang lebih dari 20% dari nilai waktu getar
struktur yang dihitung dengan Rumus Rayleigh.
F.1.4 Pembagian Beban Gempa Pada Struktur

13

Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen (V) akibat gempa harus di


distribusikan di sepanjang tinggi tingkat gedung menjadi beban-beban horizontal
terpusat (Fi), yang bekerja pada masing-masing lantai tingkat (Gambar 4), dengan
rumus :

Wi hi
n

Wi hi

Fi =

i 1

Dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai, hi
adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, dan
sedangkan n adalah nomor lantai tingkat paling atas.
Taraf penjepitan lateral adalah taraf dimana gerakan tanah akibat gempa
dipindahkan dari tanah kepada struktur atas bangunan melalui struktur bawahnya.
Dalam analisis, struktur atas dapat dianggap terjepit pada taraf penjepitan lateral.
Jika terdapat basement, taraf penjepitan lateral dapat dianggap terjadi pada taraf
lantai dasar. Jika tidak ada basement, taraf penjepitan lateral dapat dianggap
terjadi pada bidang telapak pondasi langsung atau pondasi rakit, dan pada bidang
atas pile cap pondasi tiang.
Pembagian beban gempa statik ekuivalen (V) horizontal, harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a. Jika perbandingan antara tinggi struktur dan lebar denah bangunan adalah
sama atau melebihi 3, maka 0,10 V harus dianggap sebagai beban
horizontal terpusat yang bekerja pada pusat massa lantai puncak bangunan,
sedangkan 0,90 V sisanya harus dibagikan menjadi beban-beban horizontal
terpusat menurut rumus di atas.
b. Untuk cerobong yang berdiri di atas tanah, 0,20 V harus dianggap sebagai
beban horizontal terpusat yang bekerja pada puncaknya, sedangkan 0,80 V
sisanya harus dibagikan menjadi beban-beban horizontal terpusat menurut
rumus di atas.

14

c. Untuk tangki di atas menara, beban horizontal terpusat sebesar V harus


dianggap bekerja pada titik berat seluruh struktur menara dan tangki berikut
isinya.

Gambar F.2. Distribusi beban gempa pada pada masing-masing tingkat bangunan
F.1.5 Analisis beban dorong statik pada struktur bangunan gedung
Salah satu cara analisi statik dua atau tiga dimensi lineir dan non lineir,
dimana pengaruh Gempa Rencana terhadap struktur bangunan gedung dianggap
sebagai beban-beban statik yang menangkap pada pusat massa masing-masing
lantai, yang nilaina ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai melampaui
pembebanan yang menyebabkan terjadinya pelecehan (sendi plastis) pertama di
dalam struktur bangunan gedung, kemudian dengan peningkatan beban lebih
lanjut mengalami perubahan bentuk pasca-elastic yang besar sampai mencapai
kondisi plastic.

F.1.5.1 Analisis beban gempa statik ekivalen pada struktur bangunan


gedung beraturan
Analisis beban gempa statik ekivalen pada struktur bangunan gedung
beraturan adalah suatu cara analisis statik tiga dimensi linier dengan meninjau
beban-beban gempa statik ekuivalen, sehubungan dengan sifat struktur bangunan
gedung beraturan yang praktis berprilaku sebagai struktur dua dimensi, sehingga

15

respon dinamiknya praktis hanya ditentukan oleh respons ragam yang pertama
dan dapat ditampilkan sebagai akibat dari beban gempa statik ekivalen.
F.1.5.2

Analisis beban gempa statik ekivalen pada struktur bangunan


gedung tidak beraturan
Analisis beban gempa statik ekivalen pada struktur bangunan gedung tidak

beraturan adalah suatu cara analisis statik tiga dimensi linier dengan meninjau
beban-beban gempa statik ekuivalen yang telah dijabarkan dari pembagian gaya
geser tingkat maksimum dinamik sepanjang tinggi struktur bangunan gedung
yang telah diperoleh dari hasil analisi respons dinamik elastic linier tiga dimensi.
p

F.1.6 Base Shear Metode SNI 03-1726-2002


Aturan SNI 03-1726-2002 menetapkan bahwasanya struktur dengan
bentuk tidak simetris dan dengan adanya beban terpusat berupa massa titik
sebagai tambahan yang terletak sembarangan maka struktur tersebut mesti
dianalisa secara dinamik. Jadi struktur seperti tugas ini tidak bisa dianalisa dengan
rujukan analisa statis dengan beban gaya geser dasar metode simplifikasi Statik
Ekivalen.
Analisis statik ekivalen merupakan salah satu metode menganalisis struktur
gedungterhadap pembebanan gempa dengan menggunakan beban gempa nominal
statik ekivalen.Menurut Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur
Bangunan Gedung (SNI 1726 2002), analisis statik ekivalen cukup dapat
dilakukan pada gedung yang memiliki struktur beraturan.
Ketentuan-ketentuan mengenai struktur gedung beraturan disebutkan dalam
pasal 4.2.1 dari SNI 1726 2002. Apabila gedung memiliki struktur yang tidak
beraturan maka selain dilakukan analisis statik ekivalen juga diperlukan analisis
lebih lanjut, yaitu analisis respon dinamik.Perhitungan respon dinamik struktur
gedung tidak beraturan terhadap pembebanan gempa, dapat menggunakan metode
analisis ragam spektrum respons atau metode analisis respons dinamik riwayat
waktu. Pada pasal 7.1.3 dariSNI 1726 2002, bila nilai akhir respon dinamik
tersebut dinyatakan dalam gaya geser dasar nominal, maka nilainya tidak boleh
kurang dari 80% gaya geser dasar yang dihasilkan dari analisis statik ekivalen.

16

Gambar.F.3. Kurva Base Shear


F.2

Analisa Dinamik
Analisis dinamik pada perencanaan struktur bangunan gedung tahan

gempa dilakukan jika diperlukan evaluasi yang lebih akurat dari distribusi gayagaya gempa yang bekerja pada struktur bangunan gedung, serta untuk mengetahui
perilaku dari struktur akibat pengaruh gempa yang sifatnya berulang atau
dinamik. Pada struktur bangunan gedung yang tinggi atau struktur bangunan
gedung dengan bentuk atau konfigurasi yang tidak beraturan, analisis dinamik
diperlukan untuk mengevaluasi secara akurat respons dinamik yang terjadi dari
struktur. Analisis dinamik perlu dilakukan pada struktur-struktur bangunan gedung
dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Gedung-gedung dengan konfigurasi struktur sangat tidak beraturan
b. Gedung-gedung dengan loncatan-loncatan bidang muka yang besar
c. Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata
d. Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 meter
Prosedur analisis dinamik yang dapat digunakan untuk menentukan
besarnya beban gempa pada struktur seperti yang tercantum di dalam standar
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 031726-2002), adalah metode Analisis Ragam Spektrum Respon (Spectral Modal
Analysis).

17

Nilai akhir dari respons dinamik struktur bangunan gedung terhadap


pembebanan gempa dalam suatu arah tertentu, tidak boleh diambil kurang dari
80% nilai respons ragam yang pertama. Bila respons dinamik struktur gedung
dinyatakan dalam gaya gempa (V), maka persyaratan tersebut dapat dinyatakan
menurut persamaan berikut :
V 0,8 V1
dimana V1 adalah Beban Gempa Nominal.
F.2.1 Penentuan simpangan antar lantai (Interstory Drift)
Penentuan simpangan antar lantai tingkat desain ( ) harus dihitung
sebagai perbedaandefleksi pada pusat massa di tingkat teratas dan terbawah yang
ditinjau.. Apabila pusat massa tidak terletak segaris dalam arah vertikal, diijinkan
untuk menghitung defleksi di dasar tingkat berdasarkan proyeksi vertikal dari
pusat massa tingkat di atasnya.Jika desain tegangan ijin digunakan,

harus

dihitung menggunakan gaya gempa tingkat kekuatan yang ditetapkan dalam 7.8
tanpa reduksi untuk desain tegangan ijin.
Bagi struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik C,D, E atau F
yang memiliki ketidak beraturan horizontal Tipe 1a atau 1b pada Tabel 10,
simpangan antar lantai desain, harus dihitung sebagai selisih terbesar dari defleksi
titik-titik di atas dan di bawah tingkat yang diperhatikan yang letaknya segaris
secara vertikal, di sepanjang salah satu bagian tepistruktur.
Defleksi pusat massa di tingkat (mm) harus ditentukan sesuai dengan persamaan
berikut:

18

4.2.1.1 Geser dasar minimum untuk menghitung simpangan antar lantai


Analisis elastik sistem penahan gaya gempa untuk perhitungan simpangan
antar lantai harus dilakukan dengan menggunakan gaya gempa desain.
4.2.1.2 Nilai perioda untuk menghitung simpangan antar lantai
Untuk menentukan kesesuaian dengan batasan simpangan antar lantai
tingkat,diijinkan untuk menentukan simpangan antar lantai elastis,
menggunakan gaya desain seismik berdasarkan pada perioda fundamental struktur
yang dihitung tanpa batasan atas

yang ditetapkan.

F.2.2 SDOF dan MDOF


Jumlah koordinat bebas yang menetapkan susunan atau posisi sistem
pada setiap saat.
Model Struktur
Model SDOF

Model MDOF

Model Struktur

Model SDOF

Model MDOF

19

Model SDOF
F.2.2.1

Model Struktur

Model MDOF

Sistem Berderajat Kebebasan Tunggal (SDOF)

F.2.2.1.1 Pemodelan Parameter


Komponen-komponen yang merupakan pemodelan himpunan
parameter dari sebuah struktur adalah sesuatu yang menghubungkan gaya
dengan perpindahan, kecepatan, dan percepatan. Komponen yang
menghubungkan gaya dengan perpindahan disebut pegas.
F.2.2.1.2 Pemodelan Matematis
Model matematis dalam analisa dinamika struktur mempunyai
beberapa elemen sebagai berikut:
a. Massa m menyatakan massa dan sifat inersia dari struktur
b. Pegas k menyatakan gaya balik elastic dan kapasitas energy
potensial dari struktur
c. Redaman c menyatakan sifat geseran dan kehilangan energy
dari struktur
d. Gaya pengaruh F(t) menyatakan gaya luar yang bekerja
pada sistem struktur sebagai fungsi dari waktu.
F.2.2.1.3 Free Body Diagram
Salah satu aspek yang penting dalam analisis dinamis adalah
menggambar sebuah diagram free body dari sistem yang memungkinkan
penulisan besaran matematik dari sistem tersebut. Free Body Diagram
(FBD) adalah suatu sketsa dari benda yang dipisahkan dari benda lainnya,
dimana semua gaya luar pada benda terlihat jelas.
F.2.2.1.4 Persamaan Gerak (Equation of Motion)

20

Pada bagian ini persamaan gerakan dari beberapa model lumped


parameter akan diturunkan dengan menggunakan hukum Newton atau
yang ekivalen, metode gaya DAlembert. Hal ini akan berlaku sebagai review
atas pelajaran sebelumnya pada dinamika dan juga memperkenalkan prosedur
yang digunakan dalam menentukan model matematis dari sistem SDOF.
F.2.2.1.4.1

Aplikasi dari Hukum Newton Pada Model-Model


Lumped Parameter

Untuk menentukan gerak pada sebuah sistem, yaitu mempelajari


perpindahan atau kecepatan massa m pada saat t untuk kondisi awal pada
saat t=0 . Hubungan antara perpindahan dan waktu diberikan oleh Hukum
Newton Kedua untuk gerak yang ditulis pada persamaan (1.1), dimana F
adalah resultan gaya yang bekerja pada partikel massa m dan a adalah
resultan percepatan. Persamaan diatas merupakan persamaan vector yang
dapat ditulis dalam bentuk ekivalen, dalam besaran komponennya menurut
sumbu koordinat.

fx=ma x

fy=ma y

...
fz=ma z
. (2.1)

F.2.2.1.4.2 Prinsip DAlembert


Alternatif pendekatan untuk mendapatkan persamaan gerak
adalah penggunaan Prinsip DAlembert yang menyatakan bahwa sebuah
sistem dapat dibuat dalam keadaan keseimbangan dinamis dengan
menambahkan sebuah gaya fiktif pada gaya-gaya luar yang disebut sebagai
gaya inersia.Penggunaan Prinsip DAlembert memungkinkan pemakaian
persamaan keseimbangan untuk mendapatkan persamaan gerak.

F.2.2.1.5 Persamaan Gerak SDOF Teredam (Damped)

21

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan beberapa cara untuk


memperoleh persamaan gerak untuk SDOF teredam. Struktur yang
dimodelisasikan

sebagai

sistem

sederhana

dengan

redaman-liat

(viscous- damping), seperti pada gambar berikut:

Gambar F.4. Sistem SDOF teredam, (a) model struktur, (b) model SDOF, dan (c)
model matematis.
F.2.2.2 Sistem Berderajat Kebebasan Banyak (MDOF)
F.2.2.2.1 Sistem MDOF Sederhana
Persamaan gerak untuk sistem MDOF sederhana, dapat diidealisasikan
pada struktur portal tingkat dua dengan gaya luar p1(t) dan p2(t) (Gambar F.5).

Gambar F.5. (a) Struktur portal tingkat dua (b) gaya yang bekerja pada kedua
massa
Persamaan gerak dari sistem seperti pada Gambar. F.9 adalah :
FI1 + FD1 + FS1 = F1(t)
FI2 + FD2 + FS2 = F2(t)

...............................
. (2.1)

Gaya inersia pada pada persamaan gerak :


FI1 = m1 1
FI2 = m2 2
atau ditulis dalam bentuk matrik :

...............................
. (2.2)

22

FI 1
m1


FI 2
0

0 1

m2 2

...............................
. (2.3)

Persamaan (1.4) dapat ditulis dalam bentuk :


...............................
. (2.4)

FI = m

dimana FI = vektor gaya inersia, = vektor percepatan, dan m = matrik massa,


yang berturut-turut seperti ditunjukkan pada Gambar F.6. Karena massa dari
struktur di pusatkan pada setiap lantai, maka matrik massa merupakan matriks
diagonal. Gaya pegas dan perpindahan yang terjadi pada masing-masing tingkat
adalah :
FS1 = k1.u1 k2.(u2 u1)
FS2 = k2.(u2 u1)

...............................
. (2.5)

Dengan memperkenalkan k11, k12, k21, dan k22 :


k11 = k1 + k2 dan k12 = -k
k21 = -k2 dan

k22 = k2

...............................
. (2.6)

dengan mensubstitusikan harga-harga ini ke dalam Persamaan (2.5), akan


diperoleh persamaan (Gambar. F.11) :
FS1 = k11.u1 + k12.u2
FS2 = k21.u1 + k22.u2

...............................
. (2.7)

Gambar F.6. Beban dan lendutan dari suatu sistem dengan dua derajad kebebasan
( a) Lendutan total ( b) Dekomposisi dari lendutan.

23

Persamaan (2.8) dapat ditulis dalam bentuk martik sebagai berikut :


FS1
k11


k 21
FS 2

k12 1

k 22 2

...............................
. (2.8)

Persamaan (1.9) dapat ditulis dalam bentuk :


...............................
. (2.9)

FS = k u

dimana FS = vektor gaya elastis, k = matrik kekakuan, dan u = vektor


perpindahan. Pada persamaan ini, matrik kekakuan k adalah matriks simetris.
Jika gaya redaman (viscous damping) di asumsikan sebanding dengan kecepatan,
maka di dapatkan hubungan sebagai berikut :

FD1 c11 c12



FD 2 c 21 c 22

1'

...............................
. (2.10)

'

Persamaan (2.10) dapat ditulis dalam bentuk :


...............................
. (2.11)

FD = c

dimana FD = vektor gaya peredam, c = matrik redaman, dan = vektor kecepatan


Vektor beban luar yang bekerja pada sistem :

F(t) =

F1 (t )

F2 (t )

...............................
. (2.12)

Dengan penggunaan Persamaan (2.4), (2.9), (2.11) dan (2.12), persamaan gerak
untuk

sistem

dengan

banyak

derajad

kebebasan

(Multi

Degrees

of

Freedom/MDOF) dapat ditulis sebagai berikut :


FI + FD + FS = F(t)
atau
m + c + k u = F(t)

...............................
. (2.13)
...............................
. (2.14)

Jika percepatan tanah g akibat gempa diberlakukan pada struktur, maka akan
didapatkan persamaan gerak dari untuk sistem MDOF sebagai berikut :
m + c + k u = -m 1 g
dimana 1 adalah vektor satuan.

...............................
. (2.15)

24

Pada idealisasi tersebut balok dan lantai adalah kaku. Massa yang
terdistribusi pada seluruh gedung. akan diidealisasikan terpusat pada bidang
lantai. Asumsi tersebut umumnya sesuai untuk bangunan bertingkat. Pada
Gambar F.10a diatas, portal tingkat dua dengan massa terpusat pada setiap lantai
memiliki dua DOF : perpindahan lateral u1 dan u2 pada kedua lantai dalam arah
x. Gaya-gaya yang bekerja untuk setiap massa lantai mj dapat dilihat pada
Gambar F.10b, termasuk gaya luar pj(t), gaya elastic fSj dan gaya redaman fDj.
Gaya elastis dan redaman menunjukan arah yang berlawan, karena kedua gaya
tersebut adalah gaya dalam yang menahan gerakan.
F.2.2.2.2 Prinsip DAlemberts pada Sistem MDOF
Berdasarkan prinsip D lemberts adanya gaya inersia pada kesimbangan
dinamis pada sebuah struktur. Untuk dua massa dalam sistem free body diagram
dan gaya inersianya, dimana untuk setiap gaya inersia adalah perkalian massa
dengan percepatannya.
F.2.2.2.3
F.2.2.2.3.1

Getaran Bebas Untuk Sistem Mdof


Sistem MDOF Tak Teredam
Persamaan gerak MDOF tak teredam dengan p(t)=0,
..
(2.16)

Terdapat dua kemungkinan gerak harmonis dari struktur sedemikian


rupa, dimana semua massa bergerak dengan fasa tertentu pada frekuensi 1

dan 2. Setiap karakteristik perubahan bentuk disebut normal atau pola natural
dari getaran. Sering disebut dengan pola pertama (first mode) atau pola dasar
(fundamental mode) untuk menyatakan pola yang sesuai dengan frekuensi
terendah. Pola yang lain disebut pola harmonis atau pola harmonis yang lebih
tinggi.
Gambar F.7 dan F.8 menunjukan getaran bebas pada portal dua tingkat.
Kekakuan dan massa yang terpusat dapat dilihat pada gambar F.7a dan mode
getar atau pola getar ditunjukan oleh gambar F.7b dan F.8b. Hasil gerak uj pada
sistem digambarkan oleh gambar F.7d dan F.8d.

25

Gambar F.7. Getaran bebas pada sistem tak teredam dengan pola natural pertama
dari getaran (a) Struktur portal tingkat dua; (b) perubahan bentuk struktur pada
waktu a,b,c; (c) modal coordinate qn(t) (d) perpindahan

Gambar F.8. Getaran bebas pada sistem tak teredam dengan pola natural kedua
dari getaran (a) Struktur portal tingkat dua; (b) perubahan bentuk struktur pada
waktu a,b,c (c) koordinat modal qn(t) (d) perpindahan
Perioda alami dari getaran Tn pada sistem MDOF adalah waktu yang
diperlukan untuk satu siklus dari gerak harmonis sederhana dalam satu pola
natural. Hubungan terhadap frekuensi natural sudut dari getaran adalah n
dan frekuensi natural adalah fn,

..(2.17)

F.2.3 Pembebanan Pada Struktur


Suatu beban mempunyai perubahan intensitas yang bervariasi secara cepat
terhadap waktu, maka beban tersebut disebut sebagai beban dinamis (dynamic
load). Beban dinamis dapat menyebabkan terjadinya osilasi sehingga deformasi

26

puncak dari struktur tidak terjadi bersamaan dengan terjadinya beban yang
maksimum. Pengaruh beban statis dan beban dinamis pada struktur, dapat
digambarkan pada Diagram Beban (P) Waktu (t), seperti pada Gambar F.9.
P(t)

P(t)

t0

P(t)

P(t)

t0

Beban Statik Beban ImpakGetaran MesinGetaran Gempa

Gambar F.9. Diagram Beban ( P ) Waktu ( t )


Beban statis dapat dianggap sebagai beban dinamis dengan intensitas beban
yang tetap dari waktu ke waktu. Getaran mesin merupakan beban dinamis yang
bersifat periodik karena mempunyai intensitas beban dan frekuensi getar yang
berulang. Bentuk dari getaran yang ditimbulkan mesin pada umumnya berbentuk
sinusoidal. Getaran gempa merupakan beban dinamik dengan intesitas dan
frekuensi getar yang acak dari waktu ke waktu. Meskipun terjadi dalam waktu
yang singkat, tetapi getaran gempa dapat menimbulkan kerusakan pada struktur
bangunan.
Untuk memudahkan prosedur analisis struktur terhadap pengaruh beban
yang ditimbulkan oleh ledakan, getaran mesin, dan pengaruh pergerakan
kendaraan, sering dilakukan memperlakukan beban-beban tersebut sebagai beban
statik. Pengaruh dinamik yang ditimbulkan oleh beban, diperhitungkan dengan
mengalikan intensitas beban dengan suatu faktor pembesaran dinamik yang
dinamakan faktor kejut.
Untuk keperluan analisis struktur bangunan, sampai dengan tingkat
intensitas beban tertentu serta batasan dari kondisi struktur bangunan tertentu,
beban dinamik yang bekerja pada struktur, dapat diasumsikan sebagai beban
statik ekuivalen. Sebagai contoh, analisis struktur bangunan gedung terhadap
getaran gempa dapat dilakukan dengan metode analisis statik yang sederhana,
yaitu Analisis Beban Gempa Statik Ekuivalen. Metode analisis statik ini dapat
digunakan untuk menggantikan metode analisis dinamik yang cukup rumit.
dengan persyaratan struktur yang dianalisis mempunyai bentuk yang simetris

27

dengan ketinggaan bangunan gedung tidak lebih dari 40 m. Untuk bangunan


gedung dengan bentuk yang tidak beraturan atau bangunan dengan ketinggian
lebih dari 40 m, analisis struktur harus dilakukan secara dinamik.
Salah satu aspek penting dalam meninjau perilaku struktur bangunan yang
bergetar akibat gempa adalah waktu getar alami struktur. Perhatikanlah struktur
sederhana yang diilustrasikan pada Gambar F.10 Jika pada puncak dari struktur
diberikan perpindahan horizontal dan kemudian dilepaskan, maka bagian atas dari
struktur akan bergetar atau berosilasi bolak-balik dengan amplitudo yang semakin
mengecil sampai akhirnya struktur kembali pada kondisi diam. Yang menarik
adalah bahwa gerakan dari getaran struktur ini tidak acak sama sekali, tetapi
teratur. Getaran seperti ini disebut sebagai getaran harmonis, karena pola getaran
berubah secara sinusoidal terhadap waktu.
Waktu yang diperlukan getaran untuk melakukan satu siklus bolak-balik
lengkap disebut waktu getar alami (T), sedangkan frekuensi getaran (f)
didefinisikan sebagai banyaknya siklus yang terjadi untuk satu satuan waktu.
Hubungan antara waktu getar dan frekuensi getar dinyatakan dalam bentuk
persamaan : f = 1/T.

Gambar F.10. (a) Model dari struktur. (b) Getaran bebas dari struktur (c)
Amplitudo getaran bebas
Besarnya frekuensi getaran yang terjadi pada struktur tergantung pada massa
struktur dan kekakuan kolom. Jika kolom pada struktur mempunyai kekakuan
yang kecil, maka gaya pemulihan yang diperlukan untuk mengembalikan struktur
dari keadaan terdefleksi ke posisi yang semula, juga relatif kecil. Dengan
demikian, puncak dari struktur akan bergerak bolak-balik secara relatif lebih lambat sampai getaran berhenti. Struktur dengan kekakuan kolom yang kecil
mempunyai waktu getar alami yang panjang. Sebaliknya struktur dengan kolom

28

yang kaku, akan memberikan gaya pemulihan yang besar sehingga getaran yang
terjadi akan berhenti dalam waktu yang relatif singkat. Struktur seperti ini
mempunyai waktu getar alami yang pendek.
Selain tergantung pada massa dan kekakuan kolom, panjang atau pendeknya
waktu getar dipengaruhi juga oleh mekanisme redaman pada struktur dalam hal
menyerap energi getaran. Sebagai contoh, gaya gesek dari sendi yang
menghubungkan balok dan kolom dari struktur pada Gambar F.16 akan
menyebabkan terjadinya redaman. Mekanisme redaman pada struktur dapat juga
terjadi, misalnya dengan adanya retakan dari elemen-elemen struktur .
Jika pondasi atau dasar dari struktur tiba-tiba bertranslasi kearah
horizontal,maka masa dari struktur mula-mula akan bereaksi menahan translasi
tersebut karena adanya kecenderungan inersia.Dengan demikian struktur akan
bergetar. Apabila pondasi dari struktur bergerak bolak-balik terus-menerus kearah
horizontal seperti pada saat terjadi gempa, maka struktur akan terus bergetar
selama gerakan tanah terjadi. Getaran yang terjadi pada struktur akan dipengaruhi
oleh gerakan tanah yang tidak bergetar secara bebas. Jika frekuensi gerakan tanah
akibat gempa sangat berbeda dengan frekuensi getaran bebas dari struktur, maka
tidak akan terjadi resonansi. Sebaliknya, jika frekuensi gerakan tanah cukup dekat
dengan frekuensi getaran bebas struktur, dapat terjadi efek resonansi yang dapat
mengakibatkan bertambah besarnya amplitudo getaran dari struktur.
Resonansi yang terjadi pada bangunan yang bergetar merupakan masalah di
dalam desain, karena dapat menyebabkan kerusakan atau keruntuhan dari struktur
bangunan. Untuk mempelajari fenomena resonansi, akan ditinjau suatu benda
yang digantung dengan pegas (sistem benda-pegas) dan diberi gangguan pada
tumpuannya, seperti terlihat pada Gambar F.11. Jika benda tersebut di tarik
sehingga terjadi simpangan kemudian dilepaskan, maka akan terjadi getaran bebas
pada benda tersebut. Waktu getar alami dari getaran ini dapat dihitung dari rumus

T 2 W/gk
umum

, dimana W adalah berat benda, g adalah percepatan

29

gravitasi, dan k adalah konstanta pegas yang merupakan karakterisitik deformasi


dari pegas.
Jika tumpuan dari benda tersebut digerakkan ke atas dan ke bawah, maka akan
tetjadi salah satu dari fenomena berikut ini. Apabila gerakan osilasi yang
diberikan sangat lambat (yaitu waktu getarnya panjang), benda tersebut akan
bertanslasi mengikuti gerakan tumpuannya. Sebaliknya, apabila gerakan osilasi
yang diberikan sangat cepat, maka benda tersebut akan relatif diam, karena adanya
gaya inersia sebagai akibat adanya gerakan cepat dari tumpuan.
Suatu keadaan kritis dapat terjadi jika waktu getar osilasi yang diberikan,
sama besar dengan waktu getar sistem benda-pegas. Dalam hal ini osilasi yang
diberikan akan menyebabkan benda mulai bergetar ke atas dan ke bawah. Jika
osilasi ini terus terjadi, amplitudo gerak getaran akan terus-menerus bertambah.
Dengan demikian, perpanjangan dan perpendekkan yang relatif datar ini dapat
sangat jauh lebih besar daripada osilasi semula yang diberikan. Sebagai akibatnya,
osilasi yang terjadi akan menjadi sangat besar.
(a)

Jika mula-mula pada sistem diberi


peralihan kemudian dilepaskan, maka
massa akan bergetar bebas dengan
frekuensi tertentu.

(b)

Jika sistem diberi gerakan osilasi


dengan

frekuensi jauh lebih

kecil

daripada frekuensi alaminya, massa


akan bertranslasi ke atas dan ke bawah
mengikuti gerakan tumpuan (tanpa ada
perpanjangan atau perpendekan pegas).

30

(c) Jika sistem diberi gerakan osilasi dengan


frekuensi jauh lebih besar daripada
frekuensi alami sistem, aksi inersia
mempunyai

kecenderungan

mempertahankan

keadaan

semula

sehingga massa dapat dikatakan tetap


diam. Terjadi deformasi pegas yang
cukup

besar

dibandingkan

dengan

amplitudo osilasi yang diberikan.


(d)

Jika frekuensi osilasi yang diberikan


sama dengan frekuensi alami sistem,
timbul

kondisi

resonansi,

amplitudo

getaran

melampaui

amplitudo

dimana

massa
osilasi

akan
yang

diberikan. Dengan demikian akan ada


gaya yang sangat besar pada pegas.
Gambar F.11. Fenomena resonansi pada sistem massa-pegas
Struktur bangunan nyata dapat mempunyai perilaku seperti pada sistem-pegas
yang telah dibahas di atas. Apabila frekuensi alami dari gerakan yang diberikan
sama dengan frekuensi alami getaran sistem struktur itu sendiri, maka fenomena
resonansi akan terjadi. Pengaruh dari resonansi dapat sangat besar seperti yang
terjadi pada kehancuran Tacoma Narrows Bridge di Luashington pada tahun
1940. Angin menyebabkan terjadinya gerakan berputar pada struktur jembatan.
Struktur jembatan kemudian mulai berosilasi dengan amplitudo yang membesar,
sehingga menyebakan pelat lantai jembatan tersebut miring pada posisi 45 dari
horizontal, dan akhirnya strukturnya runtuh.
Jika tidak diperhitungkan dengan baik, struktur bangunan gedung dapat juga
mengalami resonansi akibat pengaruh getaran gempa. Resonansi pada bangunan
gedung akan mengakibatkan deformasi yang berlebihan, serta meningkatnya
tegangan pada elemen-elemen struktur. Oleh karena itu aksi dinamis akibat gempa

31

perlu diperhatikan, karena berpotensi menyebabkan terjadinya keruntuhan yang


tak diinginkan.
Analisis dinamis suatu struktur bangunan gedung bertingkat cukup rumit
karena banyaknya ragam getaran yang mungkin terjadi pada bangunan. Bangunan
gedung bertingkat banyak dapat bergetar dengan berbagai ragam getaran yang
dapat menyebabkan lantai pada berbagai tingkat bangunan mempunyai percepatan
dalam arah-arah yang berbeda pada saat yang sama. Sekalipun demikian, prediksi
analitis mungkin saja dilakukan dengan memodelkan struktur bangunan gedung
bertingkat sebagai sistem kompleks yang terdiri atas massa-massa terpusat (yang
menunjukkan berat dari setiap lantai gedung), sistem pegas (menunjukkan
kekakuan kolom-kolom struktur), dan sistem peredam (menunjukkan mekanisme
penyerapan energi yang ada pada gedung).
F.2.3.1 Kombinasi Pembebanan
Ada dua group kombinasi pembebanan yang ditinjau, yang pertama adalah
kombinasi pembeban yang berkaitan dengan kekuatan dan kemampuan layan pada
struktur yang dihitung menurut ketentuan SNI 03-2847-2002 Pasal 11 (kondisi
ultimate limit state/ULS), sedangkan kombinasi pembebanan group yang kedua
adalah berdasarkan kondisi service limit state (SLS). Kombinasi pembebanan
group kedua ini digunakan untuk perencanaan struktur bawah (fondasi).
Kondisi Ultimate Limit State (ULS) :
1. 1.4DL
2. 1.2DL + 1.6LLo + 0.5 H
3. 1.2DL + 1.6H + 0.5 LLo
4. 1.2DL + 1.6LLo + 0.8 (WL)
5. 1.2DL + 1.6LLo - 0.8 (WL)
6. 1.2DL + 1.6H + 0.8 (WL)
7. 1.2DL + 1.6H - 0.8 (WL)
8. 1.2DL + 1.3WL +0.5LLo+ 0.5 H
9. 1.2DL - 1.3WL +0.5LLo+ 0.5 H
10. 0.9DL + 1.3WL

32

11. 0.9DL - 1.3WL


Kondisi Service Limit State (SLS) :
12. DL
13. DL + LLo + 0.5 H
14. DL + H + 0.5 LLo
15. DL + LLo + 0.8 (WL)
16. DL + LLo - 0.8 (WL)
17. DL + H + 0.8 (WL)
18. DL + H - 0.8 (WL)
Dimana:
DL : beban mati
LL : beban hidup
WL : beban angin
H : beban air hujan
LLo : beban hidup saat maintenance diatas atap
R : Daya dukung ijin pondasi
F.2.3.1 Kombinasi Pembebanan Pada Struktur Portal
Sistem struktur dan elemen struktur harus diperhitungkan terhadap dua
kombinasi pembebanan, yaitu Pembebanan Tetap dan Pembebanan Sementara.
Momen lentur (Mu), momen torsi atau puntir (Tu), gaya geser (Vu), dan gaya
normal (Pu) yang terjadi pada elemen-elemen struktur akibat kedua kombinasi
pembebanan yang ditinjau, dipilih yang paling besar harganya, untuk selanjutnya
digunakan pada proses desain.
Untuk keperluan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan gedung,
perlu dilakukan perhitungan mekanika rekayasa dari portal beton dengan dua
kombinasi pembebanan yaitu Pembebanan Tetap dan Pembebanan Sementara.
Kombinasi pembebanan untuk perencanaan struktur bangunan gedung yang sering
digunakan di Indonesia adalah U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) dan U = 1,2 D
+ 1,0.L 1,0 E. Pada umumnya, sebagai gaya horizontal yang ditinjau bekerja
pada sistem struktur portal adalah beban gempa, karena di Indonesia beban gempa

33

lebih besar dibandingkan dengan beban angin. Beban gempa yang bekerja pada
sistem struktur dapat berarah bolak-balik, oleh karena itu pengaruh ini perlu
ditinjau di dalam perhitungan. Beban mati dan beban hidup selalu berarah ke
bawah karena merupakan beban gravitasi, sedangkan beban angin atau beban
gempa merupakan beban yang berarah horizontal. Kombinasi pembebanan dan
momen lentur yang terjadi pada struktur portal diperlihatkan pada Gambar F.12.

Gambar F.12.a. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan tetap, U =
1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

Gambar F.12.b. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan


sementara, U = 1,2 D + 1,0.L 1,0 E (arah gempa dari kiri)

34

Gambar F.12.c. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan sementara,
U = 1,2 D + 1,0.L 1,0 E (arah gempa dari kanan)
Akibat kombinasi pembebanan, pada elemen balok akan bekerja momen
lentur yang berarah bolak-balik. Penampang balok harus dirancang agar kuat
menahan momen-momen ini. Akibat beban gempa atau beban angin yang berarah
horizontal, pada elemen-elemen kolom dari struktur, akan bekerja momen lentur
yang berarah bolak-balik. Penampang kolom harus dirancang agar kuat menahan
momen-momen ini. Untuk memikul momen lentur yang berubah arah ini, pada
umumnya untuk elemen kolom dipasang tulangan simetris.
F.2.4 Evaluasi Keamanan Bangunan Terhadap Gempa
ATC-3 (1978) menetapkan dua langkah evaluasi keamanan terhadap gempa
untuk bangunan gedung yang telah berdiri, yaitu evaluasi kualitatif dan evaluasi
analitis. Evaluasi kualitatif melibatkan pemeriksaan dokumen desain (gambar dan
perhitungan) dan inspeksi lapangan. Evaluasi kualitatif terhadap bangunan gedung
akan menghasilkan salah satu dari ketiga keputusan berikut :
1. Bangunan gedung sesuai dengan persyaratan desain
2. Bangunan gedung tidak sesuai dengan persyaratan desain
3. Bangunan gedung tidak dapat dievaluasi keamanannya secara kualitatif
Jika keamanan terhadap gempa tidak dapat dievaluasi secara kualitatif, maka perlu
dilakukan evaluasi analitis.
Pada 1979, Okada dan Bresler mengembangkan prosedure evaluasi
keamanan struktur beton bertulang terhadap gempa untuk bangunan gedung

35

tingkat rendah (sampai 5 lantai) dan gedung-gedung sekolah. Untuk menilai


secara sistematis tingkat keamanan terhadap gempa dari beberapa gedung yang
sudah ada dalam waktu singkat, mereka menggunakan metode seleksi melalui
beberapa tahapan. Pertama, keamanan dari bangunan dihitung dengan metode
analisis yang sederhana. Jika dari hasil analisis ini keamanan bangunan tidak
memenuhi persyaratan, maka dilakukan analisis ulang dengan menggunakan
teknik analisis yang lebih teliti. Prosedure ini disebut screening, dan dilakukan
berulang-ulang sampai didapatkan gambaran keamanan yang jelas dari bangunan
yang dievaluasi. Prosedure untuk melakukan evaluasi keamanan bangunan
terhadap gempa, terdiri atas lima tahapan yaitu :
1. Permodelan struktur, terdiri dari :
a. Pengecekan sistem struktur (perencanaan, elemen-elemen struktur dan
detail struktur)
b. Pengecekan intensitas beban yang bekerja pada struktur
c. Pengecekan properti material
d. Pemeriksaan terhadap metode desain yang digunakan, gambar dan
perhitungan perencanaan, spesifikasi konstruksi, laporan pelaksanaan
konstruksi, dan penyelidikan lapangan.
2. Permodelan analitis
Untuk memeriksa perilaku struktur terhadap beban gempa, dilakukan
analisis dinamik terhadap struktur bangunan. Untuk keperluan analisis
dinamik, struktur dimodelkan sebagai sistem massa-pegas (mass spring
system). Tiap tingkat dari bangunan disederhanakan sebagai pegas dengan
massa terpusat yang mempunyai satu derajat kebebasan. Pemodelan sistem
massa-pegas ini dimaksudkan untuk menghitung waktu getar atau frekuensi
getar alami dari struktur. Analisis struktur dilakukan dengan hanya meninjau
ragam getar yang pertama atau ragam getar fundamental dari struktur. Tiga
jenis kegagalan struktur yang ditinjau adalah momen, geser, serta kombinasi
momen-geser.

Analisis

dinamik

respon

spektrum

mengevaluasi kinerja bangunan dan tingkat daktilitasnya.

digunakan

untuk

36

3. Evaluasi kekuatan struktur


Untuk memeriksa kekuatan dari struktur, dilakukan dengan prosedur yang
umum digunakan dalam praktek perencanaan struktur, yaitu melakukan
analisis struktur untuk menentukan gaya-gaya dalam yang bekerja pada
elemen-elemen struktur, kemudian dilakukan pemeriksaan tegangan yang
terjadi pada penampang.
4. Evaluasi kekakuan struktur
Untuk memeriksa kekakuan dari struktur, dilakukan dengan memeriksa
simpangan yang terjadi pada tiap-tiap lantai struktur, serta memeriksa tingkat
daktilitas dari struktur.
5. Evaluasi keamanan struktur
Dengan menggabungkan hasil evaluasi kekuatan struktur dan kekakuan
struktur, kemudian dilakukan penilaian akhir untuk menentukan kesimpulan
apakah bangunan tersebut aman atau tidak. Jika didapat penilaian yang positif,
maka ini berati bangunan dinyatakan aman. Tetapi jika didapatkan hasil yang
negatif, maka bangunan dinyatakan tidak aman. Jika didapatkan hasil
penilaian yang meragukan maka perlu dilakukan sreening lebih lanjut.
F.3

Metoda perhitungan respon struktur


Dalam melakukan perhitungan respon struktur terhadap beban dinamik

baik itu beban luar yang sinusoidal sampai beban percepatan gempa banyak
metoda yang sudah dikembangkan oleh para ilmuwan. Mulai dari metoda solusi
klasik yaitu berupa solusi persamaan diferensial secara exact sampai kepada solusi
numerik untuk memecahkan persamaan diferensial . Beberapa teori yang dipakai
dalam tugas ini akan dipaparkan untuk mendukung pembahasan dan analisa
nantinya.

37

F.3.1 Metoda Integral Dunhamel


f
c

v
v
fd

P(t)

P(t)

m
k
fs

Gambar F.13. Free body kesetimbangan dinamis struktur


Berdasarkan gambar free body kesetimbangan dinamis struktur diatas yang
mempunyai nilai kekakuan dan faktor redaman (damper) dapat diturunkan
persamaan diferensial kesetimbangan struktur seperti berikut:
m x(t ) c x (t ) k x 0

.................................................................................(3.1)
Dari persamaan kesetimbangan tersebut dengan matematika klasik bisa
diturunkan solusi gerak dari respon struktur :

x(t ) e t ( A sin d t B cos d t )


.....................................................................(3.2)
Solusi diatas berlaku untuk gerak bebas tanpa beban luar, sedangkan untuk adanya
gangguan beban luar berupa beban sembarang dan dengan memasukkan kondisi
awal t = 0 dan x(t) = 0 maka akan diperoleh koefisien B = 0 dan dari persamaan

P( ) d
I
x (0)

m
m

impuls

A
akan diperoleh koefisien

I
m d
sehingga lebih

lanjut solusi eksak persamaan gerak respon struktur disebut sebagai Integral
Dunhamel sebagai berikut :
P( )
e ( t ) sin d ( t ) d
m

0
d
t

x (t )

.......................................................(3.3)
Untuk respon struktur yang dikenai beban luar berupa percepatan gempa,
solusi eksak tadi bisa diformulasikan menjadi bentuk :

38

x(t )

1 t
( t )
sin d ( t ) d
x g ( ) e
d 0
..................................................(3.4)

Dengan sedikit melakukan manipulasi matematis maka dapat dilakukan


pengelompokan

koefisien

sehingga

terbentuk

permsamaan

x ( t ) A ( t ) sin d t B( t ) cos d t

...................................................................(3.5)
Adapun koefisien A dan B diatas sebagai berikut :
A( t )

1 t
e
x g ( ) t cos d d

d 0
e

...........................................................(3.6)
1 t
e

B( t )
x g ( ) t Sin d d
d 0
e

..............................................................(3.7)
Untuk mempermudah penyelesaian integral dunhamel diatas akan diselesaikan
dengan metode numerik Simpson 1/3. Setelah melalui proses penyederhanaan
maka diperoleh solusinya :

A( t 4t ) A( t 2t ) e 2t

t
x g ( t 2t ) e t cos( d 2t ) ....
3 d

...4x g ( t 3t ) e t cos( d 3t ) x g ( t 4t ) cos( d 4t )

..........................(3.8)

B( t 4t ) A( t 2t ) e 2t

t
x g ( t 2t ) e t sin( d 2t ) ....
3 d

...4x g ( t 3t ) e t sin( d 3t ) x g ( t 4t ) sin( d 4t )

............................(3.9)

F.3.2 Metoda Step By Step


Persamaan kesetimbangan dinamis yang mendasari persamaan solusi
dinamik respon struktur adalah :
FI(t) + FD(t) + FS(t) = P(t)..................................................................................(3.10)

39

Apabila persamaan tersebut seimbang pada saat t=t maka incrementalnya juga
seimbang untuk t sehingga persamaan (3.10) seimbang untuk t= t + t, dengan
dimikian kesetimbangan incrementalnya adalah :
FI(t) + FD(t) + FS(t) = P(t)........................................................................(3.11)
Dimana masing-masing elemennya :
FI(t) = FI(t+t) - FI(t) =
FD(t) = c(t)

m x ( t )

...................................................................(3.12)

x ( t )

.............................................................................................(3.13)

FS(t) = k(t) x(t).............................................................................................(3.14)

40

t+t

v ( ) v ( )

v ( t )

t+t

P(t) = P(t + t) P(t)......................................................................................(3.15)

41

Gambar F.14. Metode step by step


Berdasarkan asumsi dari gambar diatas dapat diturunkan persamaan :
x ( t ) x ( t ) t x ( t )

t
2

.............................................................................(3.16)

t 2
t 2
x ( t ) x ( t ) t x ( t )
x ( t )
2
6

.....................................................(3.17)

Persamaan 3.16 dipindah ruaskan untuk mengeluarkan variabel incremental


percepatan yang menghasilkan persamaan:
x ( t )

6
6
x ( t )
x ( t ) 3x ( t )
2
t
t

.................................................................(3.18)

Dengan melakukan subtitusi persamaan 3.17 ke persamaan 3.18 akan diperoleh


persamaan incremental kecepatan sebagai berikut :

42

x ( t )

3
t
x ( t )
x ( t ) 3x ( t )
t
2

...................................................................(3.19)

Selanjutnya berdasarkan persamaan diferensial kesetimbangan dinamis


m x ( t ) c x ( t ) k x P( t )

struktur

akan dilakukan subtitusi persamaan

(1.36) dan (1.37) ke dalamnya sehingga setelah melalui penyederhanaan akan


menghasilkan persamaan :

K * ( t ) x ( t ) P * ( t )
......................................................................................(3.20)
dengan masing-masing
K * (t ) k(t )

6
3
m
c( t )
2

t
t

.......................................................................(3.21)

t
6

x ( t ) 3x ( t ) c( t ) 3x ( t ) x ( t )
2
t

P * ( t ) P( t ) m

..........................(3.22)

Akhirnya penyelesaian solusi untuk mencari incremental perpindahan didapatkan

x ( t )

P * ( t )
K * (t )

.
Secara garis besar prosedur yang diperlukan untuk metode step by step sebagai
berikut :
x ( t )

1.

Kondisi awal

dan x(t) diketahui dari kondisi (t - t) atau pada saat


x ( t )

t=0 (umumnya

= x(t) =0 ).
x ( t )

2.
3.
4.

Hitung gaya pegas Fs(t) = k.x(t) dan gaya damping Fd(t)=c.


Percepatan dapat dicari dengan
Hitung p*(t) dan K*(t).

1
x ( t ) P( t ) FD ( t ) FS ( t )
m

x ( t )
5.

Hitung incremental perpindahan

p *
K*

.
.

43

x ( t t ) x ( t ) x ( t )

6.

Hitung

kecepatan

dan

x ( t t ) x ( t ) x ( t )

perpindahan

F.3.3 Metoda Newmark


Pada prinsipnya metode ini sama dengan metode step-by step yang
berbeda Cuma dalam perumusan koefisien incremental kecepatan dan incremental
perpindahan. Adapun newmark menetapkan koefisien untuk incremental
kecepatan dan koefisien untuk incremental perpindahan. Perumusannnya
masing-masing sebagai berikut :
x ( t ) 1 x ( t ) x ( t t ) t

..............................................................(3.23)

x ( t ) x ( t ) t x ( t ) x ( t t ) t 2

......................................(3.24)

Persamaan 3.24 diuraikan dan menghasilkan persamaan

x ( t ) x ( t ) t x ( t )

t 2
x ( t ) t 2
2

.....................................................(3.25)

Persamaa 3.25 diuraikan dan menghasilkan persamaan


x ( t ) x ( t ) t x ( t ) t

........................................................................(3.26)
Persamaan 3.26 dipindah ruaskan dan mengeluarkan incremental percepatan
maka,
x ( t )

x ( t )
x ( t )
x ( t )

2
2
t t

........................................................................(3.27)

Selanjutnya subtitusi persamaan 3.27 ke dalam persamaan 3.26 menghasilkan :

x ( t )

x ( t ) x ( t )
t x ( t )
t

.....................................................(3.28)

1
Pyc

-1

44

Dengan subtitusi persamaan 3.27 dan 3.28 ke dalam persamaan diferensial


m x ( t ) c x ( t ) k x P( t )

kesetimbangan dinamis struktur

sehingga

setelah melalui penyederhanaan akan menghasilkan persamaan :


0

K * ( t ) x ( t ) P * ( t )
......................................................................................(3.29)
dengan masing-masing
K * (t ) k(t )

Pyt
m

c( t )
t

........................................................................(3.30)

1
1

x ( t ) c( t ) x ( t )
x ( t )
t x ( t )
2
t

P * ( t ) P( t ) m
xyc

..........................................................................................................................(3.31)
x'yt

Newmark menyarankan koefisien = dan = yang akan memberikan hasil


yang lebih baik, namun apabila = dan = 1/6 persamaan akan kembali ke
step by step method.
F.3.4 Metode Newmark Struktur Kondisi Elastoplastis
fs

xyc
xyt

Untuk perhitungan menentukan nilai displacement x(t) dan kecepatan v(t)


pada tiap diskretisasi waktu sama dengan step by step dan newmark kondisi
elastis, penambahan algoritma dilakukan untuk pendeteksian displacement dan
kecepatan yang memenuhi syarat kondisi elastis atau plastis maupun sebaliknya.
Adapun algoritma perhitungannya adalah sebagai berikut :

45

Penetapan kondisi awal struktur berupa kondisi elastis, kondisi ini


diindikasikan dengan parameter indikator Pil(1)=0. Secara lengkap bila nilai
Pil=0 kondisi elastis, bila Pil=1 kondisi plastis tarik dan bila Pil=-1 kondisi
plastis tekan.

Selanjutnya setelah dilakukan penentuan nilai gaya batas leleh tarik dan leleh
tekan material (Pyt dan Pyc) maka dilakukan perhitungan nilai displacement
leleh tarik dan tekannya dengan rumus :

x yt
3

Pyt

x yc

Pyc
k

Dilakukan perhitungan gaya pegas (fs) sesuai dengan syarat Pil.

f s Pyt x yt x t k
untuk Pil = 0
fs = Pyt untuk Pil = 1
fs = Pyc untuk Pil = -1
4

Dilakukan semua prosedur step by step seperti sebelumnya.

Dilakukan perhitungan nilai K* yang mengandung nilai kekakuan (k) sesuai


dengan kondisi persyaratan Pil, bila Pil = 1 atau -1 maka nilai k=0 dalam K*,
serta k=k dalam K* jika nilai Pil=0.

Perhitungan increment displacement dan kecepatan dilakukan pada tahap


selanjutnya , kemudian dilakukan perhitungan displacement serta kecepatan
pada tahap n+1.

Sekaligus setelah itu dilakukan penyaringan nilai Sd (xt max) dan fdmax (gaya
damping maximum).

Mendefinisikan ulang nilai Pil(n) untuk tahap iterasi berikutnya Pil(n+1)


dengan kondisional switch case dan if.elseif..end.
a. Jika sistem elastis pada saat Pil(n) maka :
i. Pil(n+1) = 0 jika xyc< xt <xyt
ii. Pil(n+1) = 1 jika xt > xyt
iii. Pil(n+1) = -1 jika xyc> xt
b. Jika sistem plastis tarik pada saat Pil(n) maka:

46

i. Pil(n+1) = 1 jika v(t) > 0


ii. Pil(n+1) = 0 jika v(t) < 0
c. Jika sistem plastis tekan saat Pil(n) maka :
i. Pil(n+1) = -1 jika v(t) < 0
ii. Pil(n+1) = 0 jika v(t) > 0
9

Mendefinisikan ulang nilai displacement leleh tekan atau tarik xyt(n+1) dan
xyc(n+1) sesudah mengalami perubahan displacement dan kecepatan.
a. Jika sistem dari Pil(n) = 1 dan Pil(n+1)=0:
i. xyt(n+1) = xt(n)

x yc (n 1) xt (n )

Pyt Pyc
k

ii.
b. Jika sistem dari Pil(n) = -1 dan Pil(n+1)=0:
i. xyc(n+1) = xt(n)

x yt (n 1) xt(n)

10

yt

Pyc
k

ii.
c. Jika sistem selain dari syarat diatas maka :
i. xyc(n+1) = xyc (n)
ii. xyt(n+1) = xyt (n)
Ditentukan nilai syarat displacement ijin sesuai dengan daktilitas yang

xt all
diinginkan dengan rumus

Pyt
k

, selanjutnya dilakukan pengecekan

ratio displacement yang terjadi dengan displacement ijin dengan rumus

ratio

xt max
xt all
. Persyaratan akurasi ditetapkan ratio < 0.99 dan ratio > 1.01,

jika ratio yang diperoleh tidak memenuhi akurasi diatas maka program akan
mengulang looping dengan Whileend untuk meminta gaya batas leleh P yc dan
Pyt yang baru.
F.3.5 Plotting Respon Spektrum

47

Setelah program yang dibuat dijalankan maka akan menghasilkan plotting


respon perpindahan (displacement) vs waktu, dari titik-titik data tersebut bisa

Sd x max
ditentukan perpindahan maximum yang ditetapkan sebagai
perpindahan

relatif.

Dari

persamaan

= spektra

kesetimbangan

dinamis

m x x g c x ( t ) k x 0
karena pada saat x mencapai maximum maka

x 0

m x x g

sehingga

max

k x max

x x g

, dan dinotasikan sebagai

max

Sa

= spektra percepatan absolut. Selanjutnya ditentukan hubungan antara Sd dan Sa


dari rumus-rumus dasar dinamika struktur yaitu :
k = m2.............................................................................................................(3.32)
mSa = m2 Sd...................................................................................................(3.33)
Sa = 2 Sd = Sv.............................................................................................(3.34)
Hubungan ini dapat diplot dalam grafik tripartit skala (log vs log) ataupun berupa
separated berupa Sd vs T, Sv vs T dan Sa vs T dalam skala log vs log.

Pseudo Velocity, mm/s


10000.00

1000.00

100.00

10.00
0.01

0.10

1.00
10.00
Period, scnd

Gambar F.15. Grafik Tripartit

48

F.3.6 Respon Spectrum Analysis


Metode Respon spectrum ditemukan dengan tujuan utama untuk
mendapatkan suatu metode pencarian solusi persamaan gerak struktur yang
dikenai beban percepatan gempa yang lebih sederhana dibandingkan dengan
metode Time history. Metode Time History memaksa kita untuk menghitung gaya
inersia setiap detik rekaman waktunya (fungsi waktu) yang otomatis banyak
memakan waktu iterasi perhitungan. Untuk menyederhanakan permasalahan
tersebut maka pada metode Respon Spektra kita hanya membutuhkan nilai respon
max struktur yang diplot pada Respon Spektra (Sa, Sd, Sv). Nilai Sd yang
didapatkan tadi akan diolah bersama dengan analisa superposisi modal untuk
mendapatkan besarnya displacement maximum dari struktur. Berarti sebelum
proses respon spektrum dijalankan kita masih harus memasuki tahapan
perhitungan Jacobian untuk mencari mode shape dan frekwensi natural. Sebagai
contoh perhitungan berikut ini :
Tinjauan pada mode 1 :

x
(1)

max

x (11)

x2

1 y1max 1 MPF (1) S (d1)


.........................................................(3.35)

1(1)
(1) (1)
MPF S d
2

max

........................................................................(3.36)

x (11)
Fs(11)

Fs 2
x 2

max

1(1)
(1) (1)
k
MPF Sd
2
................................................(3.37)

Karena

Fs(11)

Fs 2

pada

max

12

SDOF

Fs

x (11)

k.Sd

2m

Sd

Sa

1(1)
(1) (1)
MPF Sd
2

12 m

x 2

max

...............................(3.38)

49

Fs(11)

Fs 2

max

1(1)
(1) (1)
m
MPF Sa

2
...................................................................(3.39)

Dengan cara yang sama untuk mode 2 :

Fs(12)

Fs 2

max

1( 2)
( 2) ( 2 )
m
MPF S a
2
.................................................................(3.40)

Demikian seterusnya apabila ditinjau lebih dari 2 mode sampai mode ke-n
F.3.7 Eigenvalue dan Eigenvector
Penentuan nilai eigenvalue (2) yang merepresentasikan frekwensi natural
dan eigenvector (V) yang mewakili besaran mode shape (ragam getar) dapat
ditentukan dengan banyak metode. Kalau masih berada dalam kriteria dibawah 3
DOF penentuan eigenvalue dan eigenvector dapat dilakukan dengan perhitungan
determinan matrix dan persamaan polinomial biasa, akan tetapi apabila sudah
melebihi 3 DOF akan ditemui kesulitan dalam melakukan perhitungan determinan
marix dan persamaan polinomialnya.
Sebagai contoh persamaan diferensial gerak berikut ini

m x k x 0

akan mempunyai solusi umum :


A1
Sin (t )
A2

.................................................................................(3.41)

A1
2
2
Sin (t ) x
A
2

2 m x k x 0

k m x 0

.........................................................(3.42)

...............................................................................(3.43)

...........................................................................................(3.44)

50

k 2 m

Solusi nontrivial dari persamaan (3.44) diatas jika det

yang bisa

diselesaikan dengan perhitungan manual dan jumlah 2 sesuai dengan jumlah


DOF yang ada. Sehingga solusi gerak yang diperoleh :
X11
11


y1
X 21
21

untuk mode 1.....................................................................(3.45)

X12
12


y2
X 22
22

untuk mode 2...................................................................(3.46)

Selanjutnya untuk mengakomodasi permasalahan tersebut diatas maka telah


ditemukan beberapa solusi numerik yang sangat membenatu diantaranya metode
dekomposisi Choleski, tahapan Sturm dan generalisasi Jacobian. Metode yang
umum dan sering digunakan adalah generalsasi jacobian. Adapun tahapan
perhitungan Jacobian dapat disimpulkan dalam 7 langkah prosedur umum
sebagai berikut :
1. Hitung faktor pasangan untuk menentukan apakah elemen diagonal mesti

(k ijr ) 2
k ii( r )

k (jjr )

10 2

direduksi menjadi nol atau tidak. Jika rumus berikut

(m ijr ) 2
m ii( r )

m (jjr )

10 2

dan

kecil atau sama dengan toleransi yang sudah

ditetapkan maka elemen kij(r+1) dan mij(r+1) tidak perlu direduksi menjadi nol.
Cek diagonal yang lain dengan prosedur yang sama.
2. Jika elemen diagonal [K] dan [M] perlu direduksi menjadi nol kemudian
gunakan matrix [T](r) untuk mentransformasi matrix [K] dan [M].
3. Tentukan [K](1) = [K] dan [M](1) = [M] kemudian,
[K](2) = [T](1)T [K](1) [T](1),

[M](2) = [T](1)T [M](1) [T](1),

[X] = [T](1)[T](2)

51

[K](3) = [T](2)T [K](2) [T](2),

[M](3) = [T](2)T [M](2) [T](2),

[X] = [T](1) [T](2)

[T](3)

[K]( l +1) = [T]( l)T [K]( l) [T]( l), [M]( l +1) = [T]( l)T [M]( l) [T]( l), [X] = [T](1) [T](2)
[T]( l)
4. Untuk prosedur seperti diatas jika (r) mendekati jumlah siklus yang tidak
terbatas kemudian [K](l) dan [M](l) konvergen dalam bentuk diagonal.
Maka eigenvalues bisa diperoleh seperti berikut ini :

k 11

( v)
p 2\

m ii

k nn

m nn

nxn

..............................................................(3.47)

5. Cek konvergensi eigenvalues menggunakan persamaan :


p i2 ( v 1) p i2( v )
p i2 ( v 1)

10 s
........................................................................(3.48)

6. Jika eigenvalues tidak konvergen maka ulangi tahapan 1 s/d 5. Jika seluruh
eigenvalues memenuhi kriteria kemudian cek apakah ada elemen diagonal
yang dibutuhkan untuk direduksi menjadi nol. Gunakan step 1 untuk
pengecekan.
7. Jika seluruh kriteria memenuhi nilai eigenvector diskalakan (normalisasi)
dengan menggunakan rumus :

52

X11

X12

m11
X 21

m 22

X T T

(1)

... T

( )

diag

X
n1

X n2

m11

M ()

X1n
m nn
X 2n

(1)

m11

m 22

m nn
X nn

m nn

(3.49)

F.3.8 Aturan Kombinasi Modal


Dalam analisa superposisi modal kita akan memperoleh solusi persamaan
gerak sruktur dalam bentuk yang terpisah-pisah sesuai dengan mode shape (ragam
getar) yang kita tinjau pada frekwensi natural tertentu. Untuk mencari nilai eksak
dari solusi total maka dilakukanlah superposisi dari solusi dari tiap-tiap modal,
adapun aturan superposisi atau kombinasi tersebut yang sering digunakan untuk
2D adalah SRSS (Square Root of Sum of Square) dan direct summation/absolut
summation (ABSSUM) serta CQC (Complete Quadratic Combination) untuk 3D.
Analisa kombinasi ABSSUM merupakan bentuk kombinasi ragam modal
yang paling sederhana untuk diterapkan pada struktur dengan nilai T1 dan T2 pada
setaip ragamnya saling berdekatan. Adapun secara simbolik dirumuskan sebagai
N

r0 rno
n 1

, rumusan ini berarti menjumlahkan secara langsung harga mutlak dari

nilai-nilai yang akan kita cari untuk setiap ragamnya. Akan tetapi perumusan ini
sangat tidak populer dikalangan para insinyur struktur.
Analisa kombinasi SRSS dikembangkan oleh E Rosenblueths PhD melali
thesisnya tahun 1951 yang secara simbolik dirumuskan sebagai
N

2
r0 ( rno
)
n 1

........................................................................................ (3.50)
Perumusan ini sangat memuaskan untuk diterapkan pada sistem analisa struktur
2D dengan frekwensi natural yang terpisah (diskret)

akan tetapi salah jika

diterapkan pada sistem dengan frekwensi natural area tertutup seperti pada

53

perpipaan reaktor nuklir dan gedung bertingkat banyak dengan denah tidak
simetris. Sistem ini juga baik dipakai jika nilai T 1 dan T2 pada setaip ragamnya

saling berjauhan (0.8

T1
T2

1).

Analisa kombinasi CQC bisa diaplikasikan untuk jenis struktur yang lebih
luas dan dalam format analisa 3D, juga dapat diterapkan pada kondisi nilai T 1 dan

T2 pada setaip ragamnya berjauhan (0.8

T1
T2

1). Adapun secara simbolik CQC

N N

r0 in ri 0 rn 0
i 1 n 1

dapat dirumuskan sebagai berikut

....................................(3.51)

Untuk masing-masing nilai N2 pada sisi kanan rumus diatas merupakan hasil dari
puncak respon mode ke-i dan ke-n serta koefisien korelasi in untuk kedua mode
tersebut. Koefisien in bervariasi antara 0 dan 1 dan in = 1 untuk i=n. Berdasarkan
kriteria tersebut maka rumus 1.64 tersebut dapat diubah menjadi :
r0
in

N N

n 1

i 1 n 1

r n20 in ri0 rn 0
.............................................................................(3.52)

F.3.9 Matrix Redaman


Dalam pembentukan matrix redaman ada dua metode yang umum
digunakan yaitu metode Rayleigh dan metode Caughey.

Secara garis besar

perbedaan utama dari dua metode diatas adalah bahwasanya pada metode rayleigh
yang diperhitungkan dalam kontribusi terbatas hanya pada 2 modes pertama
sedangkan dengan metode caughey ikut diperhitungkan mode-mode yang lebih
tinggi.

54

Matrix damping terbentuk dari 2 parameter yaitu damping yang


proporsional dengan massa dan damping yang proporsional dengan kekakuan
yang secara simbolik dirumuskan sebagai :
c = a0m dan c = a1k...........................................................................................(3.53)
satuan a0 dalam dt-1 dan satuan a1dalam dt.
Generalisasi damping untuk mode ke-n dalam hubungan proporsional dengan
massa dan koefisien a0 adalah :
Cn = a0 . Mn........................................................................................................(3.54)

Cn
2 M n n

Dengan subtitusi dari

...............................................................(3.55)

Maka persamaan 3.55 menjadi :

a0 1
2 n
.....................................................................................................(3.56)

Koefisien a0 dapat dipilih untuk mendapatkan nilai damping ratio yang tertentu
untuk tiap mode yang dilambangkan dengan i untuk mode ke-i. maka rumus 3.56
menjadi :
a0=2.iI............................................................................................................(3.57)
Dengan cara yang sama dapat diperoleh hubungan a 1 dengan damping ratio yang
proporsional dengan kekakuan sebagai berikut :

C n a 1 2n M n

dan

a1
n
2

..........................................................................(3.58)

Koefisien a1 juga dapat dipilih untuk mendapatkan nilai damping ratio tertenu
untuk tiap mode yang dilambangkan dengan j untuk mode ke-j. maka rumus
3.65 menjadi :
a1

2 j
j

............................................................................................................(3.59)
Dari perumusan yang diturunkan diatas dapat dirumuskan perhitungan
damping dengan metode Rayleigh sebagai berikut :

55

c = a0m +a1k......................................................................................................(3.60)
kemudian damping ratio untuk mode ke-n untuk sistem adalah :

a 0 1 a1
n
2 n 2
.........................................................................................(3.61)

1
1 i

2 1
j

a0 i

a

j
j

a0

2 i j

a1

i j

dan

..................................................................................(3.62)
2
i j
.....................................................................(3.63)

c a 0 m a 1 k
Sehingga dapat dihitung

......................................................(3.64)

F.3.10 Kondensasi Lateral Matrix Kekakuan


Dalam analisa dinamika struktur seperti yang sudah dibahas diatas untuk
mengetahui frekwensi natural suatu struktur dan bentuk ragam getarnya perlu
dilakukan ietrasi Jacobian. Karena jumlah frekwensi natural dan mode shape yang
ada sangat tergantung pada DOF struktur maka semakin banyak DOF suatu
struktur akan semakin banyak pula diperoleh nilai frekwensi natural dan mode
shapenya. Konsekwensi yang akan diperoleh jumlah iterasi perhitungan Jacobian
yang akan dilakukan semakin banyak dan mahal dari segi numerik. Disamping itu
untuk melakukan perangkaian matrix kekakuan global struktur akan semakin
rumit jika jumlah DOF analisa dinamiknya semakin banyak.
Untuk mengatasi permasalahan mahalnya perhitungan numerik dinamika
struktur, maka tanpa mengurangi akurasi perhitungan secara signifikan
dilakukanlah kondensasi lateral dari matrix kekakuan, maksudnya adalah
mengeliminasi jumlah DOF yang ada dengan jalan mengasumsikan displacement
lateral tiap lantai untuk tiap titiknya dengan nilai yang sama besar. Asumsi ini
berlaku dengan persyaratan terpenuhinya prinsip diapraghma lantai kaku.

1112

10

56

57

Eliminasi selanjutnya dilakukakn dengan asumsi perpendekan vertikal dari kolom


sangat kecil dan mendekati nol. Dari perumusan umum matrix kekakuan struktur :

H1
M
2

k 11 k 12
k
21 k 22

M 3 k 31

M n
k n1

k 13 k 1n


k 33

k nn

k tt
Hi


Mi
k t

k t
k

k tt
Hi


0
k t

k t
k

xi

k t t x k t

H
0

xi

k t x k

x1
2

.....................................................(3.65)

..........................................................................(3.66)

..........................................................................(3.67)

....................................................................................(3.68)
....................................................................................(3.69)

k 1 k t x
......................................................................................(3.70)

H k tt x k t k 1 k t x
H k tt k t k 1 k t x
H

............................................................(3.71)

...................................................................(3.72)

k e x

..................................................................................................(3.73)

k e k tt k t k 1 k t
..........................................................................(3.74)
F.3.11 Matrix Transformasi Lokal ke Global
Perakitan matrix kekakuan struktur global 3D berawal dari perakitan
matrix kekakuan struktur lokal dan 2D. Setelah perakitan matrix kekakuan 2D
selesai maka untuk menjadikan matrix tadi sebagai kekakuan global 3D perlu

58
Com

dilakukan
dj tan

dj

transformasi
koordinat dari lokal ke global. Perumusan dasarnya
1y

berangkat dari pendefinisian seperti sket dibawah ini :


x
i

x
x

x A y a 11 a 12 a 13 y




x (i ) sin x p cos y p d j

A sin

cos d j

...............................................................................(3.75)

F str A T F member A T k member x imember


F str A T k member A x str
..........................................................................(3.76)

k st r A T k member A
.................................................................................(3.77)
Untuk struktur dengan n lantai :

sin 1 cos 1 d1
A i 0
0
0

0
0
0

0
sin 2

0
cos 2

0
d2

0
0

0
0

sin n

cos n

0
0
d n

.....

..........................................................................................................................(3.78)
F.3.12 Metoda Stodola
Metoda Stodola merupakan proses iterasi yang digunakan untuk
menghitung modus prinsipal dan frekuensi pribadi sistem getaran tak teredam

59

bebas. Metoda ini merupakan pendekatan fisis dan tidak perlu menurunkan
persamaan diferensial gerakan.
Secara umum, gaya inersia maksimum bersamaan dengan lendutan
maksimum, dan arahnya berlawanan dengan lendutan. Dengan perkataan lain,
gaya inersia diterjemahkan sebegai pembebanan dinamis. Bila sistem bergetar
pada

salah

satu

modus

prinsipalnya,

sistem bergetar akibat gaya inersia


mi xi

mi xi

dengan
dimana

frekuensi
xi

Ai

pribadi
sin

mi xi

F.3.13 Metoda Holzer


Metoda holzer adalah metoda tabualasi yang digunakan untuk menetapkan
frekuensi pribadi getaran bebas atau paksa dengan atau tanpa perendam. Metoda
ini berdasarkan anggapan frekuensi pribadi sistem, masing-masing diikuti dengan
perhitungsn konfigurasi yang diatur oleh frekuensi yang diandaikan.Metoda ini
dapat digunakan untuk menghitung semua frekuensi pribadi sistem dan masingmasing perhitungan satu sama lain benar-benar tidak saling tergantung. Metoda
holzer khususnya berguna untuk menghitung frekuensi getaran torsi pada poros.
Untuk sistem ke dua ujung bebas,
xi

Dimana

x,,m ,k

xi

-1

i1

mi x i
/ ki
1

berturut-turut adalah perpindahan (displasement),

frekuensi pribadi, massa dan konstanta pegas.


Untuk sistem satu ujung tetap dan ujung lainnya bebas,
i1

xi

x i1

2
mi x i
- / ki
1

Untuk sitem ke dua ujung tetap,

60

xi

x i1

Untuk

harga

1/ k i
+
)
,

i1

k i x i2 mi x i

yang

diandaikan,

]
mulailah

proses

dengan

mengandalkan satu amplitudo getaran untuk massa pertama. Amplitudo dan gaya
inersia massa lainnya dihitung. Untuk massa sistem yang terakhir, amplitudo
getarannya nol untuk ujung tetap;dan untuk ujung bebas gaya inersia total nol.
Kemudiian harga lainnya (amplitudo atau gaya mesin) dan masing-masing
frekuensi yang diandalkan diplot terhadap harga frekuensi pribadi anggapan untuk
menghasilkan frekuensi sistem sebenarnya.
F.3.14 Metode Rayleigh
Lebih lanjut, apabila sistem yang diberikan adalah sistem konservatif,
maka energi kinetis total sistem nol pada perpindahan maksimum, Tetapi
maksimum pada titik kesetimbangan statis. Dengan perkataan lain, sebaliknya,
energi potensial total sistem berlaku pula. Oleh karena itu :

( K . E )maks=( P . E)maks =Energi Total Sistem


Metode ini dikenal sebagai metode Rayleigh. Persamaan yang dihasikan akan
menghasilkan frekuensi pribadi sistem.
F.4

SNI Gempa 2002

F.4.1 Gempa Rencana dan Kategori Gedung


a. Standar ini menentukan pengaruh Gempa Rencana yang harus
ditinjau dalam perencanaan struktur gedung serta berbagai
bagian dan peralatannya secara umum. Akibat pengaruh Gempa
Rencana, struktur gedung secara keseluruhan harus masih berdiri,
walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan.
Gempa Rencana ditetapkan mempunyai perioda ulang 500
tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama
umur gedung 50 tahun.

61

b. Untuk

berbagai

kategori

gedung,

bergantung

pada

probabilitas terjadinya keruntuhan struktur gedung selama umur


gedung dan umur gedung tersebut yang diharapkan, pengaruh
Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu
Faktor Keutamaan I menurut persamaan :
I

= I1 I2 .........(4.1)

Di mana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa


berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur
gedung, sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda
ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut. Faktorfaktor Keutamaan I1, I2 dan I ditetapkan menurut Tabel F.1.
Tabel F.1 Faktor Keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Kategori gedung

Gedung umum seperti


untuk penghunian,
perniagaan dan perkantoran
Monumen dan bangunan
monumental
Gedung penting pasca gempa
seperti rumah sakit, instalasi
air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan
dalam
keadaan
darurat,
Gedung untuk menyimpan
bahan berbahaya seperti gas,
produk
minyak
bumi,
asam, bahan beracun.
Cerobong, tangki di atas

Faktor Keutamaan
I1

I2

1,0

1,0

1,0

1,0

1,6

1,6

1,4

1,0

1,4

1,6

1,0

1,6

1,5

1,0

1,5

menara
Catatan : Untuk semua struktur bangunan gedung yang ijin penggunaannya
diterbitkan sebelum berlakunya Standar ini maka Faktor Keutamaam, I,
dapat dikalikan 80%.

62

F.4.2

Struktur gedung beraturan dan tidak beraturan

a. Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila


memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak
lebih dari 10 tingkat atau 40 m.
2. Denah struktur gedung adalah

persegi

panjang

tanpa

tonjolan dan kalaupun mempunyai tonjolan, panjang tonjolan


tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur
gedung dalam arah tonjolan tersebut.
3. Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan
kalaupun mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut
tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah struktur gedung
dalam arah sisi coakan tersebut.
4. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem
penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan
sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah struktur
gedung secara keseluruhan.
5. Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang
muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran
dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam
masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar
denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini,
struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat
tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang
muka.
6. Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang
beraturan, tanpa adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan
tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana kekakuan lateralnya
adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau
kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu

63

tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu


menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat.
7. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang
beraturan, artinya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak
lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di atasnya atau di
bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi
ketentuan ini.
8. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari
sistem penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan
titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari
setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.
9. Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus,
tanpa lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas
seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang
atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari
jumlah lantai tingkat seluruhnya.
10. Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh Gempa Rencana
dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa statik ekuivalen,
sehingga menurut Standar ini analisisnya dapat dilakukan
berdasarkan analisis statik ekuivalen.
b. Struktur gedung yang tidak memenuhi ketentuan menurut Pasal 4.2.1,
ditetapkan sebagai struktur gedung tidak beraturan. Untuk struktur
gedung tidak beraturan, pengaruh Gempa Rencana harus ditinjau sebagai
pengaruh pembebanan gempa dinamik, sehingga analisisnya harus
dilakukan berdasarkan analisis respons dinamik.
F.4.3 Daktilitas struktur bangunan dan pembebanan gempa nominal
Faktor daktilitas struktur gedung

adalah rasio antara simpangan

maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai
kondisi di ambang keruntuhan m dan simpangan struktur gedung pada saat
terjadinya pelelehan pertama y, yaitu :
.(4.2)

64

Dalam pers. (2)

= 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur

gedung yang berperilaku elastik penuh, sedangkan

m adalah nilai faktor

daktilitas maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur gedung yang
bersangkutan menurut Pasal 4.3.4.
Apabila Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa
Rencana yang dapat diserap oleh struktur gedung elastik penuh dalam kondisi di
ambang keruntuhan dan Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan
pertama di dalam struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung
daktail dan struktur gedung elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana
menunjukkan simpangan maksimum m yang sama dalam kondisi di ambang
keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

di mana adalah faktor daktilitasstruktur gedung


Apabila Vn adalah pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa
Rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku
hubungan sebagai berikut :

dan R disebut faktor reduksi gempa menurut persamaan:

Dalam persamaan R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk


struktur gedung yang berperilaku elastik penuh, sedangkan Rm adalah faktor
reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang
bersangkutan menurut Pasal 4.3.4.
Dalam Tabel F.2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai dan R tidak dapat melampaui
nilai maksimumnya menurut Pasal 4.3.4.

65

Tabel F.2 Parameter daktilitas struktur gedung


Taraf kinerja struktur
gedung

R
pers.( 6)

Elastik penuh

1,0

1,6

Daktail parsial

1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0

2,4
3,2
4,0
4,8
5,6
6,4
7,2
8,0

Daktail penuh

5,3

8,5

Nilai faktor daktilitas struktur gedung di dalam perencanaan


struktur gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil
lebih besar dari nilai faktor daktilitas maksimum m yang dapat dikerahkan
oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur gedung. Dalam Tabel 3
ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis sistem dan
subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm

yang

bersangkutan.
Apabila dalam arah pembebanan gempa akibat pengaruh Gempa
Rencana sistem struktur gedung terdiri dari beberapa jenis subsistem struktur
gedung yang berbeda, faktor reduksi gempa representatif dari struktur gedung
itu untuk arah pembebanan gempa tersebut, dapat dihitung sebagai nilai rata-rata
berbobot dengan gaya geser dasar yang dipikul oleh masing-masing jenis
subsistem sebagai besaran pembobotnya menurut persamaan

Di mana Rs adalah nilai faktor reduksi gempa masing-masing jenis


subsistem struktur gedung dan Vs adalah gaya geser dasar yang dipikul oleh
masing-masing jenis subsistem struktur gedung tersebut, dengan penjumlahan
meliputi seluruh jenis subsistem struktur gedung yang ada. Metoda ini hanya

66

boleh dipakai, apabila rasio antara nilai-nilai faktor reduksi gempa dari jenis-jenis
subsistem struktur gedung yang ada tidak lebih dari 1,5.
Untuk jenis subsistem struktur gedung yang tidak tercantum dalam Tabel
3, nilai faktor daktilitasnya dan faktor reduksi gempanya harus ditentukan
dengan cara-cara rasional, misalnya dengan menentukannya dari hasil analisis
beban dorong statik (static push-over analysis).

Tabel F.3 Faktor daktilitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum,


faktor tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa
jenis sistem dan subsistem struktur gedung

67

Sistem dstruktur gedung


1.
Sistem dinding
penumpu (Sistem struktur
yang tidak memiliki rangka
ruang
pemikul
beban
gravitasi secara lengkap.
Dinding penumpu atau
sistem bresing memikul
hampir
semua
beban
gravitasi. Beban
lateral
dipikul dinding geser atau
rangka
bresing).
2. Sistem
rangka gedung
(Sistem struktur yang pada
dasarnya memiliki rangka
ruang pemikul beban
gravitasi secara lengkap.
Beban lateral dipikul
dinding geser atau rangka
bresing).

1. Dinding geser beton bertulang

2,7

4,5

2,8

2. Dinding penumpu dengan


rangka baja ringan dan
3. Rangka bresing di mana
bresingnya memikul beban gravitasi
a.Baja

1,8

2,8

2,2

2,8

4,4

2,2

b.Beton bertulang (tidak untuk


Wilayah 5 & 6)
1. Rangka bresing eksentris baja
(RBE)
2. Dinding geser beton bertulang
3. Rangka bresing biasa

1,8

2,8

2,2

4,3

7,0

2,8

3,3

5,5

2,8

a.Baja
b.Beton bertulang (tidak untuk
Wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus

3,6
3,6

5,6
5,6

2,2
2,2

4,1

6,4

2,2

4,0

6,5

2,8

3,6

6,0

2,8

3,3

5,5

2,8

5,2

8,5

2,8

5,2

8,5

2,8

3,3

5,5

2,8

2,7

4,5

2,8

2,1

3,5

2,8

4,0

6,5

2,8

Uraian sistem pemikul beban gempa

a.Baja

3. Sistem rangka pemikul


momen

5. Dinding geser beton bertulang


berangkai daktail
6. Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail
7. Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail
1. Rangka pemikul momen khusus
(SRPMK)
a.Baja

(Sistem struktur yang pada


b.Beton bertulang
dasarnya memiliki rangka
ruang
pemikul
beban 2. Rangka pemikul momen
gravitasi secara lengkap.
menengah beton (SRPMM)
3. Rangka pemikul momen biasa
Beban lateral dipikul
(SRPMB)
rangka pemikul momen
a.Baja
terutama
melalui
mekanisme lentur)

b.Beton bertulang
4. Rangka batang baja
pemikul momen khusus
(SRBPMK)

68

4.

Sistem ganda

1.

Dinding geser

a.Beton bertulang dengan SRPMK


(Terdiri dari: 1) rangka
beton bertulang
ruang
yang
memikul
seluruh beban gravitasi; 2)
b.Beton bertulang dengan SRPMB
pemikul beban lateral
baja
berupa dinding geser atau
c. Beton bertulang dengan
rangka bresing dengan
SRPMM beton bertulang
rangka pemikul momen. 2. RBE baja
Rangka pemikul momen
a.Dengan SRPMK baja
harus direncanakan secara
b.Dengan SRPMB baja
terpisah
mampu memikul sekurang- 3. Rangka bresing biasa

5,2

8,5

2,8

2,6

4,2

2,8

4,0

6,5

2,8

5,2

8,5

2,8

2,6

4,2

2,8

4,0

6,5

2,8

2,6
4,0

4,2
6,5

2,8
2,8

2,6

4,2

2,8

4,6

7,5

2,8

b.Baja dengan SRPMB baja

2,6

4,2

2,8

5.
Sistem struktur
gedung kolom
6.
Sistem interaksi
dinding geser
7. Subsistem tunggal

Sistem struktur kolom kantilever

1,4

2,2

Beton bertulang biasa (tidak untuk


Wilayah 3, 4, 5 & 6)
1. Rangka terbuka baja

3,4

5,5

2,8

5,2

8,5

2,8

(Subsistem struktur bidang


yang membentuk struktur
gedung
secara
keseluruhan)

2.

Rangka terbuka beton bertulang

5,2

8,5

2,8

3.

Rangka terbuka beton bertulang


dengan balok beton

3,3

5,5

2,8

a.Baja dengan SRPMK baja


kurangnya
25%
dari
seluruh beban lateral; 3)
b.Baja dengan SRPMB baja
kedua
sistem
harus
c.Beton bertulang dengan SRPMK
direncanakan
untuk
beton bertulang
memikul secara bersamad.Beton bertulang dengan
sama seluruh beban lateral
SRPMM beton bertulang
dengan
memperhatikan
interaksi
4. Rangka bresing konsentrik
khusus
/sistem ganda)
a.Baja dengan SRPMK baja

F.4.4 Perencanaan beban dan kuat terfaktor


Dengan menyatakan kekuatan ultimit suatu struktur gedung dan
pembebanan ultimit pada struktur gedung itu berturut-turut sebagai :

69

di mana adalah faktor reduksi kekuatan, Rn adalah kekuatan nominal struktur


gedung, adalah faktor beban dan Qn adalah pembebanan nominal pada
struktur gedung tersebut, maka menurut Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor
harus dipenuhi persyaratan keadaan batas ultimit sebagai,

Dengan menyatakan beban mati nominal sebagai Dn, beban


hidup

nominal sebagai Ln dan beban gempa nominal sebagai En, maka

Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor harus dilakukan dengan meninjau


pembebanan ultimit pada struktur gedung sebagai berikut:
untuk kombinasi pembebanan oleh beban mati dan beban hidup :

untuk kombinasi pembebanan oleh beban mati, beban hidup dan beban gempa :

di mana D, L dan E adalah faktor-faktor beban untuk beban mati


nominal, beban hidup nominal dan beban gempa nominal, yang nilai-nilainya
ditetapkan dalam standar pembebanan struktur gedung dan/atau dalam standar
beton atau standar baja yang berlaku.
Beban mati nominal dan beban hidup nominal yang disebut dalam
Pasal 4.4.2, adalah beban-beban yang nilainya adalah sedemikian rupa, sehingga
probabilitas adanya beban-beban yang lebih besar dari itu dalam kurun waktu
umur gedung terbatas sampai suatu persentase tertentu. Namun demikian, beban
mati rencana dan beban hidup rencana yang

ditetapkan

dalam

standar

pembebanan struktur gedung, dapat dianggap sebagai beban-beban nominal.


F.4.5 Perencanaan kapasitas
Struktur gedung harus memenuhi persyaratan kolom kuat balok lemah,
artinya ketika struktur gedung memikul pengaruh Gempa Rencana, sendi-sendi
plastis di dalam struktur gedung tersebut hanya boleh terjadi pada ujung-ujung
balok dan pada kaki kolom dan kaki dinding geser saja. Implementasi persyaratan

70

ini di dalam

perencanaan struktur beton dan struktur baja ditetapkan dalam

standar beton dan standar baja yang berlaku.


F.4.6 Jenis tanah dan perambatan gelombang gempa
Kecuali bila lapisan tanah di atas batuan dasar memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam Pasal 4.6.3, pengaruh Gempa Rencana di muka tanah
harus ditentukan dari hasil analisis perambatan gelombang gempa dari kedalaman
batuan dasar ke muka tanah dengan menggunakan gerakan gempa masukan
dengan percepatan puncak untuk batuan dasar menurut Tabel F.5. Akselerogram
gempa masukan yang ditinjau dalam analisis ini, harus diambil dari rekaman
gerakan tanah akibat gempa yang didapat di suatu lokasi yang mirip kondisi
geologi, topografi dan seismotektoniknya dengan lokasi tempat struktur gedung
yang ditinjau berada. Untuk mengurangi ketidak-pastian mengenai kondisi lokasi
ini, paling sedikit harus ditinjau 4 buah akselerogram dari 4 gempa yang berbeda,
salah satunya harus diambil Gempa El Centro N-S yang telah direkam pada
tanggal 15 Mei 1940 di California.
Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah muka tanah yang
memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar N paling rendah 60 dan tidak ada
lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar
yang kurang dari itu, atau yang memiliki kecepatan rambat gelombang geser vs
yang mencapai 750 m/detik dan tidak ada lapisan batuan lain di bawahnya yang
memiliki nilai kecepatan rambat gelombang geser yang kurang dari itu.
Jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang dan
Tanah Lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas
dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel F.4.

Tabel F.4 Jenis-jenis tanah

71

Jenis tanah
Tanah Keras
Tanah Sedang

Tanah Lunak
Tanah Khusus

Kecepatan
rambat
gelombang
geser
rata-rata,
v s > 350
175 < v s < 350
v s < 175

Nilai hasil Test

Kuat

Penetrasi Standar

geser

rata- rata
N > 50

niralir
Srata-rata
u > 100

15 < N < 50
N < 15

50 < S u
<S u100< 50
atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total
lebih dari 3 m
dengan PI > 20, wn > 40 % dan Su < 25 kPa
Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Dalam Tabel F.4 vs, N dan Su adalah nilai rata-rata berbobot besaran itu
dengan tebal lapisan

tanah sebagai besaran pembobotnya yang harus

dihitung menurut persamaan- persamaan sebagai berikut :

Di mana ti

adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan

rambat gelombang geser melalui lapisan tanah ke-i, Ni

nilai hasil Test

Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui adalah kuat geser niralir lapisan
tanah ke-i dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan dasar.
Selanjutnya, dalam Tabel F.4 PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn
adalah kadar air alami tanah dan Su adalah kuat geser niralir lapisan
tanah yang ditinjau.
Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel F . 4 adalah
jenis tanah yang tidak memenuhi syaratsyarat yang tercantum dalam tabel
tersebut. Di samping itu, yang termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah juga
tanah yang memiliki potensi likuifaksi yang tinggi, lempung sangat peka, pasir
yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah gambut, tanah dengan kandungan
bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3 m, lempung sangat

72

lunak dengan PI lebih dari 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung
dengan 25 kPa < Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m. Untuk jenis Tanah
Khusus percepatan puncak muka tanah harus ditentukan dari hasil analisis
perambatan gelombang gempa menurut Pasal 4.6.1.
F.4.7 Wilayah gempa dan spektrum respons
Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan
dalam Gambar 1, di mana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan
kegempaan paling rendah dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling
tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak
batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan perioda ulang 500 tahun,
yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan dalam Gambar 1
dan Tabel 5.
Apabila percepatan puncak muka tanah Ao tidak didapat dari hasil
analisis perambatan gelombang seperti disebut dalam Pasal 4.6.1, percepatan
puncak muka tanah tersebut untuk masing-masing Wilayah Gempa dan untuk
masing-masing jenis tanah ditetapkan dalam Tabel 5.

Tabel F.5 Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka
tanah untuk masing-masing Wilayah Gempa Indonesia.

73

Wilayah
Gempa

Percepatan
puncak
batuan
dasar

Percepatan puncak muka tanah Ao (g)


Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus

(g)
1

0,03

0,04

0,05

0,08

0,10

0,12

0,15

0,20

0,15

0,18

0,23

0,30

0,20

0,24

0,28

0,34

0,25

0,28

0,32

0,36

0,30

0,33

0,36

0,38

Diperlukan
evaluasi
khusus di
setiap lokasi

Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah


Ao untuk Wilayah Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar 1 dan Tabel F.5
ditetapkan juga sebagai percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam
perencanaan struktur gedung untuk menjamin kekekaran (robustness) minimum
dari struktur gedung tersebut.
Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung,
yaitu berupa beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur beraturan
menurut Pasal 6.1.2, gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam
pertama pada struktur gedung tidak beraturan menurut Pasal 7.1.3 dan gaya geser
dasar nominal sebagai respons dinamik seluruh ragam yang berpartisipasi pada
struktur gedung tidak beraturan menurut Pasal 7.2.1, untuk masing-masing
Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons Gempa Rencana C-T seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah Faktor
Respons Gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi dan T adalah
waktu getar alami struktur gedung dinyatakan dalam detik. Untuk T = 0 nilai C
tersebut menjadi sama dengan Ao, di mana Ao merupakan percepatan puncak
muka tanah menurut Tabel 5.

74

Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 < T < 0,2 detik
terdapat ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam
tingkat daktilitas strukturnya, Faktor Respons Gempa C menurut Spektrum
Respons Gempa Rencana yang ditetapkan dalam Pasal 4.7.4, dalam kisaran
waktu getar alami pendek tersebut, nilainya tidak diambil kurang dari nilai
maksimumnya untuk jenis tanah yang bersangkutan.
Dengan menetapkan percepatan respons maksimum Am sebesar Am = ,5
Ao dan waktu getar alami sudut Tc sebesar 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik
untuk jenis tanah berturut-turut Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak,
maka dengan memperhatikan Pasal 4.7.4 dan Pasal 4.7.5, Faktor Respons Gempa
C ditentukan oleh persamaan- persamaan sebagai berikut :
untuk T < Tc :
C = Am
untuk T > Tc

dengan
Ar = Am Tc
Dalam Tabel 6, nilai-nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing
Wilayah Gempa dan masing-masing jenis tanah.

Tabel F.6 Spektrum respons gempa rencana

75

Wilayah
Gempa

Tanah Keras Tc Tanah Sedang


Tc = 0,6 det.
= 0,5 det.

Tanah Lunak
Tc = 1,0 det.

Am
0,10

Ar
0,05

Am
0,13

Ar
0,08

Am
0,20

Ar
0,20

0,30

0,15

0,38

0,23

0,50

0,50

0,45

0,23

0,55

0,33

0,75

0,75

0,60

0,30

0,70

0,42

0,85

0,85

0,70

0,35

0,83

0,50

0,90

0,90

0,83

0,42

0,90

0,54

0,95

0,95

Gambar F.16. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa

76

F.4 Pembatasan waktu getar alami fundamental


Untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel, nilai
waktu getar alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung
pada koefisien untuk Wilayah Gempa tempat struktur gedung berada dan jumlah
tingkatnya n menurut persamaan
T1 < n
di mana koefisien ditetapkan menurut Tabel 8.
Tabel 8 Koefisien yang membatasi waktu getar alami Fundamental struktur
gedung
Wilayah Gempa

F.5

0,20

0,19

0,18

0,17

0,16

0,15

Evaluasi Keamanan
Evaluasi keamanan terhadap struktur bangunan gedung yang sudah berdiri

diperlukan untuk memastikan kinerja bangunan pada saat terjadi gempa. Dengan
adanya evaluasi keamanan ini diharapkan kerusakan atau keruntuhan dari
bangunan akibat gempa yang terjadi di masa mendatang dapat dihindarkan atau
diminimalkan. Dengan demikian, secara umum tujuan dari evaluasi keamanan
struktur bangunan terhadap gempa adalah :
a. Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya bangunan
akibat gempa yang kuat
b. Membatasi kerusakan bangunan akibat gempa ringan sampai sedang,
sehingga masih dapat diperbaiki dengan biaya yang terbatas
Gambar
F.17. Spektrum
Respon Gempa
Rencana bangunan ketika
c. Membatasi
ketidaknyamanan
penghunian
bagi penghuni
terjadi gempa ringan sampai sedang

77

d. Mempertahankan setiap saat fungsi layanan bangunan.


Pada umumnya evaluasi kekuatan dilakukan pada bangunan-bangunan lama
yang strukturnya belum dirancang dengan menggunakan kaidah-kaidah
perencanaan struktur bangunan tahan gempa. Evaluasi keamanan terhadap
bangunan diperlukan juga untuk menyesuaikan standar perencanaan baru yang
digunakan. Sebagai contoh, dengan berlakunya standar gempa Indonesia yang
baru yaitu Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Gedung (SNI
03-1726-2002), maka standar gempa yang lama yaitu SNI 03-1726-1989 tidak
berlaku lagi.

Menurut standar yang baru ini Gempa Rencana yang harus

diperhitungkan pada struktur bangunan mempunyai perode ulang 500 tahun,


sedangkan menurut standar yang lama periode ulang tersebut hanya 200 tahun.
Seperti diketahui, makin panjang periode ulang suatu gempa, makin besar juga
pengaruh gempa tersebut pada struktur bangunan. Dengan demikian evaluasi
keamanan struktur bangunan diperlukan untuk mengantisipasi perbedaan besarnya
beban gempa menurut kedua standar tersebut.
F.6 Diagram Interaksi Kolom
Diagram interaksi adalah diagram yang menunjukkan hubungan momen
lentur dan gaya aksial tekan yang dapat dipikul elemen tekan pada konsisi batas.
Perilaku Kolom terhadap Kombinasi gaya Lentur dan gaya aksial tekan pada
momen selalu digambarkan sebagai perkalian beban aksial dengan eksentrisitas,
yaitu:

78

Diagram Interaksi Beban Aksial dan Momen (Failure Envelope ) di gambarkan


sebagai berikut :

Catatan: Kombinasi sebarang P dan M yang berada diluar envelope akan


menyebabkan keruntuhan.

Aksi Gaya Resultan pada Centroid


(h/2 dalam kasus ini)
Pn Cs1 Cc Ts2

tekan positif

Momen terhdap pusat geometri

h
h

h a

d1 Cc * Ts2 * d 2
2
2

2 2

M n Cs1 *

Kolom yang Mengalami Tarik Murni

79

Penampang retak (beton tidak memiliki kapasitas aksial)

y
Reg. Seragam
N

Pn tarik f y As
i 1

Faktor Reduksi
Faktor Reduksi Kekuatan,
(a)

Tarik aksial dan tarik aksial dengan lentur

(b)

Tekan aksial dan tekan aksial dengan lentur.

f = 0.8

Elemen str dengan tulangan spiral sesuai dengan pasal 12.9.3


Elemen str lainnya

f = 0.70

f = 0.65

Kecuali untuk nilai tekan aksial yang rendah, f boleh ditingkatkan sbb:

Maka f boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0.8 seiring dengan menurunnya
fPn dari 0.10fc Ag ke nol.Untuk komponen struktur yang tidak memenuhi syarat
yang disampaikan, dimana f boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0.8 seiring
menurunnya fPn dari nilai terkecil antara (fPb atau 0.1 fc Ag ) ke nol.
Tipe Kolom
1. Kolom berspiral-lebih efisien untuk e/h < 0.1, tetapi mahal
2. Kolom bersengkang ikat tulangan dipasang di keempat sisi bila e/h < 0,2
dan untuk kasus lentur biaksial

80

3. Kolom bersengkang ikat tulangan dipasang hanya di dua sisi


- Efisien bila e/h > 0.2
- Bentuk persegi meningkatkan efisiensi

Sambungan lewatan (Splice)


Umumnya, tulangan longitudinal kolom disambung lewatkan persis di atas
level lantai (hanya diperbolehkan untuk desain non-gempa). Jenis sambungan
lewatan tergantung pada kondisi tegangan.
Bila semua tulangan dalam kondisi tekan Gunakan sambungan lewatan
tekan (SNI 14.16)
Bila 0 f s 0.5 f y Sambungan lewatan ta rik kelas A

( 1 / 2 jumlah tul angan disambung lewatkan)


Sambungan lewatan ta rik Kelas B

SNI 14.15
( 1/2 jumlah tul angan disambung lewatkan)
f s 0.5 f y
Sambungan lewatan ta rik kelas B

pada muka tarik

Bila

F.7 Pra Design Balok


Balok merupakan elemen struktur horizontal dan mengalami beban
transfersal. Balok mendukung beban-beban yang bekerja tegak lurus
(melintang) terhadap sumbu longitudinal batang, dimana beban-beban
tersebut biasanya arah kebawah.
1. Sifat perletakan balok berdasarkan mekanika teknik :
a. Statis tertentu
Perletakan balok statis tertentu merupakan suatu perletakan
dimana diagram momen lentur untuk suatu struktur balok tersebut dapat
ditentukan secara mudah menurut mekanika teknik.
b. Statis tak tentu

81

Perletakan balok statis tak tentu merupakan suatu perletakan


struktur balok dimana momen lentur tidak dapat ditentukan hanya dengan
menggunakan tiga persamaan keseimbangan yang telah disebutkan pada
penjelasan statis tertentu.

2. Pendekatan dimensi balok


Balok yang memakai bahan beton mempunyai tinggi 1/10 sampai
dengan 1/12 panjang bentang, dan mempunyai lebar sampai dengan 2/3
dari tinggi balok. Balok yang memakai bahan kayu mempunyai tinggi 1/20
panjang bentang dan mempunyai lebar 5/3 dari tinggi balok. Balok yang
memakai bahan baja mempunyai tinggi 1/25 bentang. Dimensi balok-balok
tersebut tidak mutlak benar, hanya digunakan sebagai pendekatan kasar saja
pada tahap pra-desain bangunan, karena kondisi diatas masih tergantung pada
jarak antara balok dan besarnya beban/ muatan yang bekerja pada elemen
tersebut
F.7.1 Analisis Penampang Ber-flens
1. Sistem lantai dengan pelat dan balok umumnya di cor secara monolit.
2. Pelat akan berfungsi sebagai sayap atas balok;
a. Balok-T dan Balok L terbalik (Spandrel beam).

82

b. Daerah momen positif dan negatif pada balok T

3. Jika garis netral berada pada bagian sayap maka dilakukan analisis seperti
pada balok persegi. Bila garis netral berada dibawah plat sayap, pada
badan penampang, maka dilakukan analisis Balok T.

F.7.2 Lebar efektif plat


Pelat merupakan struktur bidang yang datar (tidak melengkung) yang jika
ditinjau secara tiga dimensi mempunyai tebal yang jauh lebih kecil daripada
ukuran bidang pelat. Dimensi bidang pelat Lx dan Ly dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :

83

Langkah-langkah perencanaan pelat adalah sebagai berikut :


1. Menentukan syarat-syarat batas, tumpuan dan panjang bentang.
2. Menentukan tebal pelat. Berdasarkan RSNI 2002 maka tebal ditentukan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut :

3. Memperhitungkan beban-beban yang bekerja pada pelat lantai.


4. Tentukan Ly / Lx
5. Tentukan momen yang menentukan (Mu) (sesuai rumus dalam tabel CUR)
yang terdiri dari :

Mlx (momen lapangan arah X)


Mly (momen lapangan arah Y)
Mtx (momen tumpuan arah X)
Mty (momen tumpuan arah Y)
Mtix = 0.5 Mlx (momen jepit tak terduga arah X)
Mtiy = 0.5 Mly (momen jepit tak terduga arah Y)

6. Hitung Penulangan (Arah X & Arah Y)

Data-data yang diperlukan :


Tebal plat (h)
Tebal selimut beton (P)
Momen (Mu)
Diameter tulangan (D)
Tinggi efektif (dx dan dy), dimana :

84

Perencanaan Perhitungan Batas Rasio Penulangan:

Dari gambar didapat :


Cc = 0,85 fc.a.b
Ts = As.fy
Dengan keseimbangan H = 0, maka :
Cc = Ts
Sehingga 0,85 fc.a.b = As.fy
Disini a = 1.c dan
Untuk fc 30 MPa ( 300 kg/cm2) berlaku 1= 0,85
As = .b.d
= rasio tulangan
Selanjutnya untuk fc 30 MPa akan didapatkan 0,85
1 b.c.fc = .b.d.fy
Dari diagram regangan pada
saat baja leleh didapati :

85

sehingga dengan memasukkan nilai c dari persamaan diatas ke persamaan


dibawah ini :
0,85. 1. b.c.fc = .b.d.fy
maka didapatkan balance =

Bagian dekat badan penampang akan mengalami tegangan yang lebih


besar dibandingkan dengan daerah yang jauh dari bagian badan.

Lebar efektif (beff)


beff adalah lebar yang mengalami tegangan secara merata yang akan
memberikan gaya tekan yang sama dengan yang sebenarnya terjadi di zona tekan
dengan lebar b(actual)

86

Berdasarkan SNI 03-2847-2002 (Pasal 10.10)


Plat balok T:
L
4
16t bw
lebar aktual

b eff

Balok L terbalik (pelat hanya ada pada satu sisi)


L
bw
12
6t bw
1
( jarak bersih antar balok) bw
2

beff

Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 10.10


Balok T yang terisolasi (tunggal)

1 bw
2
Lebar efektif sayap 4 bw

Tebal sayap

Beberapa Model Geometri Balok T


Single Tee

87

Twin Tee

Box

F.8 Pra Design Plat


Pelat atau Slab

adalah

elemen

bidang tipis yang menahan beban transversal melalui aksi lentur ke masing
masing tumpuan . Macam-macam tipe pelat antara lain sebagai berikut :
1. Sistem Flat Slab
Pelat beton bertulang yang langsung ditumpu oleh kolom-kolom tanpa
balok-balok disebut dengan flat slab. Umum digunakan untuk bentang yang
tidak terlalu besar dan beban yang relatif kecil. (apartemen/hotel). Untuk kondisi
bentangan dan beban tertentu pada posisi kritis seperti tumpuan pada kolom
diperbesar yang disebut DROP PANEL. Sistem penebalan berbentuk kepala
kolom disebut (COLUMN CAPITAL). Sistem antara drop panel dg column
capital bisa digabungkan. Flat slab tanpa drop panel atau column capital disebut
dengan Flat Plate.
2. Sistem Grid Slab
Sistem grid 2 arah (Waffle system) memiliki balok yang saling bersilangan
dengan jarak yang rapat dan menumpu pelat atas yang tipis. Sistem ini untuk
mengurangi berat pelat. Sistem ini efisien untuk bentangan 9 m hingga 12 m.
3. Sistem Lajur Balok (Band Beam) :
Serupa dengan sistem balok pelat tetapi merupakan balok dangkal dan
lebar. Sistem ini diterapkan pada bangunan yang membutuhkan jarak antar lantai
yang rendah.
4. Sistem pelat dan Balok

88

Sistem ini terdiri atas slab menerus yang ditumpu balok-balok monolith
yang umunya ditempatkan pada jarak jarak sumbu 3 m hingga 6 m. Tebal pelat tsb
ditetapkan berdasarkan pertimbangan struktur yang mencakup aspek keamanan
thdp kebakaran. Sistem ini umum dipakai dan ketinggian balok sering dibatasi
keperluan ketinggian plafon.

F.8.1 Pelat Satu Arah (Oneway Slab)


Sistem lantai yang memiliki perbandingan bentang panjang terhadap
bentang pendek >2. Dalam disain atau analisis satu satuan lajur pelat yang
membentang diantara 2 tumpuan dapat dianggap sebagai suatu balok dengan
lebar satu satuan dengan tinggi h sesuai dengan tebal pelat. Analisis yang
dilakukan seperti analisis pada balok. pembebanan disesuaikan dengan beban
persatuan panjang dari lajur pelat, konsekuensinya momen yang timbul
merupakan gaya persatuan lebar pelat.
Tulangan utama yang terpasang pada OWS membentang dalam arah kedua
tumpuan ujungnya, sedangkan yang tegak lurus terhadap tulangan utama tsb lebih
diperuntukkan untuk tulangan susut dan temperatur beton.
OWS umumnya didisain dengan rasio tulangan tarik jauh dibawah rasio
maksimum yang diizinkan (0.75b) dengan pertimbangan keekonomisan
pemakaian baja tulangan.
Cara Analisis

89

Cara pendekatan untuk menghitung momen dan geser dapat digunakan untuk
perencanaan OWS bila terpenuhi ketentuan sbb :
1

Minimum terdapat 2 bentang

Panjang bentang lebih kurang sama dg aturan bahwa bentang terpanjang


dari 2 bentang yg berseblahan tdk berbeda 20% daribentang yang pendek.

Beban yang bekerja merupakan beban terbagi merata.

Intensitas beban hidup <= 3 x beban mati per unit

Komponen struktur prismatis.

90

F.8.2 Pelat Dua Arah (Twoway Slab)


Sistem lantai yang memiliki perbandingan bentang panjang dengan
bentang pendek <=2 dikategorikan sebagai TWS. Ada 5metode dasar untuk
menganalisis pelat sejenis ini :
1

Metode Koefisien momen

Metode disain langsung (direct design methode)

Metode portal ekivalen

Metode garis leleh (yield line methode).

Metode Strip (Stripline methode).

Penempatan tulangan pada sistem TWS sesuai dg sifat beban dan kondisi
tumpuannya, ketentuan yang harus dipenuhi :
1

Luas tulangan pada masing2 arah harus dihitung berdasarkan nilai momen
pada penampang kritis, tetapi luas tulangan minimum untuk menahan
susut dan suhu harus tetap terpenuhi.

Jarak antar tulangan pada penampang kritis tidak boleh lebih besar dari
tebal pelat, kecuali unt konstruksi pelat seluler atau pelat berusuk.

Tulangan momen positif yang tegak lurus terhadap suatu tepi yg tidak
menerus dari bentang tepi harus dilanjutkan sampai ke tepi pelat dan harus
tertanam ke dalam balok spandrel, kolom atau dinding minimal 150mm

91

Tulangan momen negatif yang tegak lurus terhadap suatu tepi yg tidak
menerus harus dibengkokkan diberi kait atau jangkar ke dalam balok
spandrel, kolom atau dinding.

Metode Koefisien Momen


Dalam PBI-71 tabel koefisien momen lentur yang memungkinkan
penentuan nilai2 momen dari masing-masing arah. Setiap panel pelat dianalisis
tersendiri berdasarkan kondisi tumpuan bagian tepinya. Tiga kondisi utama :
Tumpuan bebas, terjepit penuh atau terjepit elastis.
Dengan mengacu kepada tabel koefisien momen maka momen per lebar
satuan dalam arah bentang pendek dan panjang diberikan dengan formulasi :
M = 0.001xqxlx2
Dengan q adalah beban terdistribusi merata yang dapat diambil sebagai 1.4
kali beban mati ditambah 1.6 kali beban hidup. Koefisien momen tergantung pada
rasio Ly/Lx dari pelat dan kondisi tumpuan.
Metode Perencanaan Langsung
Cara perencanaan langsung dapat digunakan unt menganalisis Flat Slab, dan
juga untuk sistem Pelat-Balok. Metode ini berdasarkan persamaan statistik yang
diturunkan JR Nichols dengan ketentuan :
1

Pelat harus kontinu, minimum terdapat 3 bentangan dalam masing-masing


arah

Panel harus berbentuk persegi panjang dengan rasio Ly/Lx<=2

Panjang bentang yg bersebelahan tidak boleh berbeda lebih dari 0.33x


bentang terpanjang.

Kolom-kolom penumpu tidak boleh bergeser lebih dari 10% dari


bentangan dalam arah pergeseran

dari masing2 sumbu kolom yg

berurutan.
5

Yang ditinjau hanya beban gravitasi dan intensitas beban hidup tidak lebih
dari 3 x beban mati.

Apabila pelat ditumpu oleh balok-balok pada keempat sisinya , kekakuan


relatif balok dalam arah yang saling tegak lurus menurut rasio (1/l22)/

92

(2/l12) harus lebih besar dari 0.2 dan lebih kecil dari 5. secara matematis
formulasinya :
Dengan 1 = dalam arah l1 dan 2 = dalam arah l2

G.
No
1
2
3
4
5
6

Jadwal Rencana Pelaksanaan Tugas Akhir


KEGIATAN
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Pembuatan
Proposal
Seminar Proposal
dan Revisi
Survey Lapangan
dan Pembahasan
Kesimpulan dan
Saran

BULAN
MARET

APRIL

MEI

JUNI

93

7
8

Seminar Hasil
Ujian TA
Tabel G.1 Jadwal Rencana Pelaksanaan Tugas Akhir

H.

Daftar Pustaka

ATC-40. (1996). Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings, Volume


I. California : Seismic Safety Commission State of California.
Andre Novan,ST.,MT. (2008). Rekayasa Gempa. Diktat.
Amrinsyah Nasution & Hasballah Zakaria. (2001). Metode Numerik. Bandung:
ITB.
Blume, Jhon A., (1961). Design of Multistory Reibforced Concrete Buildings for
Earthquake Motions. San Fransisco, California.
Chopra, Anil K. (1995). Dynamics of Struktures. Amerika Serikat: Prentice Hall.
Clough, Ray W., & Penzien, Joseph. (1988). Dinamika Struktur. Jakarta:
Erlangga.
Cheng, Franklin Y. (2000). Matrix Analysis of Structural Dynamics. New York.

94

Hart, Gerry C., & Wong, Kevin. (1969). Structural Dynamics for Structural
Engineers. New York.
Paz, Mario. (2nd ed.). (1993).Dinamika Struktur.Jakarta: Erlangga.
Prof. Ir. Bambang Budiono, M.E., Phd & Lucky Supriatna, ST. (2013). Studi
Komparasi Desain Bangunan Tahan Gempa. Bandung: ITB.
Prof. Ir. Rachmat Purwono, M. Sc. (2005). Perencanaan Struktur Beton Bertulang
Tahan Gempa. Surabaya: ITS Press.
Standar Nasional Indonesia. (2002). Standar Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Struktur Bangunan Gedung. SNI 1726-2002. Jakarta : Badan
Standar Nasional Indonesia.
Seto, William W., & Sebayang, Darwin. (1985). Theory and Problems of
MECHANICAL VIBRATION ( Schaum Series) .Jakarta: Erlangga.
Widodo. (2001). Respon Dinamik Struktur Elastik. Yogyakarta: UII Press.

95

Anda mungkin juga menyukai