TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sirosis hepatis (SH) merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progesif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regenerative. Gambaran
morfologi dari SH meliputi fibrosis difus, nodul regenerative, perubahan arsitektur
lobular dan pembentukan hubungan vascular intrahepatic antara pembuluh darah hati
aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).
Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas: 1.Sirosis hepatis dekompensata, disertai
dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal.
3.2 Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis adalah virus
hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang tidak diketahui (1020%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara lain: 1,4,9
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik, misalnya: hemokromatosis, penyakit Wilson, nonalkoholik steato
hepatis, dan lain-lain
4. Kholestasis berkepanjangan (baik intra maupun ekstrahepatik)
5. Obstruksi vena hepatica, misalnya sindrom Budd-chairi
6. Gangguan autoimun, misalnya hepatitis autoimun
7. Toksin dan obat-obatan, misalnya : methotrexate, amiodaron, arsenik, dan lain-lain
8. Kriptogenik
3.3 Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada parenkim hati
disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),pembentukan
nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat
adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan
deposit jaringa vascular berakibat pembetukan vascular intra hepatic antara pembuluh
darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatica) dan eferen (vena hepatika) dan
regenerasi nodular parenkim hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh factor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel kupffer. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera
pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip
fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti
transforming growth factor (TGF-) dan tumor necrosis factor (TNF ).
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran
normalaliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya
dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan
menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan
menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.
3.4 Epidemiologi
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per tahun
di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama yang ke-9 di AS, dan
bertanggung jawab terhadap 1.2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien yang
meninggal pada decade ke 4 atau ke-5 kehidupan mereka akibat penyakit ini. Setiap tahun
ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal hati fluminan.
Belum ada data resmi secara nasional tentang sirosis hati di Indonesia. Namun dari
beberapa laporan Rumah Sakit Umum Pemerintah di Indonesia berdasar diagnosis klinik
saja, dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat dibangsal Penyakit Dalam
umumnya berkisar antara 3,6-8,4 % di Jawad an Sumatra, sedang di Sulawesi dan di
10
Kalimantan dibawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3.5 %
dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam , atau rata-rata 47.4% dari
seluruh penyakit hati yang dirawat disini. Perbandingan pria; wanita adalah 2,1 : 1, dan
usia rata-rata 44 tahun. Rentang usia 13-88 tahun. Askandar
3.5 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang terbentuk
ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas : 1,4
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejalagejala
sudah jelas, misalnya asites, edema dan ikterus.
3.6 Diagnosis
1. Gambaran Klinik Stadium awal sirosis hepatis yaitu stadium kompensata, sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain sehingga kebetulan memeriksakan
faal hepar. Keluhan subjektif baru timbul bila sudah ada kerusakan sel-sel hati,
umumnya berupa:4,6
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Mual
Perasaaan perut kembung
Perasaan mudah lelah dan lemah, kelemahan otot terjadi akibat kekurangan protein
dan adanya cairan dalam otot.
11
1. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain4 :
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT
(alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih
meningkat
bila
enzim
ini
normal,
tidak
12
13
Peritonitis
Bakterial
Spontan
(PBS)9
Diberikan
antibiotik
golongan
(propanolol)
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin, diteruskan
dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi
Ensefalopati Hepatik
-
Sindrom Hepatorenal Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk
SHR. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian
utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi
cairan yang berlebihan.
Pada sirosis hepatis yang berat dapat dilakukan transplantasi hepar.
3.9 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis.
Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani
operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati,
dan status nutrisi.4 Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut
100%, 80%, dan 45%.4
TABEL..
3.10 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut berbagai
macam komplikasi sirosis hati9 :
1. Hematemesis melena oleh karena pecahnya varises esophagus/cardia
2. Ascites permagna
3. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam4 .
16
17
BAB IV
PEMBAHASAN
18
gejala pada IBD Pasien juga sering merasa haus, haus merupakan gejala bahwa pasien sudah
mengalami dehidrasi.
Dari pemeriksaan fisik nyeri tekan dibagian hipokondrium sinistra, lumbal sinistra
dan inguinal sinistra, hal ini menandakan daerah kolon yang terkena. Penyakit pada IBD yang
hanya melibatkan kolon saja adalah kolitis ulseratif. Bising usus meningkat pada pasien ini
menandakan adanya peningkatan aktivitas pada usus yang menyebabkan pasien ini diare.
Selain itu didapatkan demam yang menandakan adanya suatu proses inflamasi sistemik pada
tubuh. Didapatkan takikardi ringan pada pasien ini namun tekanan darah masih dalam batas
normal ditambah anamnesa bahwa pasien merasa cepat haus, turgor normal menandakan
bahwa pasien ini mengalami dehidrasi ringan akibat dari diare dan muntah.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hb yang turun, hal ini kemungkinan
menandakan adanya perdarahan pada pasien ini, namun perdarahan tidak terlihat secara
makroskopik, kemungkinan perdarahan dapat terlihat secara mikroskopik. Sehingga kami
mengusulkan pemeriksaan feses lengkap untuk melihat apakah ada perdarahan yang terlihat
secara mikroskopik pada pasien ini. Terdapat leukositosis juga pada pasien ini hal ini
menandakan adanya inflamasi pada pasien ini. Sebelum melakukan kolonoskopi kami curiga
bahwa pasien ini mengalami crohn disease karena tidak adanya feses yang bercampur darah.
Setelah dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi didapatkan diagnosa bahwa pasien ini
menderita kolitis ulseratif. Jadi, pada kasus ini diagnosa dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan kolonoskopi, karena dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pada kolitis ulseratif
dan crohn disease tidak ditemukan gejala dan tanda yang khas. Sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang. Untuk memastikan lebih lanjut kami mengusulkan tes antibodi
ANCA yang spesifik untuk kolitis ulseratif dan ASCA yang spesifik untuk crohn disease.
Penatalaksanaan pada pasien ini dianjurkan untuk diit makanan serat yang soluble,
karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang
19
bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat
yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas dan bubur.
Pengobatan medikamentosa dengan obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil
salicylic acid (5-ASA), pada pasien ini diberikan sulfasalazine 3 x 500 mg dan obat
kortikosteroid untuk mengobati keradangan aktif dan mempertahankan remisi pada colitis
ulseratif, pada pasien ini diberikan metilprednisolon 2 x ampul. Antibiotik ciprofloxacin
digunakan untuk mencegah pouchitis yang terjadi pada pasien kolitis ulseratif. Serta
pengobatan simtomatik untuk mengatasi mual dan muntahnya. Selain itu pasien ini juga
harus direhidrasi agar kebutuhan cairannya tercukupi.
20
BAB V
KESIMPULAN
Dari pembahasan kasus yang telah penulis bahas, dapat disimpulkan bahwa diagnosa terakhir
setelah dilakukan pemeriksaan penunjang adalah colitis ulseratif. Penatalaksanaan kasus ini
dimulai dengan rehidrasi terlebih dahulu, karena pada pasien ini didapatkan dehidrasi ringan,
21
selanjutnya diet, pada colitis ulseratif, diet serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk
pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena
jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada
dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah colitis. Serat
yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses
yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak
menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran
yang sudah dikupas dan bubur.
Prinsip terapi medikamentosa pada IBD, yakni:
(1) Mengobati keradangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi
(2) Mencegah keradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin dan
(3) Mengobati serta mencegah komplikasi.
Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA), pada pasien ini
diberikan sulfasalazine 3 x 500 mg dan obat kortikosteroid untuk mengobati keradangan aktif
dan mempertahankan remisi pada colitis ulseratif, pada pasien ini diberikan metilprednisolon
2 x ampul. Antibiotik ciprofloxacin digunakan untuk mencegah pouchitis yang terjadi pada
pasien kolitis ulseratif. Serta pengobatan simtomatik.
DAFTAR PUSTAKA
22
3. Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL,
McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in
Gastroenterology. 2nd ed. Internat ional ed.: McGraw-Hill; 2003. p. 108-30.
4. Hanauer SB. Inflammatory Bowel Disease: Epidemiology, Pathogenesis, and
Therapeutic Opportunities. Inflammatory Bowel Disease. 2006; 12: S3 -S9.
6. Basson MD, Katz J. Ulserative colitis. Available in medscape reference, Drug,
Disease and procedure (www.emedicine.medscape.com). Update 2015
7. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo DL, Fauci
AS,penyunting.Harrisons Gastroenterology andHepatology. 17th edition. United
states: The McGraw -Hill Companies; 2010; 16: 174-95
8. Choon-Jin O. Inflammatory Bowel Disease. In: Guan R et al., editors. Management
of Common Gastroenterological Problems: A Malaysia & Singapore Perspective. 4th
ed. Singapore: Ezyhealth (Singapore) Pte Ltd.; 2006. p. 116-22.
9. Murna IW. Gambaran Radiologi Pada Inflammatory Bowel Disease (IBD). Dalam:
Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in Gastroenterology 2005. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2005. hal. 70-9
10. Damajanti V, dkk. Gambaran Histoparologi Inflammatory Bowel Disease, Kolitis
Ulseratif dan Penyakit Crohn. Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in
Gastroenterology 2005. Jakarta: Pusat Inform asi dan Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2005. hal. 80-4.
11. Julis, Zubir N, Miro S, Tarigan P, Marpaung B, et al, penyunting. Konsensus
Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia Tahun 2008
23
24