Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sirosis hepatis (SH) merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progesif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regenerative. Gambaran
morfologi dari SH meliputi fibrosis difus, nodul regenerative, perubahan arsitektur
lobular dan pembentukan hubungan vascular intrahepatic antara pembuluh darah hati
aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).
Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas: 1.Sirosis hepatis dekompensata, disertai
dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal.
3.2 Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis adalah virus
hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang tidak diketahui (1020%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara lain: 1,4,9
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik, misalnya: hemokromatosis, penyakit Wilson, nonalkoholik steato
hepatis, dan lain-lain
4. Kholestasis berkepanjangan (baik intra maupun ekstrahepatik)
5. Obstruksi vena hepatica, misalnya sindrom Budd-chairi
6. Gangguan autoimun, misalnya hepatitis autoimun
7. Toksin dan obat-obatan, misalnya : methotrexate, amiodaron, arsenik, dan lain-lain
8. Kriptogenik
3.3 Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada parenkim hati
disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),pembentukan

nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat
adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan
deposit jaringa vascular berakibat pembetukan vascular intra hepatic antara pembuluh
darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatica) dan eferen (vena hepatika) dan
regenerasi nodular parenkim hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh factor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel kupffer. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera
pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip
fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti
transforming growth factor (TGF-) dan tumor necrosis factor (TNF ).
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran
normalaliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya
dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan
menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan
menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.
3.4 Epidemiologi
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per tahun
di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama yang ke-9 di AS, dan
bertanggung jawab terhadap 1.2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien yang
meninggal pada decade ke 4 atau ke-5 kehidupan mereka akibat penyakit ini. Setiap tahun
ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal hati fluminan.
Belum ada data resmi secara nasional tentang sirosis hati di Indonesia. Namun dari
beberapa laporan Rumah Sakit Umum Pemerintah di Indonesia berdasar diagnosis klinik
saja, dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat dibangsal Penyakit Dalam
umumnya berkisar antara 3,6-8,4 % di Jawad an Sumatra, sedang di Sulawesi dan di

10

Kalimantan dibawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3.5 %
dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam , atau rata-rata 47.4% dari
seluruh penyakit hati yang dirawat disini. Perbandingan pria; wanita adalah 2,1 : 1, dan
usia rata-rata 44 tahun. Rentang usia 13-88 tahun. Askandar

3.5 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang terbentuk
ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas : 1,4
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejalagejala
sudah jelas, misalnya asites, edema dan ikterus.
3.6 Diagnosis
1. Gambaran Klinik Stadium awal sirosis hepatis yaitu stadium kompensata, sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain sehingga kebetulan memeriksakan
faal hepar. Keluhan subjektif baru timbul bila sudah ada kerusakan sel-sel hati,
umumnya berupa:4,6
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Mual
Perasaaan perut kembung
Perasaan mudah lelah dan lemah, kelemahan otot terjadi akibat kekurangan protein
dan adanya cairan dalam otot.

11

Kegagalan parenkim hati ditandai dengan protein yang rendah, gangguan


mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan hormonal (eritemapalmaris,
spider nevi, ginekomastia, atrofi testis, dan gangguan siklus haid)
Ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, terjadi pada proses aktif dan
sewaktu-waktu dapat jatuh ke koma hepatikum jika tidak dirawat intensif.
Hipertensi portal (tekanan sistem portal > 10 mmHg), ditandai splenomegali, ascites,
dan kolateral. Dan umumnya, penderita akan 15 dirawat inap karena adanya penyulit
seperti perdarahan saluran cerna atas akibat pecahnya varises esophagus, asites yang
hebat, serta ikterus yang dalam.

1. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain4 :
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT
(alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih
meningkat

dibanding ALT. Namun,

bila

enzim

ini

normal,

tidak

mengenyampingkan adanya sirosis hepatis .


b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier primer.
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan
ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi

12

karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan


bocornya GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya
menginduksi immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor
koagulan akibat sirosis
g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme. Selain itu,
pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya
hipertensi porta
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran
vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien
sirosis.
TABEL>

13

3.7 Diagnosis banding


3.8 Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresifitas penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, serta pencegahan dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien
sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi progresi kerusakan hati.
Bila tidak terdapat koma hepatikum, berikan diet yang mengandung protein 1gr/kgBB
dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.4
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata Bertujuan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati, meliputi :
Menghentikan penggunaan alkohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik
Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat menghambat
kolagenik Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi
besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati non alkoholik, menurunkan berat badan akan mencegah
terjadinya sirosis
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Lamivudin diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Interferon
alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara subkutan dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu,
dan dikombinasi ribavirin 800- 1000 mg/hari selama 6 bulan
Diberikan antifibrotik, dalam hal ini lebih mengarah untuk keradangan dan tidak
terhadap fibrosis. Diberikan Interferon untuk mengurangi aktivitas sel stelata,
kolkisin untuk antiradang dan cegah pembentukan 20 kolagen, metotreksat,
vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
Asites
- Tirah baring
14

Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari


Diuretic : spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa dimonitor
dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan
edema kaki). Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat

dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)


Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti dengan
pemberian albumin.

Peritonitis

Bakterial

Spontan

(PBS)9

Diberikan

antibiotik

golongan

cephalosporin generasi III seperti cefotaxime secara parenteral (2 x 2 gr/hari)


selama lima hari/evaluasi cairan ascites ulang. Pengobatan selanjutnya berdasar
hasil kultur dan tes kepekaan antibiotik cairan ascites. Obat pilihan yang sering
dipakai:
- Ceftriaxone
- Kombinasi amoksisilin
-as. Klavulamat
- Ciprofloxacin
Sedangkan untuk profilaksis terhadap PBS ulang (terutama jika albumin < 1g/dl):
- Norfloksasin 400 mg/hari, jangka panjang
- Ciprofloxacin 750 mg/1x/minggu
- Cotrimoxazole 2x2 gr/5 hari/minggu
Varises Esofagus
-

Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta

(propanolol)
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin, diteruskan
dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi

Ensefalopati Hepatik
-

Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia


15

Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia


Diet rendah protein 0,5 gr/kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam
amino rantai cabang

Sindrom Hepatorenal Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk
SHR. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian
utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi
cairan yang berlebihan.
Pada sirosis hepatis yang berat dapat dilakukan transplantasi hepar.

3.9 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis.
Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani
operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati,
dan status nutrisi.4 Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut
100%, 80%, dan 45%.4
TABEL..
3.10 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut berbagai
macam komplikasi sirosis hati9 :
1. Hematemesis melena oleh karena pecahnya varises esophagus/cardia
2. Ascites permagna
3. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam4 .
16

4. Ensefalopati hepatic, merupakan kelainan neuropsikiatri akibat disfungsi hati.


Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut sampai gangguan kesadaran dan koma
. Ensefalopati hepatic terjadi karena kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahanbahan beracun (NH3 dan sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di
usus. Oleh karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan asupan
protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan alkalosis. Berikut pembagian stadium
ensefalopati hepatikum:
TABEL..
5. Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal
akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus.

17

BAB IV
PEMBAHASAN

Penegakkan diagnosa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada


anamnesis didapatkan BAB hitam dimana hal ini dapat didiare kronis, nyeri perut didaerah
sepanjang perjalanan kolon, mual, muntah, demam, penurunan berat badan yang merupakan

18

gejala pada IBD Pasien juga sering merasa haus, haus merupakan gejala bahwa pasien sudah
mengalami dehidrasi.
Dari pemeriksaan fisik nyeri tekan dibagian hipokondrium sinistra, lumbal sinistra
dan inguinal sinistra, hal ini menandakan daerah kolon yang terkena. Penyakit pada IBD yang
hanya melibatkan kolon saja adalah kolitis ulseratif. Bising usus meningkat pada pasien ini
menandakan adanya peningkatan aktivitas pada usus yang menyebabkan pasien ini diare.
Selain itu didapatkan demam yang menandakan adanya suatu proses inflamasi sistemik pada
tubuh. Didapatkan takikardi ringan pada pasien ini namun tekanan darah masih dalam batas
normal ditambah anamnesa bahwa pasien merasa cepat haus, turgor normal menandakan
bahwa pasien ini mengalami dehidrasi ringan akibat dari diare dan muntah.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hb yang turun, hal ini kemungkinan
menandakan adanya perdarahan pada pasien ini, namun perdarahan tidak terlihat secara
makroskopik, kemungkinan perdarahan dapat terlihat secara mikroskopik. Sehingga kami
mengusulkan pemeriksaan feses lengkap untuk melihat apakah ada perdarahan yang terlihat
secara mikroskopik pada pasien ini. Terdapat leukositosis juga pada pasien ini hal ini
menandakan adanya inflamasi pada pasien ini. Sebelum melakukan kolonoskopi kami curiga
bahwa pasien ini mengalami crohn disease karena tidak adanya feses yang bercampur darah.
Setelah dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi didapatkan diagnosa bahwa pasien ini
menderita kolitis ulseratif. Jadi, pada kasus ini diagnosa dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan kolonoskopi, karena dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pada kolitis ulseratif
dan crohn disease tidak ditemukan gejala dan tanda yang khas. Sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang. Untuk memastikan lebih lanjut kami mengusulkan tes antibodi
ANCA yang spesifik untuk kolitis ulseratif dan ASCA yang spesifik untuk crohn disease.
Penatalaksanaan pada pasien ini dianjurkan untuk diit makanan serat yang soluble,
karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang

19

bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat
yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas dan bubur.
Pengobatan medikamentosa dengan obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil
salicylic acid (5-ASA), pada pasien ini diberikan sulfasalazine 3 x 500 mg dan obat
kortikosteroid untuk mengobati keradangan aktif dan mempertahankan remisi pada colitis
ulseratif, pada pasien ini diberikan metilprednisolon 2 x ampul. Antibiotik ciprofloxacin
digunakan untuk mencegah pouchitis yang terjadi pada pasien kolitis ulseratif. Serta
pengobatan simtomatik untuk mengatasi mual dan muntahnya. Selain itu pasien ini juga
harus direhidrasi agar kebutuhan cairannya tercukupi.

20

BAB V
KESIMPULAN

Dari pembahasan kasus yang telah penulis bahas, dapat disimpulkan bahwa diagnosa terakhir
setelah dilakukan pemeriksaan penunjang adalah colitis ulseratif. Penatalaksanaan kasus ini
dimulai dengan rehidrasi terlebih dahulu, karena pada pasien ini didapatkan dehidrasi ringan,

21

selanjutnya diet, pada colitis ulseratif, diet serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk
pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena
jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada
dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah colitis. Serat
yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses
yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak
menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran
yang sudah dikupas dan bubur.
Prinsip terapi medikamentosa pada IBD, yakni:
(1) Mengobati keradangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi
(2) Mencegah keradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin dan
(3) Mengobati serta mencegah komplikasi.
Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA), pada pasien ini
diberikan sulfasalazine 3 x 500 mg dan obat kortikosteroid untuk mengobati keradangan aktif
dan mempertahankan remisi pada colitis ulseratif, pada pasien ini diberikan metilprednisolon
2 x ampul. Antibiotik ciprofloxacin digunakan untuk mencegah pouchitis yang terjadi pada
pasien kolitis ulseratif. Serta pengobatan simtomatik.
DAFTAR PUSTAKA

1.Basson, Marc D. 2011. Ulcerative Colitis. emedicine.medscape.com. Diakses


tanggal 17 November 2015. Jam 22.00 WIB.
2. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya
di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
hal. 386-90.

22

3. Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL,
McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in
Gastroenterology. 2nd ed. Internat ional ed.: McGraw-Hill; 2003. p. 108-30.
4. Hanauer SB. Inflammatory Bowel Disease: Epidemiology, Pathogenesis, and
Therapeutic Opportunities. Inflammatory Bowel Disease. 2006; 12: S3 -S9.
6. Basson MD, Katz J. Ulserative colitis. Available in medscape reference, Drug,
Disease and procedure (www.emedicine.medscape.com). Update 2015
7. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo DL, Fauci
AS,penyunting.Harrisons Gastroenterology andHepatology. 17th edition. United
states: The McGraw -Hill Companies; 2010; 16: 174-95
8. Choon-Jin O. Inflammatory Bowel Disease. In: Guan R et al., editors. Management
of Common Gastroenterological Problems: A Malaysia & Singapore Perspective. 4th
ed. Singapore: Ezyhealth (Singapore) Pte Ltd.; 2006. p. 116-22.
9. Murna IW. Gambaran Radiologi Pada Inflammatory Bowel Disease (IBD). Dalam:
Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in Gastroenterology 2005. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2005. hal. 70-9
10. Damajanti V, dkk. Gambaran Histoparologi Inflammatory Bowel Disease, Kolitis
Ulseratif dan Penyakit Crohn. Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in
Gastroenterology 2005. Jakarta: Pusat Inform asi dan Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2005. hal. 80-4.
11. Julis, Zubir N, Miro S, Tarigan P, Marpaung B, et al, penyunting. Konsensus
Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia Tahun 2008

23

12. Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative Colitis.


http://www.ulcerativecolitis.
org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 17 November 2015. Jam 22.00 WIB.

24

Anda mungkin juga menyukai