Anda di halaman 1dari 133

HIV-AIDS DALAM

KEHAMILAN
Oleh: Khiki Zhakaria, S. Ked
Pembimbing: dr. Didik Budi W,
Sp. OG
RSUD DR R SOSODORO
DJATIKOESOEMO

DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
virus golongan RNA yang spesifik menyerang
sistem
kekebalan
tubuh
manusia
dan
menyebabkan AIDS.

HIV positif adalah orang yang telah


terinfeksi virus HIV dan tubuh telah
membentuk antibodi terhadap virus tersebut.

AIDS
(Acquired
Immunodeficiency
Syndrome) adalah kumpulan gejala klinis
akibat penurunan sistem imun yang timbul
akibat infeksi HIV.

AIDS (Acquired Immunodeficiency


Syndrome):
A :Acquired
artinya
didapat
(bukan
diturunkan) yang berarti AIDS terjadi karena
tertular virus HIV.
I :Immuno/imun artinya kekebalan tubuh.
Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh
dan meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi.
D :Deficiency/defisiensi
artinya
tidak
cukup atau kekurangan (sel darah putih
dalam sistem kekebalan tubuh).
S :Syndrome/sindrom, artinya sekelompok
gejala sebagai akibat infeksi HIV.

ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal
dengan nama Human Immunodeficiency Virus
(HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili
Retrovirus dan subfamily Lentiviridae . Terdapat
2 tipe: HIV 1 dan HIV 2. Partikel HIV adalah
virus RNA yang ber-envelope, berbentuk bulat
sferis dengan diameter 80-120nm. Partikel
yang infeksius terdiri dari dua rantai single
stranded RNA positif yang berada di dalam inti
protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi
oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi
oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein.

Stuktur Human Immunodeficiency Virus (HIV)

EPIDEMIOLOGI HIV-AIDS
DI DUNIA
Menurut laporan terakhir dari
UNAIDS tahun 2012, didapatkan data
sebagai berikut:
Jumlah ODHA 2012:
- Total
: 34 juta
- Perempuan
: 50% atau sekitar 17
juta
- Anak <15 tahun : 2,1 juta

Setiap hari di dunia orang


muda terinfeksi HIV setiap 15
detik.
Hampir 1800 bayi per hari
lahir telah terinfeksi HIV.

EPIDEMIOLOGI HIV-AIDS DI ASIA


TENGGARA DAN ASIA SELATAN

Orang yang baru terinfeksi HIV, 2012:


- Total
: 4,1 juta
- Perempuan : 1,3 juta atau 37%

EPIDEMIOLOGI HIV-AIDS
NASIONAL
Menurut laporan triwulan ke IV, tahun
2012, subdit AIDS dan PMS:
Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan
provinsi secara kumulatif sampai
dengan Desember 2012: 98390.
Persentase
infeksi
HIV
pada
perempuan: 43,3%.
Persentase infeksi HIV pada anak usia
<15% tahun: 3,5%.

Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan


provinsi secara kumulatif adalah
42887 kasus.
Persentase AIDS menurut jenis
kelamin, pada perempuan 33,0%.
Persentase AIDS pada anak usia < 15
tahun: 4%.

Perjalanan
(Kementerian

Kesehatan

RI,

2012,

Alamiah

Pedoman

Nasional

Pencegahan

Penularan

Infeksi
HIV

Dari

Ibu

Ke

HIV

Bayi).

1.Fase I (Window period)


Fase dimana tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan antibodi di dalam
darahnya masih belum ditemukan anti-HIV.
Masa jendela ini biasanya berlangsung 3 bulan
sejak infeksi awal. Selama masa jendela,
pasien sangat infeksius, mudah menularkan
kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang
mengalami masa infeksi akut pada masa
infeksius
ini
dengan
gejala
demam,
pembesaran kelenjar getah bening, keringat
malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk

2. Fase II (Asimtomatik/ masa


tanpa gejala).
. Fase dimana hasil tes darah terhadap
HIV sudah positif tetapi individu
belum menunjukkan gejala sakit.
Individu ini dapat menularkan HIV
kepada orang lain. Masa tanpa gejala
berlangsung rata-rata selama 2-3
tahun hingga lebih dari 10 tahun.

3.Fase III (AIDS)


Ini adalah fase terminal dari HIV yang
kita sebut dengan AIDS. Pada fase ini
kekebalan tubuh telah menurun dan
timbul gejala penyakit terkait HIV, seperti:
Pembengkakan kelenjar getah bening
yang menetap di seluruh tubuh
Diare kronis
Batuk pilek tidak sembuh-sembuh
Berat badan terus menurun sebesar
>10% dari berat awal dalam waktu 1
bulan.

Cara Penularan HIV


1.Cairan genital: cairan genital (sperma, lendir
vagina) memiliki jumlah virus yang tinggi dan
cukup banyak untuk memungkinkan penularan.
2.Transfusi: HIV ditularkan melalui injeksi dengan
darah yang sudah tercemar HIV atau produk darah.
3.Melalui pemakaian jarum suntik, yang sudah
tercemar HIV yang dipakai bergantian tanpa
disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik
dikalangan pengguna Narkotika penyuntikan obat.
4.Transimisi (Perinatal): wanita yang terinfeksi
HIV sebanyak 15-40% berkemungkinan akan
menularkan infeksi kepada bayi yang baru
dilahirkan melalui plasenta atau saat proses
persalinan atau melalui air susu ibu.

HIV TIDAK DITULARKAN


MELALUI CARA BERIKUT:
1. Bersenggolan
2. Berjabat tangan
3. Bersentuhan atau menggunakan
pakaian bekas penderita HIV
4. Makan atau minum bersama
5. Berenang bersama
6. Sabun mandi
7. Hidup serumah dengan ODHA
8. Penggunaan toilet bersamaan.

Penegakan Diagnosis
1. Kriteria Klinik HIV/AIDS pada
dewasa dan anak (WHO).
Stadium klinik dari WHO digunakan
untuk
penderita
yang
pada
pemeriksaan diagnostik HIV hasilnya
positif.
Stadium
klinik
tersebut
digunakan sebagai panduan
untuk
memulai atau mengganti ARV atau
untuk memulai terapi profilaksis pada
infeksi Oportunistik.

Stadium Klinik 1
- Asimptomatik
- Limfadenopati generalisata yang menetap
Stadium Klinik 2 (Mild disease/Penyakit
awal)
- BB turun <10%
- ISPA rekuren (sinusitis, tonsilitis,
pharingitis)
- Herpes zoster
- Dermatitis seboroik
- Onikolisis

Stadium 3 (Advanced
disease/Penyakit lanjut)
- BB turun >10%
- Diare kronis >1 bulan
- Demam, intermiten maupun persisten
>1 bulan
- Oral kandidiasis persisten
- TB paru
- Infeksi Bakterial yang berat, seperti:
pneumonia, empiema, meningitis,
bakterimia.
- Anemia (<8 g/dl), neutropenia

Stadium
Klinik
4
(Severe
disease/Penyakit berat).
- HIV wasting syndrome
- Pneumoni bakterial kronik
- Herpes simplek kronik (orolabial,
genital dan anorektal >1 bulan)
- TB ekstrapulmonar
- Sarkoma kaposi
- Ensephalitis HIV
- Septikemia rekuren

Dalam
menegakkan diagnosa
HIV,
dilakukan
beberapa
pemeriksaan laboratorium antara
lain:
a. Serologi dengan menggunakan
enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA).
b. Imunologi: nilai absolut limfosit
CD4 dan rasio CD4.

2. Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen


HIV.
HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masingmasing terdiri dari protein yang bersifat sebagai
antigen dan menimbulkan pembentukan antibodi
dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang
telah diketahui banyak sekali, tapi yang penting
untuk diagnostik adalah : antibodi gp41, gp120,
dan p24.
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
Tes untuk menguji antibodi HIV
a. Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan
Western Blot.

Tes untuk menguji antigen HIV


b. Dapat dengan cara : Polymerase Chain
Reaction (PCR).
Yang praktis dan umum dipakai adalah tes
ELISA, karena tes memiliki sensitivitas yang
tinggi. Oleh karena itu untuk menghindari
adanya hasil tes yang positif palsu, tes ELISA
perlu dikonfirmasi dengan tes Western Blot
yang mempunyai spesifisitas yang tinggi.
Setiap tes positif dengan ELISA I akan diulangi
dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan
bila tes kedua positif lalu dilakukan tes
Western Blot. Dengan konfirmasi tes Western
Blot ini, hasil tes dikatakan positif.

3.
Tes
Yang
Menunjukkan
Adanya Defisiensi Imun
Untuk
ini
dapat
dilakukan
pemeriksaan Hb, jumlah leukosit,
trombosit, jumlah limfosit dan sediaan
hapus darah tepi atau sumsum tulang.
Pada pasien AIDS dapat ditemukan
anemia,leukopenia/limfopenia,trombo
sitopenia, dan displasia sumsum
tulang.

4. Tes Untuk Infeksi Oportunistik Atau Kanker.

Setiap infeksi oportunistik atau kanker


sekunder yang ada pada pasien AIDS
diperiksa
sesuai
dengan
metode
diagnostik penyakitnya masing-masing.
Misalnya pemeriksaan untuk kandidiasis,
TBC paru, dan sebagainya. Kadangkadang perlu pemeriksaan penunjang
lain, seperti laboratorium rutin, serologis,
radiologis, USG, CT scan, pembiakan, dan
sebagainya.

5. Diagnosis Infeksi HIV Pada


Wanita
Infeksi HIV pada wanita seringkali
terdeteksi pada masa kehamilan, waktu
dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji
serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG
merupakan tes dengan spesifikasi yang
tinggi. Sampel yang reaktif terhadap anti
HIV pada uji saring, sebaiknya diuji ulang
dan hasilnya dikonfirmasikan dengan
sistem uji lainnya. Untuk diagnostik,
sampel harus diambil ulang untuk
mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi.

Pada umumnya wanita yang terinfeksi


menampilkan kondisi sera yang reaktif 68 minggu setelah infeksi, meskipun pada
beberapa kasus antibodi tersebut tidak
timbul setelah 6-9 bulan kemudian.
Hasil negatif tes antibodi berarti wanita
tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih
dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat juga
berarti uji negatif palsu (false negative),
bila wanita itu diuji pada waktu periode
jendela (window periode) antara infeksi
dan serokonversi.

6. Diagnosis Infeksi HIV


Pada Bayi
Pada bayi di bawah usia 18 bulan,
pemeriksaan yang dapat dilakukan antara
lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase
chain Reaction) untuk mendeteksi DNA
atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.
Infeksi HIV ditegakkan bila dua sampel
dari dua kali pemeriksaan yang berbeda
dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV
menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes
yang berbeda menunjukkan hasil negatif.

Pada bayi usia 18 bulan keatas,


infeksi
HIV
ditegakkan
jika
pemeriksaan antibodi menetap atau
bayi meninggal akibat penyakit
terkait HIV. Disebut tidak terinfeksi
bila dua kali pemeriksaan antibodi
menunjukkan negatif. Pemeriksaan
antibodi ini kemudian dilanjutkan
dengan
konfirmasi
pemeriksaan
Western Blot.

Bila timbul kecurigaan anak terinfeksi HIV,


penting untuk melakukan konseling pada
ibunya dan meminta persetujuan sebelum
melakukan tes darah ibu. Bila ibu positif
terinfeksi, maka perlu juga melakukan tes
pada suaminya. Selanjutnya konseling pasca
tes juga diperlukan bila hasilnya pada
anaknya terbukti positif agar orangtua
mengetahui gambaran mengenai penyakit
anaknya, cara melakukan perawatan di
rumah, menjaga kualitas hidup anak sebaik
mungkin,
cara
pencegahan
penularan
perinatal pada anak selanjutnya dan bekerja
sama
dengan
pihak-pihak
lain
seperti
psikolog, lembaga sosial, tokoh agama dan
petugas-petugas kesehatan lainnya.

HIV-AIDS PADA IBU


HAMIL
Data Kementerian Kesehatan melaporkan
jumlah kasus HIV pada tahun 2012
sebanyak 21511 kasus, dimana 9318
(43,4%) berjenis kelamin perempuan,
meningkat dari 3565 (34,4%) pada tahun
2008. Berdasarkan usia 87,4% penderita
HIV berada pada usia reproduksi (15-49
tahun). Meningkatnya jumlah perempuan
dengan HIV mengkhawatirkan karena bila
hamil akan menular pada bayi yang
dikandungnya.

Pada tahun 2012 sebanyak 43624 ibu


hamil menjalani tes HIV, 1329 (3,05%)
diantaranya
terinfeksi
HIV,
534
(2,53%) diantaranya terinfeksi HIV.
Hasil pemodelan epidemi HIV tahun
2012 diperkirakan prevalensi HIV
pada ibu hamil akan meningkat dari
0,38% (2012) menjadi 0,49% (2016),
sehingga kebutuhan terhadap layanan
PMCTM/PPIA meningkat dari 13189
pada tahun 2012 menjadi 16691 pada
tahun 2016.

Demikian juga jumlah anak berusia


15 tahun yang tertular dari ibunya
pada saat dilahirkan ataupun saat
menyusui akan emningkat dari 4361
(2012) menjadi 5565 (2016), yang
berarti terjadi peningkatan angka
kematian anak akibat AIDS apabila
tidak dilakukan intervensi.

Mekanisme Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko
sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan di Eropa dan
tertinggi di Afrika. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya:
A. Faktor virus
1. Karakteristik virus
Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi
oleh banyak faktor. Faktor utama yang penting
adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor
antigen p24 secara konsisten mempunyai hubungan
terhadap meningkatnya penularan (meningkat 2-3
kali dibanding wanita tidak hamil). Plasma jumlah
virus seorang ibu dengan HIV merupakan prediktor
yang kuat sebagai sumber penularan. Peningkatan
jumlah penularan pada wanita dengan infeksi HIV
muncul ketika plasma jumlah virus yang aktif berada

B. Faktor Bayi
1. Prematuritas
Beberapa pusat penelitian telah
memaparkan
tentang
hubungan
prematuritas terhadap infeksi HIV.
Sebagai contoh status HIV maternal
menjembatani
prematuritas
kehamilan. Ryder dan teman-teman
pada tahun 1989 di Zaire, menggaris
bawahi tentang prematuritas sebesar
13% pada wanita + HIV dan 3% pada
kelompok kontrol.

3. Fungsi Pencernaan
Fungsi pencernaan pada neonatus
memegang peranan penting dalam
penularan HIV. Sejak infeksi HIV
diperkirakan
masuk
melalui
pencernaan
saat
kelahiran,
oleh
karena terpapar darah yang terinfeksi,
sekresi vagina, cairan amnion dan air
susu ibu.

4. Respon imun neonatus


Sistem kekebalan tubuh bayi yang
baru lahir secara anatomi memiliki
defisiensi fungsional, belum terpapar
oleh antigen dari luar dan sering
mengalami
ketidakmampuan
dalam
mengkopi
agen
mayor
infeksi.
Merupakan perkembangan immunologi
termasuk dalam menghadapi berbagai
virus seperti cytomegalovirus, hepatitis B
dan virus herpes simplek.

C. Faktor ibu, kehamilan dan proses persalinan.

Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan


kehamilan
memiliki
resiko
untuk
menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam
tiga tahapan waktu yaitu:
1. Antepartum (5-10%):
a. Viral load dari ibu, apakah sudah
mendapat terapi anti retroviral, jumlah
CD4+, defisiensi vitamin A, koreseptor
mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam
terapi pelepasan ketergantungan obat,

b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu


merupakan faktor resiko utama terjadinya
penularan
perinatal.
Beratnya keadaan
penyakit
ibu
ditentukan
dengan
menggunakan kriteria klinis dan jumlah
partikel virus yang terdapat dalam plasma,
serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan
gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas
(dengan
gejala
berbagai
penyakit
oportunistik), jumlah muatan virus di dalam
tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200350/mL dianggap menderita penyakit AIDS
sangat
berat
dan
harus
mendapat
pengobatan antiretrovirus.

c. Ibu yang menderita penyakit infeksi


lain pada genitalia juga mempunyai
risiko tinggi untuk menularkan HIV-1
kepada bayinya. Misalnya, ibu yang
menderita
penyakit
sifilis
atau
penyakit genitalia ulseratif yang lain
(seperti
Herpes
Simplex)
juga
mempunyai risiko penularan vertikal
lebih tinggi.

d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang


tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya.
Berdasarkan hasil penelitian, para ibu
yang merokok mempunyai risiko untuk
menularkan HIV-1. Demikian juga, ibu
yang melakukan hubungan seksual tanpa
alat
pelindung,
terutama
dengan
pasangan yang berganti-ganti, juga
mempunyai risiko tinggi dalam penularan
vertikal

2. Intrapartum 10-20%:
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal ,proses
persalinan, pecah ketuban kasep, persalinan
prematur, penggunaan fetal scalp electrode,
penyakit
ulkus
genitalia
aktif,
laserasi
vagina,korioamnionitis, dan episiotomi.
b. Proses persalinan bayi juga menentukan
terjadinya risiko penularan vertikal. Bayi yang
lahir per vaginam dengan tindakan invasif
seperti tindakan forsep, vakum, penggunaan
elektrode pada kepala janin dan episiotomi,
mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular
HIV-1.

c. Ibu yang menderita penyakit infeksi


lain pada genitalia juga mempunyai
risiko tinggi untuk menularkan HIV-1
kepada bayinya. Misalnya, ibu yang
menderita
penyakit
sifilis
atau
penyakit genitalia ulseratif yang lain
(seperti
Herpes
Simplex,
infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri
pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.

3. Post partum melalui


menyusui 5-15%:
a. Telah diketahui air susu ibu degan
infeksi HIV mengandung proviral HIV
dan virus bebas lainnya, sebagai faktor
pertahanan seperti antibodi terhadap
HIV dan glikoprotein yang menghambat
ikatan HIV dengan CD4+. Sebetulnya
pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian
air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi
penularan oleh karena terdapatnya
antibodi terhadap HIV.

Disimpulkan bahwa penularan


postnatal dari infeksi virus HIV-1
lewat pemberian air susu ibu
dapat
diturunkan
dengan
intervensi pemberian ARV saat
perinatal .

PENANGANAN HIV-AIDS DALAM


KEHAMILAN:

1. Program PMCTM/PPIA
Pengertian PMCTM atau PPIA
PMCTM atau PPIA adalah upaya yang
ditujukan untuk mencegah penularan
HIV dari ibu ke anak yang dilakukan
secara terintegrasi dan komprehensif
dengan
program-program
yang
berkaitan dengan pengendalian HIVAIDS.

Tujuan Program PMTCT


Adapun program pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayi bertujuan untuk:
1.Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada bayi
disebabkan penularan dari ibu. Infeksi yang ditularkan
dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak.
2.Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap
ibu dan bayi
Dampak
akhir
dari
epidemi
HIV
berupa
berkurangnya kemampuan produksi dan peningkatan
beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh ODHA
dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena
morbiditas dan mortalitas terhadap ibu dan bayi.

Sasaran Program PMTCT


Perempuan usia reproduktif (15-49
tahun),
termasuk
remaja
dan
populasi risiko tinggi
Perempuan HIV dan pasangannya
Perempuan HIV yang hamil dan
pasangannya
Perempuan
HIV,
anak
dan
keluarganya.

Mengapa diperlukan pencegahan


penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada
bayi disebabkan penularan dari ibu.
Risiko penularan HIV dari ibu ke anak
secara keseluruhan antara 20-45%. Risiko
penularan pada ibu yang saat hamil tidak
mendapatkan
penanganan
PMTCT
diperkirakan 20-45%. Dengan pelayanan
PMTCT yang baik, maka tingkat penularan
HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%.

SASARAN PMTCT
1. Prong 1 : Mencegah
terjadinya
penularan HIV pada perempuan usia
reproduktif.
a.Mengubah perilaku risiko tinggi menjadi risiko
rendah
dengan
menggunakan
ABCDE
(Abstinensia, Be Faithful, Condom, Drugs No,
Equipment).
b. VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau
konseling dan testing HIV/AIDS sukarela adalah
suatu prosedur diskusi pembelajaran antara
konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS
beserta resiko dan konsekuensi terhadap diri,
pasangan dan keluarga serta orang di

2.Prong 2 : Mencegah kehamilan


yang tidak direncanakan pada
Ibu HIV positif.
Mengingat adanya kemungkinan transmisi
vertikal dan adanya kerentanan tubuh
selama proses kehamilan, maka pada
dasarnya perempuan dengan HIV positif
tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan
alasan hak asasi manusia, perempuan HIV
positif dapat memberikan keputusan
untuk hamil setelah melalui proses
konseling, pengobatan dan pemantauan.

Perencanaan Kehamilan
1. Aspek Medis
a.Viral Load tidak terdeteksi: maka
kemungkinan penularan HIV dari Ibu
ke Bayi rendah.
b. Kadar CD4 >350 sel/mm3: Kadar
CD4 tinggi merupakan tanda imunitas
tubuh Ibu cukup baik dan layak untuk
hamil. Kadar CD4 <350 sel/mm3 maka
Ibu akan rentan terhadap infeksi
sekunder yang membahayakan Ibu

2. Aspek Sosial:
a.Perencanaan
kehamilan
oleh
pasangan: Keduannya harus memahami
risiko,
konsekuensi
kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
b.Kesepakatan dari Keluarga: Untuk
menghindari penelantaran pengasuhan
anak
dikemudian
hari
akibat
keterbatasan orang tua yang mengidap
HIV.

Persiapan Perempuan HIV yang


Ingin Hamil:
1. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk
mengetahui apakah sudsh layak untuk
hamil.
2. Bila viral load tidak terdeteksi atau kadar
CD4 >350 sel/mm3, senggama tanpa
kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada
masa subur.
3. Bila kadar CD4 masih <350 sel/mm3, minum
ARV secara teratur dan disiplin minimal
selama 6 bulan dan tetap menggunakan
kondom selama bersenggama.

Persiapan Pasangan Dari


Perempuan HIV Yang Ingin Hamil:
1. Bila dipastikan serologis HIV-non reaktif
(negatif), maka kapan pun boleh senggama
tanpa kondom, setelah pihak perempuan
dipastikan layak untuk hamil.
2. Apabila serologis reaktif (positif), perlu
dilakukan pemeriksaan viral load, untuk
mengetahui risiko penularan.
3. Apabila viral load tidak terdeteksi senggama
tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada
masa subur pasangan.
4. Apabila viral load masih terdeteksi atau
kadar CD4 <350 sel/mm3, maka sebaiknya

3. Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan


HIV dari Ibu hamil HIV positif ke bayi
selama
kehamilan,
persalinan
dan
menyusui.
Pencegahan penularan HIV pada Ibu hamil
yang telah terinfeksi HIV ke Anak mencakup
langkah-langkah berikut:
4. Layanan ANC terpadu
5. Diagnosis HIV
6. Pemberian terapi ARV
7. Persalinan yang aman
8. Tatalaksana pemberian makanan bayi dan
anak
9. Pemberian profilaksis ARV pada anak
10.Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.

4. Prong 4 : Memberikan dukungan


psikologis, sosial dan perawatan kepada
ibu HIV positif beserta bayi dan
keluarganya.

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu


ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan.
Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia
membutuhkan dukungan medis, psikologis,
sosial dan perawatan sepanjang waktu. Faktor
kerahasiaan status HIV ibu sangat penting
dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada
anak dan keluarganya.

a. Dukungan Medis Keperawatan


Tujuan dari dukungan ini untuk menjaga
ibu dan bayi tetap sehat dengan peningkatan
pola hidup sehat, kepatuhan pengobatan,
dan pengamatan status kesehatan.
1. Dukungan bagi ibu:
-. Pemeriksaan kondisi kesehatan
-. Pengobatan ARV dan pemantauan terapi
ARV
-. Pemantauan kondisi kesehatan, termasuk
pemantauan CD4 dan viral load
-. Konseling dan dukungan kontrasepsi dan
pengaturan kehamilan

- Konseling dan dukungan


asupan gizi
- Layanan klinik dan rumah
sakit yang bersahabatan
- Kunjungan ke rumah (home
visit)

2. Dukungan Bayi:
- Pemberian kotrimoksazol dan
ARV pencegahan
- Informasi dan edukasi pemberian
makanan bayi
- Diagnosis HIV pada bayi

3. Penyuluhan kepada anggota


keluarga tentang cara penularan
HIV dan pencegahannya serta
penggerakan
dukungan
masyarakat bagi keluarga dengan
atau terdampak HIV.

b. Dukungan Psikososial
Pemberian dukungan psikologis dan
sosial kepada ibu HIV dan keluarganya
adalah penting, mengingat ibu HIV
maupun ODHA menghadapi masalah
psikososial,
seperti:
Depresi,
pengucilan dari lingkungan sosial dan
keluarga, masalah dalam pekerjaan
dan ekonomi dan masalah dalam
pengasuhan anak.

Tujuan
dukungan
psikososial
adalah: mengurangi kecemasan, stres
dan depresi, meningkatkan semangat
hidup,
mempertahankan
kondisi
kesehatan
optimal,
meningkatkan
kepatuhan berobat, menurunkan risiko
penularan
dari
ibu
ke
bayi,
memastikan bayi/anak bebas dari HIV
dan penyakit menular lainnya.

Tujuan
Dukungan
sosial
meliputi:
Meningkatkan
kemampuan dan kemandirian diri
pasien,
meringankan
beban
kebutuhan hidup, mempermudah
akses
terhadap
pelayanan
kesehatan.

Konsep Dasar Intervensi


PMTCT
Dengan intervensi yang baik maka
resiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 25%-45% dapat ditekan menjadi
kurang dari 2%. Menurut estimasi
Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu
hamil
dengan
HIV
positif
yang
melahirkan di Indonesia. Berarti, jika
tidak ada intervensi diperkirakan akan
lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV
positif setiap tahunnya di Indonesia.

Konsep dasar intervensi PMTCT meliputi :

1.Mengurangi jumlah ibu hamil


pengidap HIV/AIDS.
Upaya ini bertujuan:
a. Mencegah
tertularnya
penyakit
HIV/AIDS pada seluruh wanita usia
reproduksi.
b. Mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan
pada
wanita
usia
reproduksi yang mengidap HIV.

Sebelum
seorang
ibu
dengan
HIV
memutuskan untuk hamil, hendaknya melalui
diskusi yang intens dengan pasangan,
mendapat dukungan keluarga, dan diijinkan
dokter.
Ibu
akan
mendapat
konseling
mengenai kemungkinan risiko penularan pada
janin, mendapat pengobatan ARV (anti
retrovirus terapi) dan pemantauan teratur dari
dokter. Dokter biasanya akan mengijinkan
seorang ibu dengan HIV untuk hamil
dengan syarat : bila kadar CD4 > 350
sel/mm3, tidak terdeteksi virus (viral load)
dalam darah ibu, dan ibu minum ARV secara
teratur sebelum dan selama kehamilan
minimal 6 bulan..

2. Turunkan viral load (jumlah virus dalam


tubuh pengidap) serendah-rendahnya.

Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat


ini hanya berfungsi untuk menghambat multiplikasi
virus,
belum
menghilangkan
secara
total
keberadaan virus. Walaupun demikian, ARV
merupakan
pilihan
utama
dalam
upaya
pengendalian penyakit guna menurunkan viral load.
Upaya yang dilakukan untuk menurunkan viral
load adalah:
a. Minum ARV secara teratur (bagi ibu dengan HIV
positif yang tidak hamil).
b. Minum ARV profilaksis (pencegahan), bagi ibu
dengan HIV positif yang hamil.

3.Meminimalkan
paparan
janin/bayi
dengan cairan tubuh ibu yang mengidap
HIV positif.
Upaya yang dilakukan adalah:
a. Selama kehamilan : memberikan ARV
profilaksis pada ibu hamil dengan HIV
positif.
b. Selama persalinan : tidak diperbolehkan
untuk melakukan tindakan obstetrik yang
invasif yang tidak perlu dan dapat menjadi
jalur penularan HIV, misalnya: episiotomi
secara
rutin,
ekstraksi
vakum/forcep,
memecahkan ketuban sebelum pembukaan
lengkap dan terlalu sering melakukan
pemeriksaan dalam.

Apabila
dipertimbangkan
seksio
sesaria, perlu dipertimbangkan syarat,
biaya dan tindakan operasi, fasilitas
dan komplikasi pasca bedah akibat
imunitas rendah.
c. Menyusui (laktasi) : ibu hamil dengan
HIV positif perlu mendapat konseling
sehubungan
dengan
keputusannya
untuk memberikan ASI ekslusif atau
susu formula.

4.Optimalkan kesehatan ibu dengan HIV


positif. Upaya yang dapat dilakukan:
a. Pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan
untuk pemantauan kehamilan dan keadaaan
janin.
b. Minum roboransia (penunjang kesehatan
misal
:
vitamin)
untuk
meningkatkan
kebutuhan tubuh.
c. Ibu menjalani pola hidup sehat : cukup gizi,
cukup istirahat, cukup olahraga, tidak merokok,
dan tidak minum alkohol.
d. Menggunakan kondom, untuk mencegah
infeksi baru (bila pasangannya tidak menderita
HIV/AIDS), atau mencegah superinfeksi (bila
pasangannya menderita HIV/AIDS).

2. Penggunaan obat
Antiretroviral (ARV)
Antiretrovirus direkomendasikan untuk
semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS
yang
sedang
hamil
tanpa
harus
memeriksakan jumlah CD4 dan viral load
terlebih dahulu untuk mengurangi resiko
transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa
risiko transmisi perinatal meningkat sesuai
dengan kadar HIV ibu dan risiko transmisi dapat
diturunkan
hingga
20%
dengan
terapi
antiretrovirus. Pemeriksaan CD4 dilakukan
untuk
memantau
pengobatan
bukan
sebagai acuan untuk memulai terapi.

Tujuan
utama
pemberian
antiretrovirus pada kehamilan
adalah menekan perkembangan
virus,
memperbaiki
fungsi
imunologis, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi morbiditas dan
mortalitas
penyakit
yang
menyertai HIV.

Manfaat terapi ARV dalam


program PMTCT
1. Memperbaiki status kesehatan dan
kualitas hidup
2. Menurunkan rawat inap akibat HIV
3. Menurunkan kematian terkait AIDS
4. Mencegah infeksi oportunistik
5. Menurunkan angka penularan HIV
dari ibu ke anak dan kepada orang
lain

a.Prinsip pemberian ARV selama


kehamilan,
persalinan,
dan
setelah melahirkan adalah sebagai
berikut:
- Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu
hamil
dengan
HIV
positif
adalah
terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI+1
NNRTI).
- Untuk ibu yang status HIV nya diketahui
sebelum kehamilan dan sudah mendapatkan
ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan
perpaduan obat yang sama seperti saat sebelum
hamil.
- Untuk ibu hamil yang status HIV nya
diketahui saat kehamilan, segera diberikan ARV
sedini mungkin tanpa melihat umur kehamilan,
berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya.

- Untuk ibu hamil yang status HIV


nya diketahui saat menjelang
persalinan, segera diberikan ARV
sesuai dengan kondisi klinis. Pilihan
perpaduan obat ARV sama dengan
ibu hamil dengan HIV lainnya.
- Wanita hamil dengan HIV (+)
datang saat inpartu, dan belum
pernah mendapatkan ARV bila ibu
akan menyusui diberikan ARV.

b. Untuk
memulai
terapi
ARV
dipertimbangkan hal-hal berikut:

perlu

1. Persiapan klien secara fisik/mental untuk


menjalani terapi melalui edukasi pra-pemberian
ARV
2. Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi
tersebut perlu diobati terlebih dahulu. Terapi ARV
baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik
diobati dan stabil (kira-kira setelah dua minggu
sampai dua bulan pengobatan). Terapi ARV dapat
dimulai dengan pemberian kotrimoksazol untuk
melihat
kepatuhan
dan
mengobati
infeksi
oportunistik yang ada.

Pada awal pengobatan, klien


yang
tidak
mendapat
kotrimoksazol profilaksis, perlu
kontrol lebih sering (satu minggu,
kemudian
dua
minggu,
dan
seterusnya)
sebagai
cara
pemantauan efek samping dan
kepatuhan
klien.
Dengan
demikian,
jumlah
ARV
yang
diberikan
mengikuti
jadwal
kunjungan.

c.
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil
selesai dengan singkatan SADAR, yaitu sebagai
berikut:

1. Siap: menerima ARV, mengetahui


dengan benar efek ARV terhadap
infeksi HIV
2. Adherence: kepatuhan minum obat
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke
dokter secara rutin
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi
dengan dokter mengenai terapi
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul
keluhan.

Pemberian ARV Pada Ibu Hamil


Dengan Berbagai Situasi Klinis:

Toksisitas
dan
Kontra-indikasi
Regimen Antiretroviral (ARV)
- Efek samping tersering dari AZT, AZT dan 3TC:
mual, sakit kepala, mialgia, insomnia dan
biasannya berkurang jika tetap diberikan
- Kontra indikasi AZT, AZT dan 3TC: alergi obat,
kadar hemoglobin di bawah 7g/dl, neutropenia
(<750 sel/mm3), disfungsi hepar atau ginjal
yang berat
- Efek toksis pada ibu hamil jarang namun
berbahaya:
asidosis
laktat,
dan
hepatic
steatosis
- Toksisitas jangka pendek pada bayi (AZT) yang
penting: anemi (makin lama pajanan makin
berat anemi dan reversibel)

- Efek samping terbesar dari NVP:


hepatotoksis dan ruam kulit. Jumlah
CD4>250 sel/mm3: risiko untuk
hepatotoksis adalah 10 kali daripada
CD4 yang rendah
- Kontra indikasi NVP: alergi terhadap
NVP
- Pada janin: jika pajanan lama dapat
menyebabkan toksisitas hematologi
termasuk neutropeni, hepatotoksis,
ruam kulit.

3. Makanan Bagi Yang Lahir


Dari Ibu HIV
Menurut WHO, risiko penularan HIV pada bayi dari
Ibu HIV melalui laktasi adalah sebesar 5-20%. Dilain
pihak, ASI merupakan sumber nutrisi terbaik bagi
bayi baru lahir. Untuk itu, diperlukan perencanaan
yang tepat mengenai pemberian makanan pada
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV. Perlu
dipertimbangkan
apabila
akan
memberikan
makanan selain ASI harus dengan syarat, makanan
tersebut
dapat
diterima
(acceptable),
layak
(feasibele), terjangkau (affordable), berkelanjutan
(sustainable), dan aman (safe). Jika diputuskan
untuk menggunakan ASI, maka harus dipastikan
pemberiannya bersifat ASI ekslusif yang segera
dihentikan saat bayi usia 6 bulan.

Air susu ibu (ASI) merupakan gizi terbaik


bagi bayi dan sangat jarang menimbulkan
reaksi alergi pada bayi. Pada ibu dengan HIV,
terdapat kemungkinan penularan HIV melalui
ASI. Pemberian ASI atau susu formula harus
dilaksanakan setelah orang tua diberikan
konseling. Pemilihan nutrisi harus mencakup
manfaat pencegahan penularan HIV dan
pemeliharaan
status
nutrisi.
Praktik
pemberian makanan yang tidak tepat bagi
kelompok umur ini meningkatkan risiko
infeksi, kurang gizi, bahkan kematian.

b.Anjuran pemberian nutrisi bagi bayi


yang belum diketahui status HIV nya.

1. Pemilihan makanan bayi harus didahului


konseling terkait risiko penularan HIV
sejak sebelum persalinan.
2. Pengambilan keputusan dapat dilakukan
oleh ibu/keluarga setelah mendapat
informasi dan konseling secara lengkap.
Pilihan apapun yang diambil seorang ibu
harus didukung.
3. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI
atau susu formula saja.

4. Sangat tidak dianjurkan mencampur ASI


dengan susu formula, karena memiliki risiko
tertinggi untuk terjadinya penularan HIV
kepada bayi. Hal ini dikarenakan susu
formula adalah benda asing yang dapat
menimbulkan perubahan mukosa dinding
usus yang mempermudah masuknya virus
HIV yang ada dalam ASI ke aliran darah bayi.
5. Ibu
dengan
HIV
diperbolehkan
memberikan susu formula bagi bayinya
yang HIV atau tidak diketahui status
HIV nya, jika seluruh syarat AFASS
(Affordable,
Feasible,
Acceptable,
Sustainable, Safe).

Jika bayi telah


HIV positif

diketahui

- Ibu
sangat
dianjurkan
untuk
memberikan ASI ekslusif sampai bayi
berumur 6 bulan
- Selat berumur 6 bulan, bayi
diberikan MP-ASI dan ASI tetap
dilanjutkan sampai anak berumur 2
tahun.

4. Universal Precaution
untuk tenaga medis
penolong persalinan
Universal Precaution untuk tenaga medis
penolong persalinan
Universal Precaution merupakan suatu
pedoman yang ditetapkan oleh the Centers
for Disease Control and Prevention CDC
Atlanta (1985) dan the Occupational Safety
and Health Administration (OSHA), untuk
mencegah transmisi dari berbagai penyakit
yang
ditularkan
melalui
darah
di
lingkungan fasilitas pelayanan.

Upaya Menurunkan Risiko


Transmisi pada Tenaga
Kesehatan
1.Menghindari kontak langsung dengan cairan
tubuh penderita, bila menangani cairan tubuh
penderita; tenaga kesehatan perlu menggunakan
pelindung.
2.Mencuci
tangan
sebelum
dan
sesudah
melakukan tindakan.
3. Dekontaminasi cairan tubuh penderita
4. Sterilisasi peralatan kedokteran, memakai
jarum suntik sekali pakai
5.Memelihara kebersihan tempat pelayanan
kesehatan
6. Membuang limbah secara benar

Untuk itu dianjurkan memakai


peralatan :
1. Sarung tangan
2. Baju pelindung
3. Jas laboratorium, mantel pelindung
(apron)
4. Masker
5. Pelindung mata
6. Penutup kepala
7. Sepatu boot

Protokol Universal
Precaution
1. Cuci tangan atau permukaan kulit secara
rata untuk mencegah kontaminasi tangan
oleh
kuman
pada
tangan
dengan
menggunakan air bersih yang mengalir dan
sabun, sesudah melakukan tindakan atau
perawatan.
2. Pemakaian alat pelindung sesuai dengan
indikasi (sarung tangan, masker, pelindung
wajah, jubah/celemek, kacamata pelindung)
untuk setiap kontak langsung dengan darah
atau cairan tubuh lain dan sebagainya.

a. Sarung tangan digunakan bila:

akan menjamah darah atau cairan


tubuh lain (cairan amnion/ketuban,
cairan peritoneal, cairan pleura, cairan
synovial, cairan pericardial, dan cairan
tubuh lain yang mengandung darah
secara kasat mata) bila menyentuh
selaput mukosa, dan kulit yang luka dari
setiap pasien.
menangani benda-benda dan alat-alat
yang dikotori oleh darah atau cairan
tubuh.

untuk melaksanakan tindakan yang


melibatkan
pembuluh
darah
atau
tindakan invasif.
b. Sarung tangan diganti untuk setiap
pasien dan cuci tangan segera setelah
melepas sarung tangan.

c. Masker dan pelindung mata, atau


pelindung wajah dipakai untuk mencegah
pajanan pada mukosa mulut dan hidung.

d. Jubah atau celemek dipakai pada


tindakan yang dapat menimbulkan
percikan atau tumpahan darah
atau cairan tubuh.
e. Menyediakan
Mouthpiece,
resuscitation
bag, atau alat bantu
napas yang siap digunakan sewaktuwaktu sebagai pengganti resusitasi
mulut ke mulut di
tempat di mana
resusitasi sering dilakukan.

3. Pemakaian antiseptik dan disifektan dengan


benar- benar sesuai aturan.
4. Pengelolaan khusus untuk alat-alat bekas pakai
dan benda tajam dan menghindari resiko
kecelakaan tusukan jarum suntik atau alat tajam
lainnya.
5. Dekontaminasi,
pembersihan
dan
sterilisasi/disinfeksi
tingkat
tinggi
untuk
bahan/alat kesehatan bekas pakai.
6. Linen dan bahan-bahan yang dikotori darah atau
cairan tubuh harus ditempatkan dalam kantung
antibocor.
7. Petugas kesehatan yang mempunyai luka basah
atau luka mengucurkan darah/cairan harus
menjauhi tugas perawatan langsung kepada
pasien atau menangani alat perawatan pasien

8. Pengelolaan limbah yang sesuai


dengan kaidah kesehatan yaitu dengan
memisahkan
limbah medis dari limbah
rumah tangga. Limbah medis harus
melalui proses
pembakaran dengan
incinerator atau
dibakar biasa atau
ditimbun dengan menggunakan lapisan
kapur.
9. Instrumen dan linen yang diduga
tercemar
dibersihkan atau direndam
terlebih dahulu
dalam cairan sodium
hipoklorit (klorin) selama 10 menit
sebelum dicuci biasa.

Penatalaksanaan Obstetri Bagi Ibu Hamil


dengan HIV

Risiko penularan HIV pada bayi dari


ibu dengan HIV 5-10% terjadi
intrauterin,
10-20%
pada
saat
persalinan dan 10-15% pada saat
menyusui. Untuk mengurangi risiko
penularan intrapartum, maka perlu
dilakukan penatalaksanaan obstetri
yang aman, yang meliputi perawatan
antenatal, persalinan terencana yang
aman,
dan
perawatan
pasca

1. Penatalaksanaan antenatal bagi Ibu dengan


HIV dan ibu yang belum diketahui status HIV
nya

a. Anamnesis
-. Menanyakan keluhan yang dirasakan Ibu saat
ini
-. Menanyakan tanda-tanda penting terkait
dengan masalah kehamilan dan penyakit yang
kemungkinan diderita Ibu
-. Menanyakan status imunisasi tetanus Ibu hamil
-. Menanyakan Obat yang dikonsumsi Ibu selama
hamil: antihipertensi, antipiretika, antibiotika,
dll.

- Menanyakan pola makan ibu selama


hamil
yang
meliputi
jumlah,
frekuensi,
dan
kualitas
asupan
makanan terkait dengan kandungan
gizinya
- Menanyakan kesiapan menghadapi
persalinan
dan
menyikapi
kemungkinan
terjadi
komplikasi
dalam kehamilan.

Setiap
ibu
hamil,
pada
kunjungan
pertama
perlu
diinformasikan bahwa pelayanan
antenatal
selama
kehamilan
minimal 4 kali dan minimal 1 kali
kun jungan diantar oleh suami.

b. Pemeriksaan
- Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
- Ukur tekanan darah
- Nilai status gizi
- Ukur tinggi fundus uteri
- Tentukan presentasi janin dan DJJ
- Skrining status imunisasi tetanus dan
berikan imunisasi tetanus toksoid bila
diperlukan
- Beri tablet tambah darah
- Periksa Laboratorium
- Konseling

2. Penatalaksanaan persalinan
bagi ibu dengan HIV dan ibu yang
belum diketahui status HIV nya.
Risiko terbesar penularan HIV dari
ibu ke anak terjadi saat persalinan
(10-20%), sebagian besar penularan
HIV dari ibu ke bayi terjadi saat
persalinan, disebabkan:
a.Tekanan pada plasenta meningkat
menyebabkan terjadinya percampuran
antara darah ibu dan darah bayi

b.Lebih sering terjadi jika plasenta


meradang
atau terinfeksi termasuk
infeksi oportunistik (IO).
c.Terpapar darah dan lendir ibu di jalan
lahir dalam waktu yang lama
d. Adanya laserasi pada bayi karena
penggunaan vakum/forsep.

Beberapa faktor yang dapat


meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah
sebagai berikut:

1. Kadar HIV (Viral load)


Kadar HIV yang tinggi mempengaruhi risiko
penularan dari ibu ke anak pada saat menjelang
ataupun saat persalinan.
2. Tindakan obstetrik
Jenis persalinan: Risiko penularan pada persalinan
pervaginam lebih besar daripada persalinan seksio
sesaria
Lama persalinan: semakin lama proses persalinan
berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
juga semakin tinggi, karena lama terjadinya kontak
antara bayi dengan darah dan lendir ibu

Ketuban pecah lebih dari 4 jam


sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah
kurang dari 4 jam
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum
dan ekstraksi forsep meningkatkan
risiko penularan HIV.

Untuk menurunkan terjadinya penularan


HIV ke janin/bayi, perlu diperhatikan:

1. Turunkan kadar viral load


rendahnya, dengan cara:
- Deteksi sedini mungkin
- Pemberian ARV
- Hidup sehat

serendah-

2. Pemilihan metode persalinan tergantung:


-Terapi ARV teratur dan disiplin lebih dari 6
bulan atau viral load
-Status obstetri ibu

Pilihan persalinan haruslah disertai


dengan
penjelasan/konseling
keuntungan dan kerugian termasuk
besaran risiko penularan HIV, Seksio
sesaria terencana merupakan cara
persalinan yang memiliki risiko
penularan
terkecil
pada
saat
persalinan. Risiko penularan akan
meningkat bila terjadi gangguan
persalinan, misalnya ketuban pecah
dini.

Persalinan
pervaginam
di
mungkinkan apabila:
-Kadar viral load tidak terdeteksi
(<1000 kopi/mm3) dan atau;
-Meminum
ARV
teratur
sesuai
prosedur minimal 6 bulan.

Keuntungan dan kerugian persalinan


seksio sesaria dan persalinan
pervaginam dapat dilihat di tabel
berikut:

c. Penatalaksanaan nifas bagi ibu


dengan HIV dan ibu berisiko yang
status HIV nya belum diketahui.
Perawatan nifas bagi perempuan
yang terinfeksi HIV pada dasarnya
sama dengan perawatan nifas pada
perempuan normal. Petugas layanan
kesehatan harus mengikuti prosedur
rutin.

1.Perawatan berkelanjutan
Pemberian supresi laktasi bagi ibu yang
memilih tidak menyusui
Pengobatan, perawatan dan dukungan
secara berkelanjutan pada penderita HIVAIDS dan kemungkinan infeksi oportunistik,
yang memadai (nutrisi cukup, hidup sehat)
Pelayanan kontrasepsi yang terintegrasi
seperti layanan kontrasepsi pada umumnya
Perawatan
ginekologi
rutin,
termasuk
pemeriksaan pap smear, jika tersedia.

2.Tanda dan gejala infeksi nifas


Rasa terbakar saat BAK
Demam
Lokia yang berbau kurang sedap
Batuk berdahak, sesak napas
Eritema, rasa sakit, pus, atau
perdarahan pada luka eksisi di
vagina/luka operasi
Nyeri pinggang bagian bawah.

3.KIE kepada ibu:


Berikan petunjuk pada ibu tentang perawatan bagian
perineum (bagian antara anus dan vagina) dan
payudara.
Pastikan bahwa ibu mengetahui bagaimana cara
membuang bahan yang berpotensi menimbulkan
infeksi seperti lokia dan pembalut persalinan penuh
dengan darah.
Perawatan nifas bagi ibu berisiko dengan
status HIV belum diketahui harus menerima
perawatan nifas selayaknya seperti ibu yang
terinfeksi HIV. Petugas kesehatan wajib menawarkan
tes HIV dan menaati rekomendasi nasional mengenai
pemberian profilaksis ARV maupun dalam pemberian
makanan bagi bayinya. Ibu berisiko yang status
HIV nya belum diketahui, berpotensi menularkan
HIV kepada bayinya melalui ASI.

d. Kontrasepsi yang dapat dipilih


oleh ibu dengan HIV
Kontrasepsi
harus
dibicarakan
dengan setiap perempuan selama
perawatan antenatal dan dibicarakan
kembali segera setelah masa nifas
usai. Tujuan utama dari keluarga
berencana bagi perempuan yang
terinfeksi HIV adalah:
- Mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan
- Pertimbangan mengakhiri masa

Pemilihan
kontrasepsi
ibu
dengan status HIV, tidak berbeda
dengan klien KB lainnya. Ibu HIV
membutuhkan informasi yang
lengkap
dan
cukup
untuk
menentukan
pilihannya
(informed
choice),
namun
petugas
kesehatan
harus
membantu klien memilih metode
kontrasepsi
yang
akan
digunakan
dengan

Pilihan kontrasepsi untuk perempuan


dengan HIV positif berdasarkan urutan
prioritas adalah sebagai berikut:

1.Kontrasepsi mantap atau steril


Dengan adanya risiko penularan HIV
ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah
memiliki jumlah anak yang cukup,
pertimbangkan
untuk
melakukan
kontrasepsi mantap. Tetapi bila belum,
maka dianjurkan untuk menggunakan
kontrasepsi jangka panjang.

2.Kontrasepsi jangka panjang


a. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR)
Alat kontraspsi dalam rahim lebih
disarankan karena bersifat jangka
panjang, bilamana risiko IMS rendah
dan pasangannya tidak berisiko.
Sebaiknya
disarankan
untuk
penggunaan
AKDR
pasca-plasenta
lahir.

b. Hormonal
Kontrasepsi hormonal, seperti implan,
bukan kontraindikasi pada ODHA. Estrogen
mempunyai efek menurunkan efektivitas
ARV. Progresteron mempunyai efek sedikit
meningkatkan efektivitas ARV. Namun,
sebaliknya
diperhatikan
pengguna
polifarmasi, karena semua kontrasepsi
hormonal dimetabolisme di hati sama
dengan metabolisme ARV. Penggunaan
keduanya dalam jangka panjang dapat
memperberat fungsi hati.

Catatan mengenai penggunaan


kondom:
Kondom merupakan cara terbaik untuk
mencegah infeksi menular seksual termasuk
HIV-AIDS bila digunkan secara disiplin, terus
menerus dan benar. Oleh karena itu kondom
harus digunakan oleh semua pasangan baik
yang hanya salah satu HIV positif, maupun
bila keduanya HIV positif.
Kondom tidak melindungi infeksi yang
berasal
dari
ulkus
atau
lesi
pada
selangkangan yang tidak tertutup oleh
kondom.

Kriteria yang sebaiknya dipenuhi


perempuan HIV bila ingin hamil
sebagai berikut:
1. Perempuan dnegan HIV positif
memiliki CD4 < 350 maka keputusan
hamil sebaiknya setelah terapi ARV
teratur (regimen AZT, 3TC, NVP) dan
disiplin selama setidaknya 6 bulan.
2. Perempuan dengan HIV positif
memiliki CD4 > 350, maka ia dapat
merencanakan
kehamilan,
dengan
konsekuensi ARV seumur hidup harus
merupakan pertimbangannya.

Pemberian Makanan Bayi


Terdapat 50-75% dari bayi yang
terinfeksi HIV yang disusui ibu
HIV/AIDS tertular HIV pada 6 bulan
pertama kehidupan. ASI eksklusif
memiliki resiko transmisi HIV yang
rendah
daripada
ASI
yang
dikombinasikan dengan cairan atau
makanan lainnya (ASI campuran).

Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat


dianjurkan untuk memberikan ASI
Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan
dengan
pemberian
ASI
sekaligus
makanan tambahan hingga usia 12
bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS
memutuskan untuk tidak memberikan ASI
ekslusif, dapat mengganti dengan makanan
tambahan bila kriteria AFASS terpenuhi.
Adapun kriteria AFASS dari WHO yaitu:
Acceptable = mudah diterima, Feasible =
mudah dilakukan, Affordable = harga
terjangkau, Sustainable = berkelanjutan,
Safe= aman penggunaannya.

Salah
satu
alternatif
untuk
menghindari penularan HIV yaitu
dengan menghangatkan
mmmmmmmm untuk membunuh
virus HIV. Adapun bayi yang telah
dinyatakan terinfeksi HIV positif
maka harus diberikan ASI ekslusif
selama 6 bulan diteruskan dengan
pemberian ASI campuran hingga usia
24 bulan.

KESIMPULAN

Semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS pada ibu


hamil di dunia maupun di Indonesia hendaknya
menjadi perhatian semua kalangan, karena ini
dapat merugikan semua pihak.
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual,
terjadi secara horizontal maupun vertikal (dari ibu
ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui
darah (diantaranya transfusi darah atau produk
darah yang tercemar HIV, penggunaan alat yang
tidak
steril
disarana
pelayanan
kesehatan,
penggunaan alat yang tidak steril dilayanan
kesehatan tradisional ) dan melalui hubungan seks
(misalnya pelecehan seksual pada anak, pelacuran
anak ).

Kurang lebih 10% penularan HIV


terjadi
melalui
transmisi
horizontal. Dan yang cukup
penting (90%) adalah penularan
secara vertikal dari ibu ke anak.
Penularan vertikal dapat terjadi
selama intra uterine, intra partum
maupun post partum.

Upaya pencegahan transmisi vertikal


ini
disebut
dengan
PMTCT
(Prevention
of Mother To Child
Transmission of HIV). Diharapkan
melalui progran PMTCT ini, angka
kasus HIV/AIDS pada ibu hamil dan
anak dapat diturunkan. Diperlukan
juga
dukungan
semua
pihak,
terutama keluarga dan lingkungan
untuk
bersama-sama
memberi

Thank You....

Anda mungkin juga menyukai