Anda di halaman 1dari 20

Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan
kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakterisasi
dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik (Sukandar, 2009).
Rheumatoid arthritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum
disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi pada RA
akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang persendian. Kejadian inflamasi
ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama membran sinovial (membran yang membungkus
sendi berisi cairan sinovial). Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri,
kelelahan, ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah
akibat perkembangan penyakit yang progresif (Gibofsky, 2012).
Etiologi Artitis Reumatoid
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan
interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009)
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta dan stimulasi esterogen dan progesteron
pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana,
2009).
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel
Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

Faktor Resiko Artritis Reumatoid


Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan,
ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.
Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khusunya
kopi decaffeinated (Suarjana, 2009).
Patofisiologi Artritis Reumatoid
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi autoimun
terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan
fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel
endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat
terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi
melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Suarjana, 2009).
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari
sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT.
Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM,
IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012). Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel
T dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida
pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam
imunopatologis RA belum diketahi secara pasti (Suarjana, 2009).
Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid
RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di
tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial
sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan
destruksi tulang disekitar sendi (Sjamsuhidajat, 2010).
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011):
a. Stadium sinovitis, Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris,

meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi
sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan
tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal
(Suarjana, 2009).
b. Stadium destruksi, ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
c. Stadium deformitas, pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan manifestasi
ekstra-artikular (Suarjana, 2009).
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan
sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops
ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan
dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Suarjana, 2009).
Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun
sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset
terjadinya (Longo, 2012).
Manifestasi ekstra-artikular jarang ditemukan pada RA (Sjamsuhidajat, 2010). Secara
umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular
pada RA, meliputi (Longo, 2012):
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya
berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi
dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat
inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi
(Longo, 2012).
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat
periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura,
pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan
infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).

c. Sjogrens syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogrens syndrome.
Sjogrens syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau
xerostomia (Longo, 2012).
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri
koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA
yang sudah kronis (Longo, 2012).
g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan
keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering
disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir
(Longo, 2012).
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar dibanding
populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas
(Longo, 2012).
Diagnosa Artritis Reumatoid
Diagnosis Reumathoid Arthritis (RA) dilakukan secara klinis didasarkan terutama
pada temuan pemeriksaan fisik. Ada 2 kriteria klasifikasi utama diringkas dalam Tabel1.
Kriteria klasifikasi yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh American College of
Rheumathology (ACR), sebelumnya American Rheumatism Assosiation, telah dikritik untuk
fokus mereka pada identifikasi pasien dengan penyakit RA lebih pasti (yaitu, mereka yang
telah mengembangkan erosif kronis penyakit), sehingga kriteria yang dibuat tahun 1987 gagal
mengidentifikasi pasien dengan penyakit dini, yang memberikan keuntungan, bisa
mendapatkan manfaat paling banyak dari terapi yang tersedia (Aleteha, et al, 2010).
Baru-baru ini, ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR)
menciptakan kelompok kerja sama dengan tujuan utama untuk mengembangkan kriteria
klasifikasi untuk mengidentifikasi pasien RA awal (dini) selama proses perkembangan
penyakit. Seperti pada usaha kriteria tahun 1987, kriteria klasifikasi tahun 2010 adalah sarana
untuk mengidentifikasi pasien untuk uji klinis, untuk membedakan pasien dengan sinovitis,
dan untuk menentukan kelompok resiko tertinggi untuk mengembangkan persisten atau erosif
RA. Namun, klasifikasi ACR/EULAR tahun 2010 juga diciptakan secara skematis untuk
mengidentifikasi RA tetap (Aleteha, et al, 2010).

Ada beberapa perbedaan penting antara kriteria RA 1987 dan kriteria klasifikasi 2010
untuk RA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Kriteria 1987 dipersyaratkan score

minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di pagi hari, jumlah keseluruhan
sendi yang terlibat, presence of symmethry, Rheumathoid nodule, uji faktor rheumatoid positif
(RF), dan tes perubahan radiografi. Dalam kriteria 2010, penilaian pasien ditujukan bagi
mereka dengan sinovitis klinis setidaknya 1 sendi (joint) tidak dijelaskan oleh penyakit lain.
Sistem penilaian penyakit menggunakan dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe joint yang
terlibat. Joint yang terlibat didefinisikan sebagai pembengkakan sendi atau nyeri sendi pada
pemeriksaan indikasi sinovitis aktif. sendi besar (Large Joint) meliputi bahu, siku, pinggul,
lutut, dan pergelangan kaki. Sendi kecil (Small Joint) mengacu pada metacarpophalangeal
(MCP),

proximal

interphalangeal

(PIP),

2-5

Metarshophalangeal

(MTP),

sendi

interphalangeal jempol, dan pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal kecuali dari
assessment karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).
Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul, atau arthritis
simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan simetris bukan merupakan
kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan dari presentasi bilateral meningkat
dengan adanya peningkatan lebih besar sendi-sendi yang terlibat dan lebih progresifnya
penyakit (Aleteha, et al, 2010).
Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak adanya RF
(afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin) sebagai salah satu domain.
Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya atau tidak adanya yang baru-baru in
diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein antibody (ACPA). Nilai dari RF dan ACPA
merupakan penanda dari disfungsi autoimun, dinilai berdasarkan range nilai; dimana
Normal didefinisikan sebagai kurang dari upper limit normal (ULN) dari hasil
laboratorium, positif-rendah diantara ULN dan kurang dari 3 kali nilai ULN, dan positif
tinggi lebih dari 3 kali nilai ULN. Penanda (marker) inflamasi, kecepatan sedimentasi
eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) level dinilai berdasarkan referensi standar
laboratorium (Aleteha, et al, 2010).
Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi dipertimbangkan,
tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari nilai akhir. Pada kriteria 2010
nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif untuk RA, dan karenanya pasien akan
dipertimbangkan untuk menjalani pengobatan (Aleteha, et al, 2010).

Karena

itu

disarankan

menggunakan

kriteria

2010

ACR/EULAR

untuk

assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi lebih awal
pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.

Terapi Artritis Reumatoid


RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa
penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai sedini
mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3
bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (Suarjana, 2009).
Terapi RA bertujuan untuk :
a. Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
b. Mempertahakan status fungsionalnya

c. Mengurangi inflamasi
d. Mengendalikan keterlibatan sistemik
e. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
f. Mengendalikan progresivitas penyakit
g. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid


a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)
Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik sederhana
berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan kortikosteroid
digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika dibutuhkan. NSAID jarang
digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid arthritis karena NSAIDs tidak
menyembuhkan penyakit melainkan hanya sebagai tambahan bagi obat golongan
DMARDs. Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum
memulai penggunaan DMARDs (Singh, et al 2012).
-

Glukokortikoid
Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis tunggal, baik
secara intramuskuler atau intra-arterikuler untuk menginduksi berkurangnya
inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat digunakan untuk meredakan gejala
jangka pendek dan tanda-tanda penyakit dari RA (Gcelu and Kalla, 2011).

b. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)


Ada bukti kuat bahwa terpai dini dengan menggunakan sintetis DMARDs dapat
mengurangi perkembangan radiografi, dan juga terapi DMARD tidak harus ditunda.
Pada pasien dengan inflamasi artritis sebelum memenuhi kriteria ACR untuk RA, terapi
menggunakan sintetis DMARDs mengurangi proses kerusakan karena radiografi
(Gcelu and Kalla, 2011).
DMARDs menjadi first-line terapi untuk RA. Untuk terapi dengan DMARD
harus dimulai pada 3 bulan pertama setelah simptomnya muncul. Pengobatan dini
dengan menggunakan DMARD dapat mengurangi resiko kematian. Pasien yang
menderita RA, resiko kematiannya lebih tinggi dibanding dengan orang-orang yang
tidak terkena RA (Singh, et al 2012).

1) Methotrexate
Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar rematologi untuk
mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan kehamilan dan ibu
menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan pasien penyakit
hati kronik, imunodefisiensi, kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan
dengan pasien yang memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit.
Methotrexate bersifat teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang
hamil. Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh. Methotrexate menghambat
produksi sitokin, menghambat biosintesis purin, dan menstimulasi pelepasan
adenosin, yang semuanya dapat sebagai antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang
cepat, hasilnya dapat dilihat 2- 3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate
dapat dilakukan dengan cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan (Singh,
et al 2012).
2) Leflunomide
Leflunomide

merupakan

DMARDs

yang

menghambat

sintesis

pirimidin,

menurunkan proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi. Leflunomide diberikan


secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari selama 3 hari, dan diikuti dosis harian
20 mg sehari. Leflunomide memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX.
Leflunomide dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi
dengan pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide
dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat teratogenik
(Singh, et al 2012).
3) Hydroxychloroquine
Farmakokinetik obat hydroxychloroquine kurang dipahami. Hydroxychloroquine
memiliki keuntungan yaitu kurangnya toksisitas myelosuppresive, hati, dan ginjal
yang mungkin terdapat pada DMARD yang lain. Hydroxychloroquine diberikan
secara oral dengan dosis awal berkisar 200-300 mg, setelah 1-2 bulan dapat
diturunkan menjadi 200 mg perhari (Singh, et al 2012).
4) Sulfasalazine
Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon menjadi
sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine mencapai kolon,
bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan hubungan antara kedua
molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA, sulfapyridine diserap kedalam

tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam urin. Efek-efek sampingan ini termasuk
mual, rasa panas di dada (heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes),
dan, dalam kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada
pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan jumlah
sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau oleh perubahan ke
suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine digunakan dalam dosis hingga 24 g / hari (Singh, et al 2012).
5) Minocycline
Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan gejala
rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang dikombinasi dengan
obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala persisten dari bentuk arthritis.
Minocycline mengurangi produksi zat yang menyebabkan peradangan, seperti
prostaglandin dan leukotrien, sambil meningkatkan produksi interleukin-10, suatu
zat yang mengurangi peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul
(mg) 100 miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan dapat
memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah lahir serta
menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir ketika diambil selama
paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat mengurangi efektivitas beberapa pil
KB (Singh, et al, 2012).
6) Garam Emas
Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak digunakan di
negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan adalah injeksi dengan
dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum banyak diketahui dengan pasti
(Singh, et al 2012).
c. Terapi DMARD Biologis
DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan telah
terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan struktural pada awal
penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs tidak berhasil dalam terapi RA.
Namun, DMARDs biologis lebih mahal daripada DMARDs tradisional, dan ini
membatasi penggunaannya pada awal penyakit (Gcelu and Kalla, 2011). Terapi biologis
adalah rekayasa genetika molekul protein yang memblok proinflamasi sitokin TNF-alfa
dan IL-1, mengurangi sel B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel T untuk
mencegah co-stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas sel T. Obat-obat
penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab, etanercept, adalimumab,

penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B perifer yaitu rituximab dan yang
berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept (Singh, et al 2012).
1) Etanercept
Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75 terkait dengan
fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF, sehingga secara biologis
membuat etanercept aktif dan mencegahnya berinteraksi dengan permukaan sel
reseptor TNF yang menyebabbkan aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi
subkutan, 50 mg sekali seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian
etanercept dihindari oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah
menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan DMARDs
(Singh, et al 2012).
2) Infliximab
Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG 1 tikus dan manusia.
sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos tikus ke TNF
manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut digabungkan ke bagian IgG
kontan manusia untuk mengurangi antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut,
ketika diinjeksikan pada manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi
dengan reseptor TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena
dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8 minggu.
Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein asing, methotrexate
seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal yang digunakan untuk terapi RA
sepanjang pasien menggunakan infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik
artritis dan ankylosing spondylitis (Singh, et al 2012).
3) Adalimumab
Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena tidak ada
komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari pada infliximab. Obat
ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang diaplikasikan secara subkutan
setiap 14 hari (Singh, et al 2012).
4) Antagonis reseptor IL-1
Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan antiinflamasi yang
terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor IL-1 pada sel target dapat
mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-1 sangat penting dalam patogenesis

RA. IL-1 menstimulasi pelepasan faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan
memperantarai perpindahan dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan
faktor yang diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang
menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).
5) Abatacept
Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati RA pada
pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal mencapai respon yang
memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan berikatan pada reseptor CD80/CD86
di sel antigen, abatacept menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T,
mencegah sel T mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan
pengurangan sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.
Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler dari domain
4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan dengan obat) dan
fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia untuk mencegah fiksasi
komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus intravena berdasarkan berat pasien
( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750 mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu
untuk 2 dosis setelah dosis awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang
gagal mencapai respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya
memiliki respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).
6) Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari protein utama
manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari antibodi tikus untuk
mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari sel limfosit B dewasa. Ikatan
rituximab dengan sel B menghasilkan deplesi perifer sel B, dengan pemulihan
bertahap setelah beberapa bulan. Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan
durasi aksi yang memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan
reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya gagal
menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg diberikan 2 minggu
secara terpisah (Singh, et al 2012).

7) Tocilizumab
Tocilizumab adalah yang pertama dikelas pengobatan RA dengan menargetkan
reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia dalam tubuh yang

menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang sistemik menetap yang dialami
penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab adalah suatu antibodi yang menghambat
titik dimana IL-6 menempel pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel
pada sel, sel tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi
dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk nyeri dan
bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan tocilizumab
memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi akibat penyakit RA.
Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan dengan cara diinjeksikan sekali
setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).
8) Certolizumab pegol
Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid arthritis
yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6 bulan, serta memiliki
rheumatoid arthritis aktif yang parah. Certolizumab pegol memiliki struktur yang
berbeda dengan inhibitor TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen
ikatan antibodi (Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG
TNF, karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig konstan.
Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali injeksi 200 mg)
untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti dengan dosis 20 mg setiap
minggu (Singh, et al, 2012).
9) Golimumab
Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang menargetkan dan
menetralkan membran yang terikat TNF-alpha. Golimumab sedang diselidiki untuk
administrasi oleh subkutan (SC) injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal,
Golimumab diberikan 50 mg secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).

Tabel 1. Jenis DMARD yang digunakan dalam terapi RA (Suarjana, 2009)


DMARDs

Mekanisme Kerja

Non biologik (Konvensional)

Dosis

Waktu Timbul
Respon

Efek Samping

Hidroksiklorokuin
(Plaquenil),
Klorokuin fosfat

Hambat sekresi

200-400 mg per oral

sitokin, enzim

per hari

lisosomal dan fungsi

250 mg per oral per

makrofag

hari

Mual, sakit kepala,


2-6 bulan

sakit perut, miopati,


toksistas pada retina
Mual, diare,
kelemahan, ulkus

Menginhibisi

mulut, ruam,

dihidrofolat

alopesia, gang.

reduktase,

Fungsi hati,

Methrotexate

menghambat

7,5-25mg per oral,

(MTX)*

kemotaksis, efek anti

IM, SC per minggu

1-2 bulan

leukopenia,
trombositopenia,

inflamasi melalui

pneumonitis, sepsis,

induksi pelepasan

peny. hati, limfoma

adeonosin.

yang berhubungan
dengan EBV,
nodulosis
Mual, diare, sakit
kepala, ulkus mulut,
ruam, alopesia,

Sulfasalazin

Hambat : respon sel

2-3 g per oral per

B, angiogenesis

hari

1-3 bulan

mewarnai lensa
kontak, oligospermia
reversibel,
gang.fungsi hati,
leukopenia

Azathiopriene

Hambat sintesis

50-150mg per oral

(Imuran)

DNA

per hari

2-3 bulan

Leflunomide (Arava)

hari (3 hari)

pirimidin

kemudian 10-20 mg

sepsis, limfoma
Mual, diare, ruam,

100 mg per oral perh


Menghambatsintesis

Mual, leukopenia,

alopesia, teratogenik,
4-12 minggu

leukopenia,
trombositopenia,

per oral per hari

hepatitis.
Mual, parestesia,

Menghambat sintesis
Cyclosporine

IL-2 dan sitokin sel T


lain

2,5-5 mg/kgBB per


oral per hari

tremor sakit kepala,


2-4 bulan

hipertofi
gusi,hipertrikosis,
gang.ginjal, sepsis

D-Penicillamine
(Curprimine)

Hambat : fungsi sel T


helper dan
angiogenesis

Mual, hilang rasa


250 -750 mg per oral
per hari

3-6 bulan

kecap,
trombositopenia
reversibel
Ulkus mulut, ruam,

Garam emas
thiomalate (Ridaura)

Hambat: makrofag,
angiogenesis dan
protein kinase C

gejala vasomotor
25-750mg per oral
per hari

6-8 minggu

setelah injeksi,
leukopenia,
trombositopenia,
proteinuria, kolitis

Auranofrin (Ridaura)

Hambat : makrofag
dan fungsi PMN

3 mg per oral
(2x/hari) atau 6 mg

4-6 bulan

Diare, leukopenia

per oral per hari

BIOLOGIK
Reaksi infus,
peingkatan risiko
Adalimumab

Antibodi TNF

40 mg SC setiap 2

(Humira)

(human)

minggu

Hari-4 bulan

infeksi termasuk
reaktifasi TB,
gangguan
demyelinisasi

Anakinra (kineret)

Etarnercept (Enbrel)

Antagonis reseptor

100 -150mg SC per

IL-1

hari

Reseptor TNF
terlarut (soluble)

Infliximab

Antibodi TNF

(Remicade)

(chimeric)

Infeksi dan penuruan


3-4bulan

kepala, pusing, mual


Reaksi ringan pada

25 mg SC 2x/minggu
atau 50mg

jumlah netrofil, sakit

Hari-3 bulan

SC/minggu

tempat suntikan,
kontraindikasi pada
infeksi, demyelinisasi

3mg/kgBB IV (infus

Raksi infus,

pelan) pda minggu

peningkatan risiko

ke-0, 2 dan 6,

Hari-4 bulan

infeksi termasuk

kemudian setiap 8

reaktivasi TB, gang.

minggu

Demyelinisasi

Reaksi infus, aritmia,


jantung, hipertensi,
Rituximab (Rituxan,

Antibodi anti-sel B

1000mg setiap 2

Mabthera)

(CD20)

minggu x 2 dosis

3 bulan**

infeksi, reaktivitas
hepatitis B, sitopenia,
reaksi
hipersensitivitas

Hambat :aktivitas sel


Abatacept (Orencia)

T (costimulation
blockers)
Humanized
monoclonal antibodi

Belimumbab

terhadap Blymphocyte
stimulator (BlyS)

Raksi infus, infeksi,


10 mg/kgBB (500,
750, atau 1000mg)

6 bulan**

reaksi
hipersensitivitas,
eksaserbasi COPD

1mg, 4mg, atau 10


mg/kgBB IV pada
hari ke 0, 14, 28 hari

24 minggu**

Uji klinis fase II

selama 24 minggu

Tocilizumab

Anti-IL-6 receptor

4 mg / 8mg infus

(Actemra TM)

Mab

setiap 4 minggu

24 minggu**

Uji klinis fase II


(option trial)

10mg, 50mg, 200mg,


Ocrelizumab

Humanized anti-

500mg, 1000mg

CD20 antibody

infus pada hari 1 dan

4 minggu**

Uji klinis fase II

3 bulan**

Uji klinis fase II

6 bulan**

Uji klinis fase II

4 minggu**

Uji klinis fase II

24 minggu**

Uji klinis fase II

3 bulan**

Uji klinis fase Ib

15
Imatinib (Gleevec)

Inhibitor protein
tirosin kinase
Human monoclonal

Denosumab

IgG2 antibody
terhadap RANKL

Certolizumab Pegol

Human anti TNF-

(CDP870)

antibody

Ofatumumab
(Humax-CD20)
Atacicept

400mg/hari

60mg atau 180mg SC


setiap 6 bulan

1mg, 5mg atau


20mg/kgBB infus
tunggal

Human monoclonal

300mg, 700mg, atau

anti-CD20 IgG1

1000mg, infus pada

antibody

hari 0 dan 14

Recombinant fusin

70mg, 210mg, atau

protein yagn

630mg SC dosis

meningkat dan

tunggal atau 70 mg,

menetralkan B

210mg, 420mg SC

lympocyte stimulator
(BlyS dan a
proliferationincluding ligan

dosis berulang, setiap


2 minggu

(APRIL))

Golimumab

Fully human protein

50mg atau 100mg SC

(antibody) yang

setiap 2 atau 4

mengikat TNF-

minggu

Fontolizumab

Humanised anti-interferon gamma

Uji klinis fase II (Uji


16 minggu**

klinis fase III mulai


feb 2006-Juli 2012)

Uji klinis fase II

antibody

*DMARD pilihan pertama* pilihan pertama pada pasien RA dan digunakan pada 60% pasien
(Katzung, 2010)
**waktu terpendek untuk mengevaluasi respon terapi. Waktu ini ditetapkan oleh peneliti.
Dalam pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanannya.
Rekomendasi evaluasi dasar yang direkomendasikan oleh ACR adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap, kreatini serum, dan transaminase hati (Suarjana, 2009). Dalam terapi
farmakologi pasien RA, terapi kombinasi memiliki nilai yang lebih superior dibanding
monoterapi. Kombinasi yang efektif dan aman digunakan berupa (Suarjana, 2009) :
1. MTX + hidroksiklorokuin,
2. MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalaxine,
3. MTX + sulfasalazine + prednisolone,
4. MTX+ leflunomid
5. MTX+ infliximab
6. MTX+ etanercept
7. MTX+ adalimumab
8. MTX+ anakinra
9. MTX+ rituximab

10. MTX+ inhibitor TNF (lebih efektif dan lebih mahal) (Suarjana, 2009).
Rekomendasi praktek klinik untuk terapi RA dengan bukti evidence paling baik
adalah penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala
dan menghambat perburukan penyakit, NSAID diberikan dengan dosis rendah dan harus
diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik, krotikosteroid diberikan dalam
dosis rendah dan pemberian dalam waktu pendek, terapi kombinasi lebih baik dibanding
dengan monoterapi (Suarjana, 2009).
NSAID yang diberikan pada RA digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan. Obat ini tidak merubah perjalanan penyakit. Penggunaan NSAID
pada RA mempunyai resiko komplikasi serius yang dua kali lebih besar daripada penderita
OA. Penggunaan obat ini harus dipantau dengan ketat (Suarjana, 2009).
Penggunaan glukokortikoid kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk
meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Pemberiannya harus diimbangi
dengan pemberian kalsium dan vitamin D. Pemberian secara injeksi cukup aman bila hanya
mengenai satu sendi dan RA mengakibatkan disabilitas yang bermakna (Suarjana, 2009).
Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid
Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer. Terapi
modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak ikan cod),
kompres panas dan dingin serta massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat,
dan penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan
herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti, 2009).
Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan kerusakan
sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode
bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan
artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang
kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010).
Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika terapi single
DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus methotrexate dan methotrexate
plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine khususnya efektif. Suatu penelitian menyarankan
bahwa terapi kombinasi awal dengan salah satunya menggunakan methotrexate, sulfasalazine

plus prednisone, atau infliximab plus methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada
rheumatoid arthritis awal (Singh, et al 2012).
MTX / DMARD lain + Prednisone + NSAID selama 3 bulan

poor respon

DMARD lain

DMARD kombinasi

DMARD biologi

poor respon

DMARD triple combination (DMARD + biologi) +Prednison dosis rendah

Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab RA.
Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan NSAID maupun
kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA dapat dihambat dengan
MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan dapat ditekan dengan NSAID atau
kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara bersamaan juga merupakan alternatif apabila
single DMARD tidak berhasil. Hal ini penyebab RA tidak hanya dikarenaan satu hal saja
melainkan banyak. Penggunaan satu DMARD hanya akan menghambat sebagian penyebab
RA. Misalkan penggunaan MTX hanya akan menghambat pembentukan sitokin dan sintesis
purin, namun bila dilakukan kombinasi dengan sulfasalazine dapat menyebabkan hambatan
pada sintesis mediator inflamasi yang lebih luas (Singh, et al 2012).
Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan DMARD biologis. DMARD
biologis merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat interaksi TNF alfa
dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20, dan lain sebagainya. Efek

farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis memang lebih baik karena kerjanya
yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua
dalam pengobatan RA (Singh, et al 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, Fajriah Nur. 2009. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Rheumatoid
Arthritis Di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Tahun
2009 (SKRIPSI). UIN. Jakarta.
Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria
: An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism
Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.
Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In Rheumatoid
Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.
Gibofsky, 2012, Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of Rheumatoid
Arthritis, The American Journal of Managed Care, VOL. 18, No. 13, pp :295-302.
Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.
Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrisons Principle of Internal
Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.

Nasution, Jani. 2011. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis di Poliklinik Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (SKRIPSI). USU. Medan.
Singh, J.A., et al, 2012, 2012 Update of the 2008 American College of Rheumatology
Recommendations for the Use of Disease-Modifying Antirheumatic Drugs and Biologic
Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care & Research, Vol. 64, No.
5, May 2012, pp 625639.
Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC.
Jakarta.
Suarjana IN. 2009. Artritis Reumatoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing.
Sukandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 659.
Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of
Rheumatoid

Arthritis

In

The

Year

2000.

www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis.pdf

Diakses

melalui

Anda mungkin juga menyukai