Anda di halaman 1dari 19

AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN

1. Keputusan Pelaporan Perusahaan yang Tidak Diatur: Pertimbangan


Sistem Teori Berorientasi
1.1 Teori Ekonomi Politik
Teori legitimasi dan stakeholder adalah teori yang diderivasi dari teori
ekonomi politik (Gray, Owen dan Adams,1996). Gray mendefinisikan
ekonomi politik sebagai kerangka pikir yang mengkaitkan masalah sosial,
politik dan ekonomi. Masalah ekonomi tidak dapat dipisahkan tanpa
memperhatikan masalah sosial. Dengan menggunakan ekonomi politik
seorang peneliti dapat memperhatikan isu-isu (sosial) yang lebih luas yang
berdampak pada perusahaan, dan informasi apa yang harus diungkapkan.
Guthrie dan Parker (1990) menyatakan bahwa perspektif ekonomi politik
memandang pelaporan akuntansi sebagai dokumen sosial, politik, dan
ekonomi.

Pelaporan

akuntansi

digunakan

sebagai

alat

untuk

pembangunan, penjagaan, dan legitimasi institusi-institusi ekonomi dan


politik. Pengungkapan mempunyai kapasitas untuk menyalurkan maknamakna sosial, politik, dan ekonomi bagi pembaca laporan yang plural.

1.2 Teori Legitimasi


Deegan (2002) menyatakan bahwa teori legitimasi merupakan teori
turunan dari teori politik. Dalam teori ini, diakui tentang adanya benturan
kekuatan yang muncul antara masyarakat dan beberapa kelompok dalam
masyarakat. Dengan memahami teori politik ini maka peneliti dapat
memahami lebih baik isu-isu sosial yang lebih luas yang mempengaruhi
operasional perusahaan dan informasi apa yang dipilih untuk diungkapkan.
Deegan (2004) menyatakan bahwa asumsi yang digunakan dalam teori
ini adalah perusahaan tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk
operasional. Perusahaan hanya diberi hak legal untuk beroperasi oleh
masyarakat sebagai penyedia sumber daya. Oleh karena itu, masyarakat pun
berekspektasi lebih atas biaya yang telah mereka keluarkan sebagai penyedia
sumber daya. Itulah definisi kontrak sosial menurut Matthews (1993).

Hasilnya, perusahaan pun akan terancam keberadaannya apabila masyarakat


merasa perusahaan tidak mampu memenuhi kontrak sosial tersebut.
Deegan (2002) mengungkapkan bahwa selain dari teori politik, teori
legitimasi dipercayai merupakan turunan dari teori institusional juga
(DiMaggio dan Powell, 1983). Teori institusional membuat organisasi
merubah struktur operasinya untuk sejalan dengan ekspektasi eksternal
tentang bentuk struktur yang diterima (legitimasi). Kegagalan untuk sejalan
dengan ekspektasi eksternal disebut Isomorfisme (DiMaggio dan Powell,
1983). Perbedaannya, dalam teori politik perusahaan dirasa memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan dalam teori
institusional ini perusahaan diekspektasikan sejalan dengan norma.
Seperti yang diketahui, perusahaan beroperasi dalam batasan dan norma
tertentu di masyarakat. Batasan ini memunculkan suatu kontrak sosial yang
akan selalu berubah sehingga perusahaan harus selalu bermoral dalam
operasinya untuk diakui legitimasinya. Kontrak sosial ini mengacu pada
ekspektasi masyarakat tentang bagaimana perusahaan beroperasi. Adanya
sanksi apabila perusahaan tidak mematuhi, membuat perusahaan menyusun
strategi, menurut Dowling dan Pfeffer (1975) yang disempurnakan oleh
Lindbolm (1994), sebagai berikut:
a. Menginformasikan tentang relevansi publik, perubahan aktual pada
kinerja dan aktivitas perusahaan yang dapat menunjukkan dimana kinerja
dan aktivitas itu sejalan dengan nilai dan ekspektasi masyarakat
b. Berusaha merubah persepsi relevansi publik kinerja dan aktivitas agar
sesuai dengan nilai dan ekspektasi namun tidak merubah perilaku
perusahaan
c. Berusaha untuk memanipulasi persepsi dengan mengalihkan perhatian
dari masalah yang menjadi perhatian terhadap isu-isu terkait lainnya
d. Berusahalah untuk mengubah ekspektasi eksternal terhadap kinerja
perusahaan.
Teori ini menyatakan bahwa pengungkapan adalah suatu strategi untuk
mengatur hubungan perusahaan dan lingkungan operasinya. Namun, dalam
hal ini, perusahaan akan menghadapi perubahan yang dinamis. Perusahaan

pun merespon perubahan dengan melakukan pengungkapan dengan


karakteristik berikut (Deegan dan Gordon, 1996):
a. Peningkatan pengungkapan lingkungan perusahaan sepanjang waktu
sejalan positif dengan peningkatan level kelompok lingkungan.
b. Pengungkapan meliputi pujian terhadap diri sendiri.
c. Adanya korelasi positif antara sensitivitas lingkungan industri yang
dimiliki perusahaan dan tingkat pengungkapan lingkungannya.
Akuntansi
keberadaan

ada

untuk

perusahaan

implementasi

yang

ditunjukkan

strategi
dengan

dan

melegitimasi

adanya

variasi

pengungkapan pertanggungjawaban sosial sepanjang waktu karena adanya


perubahan kebijakan demi mengurangi pandangan negatif terhadap
perusahaan. Perusahaan juga sering mengungkapkan manajemen risiko yang
dilaksanakan. Pengungkapan ini ada karena adanya ancaman yang dapat
merusak nilai perusahaan sehingga perusahaan harus dapat mengatasi melalui
manajemen yang aktif.
Tren pengungkapan juga terlihat pada perusahaan yang tertangkap
basah melakukan perusakan lingkungan. Perusahaan ini cenderung memberi
pengungkapan

lebih

pada

pertanggungjawaban

terhadap

lingkungan.

Pengungkapan ini diharapkan mengembalikan legitimasi perusahaan.


Ekspektasi masyarakat diketahui oleh manajemen melalui media. Media
memberikan penekanan pada berbagai topik yang kemudian membuat topik
tersebut terlihat menonjol dan menghasilkan opini publik (media agenda
setting theory). Perusahaan pun akan semakin mengungkapkan pada aspek
yang ditonjolkan oleh media tersebut.
1.3 Teori Stakeholder
Teori Stakeholder mempunyai 2 cabang yaitu cabang yang ethical
(moral/noramtif) dan cabang positif (managerial):
a. Teori stakeholder ethikal
Teori ini menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak untuk
diperlakukan secara fair oleh perusahaan. Siapa pun stakeholder harus
diperlakukan dengan baik. Stakeholder mempunyai hak instrisik yang tidak boleh

dilanggar (seperti gaji yang wajar). Definisi stakeholder (Freeman & Reed): grup
atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan
perusahaan. Clarkson membagi stakeholder menjadi 2 yaitu stakeholder primer
dan sekunder. Stakeholder primer adalah pihak yang mempunyai kontribusi nyata
terhadap perusahaan, tanpa pihak ini perusahaan tidak akan bisa hidup. Sedang
stakeholder sekunder adalah pihak yang tidak akan mempengaruhi kelangsungan
hidup perusahaan secara langsung. Menurut Clarkson stakeholder primer harus
diperhatikan oleh manajemen agar perusahaan bisa hidup. Namun pernyataan ini
ditentang oleh teori stakeholder cabang etika yang beragumentasi bahwa semua
stakeholder mempunyai hak yang sama untuk diperhatikan oleh manajemen.
Semua stakeholder mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai
bagaimana dampak perusahaan bagi mereka.
Berkaitan dengan hak informasi, Gray menyarankan menggunakan perspektif
model akuntabilitas. Akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyediakan laporan
atas tindakan mereka sebagai wujud tanggungjawabnya. Akuntabilitas meliputi
dua kewajiban:
1) kewajiban/tanggungjawab melakukan tindakan tertentu,
2) tanggungjawab menyediakan laporan akibat tindakan tersebut. Dengan model
akuntabilitas tersebut, maka pelaporan dianggap dipicu oleh tanggungjawab,
bukan dipicu karena permintaan.
b. Teori Stakeholder Managerial
Teori ini lebih terpusat pada organisasi (organization-centered). Perusahaan harus
mengidentifikasi perhatian para stakeholder. Semakin penting stakeholder bagi
perusahaan, semakin banyak usaha yang harus dikeluarkan untuk mengelola
hubungannya dengan stakeholder ini. Informasi adalah elemen penting yang dapat
dipakai oleh perusahaan untuk mengelola (memanipulasi) stakeholder agar supaya
terus mendapatkan dukungan. Perusahaan tidak akan memperhatikan semua
kepentingan stakeholder secara sama, tapi hanya kepada yang sangat powerfull
saja. Power stakeholder (kreditor, pemilik, dll) dipandang sebagai fungsi tingkat
kontrol stakeholder terhadap sumber daya perusahaan. Semakin tinggi tingkat

kontrol stakeholder terhadap sumber daya perusahaan, maka semakin tinggi


perhatian perusahaan terhadap stakeholder ini. Perusahaan yang sukses adalah
perusahaan yang dapat memuaskan permintaan berbagai stakeholder.

1.4 Teori Institusional


Teori ini merupakan teori pelengkap atas kedua teori diatas, teori ini
memberikan pemahaman tentang bagaimana perusahaan mengerti dan
merespon perubahan sosial dan tekanan serta ekspektasi pada institusi dengan
menghubungkan pada nilai masyarakat untuk menjaga legitimasi perusahaan.
Teori ini terbagi menjadi dua, yaitu isomorfik dan decoupling. Isomorfik
terpusat pada bagaimana perusahaan beradptasi pada berbagai tekanan
institusional. Sedangkan decoupling theory mengimplikasikan saat manajer
mungkin merasa kebutuhan atas organisasi mereka terlihat dengan
mengadopsi praktek institusional tertentu dan mungkin proses institusi formal
tersebut bertujuan mengimplematasikan praktik ini. Praktek aktual organisasi
pun dapat sangat berbeda karena adanya sanksi formal yang diumumkan pada
publik atas praktik dan proses tersebut.
2. Perluasan Sistem Akuntansi: Pendirian Sosial dan Faktor Lingkungan
dalam Pelaporan Eksternal
2.1 Pelaporan Sosial dan Lingkungan
Milton Friedman (1962) pernah mengungkapkan bahwa manajemen tidak
memiliki kewajiban moral selain memaksimalkan profit. Ia beranggapan
apabila setiap orang ingin memaksimalkan kekayaan maka perekonomian
pasti akan maju. Hal ini pun didukung dengan banyaknya pihak yang hanya
memperhatikan laba tanpa melihat aspek sosial lingkungan perusahaan.
Namun, teori ini tidaklah seperti realitanya. Pada realitanya tetap terjadi gap
dan perekonomian tidak maju.
Isu sosial dan lingkungan pun mulai diperdebatkan. Perlunya laporan
tentang sosial dan lingkungan dari suatu perusahaan diawali dengan
diterbitkannya Our Common Future (1987) oleh General Assembly dari
United Nations yang kemudian dikenal dengan The Brundtland Report.

Dalam bahasan ini dikenalkan istilah bahwa perusahaan haruslah sustainable.


Sustainable berarti perkembangan perusahaan haruslah memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi di masa depan untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, sustainable berarti
memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Perusahaan yang sustainable berarti perusahaan yang mampu menghasilkan
laba dengan mengurangi dampak negatif pada sosial dan lingkungan.
2.2 Keterbatasan Akuntansi Keuangan Tradisional dalam Menangkap dan
Melaporkan Kinerja Sosial dan Lingkungan
a. Fokusnya adalah pada pihak yang terlibat pada keputusan alokasi sumber
daya atau bisa dikatakan financial interest sehingga tidak ada laporan
bagi pihak yang terkena dampak.
b. Adanya diskonto yang membuat biaya sosial lingkungan diakui sangat
kecil atau bahkan tidak diakui karena tidak bisa diselesaikan dalam
beberapa waktu mendatang.
c. Entity assumption mengakibatkan hal-hal yang tidak berdampak
langsung, yaitu sosial dan lingkungan, terhadap entitas akan diabaikan.
d. Perdagangan izin mengeluarkan polutan yang diakui sebagai aset.
Pengakuan ini dipertanyakan karena izin ini hanya rasional menurut
perspektif ekonomi dan tidak rasional menurut perspektif masyarakat.
e. Definisi aset menyebutkan bahwa aset adalah sesuatu yang dikontrol dan
beban adalah outflow, padahal lingkungan dan sosial tidak dikontrol
sehingga perusahaan bebas merusak dan tidak mengakui apapun selama
tidak ada denda.
f. Aspek sosial lingkungan tidak dapat terukur.
2.3 Mengapa Harus Melaporkan (Why Stage)?
a. Terkadang tindakan perusahaan hanya berorientasi ekonomi dan tidak
mempedulikan aspek lingkungan dan sosial. Hal tersebut terbukti dari
pola konsumsi saat ini memberikan dampak negatif pada masa depan.
Aktivitas perusahaan saat ini telah melebihi kapasitas bumi, dan suatu

ketika biosfer akan mencapai titik degradasi tertinggi sehingga tidak bisa
menyokong kehidupan manusia lagi. Oleh karena itu perusahaan haruslah
sustainable dengan turut serta mengurangi kemiskinan dan kelaparan.
Kemiskinan dan kelaparan akan menyebabkan manusia memandang
sebagai penyedia uang gratis dan membawa ke kerusakan lebih parah.
Perusahaan juga diharapkan tidak mengkonsumsi secara maksimal
(tindakan ekonomi rasional) karena hal tersebut tidak berdampak rasional
pada global dan intergenerasi.
b. Ekonomi dan semua sistem sosial beroperasi di lingkungan. Kerusakan
lingkungan pun berarti kemusnahan manusia.
c. Anthony Giddens dan Ulrich
Pengungkapan CSR dapat menjadi alat manajemen risiko yang
digunakan sebagai usaha mengatasi prediksi negatif dari aktivis.
d. Bank dan asuransi mengkriteriakan perusahaan untuk bertanggung jawab
terhadap lingkungan dan sosial karena memiliki risiko lebih rendah dan
aset yang lebih bersih.
e. Adanya tren yang berkembang bahwa perusahaan melaporkan CSR
mereka, karena perusahaan beranggapan apa yang menguntungkan
masyarakat dan lingkungan pasti menguntungkan pemegang saham.
f. Dengan asumsi EMH, penelitian menunjukkan bahwa:
1) Pasar bereaksi terhadap pengungkapan sosial lingkungan (Ingran,
1978; Anderson dan Frankle, 1980).
2) Investor bereaksi positif terhadap pengungkapan perusahaan atas
pengelolaan limbah atau disebut ethical investor (Belkaoki, 1976;
Jaggi dan Freedman, 1982).
3) Adanya negative return pada perusahaan yang memiliki kontrol
polusi lemah (Shane dan Spicer, 1983).
4) Perusahaan yang memiliki level polusi yang sama tinggi namun
diungkapkan akan memiliki reaksi kecil daripada yang tidak
diungkapkan (Freedman dan Pattern).
5) Reaksi pasar saat terjadi bencana akan lebih kecil pada perusahaan
yang melakukan penungkapan (Blacconiare dan Pattern, 1994)

g. Sustainable development telah menjadi ekspektasi masyarakat dimana


masyarakat memiliki ekspektasi bahwa perusahaan bertanggung jawab
seutuhnya atas operasional dan produk yang tidak membahayakan
lingkungan (70% dari polling tahun 1999 oleh Environics).
h. Rintangan yang dihadapi adalah :
1) Akuntan harus meluaskan pekerjaan ke pelaporan kinerja sosial
lingkungan.
2) Manusia selalu ingin mendominasi dan mengeksploitasi lingkungan
(Dillard, Brown, Marshall, 2005, p.81).
3) Adanya pengorbanan profit jangka pendek untuk memastikan laba
yang sustainable dalam jangka panjang.
2.4 Siapa yang Harus Diberi Laporan (Who Stage)?
a. Beck (1992, 1999) beranggapan bahwa stakeholder yang dimaksud
adalah stakeholder yang terkena dampak operasional perusahaan.
b. Menurut perspektif etis, perusahaan perlu memprioritaskan dengan
mengidentifikasi stakeholder yang terkena dampak terbesar (Gray, et al,
1997) dengan maksud untuk meminimalkan dampak sosial dan
lingkungan.
c. Berdasar penelitian, perusahaan menganggap pemegang saham yang
harus diberi laporan karena merupakan pihak yang paling potensial
terhadap profit dan keberlanjutan perusahaan.
d. Berdasarkan perspektif etis, perusahaan berusaha memahami apa saja
dampak aktual dan potensinya untuk memberikan fokus pada CSR
sehingga perusahaa harus melibatkan masyarakat, yang hidupnya
terpengaruh, dalam decision making. Perusahaan harus mengadakan
dialog intensif karena:
1) Stakeholder banyak dan tidak dapat mengekspresikan karena takut
dengan konsekuensi yang mungkin ia dapat (ODwyer, 2005)
2) Adanya stakeholder yang apatis (Adams, 2004, p.76)
3) Sulitnya menentukan apakah nerpengaruh ke masa depan.
e. Pada dasarnya, semua menyesuaikan dengan alasan perusahaan
melaporkan.
2.5 Untuk

Isu

Sosial

dan

Lingkungan

Apa

Bertanggungjawab dan Akuntabel (What Stage)?

Perusahaan

Harus

a. Sesuai dengan kebutuhan yang merupakan permintaan atau reaksi


eksternal atas informasi tertentu yang diungkapkan.
b. Terdapat beberapa persyaratan agar laporan tersebut digunakan
sehingga dapat membentuk persepsi (Deegan dan Rankin, 1997), yaitu :
1) Materialitas dari isu lingkungan untuk kelompok tertentu dalam
masyarakat yang menggunakan laporan tahunan untuk mendapat
informasi.
2) Apakah informasi lingkungan dipandang dari laporan tahunan.
3) seberapa penting informasi lingkungan pada proses decisionmaking dibandingkan pada informasi pertanggungjawaban sosial
lainnya dan informasi posisi dan kinerja keuangan perusahaan.
c. perusahaan haruslah akuntabel untuk semua stakeholder atas tindakan
perusahaan yang telah (atau mungkin) berdampak pada stakeholder.
2.6 Bagaimana Bentuk Pelaporannya (How Stage)?
a. Triple Bottom Line
Cara ini mengukur keseimbangan antara aspek ekonomi (financial
secure), sosial (sejalan dengan ekspektasi stakeholder untuk sustainable)
dan

lingkungan

(meminimalkan/mengeliminasi

dampak

negatif

lingkungan). Dalam praktiknya, cara ini :


1) berhasil

membuat

manajer

menangkap

masalah

sosial

dan

lingkungan, namun tetap tidak bisa melaporkannya dengan angka


2) kesulitan dalam memahami aspek memaksimalkan alam dan sosial
seperti halnya memaksimalkan laba.
3) adanya anggapan bahwa ketika tidak bisa memperlakukan ketiga
aspek tersebut secara seimbang, maka aspek tersebut tidak
terinterkoneksi. Hal ini merupakan pemahaman konsep yang salah
dan berdampak pada manajemen yang berfokus pada laba dan lebih
merusak lingkungan.
Penggunaan prisip bottom line sering digunakan perusahaan dalam
melaporkan CSR nya.
b. Global Reporting Initiative (GRI)

Awalnya, metode pelaporan CSR sangatlah beragam karena


bergantung dari persepsi manajemen atas informasi yang dibutuhkan
stakeholder (Solomon dan Lewis, 2002). Pada tahun 1987 diterbitkanlah
tulisan yang berjudul Our Common Future oleh General Assembly dari
United Nations. Tulisan ini kemudian lebih dikenal dengan The
Brundtland Report. Penerbitan ini diikuti dengan diadakannya Earth
Summit yang diadakan di Rio de Jenairo dan dihadiri perwakilan
pemerintah seluruh negara dan ahli sosial lingkungan. Di EU, tahun
1992, dirilis Towards Sustainability dengan salah satu isi pentingnya
adalah perintah pada akuntan untuk memperbaiki sistem costing untuk
menekan biaya lingkungan. Kemudian, sebagai tindak lanjut dari Earth
Summit, tahun 2000 diterbitkan kumpulan pedoman pelaporan CSR yang
kemudian dikenal dengan Sustainability Reporting Guidelines. Hal ini
merupakan jawaban untuk pelaporan yang lebih terstruktur
GRI merupakan praktik pelaporan terbaik yang diterima umum.
Dalam GRI terdapat 50 indikator inti dan 47 tambahan pedoman yang
digunakan tergantung jenis perusahaan. Namun, perusahaan akan
bertindak

oportunistik

dengan

selektif

memilh

indikator

dan

menggunakannya sebagai legitimasi dengan label mematuhi pedoman


GRI. Misi GRI adalah
..... harmonisasi dalam pelaporan internasional yang relevan dan
kredibel tentang informasi lingkungan, sosial dan kinerja korporasi
untuk meningkatkan pembuatan keputusan yang bertanggung jawab.
GRI mengejar misi ini melalui proses dialog dan kolaborasi multistakeholder dalam mendesain dan mengimplementasikan pedoman
pelaporan sustainability yang diterima secara luas
Kategori pengungkapan dalam GRI berhubungan dengan:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

dampak signifikan transportasi terhadap lingkungan


isu tentang hubungan pemasok dan lingkungan
energi dan air yang dikonsumsi
emisi dan pembuangan
isu biodiversity
kepatuhan hukum

7) total pengeluaran lingkungan


8) tipe dan informasi material yang digunakan bersama dengan
informasi tentang pembuangannya
Laporan CSR yang dikeluarkan perusahaan haruslah berisi :
1)
2)
3)
4)
5)

visi dan strategi


Profil perusahaan
struktur dan sistem manajemen
Index GRI
Indikator kinerja
GRI pun diakui sebagai pedoman pelaporan CSR berterima umum.

Atribut komparabilitas adalah sesuatu yang diusung GRI. GRI juga


mengusung karakteristik kualitatif, seperti halnya laporan keuangan,
meliputi transparansi, auditabilitas, relevansi, kelengkapan, konteks
sustainability, ketepatan, netralitas, reliabilitas, kejelasan, ketepatan
waktu, dan verifiabilitas. Area lain yang diperhitungkan GRI adalah
assurance proses untuk meningkatkan kredibilitas dan kualitas laporan.
c. Audit Sosial
Menurut Elkington (1997, p.88) tujuan dari audit sosial adalah
menilai kinerja dalam hubungannya dengan kebutuhan dan ekspektasi.
Audit sosial diharapkan menghasilkan statement of assurance yang
merupakan dasar dari laporan sosial yang diterbitkan untuk publik dan
dasar untuk berdialog dengan stakeholder. Kriteria audit sosial adalah
berdasar materialitas, kelengkapan dan kemampuan reaksi. Namun, tidak
semua mampu menyediakan organisasi karena bergantung pada tipe
perusahaannya (Owen dan ODwyer, 2005). Terdapat dua tipe dalam
lingkup audit sosial, yaitu:
1) Audit Sosial
Audit sosial seringkali digunakan oleh MNC dan dilaksanakan
bersamaan dengan audit laporan keuangan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan legitimasi, aspek sustainable dan transparansi. Hal ini
dilakukan dengan cara mengadopsi pendekatan hati-hati dengan
sebagian besar berfokus pada masalah konsistensi informasi yang
muncul dalam laporan organisasi dengan kumpulan data yang
mendasari.
2) Konsultasi sosial dan lingkungan

Dalam lingkup ini penekanan laporan CSR lebih ke aspek


kelengkapan, fairness, keseimbangan menyeluruh dan pengungkapan
kelemahan dari pelaporan.

Review Jurnal An Examination Of The Corporate Social And


Environmental Disclosures Of BHP From 1983-1997
A test of legitimacy theory
Penulis : Craig Deegan, Michaela Rankin, dan John Tobin
School of Accounting and Law, RMIT University, Melbourne, Australia

REVIEW
Penelitian

yang

dilakukan

Deegan

(2002)

ini

meneliti

tentang

pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan BHP Ltd (salah satu perusahaan

terbesar di Australia) periode 1983-1997. Tujuan penelitian ini adalah untuk


mengetahui tipe dan pengembangan laporan tanggung jawab sosial dan
lingkungan pada periode tersebut dan apakah laporan dapat dijelaskan
menggunakan konsep dari teori kontrak sosial dan legitimasi.
Deegan

(2002)

berpendapat

bahwa

pemikiran

dan

kesadaran

publik/masyarakat (public concerns and public awareness) dipengaruhi oleh


pemberitaan atas isu isu lingkungan dan sosial yang dilakukan oleh media seperti
surat kabar, televisi, dan radio. Maka dari itu manajer sebuah perusahaan besar
harus mempertimbangkan media sebagai salah satu variabel yang harus dicermati
dalam menyusun pelaporan perusahaan khususnya laporan tanggung jawab sosial
dan lingkungan.
1. Pendahuluan
Penelitian ini menguji apakah perusahaan melaporkan laporan tanggung
jawab sosial dan lingkungan berdasarkan ekspektasi dari masyarakat yang
berubah dari waktu ke waktu. Penelitian ini menggunakan pengukuran yang
berbeda dari Guthrie dan Parker (1989). Pengukuran yang digunakan dalam
penelitian ini adalah peran media.
Peneliti yakin bahwa media berhubungan erat dengan ekspektasi
masyarakat, dan dipercaya bahwa media merefleksikan kepentingan, pemikiran
dan ekspektasi masyarakat pada saat itu. Jurnal penelitian ini secara garis besar
menginvestigasi bagaimana media membentuk dan merefleksikan kepentingan
dan ekspektasi masyarakat.
2. Peran Media Dalam Membentuk Pemikiran Masyarakat
Brown dan Deegan (1998) berpendapat bahwa meningkatnya perhatian
media pada kasus khusus berdampak pada meningkatnya perhatian masyarakat
pada kasus tersebut. McCombs (1995) berpendapat bahwa media tidak
merefleksikan apa yang terjadi di masyarakat, melainkan media membentuk
apa yang dipikirkan oleh masyarakat.
McCombs (1995) juga menyebutkan bahwa membentuk kesadaran publik
adalah langkah pertama dalam pembentukan opini publik dan sangat jelas
bahwa kesadaran publik ini dibentuk oleh media. Oleh karena itu, peran media
atas opini publik bisa dikatakan sentral dan sangat berpengaruh.

Beberapa penelitian menemukan beberapa variabel yang mempengaruhi


hubungan antara aktivitas media dan isu-isu publik. Variabel tersebut antara
lain adalah:
a. Tingkat ukuran isu tersebut dan dampaknya yang bisa disebabkan
b. Bagaimana isu tersebut dikemas (secara positif atau negatif)
c. Tenggang waktu antara isu tersebut terjadi dan dikemukakan oleh media
Intensitas dan kemasan media atas isu yang mengemuka juga terbukti
mempengaruhi perilaku masyarakat. Dearing dan Rogers (1996) berpendapat
bahwa kemasan negatif media atas isu yang mengemuka lebih berpengaruh
pada pemikiran dan perilaku masyarakat dari pada isu yang dikemas secara
positif karena publik menilai kemasan negatif atas sebuah isu menjadikan isu
tersebut menjadi isu yang besar.
Terdapat beberapa bentuk media, yaitu surat kabar atau koran, televisi, dan
radio. Dalam penelitian Mc Combs (1981) dan Bogart (1984) menyebutkan
bahwa surat kabar mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengatur
publik agenda daripada televisi dan radio karena lebih banyak orang yang
menyempatkan membaca suratkabar daripada menonton TV maupun
mendengarkan radio. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa besar
kecilnya perhatian media pada suatu isu tertentu menentukan besar kecilnya
perhatian publik, dan media dapat membentuk dan mengarahkan opini
masyarakat atas suatu isu tertentu tersebut.
Karena hal-hal tesebur diatas, seorang manajer perusahaan harus
menyadari bahwa peran media sangat besar dalam bagaimana membentuk
perhatian dan pemikiran masyarakat atas perusahaannya. Terlebih pada saat ini
media bukan lagi transmitter informasi yang pasif namun sangat aktif dalam
mencari informasi untuk diberitakan kepada masyarakat. Media saat ini sangat
gencar menyoroti perusahaan yang dekat dengan isu-isu lingkungan dan sosial
seperti BHP di Australia. BHP di Australia adalah perusahaan multinasional
yang bergerak di bidang pertambangan.
Dalam penelitian Deegan (2002) juga disebutkan bahwa adanya hubungan
antara isu publik dan pelaporan perusahaan. Teori legitimasi digunakan untuk
menjelaskan bagaimana suatu laporan perusahaan digunakan oleh manajemen
perusahaan untuk merubah perspektif publik atas perusahaannya.

3. Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Sebagai Reaksi Atas Tuntutan


Masyarakat
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa laporan tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang dimasukkan dalam laporan tahunan perusahaan
meningkat seiring berjalannya waktu, baik dari segi konten laporan maupun
jumlah perusahaan yang melaporkannya.
Laporan tanggung jawab lingkungan dan sosial menjadi tuntutan yang tak
terelakan seiring dengan meningkatnya tuntutan publik terhadap perusahaan.
Perusahaan sadar bahwa keberhasilannya dalam mencapai tujuan bukan hanya
dipengaruhi oleh faktor internal melainkan juga dipengaruhi oleh masyarakat
yang berada di sekelilingnya. Ini artinya, telah terjadi pergeseran hubungan
antara perusahaan dan stakeholders (dalam hal ini masyarakat dan lingkungan).
Perusahaan yang semula memposisikan diri sebagai pemberi donasi melalui
kegiatan amal dan phylantrophy, kini memposisikan masyarakat sebagai mitra
yang turut andil dalam kelangsungan eksistensi perusahaan.

4. Hasil Penelitian, Konklusi Dan Implikasi


Deegan (2002) berpendapat bahwa peran media dalam membentuk dan
mengarahkan opini publik sangat besar. Media dapat mengemas suatu isu yang
mengemuka dalam masyarakat secara positif maupun negatif dan memiliki
dampak yang berbeda pada opini dan perilaku masyarakat.
Ekspektasi masyarakat atas tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan meningkat dari waktu ke waktu. Ekspektasi ini adalah akibat dari
kesadaran masyarakat bahwa perusahaan secara alamiah memiliki tanggung
jawab sosial dan lingkungan pada sekitanya. Media berpengaruh terhadap
meningkatnya ekspektasi masyarakat atas hal sosial dan lingkungan perusahaan
ini. Oleh sebab itu, manajer sebuah perusahaan harus memperlakukan media
secara serius dan menyusun strategi yang tepat untuk mengakomodasi
ekspektasi publik atas perusahaannya.
Dalam penelitian Deegan (2002) juga disebutkan bahwa adanya hubungan
antara isu publik dan pelaporan perusahaan. Teori legitimasi digunakan untuk

menjelaskan bagaimana suatu laporan perusahaan digunakan oleh manajemen


perusahaan untuk merubah perspektif publik atas perusahaannya. Penelitian ini
menggunakan BHP Australia, yaitu perusahaan multinasional yang bergerak di
bidang pertambangan. Media saat ini sangat gencar menyoroti perusahaan yang
dekat dengan isu-isu lingkungan dan sosial seperti BHP di Australia.
Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi adalah bagian dari
masyarakat sehingga harus memperhatikan norma-norma sosial masyarakat.
Kesesuaian perusahaan dengan norma sosial dapat membuat perusahaan
semakin legitimate. Penelitian Guthrie dan Parker (1989) menyebutkan bahwa
laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan berupa laporan pertanggung
jaawaban sumberdaya manusia merupakan faktor yang paling signifikan dan
sangat diperhatikan oleh masyarakat. Faktor lain yang merupakan public
concerns dalam laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan selain sumber
daya manusia antara lain adalah isu tentang lingkungan, penggunaan energi
oleh perusahaan, dan keikutsertaan perusahaan dalam masyarakat.

An Empirical Research on the Relationship Between Corporate Social


Responsibility Ratings and U.S. Listed Companies Value
tefan Cristian Gherghina, Georgeta Vintil and Diana Dobrescu
Bucharest University of Economic Studies, Bucharest, Romania
Review
Makalah ini membahas hubungan antara tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
peringkat dan nilai perusahaan, dengan menggunakan sampel perusahaan AS yang
terdaftar di Bursa Efek New York dan Bursa Pasar NASDAQ, lebih dari 20082011. Corporate Social Responsibility Index (CSRI) yang dikembangkan oleh
Boston College Center for Corporate Citizenship dan Reputation Institute
digunakan sebagai proxy untuk tanggung jawab sosial perusahaan. Sebuah
perusahaan tertentu yang dirasakan dalam tiga dimensi: variable jurnal yakni
kewarganegaraan (masyarakat dan lingkungan), pemerintahan (etika dan

transparansi), dan praktek kerja, yang dihitung melalui variabel numerik tercermin
ke dalam peringkat CSRI skor. Rasio Q Tobin disesuaikan dengan sektor kegiatan
dipekerjakan dalam rangka untuk mengukur nilai perusahaan. Setelah estimasi
model regresi data panel, tidak seimbang, baik tanpa efek cross-sectional dan
dengan efek tetap, hasil kami menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan secara positif mempengaruhi nilai perusahaan. Bukti empiris ini
konsisten dengan berperan pandangan teori stakeholder, karena perusahaan yang
terlibat dalam perusahaan usaha tanggung jawab sosial digunakan dalam cara
yang lebih efektif sumber daya mereka dalam rangka untuk lebih memenuhi
kebutuhan stakeholders. kegiatan CSR dapat menambah nilai perusahaan jika
mereka bijaksana dikelola dan dilaksanakan, serta cukup diungkapkan dan
dilaporkan.
Dengan menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek New York
dan Bursa Pasar NASDAQ, lebih dari 2008-2011, hasil memberikan dukungan
untuk pengaruh positif dari tanggung jawab sosial perusahaan diukur melalui
Corporate Social Responsibility Index (CSRI) yang dikembangkan oleh Boston
College Pusat corporate Citizenship dan Reputation Institute, terhadap nilai
perusahaan, proksi rasio Q Tobin disesuaikan dengan sektor kegiatan. CSRI
dipilih untuk kelengkapan informasi mengenai CSR, karena kewarganegaraan nya
perhitungan yang terdiri dari, pemerintahan, dan tempat kerja. Penyesuaian yang
berkaitan dengan sektor kegiatan dilakukan untuk memastikan komparabilitas
variabel untuk perusahaan di masing-masing industri. Hubungan positif ini
didukung oleh teori stakeholder instrumental, menurut Jones (1995), perusahaan
yang terlibat dalam perusahaan usaha tanggung jawab sosial menggunakan
dengan cara yang lebih efektif sumber daya dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan berjenis berhubungan dengan pemangku kepentingan (Waddock &
Graves, 1997b ). Teori tersebut merupakan instrumen karena menunjukkan
penggunaan tanggung jawab sosial perusahaan untuk mendaftarkan kinerja yang
lebih baik (Jones, 1995; McGuire, Sundgren & Schneeweiss, 1988). Selanjutnya,
gambar di pasar untuk sebuah perusahaan dengan keterlibatan sosial yang tinggi
dan pengungkapan yang baik dari perusahaan usaha tanggung jawab sosial

tercermin dalam kenaikan jumlah pelanggan dan penjualan. Telah juga


demostrated bahwa pertumbuhan tahunan penjualan mengarah ke peningkatan
nilai perusahaan, tercermin melalui rasio Q Tobin disesuaikan dengan sektor
kegiatan. Selain variabel kepentingan teoritis, peneliti CSR telah menekankan
perlunya untuk mengontrol dampak ukuran perusahaan, risiko, dan industri. Mirip
dengan penelitian lain (Husted & Allen, 2007), penelitian kami menyoroti bahwa
ukuran perusahaan diukur dengan jumlah rata-rata tahunan karyawan memiliki
efek sedikit negatif terhadap nilai perusahaan. Demikian juga, ukuran perusahaan
memiliki korelasi positif dengan CSRI, sehingga perusahaan dengan sejumlah
besar karyawan memiliki potensi yang lebih tinggi untuk mempertahankan
kegiatan CSR dengan infrastruktur yang kokoh dan tingkat tinggi arus kas. Batasbatas penelitian saat muncul dari berkurangnya jumlah pengamatan statistik.
Sebagai jalan penelitian masa depan, kami menganggap perluasan indeks
tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan metodologi selfdeveloped untuk
menghitung skor yang mempertimbangkan faktor lainnya CSR terkait, dan juga
penelitian dari dampaknya terhadap nilai perusahaan, dengan menggunakan data
dari beberapa negara untuk membandingkan efek dari tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap kinerja diungkapkan dalam konteks sistem tata kelola
perusahaan yang berbeda

rasio Q Tobin disesuaikan dengan sektor kegiatan. rasio Q Tobin dihitung sebagai
nilai pasar aset dibagi dengan nilai buku aset, dimana nilai pasar dari aset sama
dengan nilai buku aset ditambah nilai pasar ekuitas umum kurang jumlah dari
nilai buku ekuitas umum

Corporate Social Responsibility Index (CSRI), yang dikembangkan


oleh Boston College Center for Corporate Citizenship dan Reputation
Institute.
Ukuran Ukuran perusahaan, jumlah rata-rata tahunan karyawan (nilai logaritmik).
Rasio Leverage Leverage, sebagai total hutang dibagi dengan total aset.
Pertumbuhan Pertumbuhan penjualan, sebagai peningkatan relatif dari penjualan dari
tahun sebelumnya (%).
Listing, Jumlah tahun sejak listing di NYSE atau NASDAQ Stock Market (nilai logaritma

Korelasi negatif antara ukuran perusahaan dan rasio Q Tobin disesuaikan dengan
sektor kegiatan dapat dijelaskan dalam hal emiten besar melalui alokasi sumber
daya, sehingga memiliki banyak karyawan yang mengarah ke peningkatan biaya
tenaga kerja dan dari tingkat tertentu membatasi penggunaan sumber daya yang
tersedia untuk digunakan untuk tercapainya peningkatan nilai perusahaan
Dalam kedua panel model regresi data, tanpa efek cross-sectional dan dengan efek
tetap, hubungan yang sama antara CSRI dan Tobin rasio Q disesuaikan dengan
sektor kegiatan mengekspresikan nilai perusahaan terbukti. Dengan demikian,
hipotesis dari penelitian saat ini, yang menurutnya usaha yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan secara positif mempengaruhi nilai perusahaan,
secara statistik divalidasi.
elah juga demostrated bahwa pertumbuhan tahunan penjualan mengarah ke
peningkatan nilai perusahaan, tercermin melalui rasio Q Tobin disesuaikan dengan
sektor kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai