Anda di halaman 1dari 8

TRAGEDI KASUS PETRUS (PENEMBAKAN MISTERIUS)

ANALISIS KASUS
Dosen Pengampu:
Tri Dayakisni, Dra., M.si
Oleh:
Wanendria Idamanhaq (067)
Dicky Dienial H W (077)
Dwi Ambar Ratih (088)
Nada Karimah (095)
Ikrar Tawil (108)
Silvia Sandy P (119)
Makkiyatur Rahma (127)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN AKADEMIK 2016/2017

A.

Latar Belakang Kasus


Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu

operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat
kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan
dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan
tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah petrus (penembakan misterius).
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada
Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama
diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut
oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya
tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di
Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan
provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri
saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban
juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang
ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh
orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di
Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan
Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima
Kowilhan

II

Jawa-Madura

Letjen

TNI Yogie

S.

Memet yang

punya

rencana

mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di


berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung
ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak pada
pagi harisebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga 1985.

Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk sasaran
tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam di langit-langit
rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang, Bathi ke Jakarta, menghadap
orang yang ia sebut sebagai Number One, yakni Ali Moertopo.
Tokoh Operasi Khusus ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo patron para preman yang ia pimpin.
Ali Moertopo memberinya selembar surat jaminan tak akan ditembak. Tapi tetap saja Bathi
tak merasa aman. Mungkin penguasa saat itu menganggap tugas saya sudah selesai dan tiba
saatnya untuk dihabisi, Bathi mengenang.
Selama sepuluh tahun Bhati berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di
wilayah Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia
setidaknya tujuh kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama pasaran lain.
Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya administrasi.
Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa, Semarang. Pada 1968, ia
terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif perampokan. Bathi diganjar
hukuman penjara hingga 1970.
Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan
Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu, Orde
Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat. Intinya: setia
hanya kepada Golkar.
Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih
Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan parkir
Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada Pemilu 1977,
Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat jelata agar
mencoblos Golkar. Istilahnya kami bina, katanya. Kalau tidak mau kami bina ya kami
binasakan.
Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang yang ia
sebut bos besar untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah organisasi bekas
narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan, semuanya preman. Pada
1982, Golkar bertekad merebut Jakartapada Pemilu 1977 kalah dari Partai Persatuan
Pembangunan.
Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi menghancurkan citra PPP di
Jakarta. Pada Pemilu 1982, Bathi mengkoordinasi pengawalan dan pengamanan Badan
Pemenangan Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia dan anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk

memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia memenuhi kampanye Golkar di lapangan


Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982, Bathi dan anak buahnya menyamar sebagai
pendukung PPP.
Mereka menyerang pendukung Golkar dan merobohkan panggung sambi berteriak,
Hidup Kabah! Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka berangkat naik bus berkaus PPP, tapi
terbungkus rapat jaket Golkar. Sesampai di lapangan, mereka melepas jaket sehingga tinggal
kaus PPP yang tampak. Sudah kami siapkan mana mobil yang dibakar, mana yang tidak,
kata Bathi. Alhasil, pada Pemilu 1982, suara PPP di Jakarta tumbang oleh Golkar.
Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirkan sejumlah saksi
dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini, tapi mandek di
tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM untuk diungkap
dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu.
Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal
Kasim mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap dihormati
hak hukumnya. Mereka tidak boleh asal ditembak,katanya. Kontras mencatat korban tewas
petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532 orang, pada 1984 sebanyak 107 orang,
dan pada 1985 sebanyak 74 orang.

B.

Landasan Teori
Kasus petrus yang sudah lama sekali terjadi, dan kini muncul kembali sebagai

pembahasan untuk diteliti kembali dengan harapan bisa terungkap dapat kita kaji dan
dianalisa dengan beberapa pendekatan teori psikologi berikut :
1. Teori Psikoanalisa
Teori psikoanalisa adalah bahwa tingkah laku orang dewasa merupakan
refleksi atau penjelmaan pengalaman masa kecilnya. Teori ini menekankan bahwa
orang bergerak melalui suatu tahapan yang pasti selama tahun-tahun awal
perkembangannya yang berhubungan dengan sumber-sumber kesenangan seksual.
Tahapan ini ditandai dengan tahap oral, anal, falik, dan genital. Seperti contoh tingkah
laku agresi dipandang sebagai suatu manifestasi pembawaan sejak lahir yang disebut
sebagai instink mati dalam ketidaksadaran. Pada dasarnya tingkah laku individu
dipengaruhi atau dimotivasi oleh determinan kesadaran maupun ketidaksadaran.
Contoh lainnya prasangka dalam kelompok minoritas dipandang sebagai konflik

individu pada masa kecil dengan orang tuanya yang kaku (otoriter) yang kemudian
dicerminkan dalam ketidak sukaannya pada orang-orang dewasa yang tidak mirip
dengan dirinya (Adorno, Frenkel Brunswick, Levinson & Sanverd, 1950).
2. Teori Kognitif
Berlawanan dengan teori belajar, teori kognitif menempatkan secara khusus
proses-proses berpikir dan bagaimana orang-orang dalam memahami (mengerti) dan
mempresentasikan dunia.
3. Teori Belajar dan Penguatan
Teori ini berasumsi bahwa sikap merupakan respon-respon yang dipelajari
terhadap rangsang (stimulus) tertentu. Asumsi ini mengarahkan fokus dari teori ini
adalah menggal sifat dari stimulus yang mengarahkan individu mengembangkan dan
berpegang pada sikap-sikap tertentu.
4. Teori Peranan
Teori peranan tercetus pada awalnya sebagai hasil kerja para ahli sosiologi.
Perspektif dasar teori ini adalah bahwa tingkah laku dibentuk oleh peranan-peranan
yang diberikan oleh masyarakat bagi individu-individu untuk melaksanakannya.
5. Teori Keadilan
Teori ini berpendapat bahwa pola hubungan manusia melibatkan proses tukarmenukar, di mana supaya pertukaran itu bisa menunjukkan keharmonisan dan
perasaan, senang atau kepuasan, maka harus dilandasi prinsip keadilan
6. Perilaku Agresi
Pengertian agresi adalah tingkah laku individu yang ditunjukkan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut.
Terdapat 3 teori tentang agresi yang dianggap cukup berpengaruh yaitu:
1. Teori Instink
Tokoh utama dari teori ini adalah Sigmund Freud, Konrad Lorenz dan Robert
Argrey.
2. Teori Frustasi-Agresi
Kelompok psikologi di Yale University: Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan
Sears (1939) mengemukakan hipotesis bahwa frutrasi menyebabkan agresi.
Perluasan teori frustrasi agresi pada tataran skala yang lebih besar seperti
kekerasan masa, demonstrasi masa atau terjadinya revolusi, yang juga
dikaitkan dengan frustrasi. Menurut Tedd Gurr (dalam Worchell, dkk; 2000),
faktor penyebab yang palinng dasar terjadinya tindak kekerasan masa, politik,
revolusi adalah timbulnya ketidak puasan sebagai akibat adanya penghayatan
atau persepsi mengenai sesuatu yang hilang yang disebut deprivasi relatif.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi agresi sebagai berikut.
a. Deindividuasi

Menurut Lorenz, deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada


keleluasaan dalam melakukan agresi, sehingga agresi yang dilakukannya
menjadi lebih intens.
b. Kekuasaan dan Kepatuhan
Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat
dipisahkan dari salah satu aspek menunjang kebiasaan itu, yakni kepatuhan
(komplins).
c. Provokasi
Wolfgang (1957) mengemukakakn bahwa dari 600 pembunuhan yang
diselidikinya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Sedangkan Beck
(1983) mencatat bahwa sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh individuindividu yang mengenal korbannya, dan pembunuhan itu terjadi dengan
didahului adanya adu argumen atau perselisihan antara pelaku dan korbannya.
d. Pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect)
Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi
narkoba. Menurut hasil penelitian Phil dan Ross (dalam Brigham, 1991)
mengkonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi meningkatkan kemungkinan
respon agresi ketika seseorang diprovokasi.
e. Faktor-faktor yang mengurangi hambatan untuk berperilaku agresi
(1) Rendahnya kesadaran diri (Self Awareness)
(2) Dehumanisasi
(3) The Culture of Honor
2. Prasangka (Prejudice)
Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok
tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Ketika
prasangka didefinisikan sebagai tipe khusus dari sikap, 2 implikasi mengikutinya.
Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema. Maka, individu yang memiliki
prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu cenderung memproses informasi
tentang kelompok ini secara berbeda dari cara mereka memproses informasi tentang
kelompok lain.
Kedua, sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif
atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan
memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai (Bodenhausen, Kramer, &
Susser, 1994; Vanman dkk., 1997).
3. Kecemasan
Karakteristik utama dari gangguan kecemasan umum adalah perasaan cemas
dan takut yang berlangsung terus menerus serta tidak dapat dikendalikan perasaan
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, dan rasa ketakutan yang sangat kuat yang
muncul pada sebagian besar hari selama periode 6 bulan, dan tidak disebabkan oleh

sesuatu yang berkaitan dengan fisik, seperti penyakit, obat-obatan, atau karena terlalu
banyak meminum kopi.
C.

Analisis Kasus
Saat ini kasus petrus kembali diteliti oleh pihak Komnas HAM. Sebenarnya kasus

petrus ini sudah lama dan sudah pernah diteliti oleh pihak tertentu namun masih belum
terungkap, maka dari itu kasus ini menjadi pusat perhatian pihak tertentu untuk diteliti
kembali, supaya tidak menjadi sebuah teka-teki yang tidak jelas di kalangan masyarakat.
Petrus merupakan gagasan Soeharto yang merujuk pada pengakuan Soeharto dalam
otobiografinya yaitu pikiran, ucapan dan tindakannya.
Kami tahu bahwa tindakan Soeharto sangatlah tegas, yang harus dengan kekerasan.
Tindakan tersebut memang bagus untuk diaplikasikan dalam tujuan untuk mencegah
kejahatan-kejahatan yang terjadi. Namun ketika hal itu terjadi, seseorang yang melawan akan
ditembak. Dengan adanya perlawanan seseorang mau tidak mau harus di tembak. Setelah
itu,mayat tersebut dibuang begitu saja, ada juga yang ditinggal di pinggir jalan. Tindakan
tersebut hanya bertujuan untuk membuat seseorang takut dan tidak ada lagi kejahatan yang
melampaui batas perikemanusiaan. Hal ini memang terbukti bahwa semua kejahatan yang
melampaui batasan tersebut semakin berkurang dalam kehidupan sehari-hari.
Kekerasan yang seperti ini akan berdampak pada korban petrus, serta akan
menyebabkan korban mengalami stress, depresi, ketakutan, rasa benci dan bisa jadi akan
menyebabkan trauma yang mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa
menghilangkan trauma tersebut bagi korban petrus. Selain itu jika mantan korban petrus ini
dihadapkan pada tragedi yang sama, maka ketakutan, stress, trauma dan lain sebagainya akan
muncul kembali.
Meskipun tidak bisa mengambarkan secara sempurna hasil analisa mengenai kasus
penembakan misterius dengan kata lain petrus, paling tidak hasil analisa ini sedikit mendekati
supaya kita bisa tahu cara mengatasi kasus petrus ini.
Kesimpulan
Kasus petrus ini adalah bukti nyata bahwa bentuk represif dari rezim soeharto pada
masyarakat indonesia pada masa itu, dia mengesampingkan Hak Asasi Manusia yang
seharusnya dimiliki dan dihormati oleh manusia lain. Soeharto mengerahkan pasukan khusus
untuk menembak masyarakat yang dianggap melawan pemerintahannya, padahal masyrakat

bertindak seperti itu karena sudah muak akan kebijakan dan perbuatan soeharto. Dan dia
memberikan peringatan psikis pada masyarakat supaya tidak melawan dengan cara
membiarkan mayat masyarakat yang dibunuh di pinggir jalan dan di tempat-tempat umum.
Kediktatoran soeharto semakin terlihat kmarena kasus ini.
Propaganda dan bentuk represif yang dia lakukan demi menjaga kelanggengan
kekuasannya dengan alasan demi kestabilan negara, ekonomi, sosial, politik. Tapi dengan
kecerdikan soeharto, melakukanj semua itu dengan rapi dan bersih sehingga masyarakat tidak
tau sebenarnya perbuatan siapa penembakan itu, dan walaupun masyarakat menyadarinya
masyarakat tidak berani menuntut apalagi melawan karena takut akan dibunuh oleh rezim
soeharto. Perlakuan soeharto bertentangan dengan teori keadilan. Dan ada kemungkinan
perilaku dan sikap dia seperti itu seperti yang dijelaskan dalam teori pembentukan dan
perubahan sikap menurut psikologi sosial.
Referensi:
Mohammad, Achor. (2011) Penembakan Misterius : Bukti Sikap Represif Rezim Soeharto.
[Online] Tersedia : http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/02/penembakan-misterius
bukti-sikap-represif-rezim-soeharto-418312.html
Wikipedia.(2013). PenembakanMisterius. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan
misterius
Dayakisni, T., & Hudaniah. (2006). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Baron, R. A., & Byrne, D. (1994). Social Psychology: Understanding Human Interaction.
Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai