Anda di halaman 1dari 29

Telaah Ilmiah

OPHTHALMIA NEONATORUM

Oleh
Mohammad Fadhiel, S.Ked

Pembimbing
dr. H. Rusdianto, SpM(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Telaah Ilmiah
Ophthalmia Neonatorum
Oleh:
Mohammad Fadhiel, S.Ked
04054821618095

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 27 Desember 2016 s.d Januari 2017
Palembang, 9 Januari 2017

dr. H. Rusdianto, SpM(K)

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat
dan berkat-Nya telaah ilmiah yang berjudul Ophthalmia Neonatorum ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Telaah ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H. Rusdianto,
SpM(K) atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
DAFTAR TABEL..................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Anatomi Konjungtiva...............................................................................3
2. Histologi Konjungtiva..............................................................................5
3. Neisseria gonorrhoeae conjunctivitis14

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman

1. Manifestasi Oftalmia Neonatorum.........................................................18


2. Tatalaksana Konjungitivitis Neonatal pada bayi24
3. Pengobatan Ibu dengan Gonorrhoea saat kehamilan.25

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Oftalmia neonatorum (konjungtivitis neonatus) adalah inflamasi pada
konjungtiva yang ditandai dengan kemerahan dan drainase okular yang
disebabkan oleh organisme patogen atau iritan kimiawi yang terjadi pada infan
dengan usia kurang dari 4 minggu dengan konsekuensi okular dan sistemik yang
potensial.1 Insidensi oftalmia neonatorum ditemukan dengan presentasi yang
tinggi pada daerah-daerah dengan kejadian penyakit menular seksual yang tinggi,
berkisar dari 0,1% di negara-negara yang maju dengan perawatan prenatal yang
efektif, sedangkan berkisar 10% di daerah seperti Afrika Timur.2
Penyakit menular seksual (PMS) pada ibu merupakan salah satu penyebab
tingginya insidens oftalmia neonatorum. PMS umumnya banyak ditemukan pada
negara dengan pendapatan yang rendah atau pada negara berkembang. Kelompok
penyakit ini dapat menyebabkan kemandulan, abortus, kebutaan pada neonatus,
dan bahkan kematian. Kebutaan pada neonatus merupakan komplikasi dari
konjungtivitis pada neonatus (oftalmia neonatorum) yang diperoleh dari ibu yang
terinfeksi. Di awal abad ke-20, munculnya skrining pada wanita hamil untuk
penyakit menular seksual (PMS) merupakan pemicu meluasnya penggunaan
profilaksis tetes mata pada bayi baru lahir.1
Infeksi bakteri umumnya didapat dari ibu yang terinfeksi selama proses
melahirkan. Organisme patogen umumnya menginfeksi bayi melalui kontak
langsung selama proses kelahiran. Bakteri yang paling sering menyebabkan
oftalmia neonatorum adalah Chlamydia trachomatis yang menyebabkan
Chlamydial ophtalmia. Kejadian bayi lahir dengan Chlamydial ophtalmia
ditemukan pada 2-4% kelahiran dan meliputi sepertiga hingga setengah dari total
kasus konjungtivitis pada neonatus. Sebaliknya, kejadian oftalmia neonatorum
akibat infeksi gonokokal telah berkurang drastis dan menyebabkan kurang dari
1% kasus oftalmia neonatorum. Selain infeksi bakteri, keratokonjungtivitis herpes

yang disebabkan oleh virus herpes simplek tipe 1 dan 2 merepresentasikan


kebanyakan infeksi yang disebkan oleh virus.1
Pada abad ke-19, kejadian oftalmia neonatorum telah mencapai tingkat
yang mengkhawatirkan di bangsal bersalin di Eropa dan Kanada. Penggunaan
profilaksis dan terapeutik dari 2% AgNO3 diperkenalkan oleh Crede pada tahun
1880 untuk mencegah kebutaan neonatal yang disebabkan oleh oftalmia
neonatorum akibat infeksi gonokokus.3 Disisi lain, oftalmia neonatorum juga
dapat disebabkan oleh iritan kimiawi yang disebut konjungtivitis kimiawi.
Konjungtivitis kimiawi ini merupakan akibat sekunder dari penggunaan
profilaksis silver nitrat pada mata.4
Oftalmia neonatorum merupakan penyebab mayor kebutaan pada neonatus
di negara berkembang. Di lain sisi, konjungtivitis neonatus terjadi pada 1-2%
kelahiran di Amerika Serikat.3 Sehubungan dengan banyaknya kejadian dan
bahaya yang dapat disebabkan akibat oftalmia neonatorum, penulis tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai oftalmia neonatorum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Konjungtiva

1.1

Anatomi konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang melapisi permukaan posterior dari kelopak mata dan permukaan
anterior dari sklera.5
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:6
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus. Konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
c. Konjungtiva fornises atau forniks yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva5

1.2

Histologi konjungtiva
Secara histologis, konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang disebut5,7
1. Epitel
Lapisan dari sel epitel pada konjungtiva berbeda pada tiap-tiap regionya
seperti
a. Konjungtiva marginal mempunya lima lapis sel epitel gepeng bertingkat.
b. Konjungtiva tarsalis mempunyai dua lapis sel epitel. Sel silindris pada
bagian superfisial dan sel gepeng pada bagian basal.
c. Konjungtiva forniks dan bulbar mempunyai tiga lapis sel epitel. Sel
silindris pada bagian superfisial, polihedral pada bagian tengah, dan sel
kuboid pada bagian basal.
d. Konjungtiva limbal mempunyai lima sampai enam lapis sel epitel
gepeng bertingkat.
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval
yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel
epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat
mengandung pigmen.
2. Adenoid
Disebut juga lapisan limfoid yang terdiri dari jaringan ikat, terdapat
sel limfosit di antaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Lapisan
ini belum terbentuk pada saat kelahiran sampai usia 3-4 bulan kehidupan.
Oleh sebab itu peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi
folikular.

3. Fibrosa
Terdiri dari jalinan kolagen dan serat elastin. Pada lapisan ini
terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan ini lebih tebal dari adenoid,
kecuali pada bagian konjungtiva tarsal dimana lapisan ini sangat tipis.

Gambar 2. Histologi Konjungtiva5


2.

Oftalmia Neonatorum

2.1

Definisi
Oftalmia neonatorum adalah radang konjungtiva yang terjadi pada
neonatus dengan onset munculnya manifestasi dalam 28 hari pertama
kehidupan. Oftalmia neonatorum ditandai dengan kemerahan dan drainase
okular yang disebabkan oleh organisme patogen atau iritan kimiawi. Infeksi

ini umumnya diperoleh oleh neonatus selama perjalanan melalui jalan lahir
yang terinfeksi. Kondisi ini juga dikenal sebagai konjungtivitis neonatal
yang dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi visual.1,5
Kejadian oftalmia neonatorum dapat disebabkan oleh agen infeksius
maupun non-infeksius. Penyebab infeksius seperti bakteri dan virus,
sedangkan penyebab non-infeksius adalah bahan kimia yang biasanya
diberikan sebagai profilaksis mata pada bayi baru lahir.8

2.2

Etiologi
Oftalmia

neonatorum

dapat

disebabkan

oleh

agen

infeksius

(mikroorganisme) dan non-infeksius (iritan kimiawi). Infeksi dapat terjadi


dalam tiga cara, yaitu sebelum kelahiran, selama kelahiran, atau setelah
lahir.5
a. Sebelum Kelahiran
Infeksi sangat jarang terjadi melalui cairan amnion pada ibu yang
mengalami rupture membran.
b. Selama Kelahiran
Ini adalah cara infeksi yang paling umum terjadi. Infeksi dari jalan lahir
yang terinfeksi terutama ketika anak lahir dengan presentasi wajah atau
dengan bantuan forceps.
c. Setelah Lahir
Infeksi dapat terjadi selama bayi baru lahir pertama kali mandi atau dari
pakaian kotor atau jari dengan lokia yang terinfeksi.
Etiologi konjungtivitis neonatal dapat disebabkan oleh berbagai
macam agen seperti bahan kimia atau mikroba. Meskipun beberapa agen
non-infeksius maupun infeksius dapat menginfeksi konjungtiva, penyebab

paling umum konjungtivitis neonatal adalah larutan perak nitrat (AgNO3),


Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan infeksi virus herpes
simplek.
2.2.1

Infeksi gonokokal
Bentuk yang paling serius dari ofthalmia neonatorum disebabkan

oleh Neisseria gonorrhoeae. Ciri khas dari bakteri ini dari pewarnaan gram
adalah bakteri diplokokus gram negatif, tidak bergerak, dengan diameter
kira-kira 0,8 m. Pada keadaan tidak berpasangan kokus bakteri berbentuk
seperti ginjal, bila berpasangan bagian yang datar atau cekung saling
berdekatan.9
Manifestasi dari oftalmia neonatorum yang disebabkan bakteri
gonokokal yaitu:2
- Onset penyakit biasanya terjadi dalam 3 - 4 hari pertama kelahiran tetapi
mungkin tertunda sampai 3 minggu.
- Dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
- Mata penderita akan kelihatan merah dan membengkak disertai keluarnya
sekret purulen.
- Pada kasus berat ditandai dengan kemosis, sekret yang berlebihan, dan
ulserasi kornea yang progresif dan dapat berlanjut menjadi perforasi.

Gambar 3. Neisseria gonorrhoeae conjunctivitis7


Ophtalmia neonatorum dari Neisseria meningitidis juga telah
dilaporkan. Dua organisme Neisseria tersebut tidak dapat dibedakan dengan
pewarnaan gram. Diagnosis definitif didasarkan pada kultur dari eksudat
konjungtiva. Bayi yang terinfeksi harus diperiksa untuk infeksi bersamaan
dengan HIV, Klamidia, dan Sifilis.2
2.2.2

Infeksi klamidia
Bakteri golongan Klamidia yang paling sering menyebabkan

konjungtivitis neonatal adalah spesies Chlamydia trachomatis, disebut juga


Trachoma Inclusion Conjungtivitis (TRIC). Bakteri ini adalah organisme
intraselular obligat. Onset dari konjungtivitis pada bayi biasanya muncul
sekitar usia 1 minggu, walaupun ada kemungkinan onset bisa muncul lebih
cepat terutama pada kasus ketuban pecah dini.2
Karakteristik dari infeksi pada mata berupa:
- Edema ringan, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler dengan eksudat
ringan sampai sedang.
- Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan
munculnya sekret yang banyak serta terbentuknya pseudomembran.
Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis adalah kultur dari kerokan
konjungtiva yang terinfeksi. Karena kuman ini merupakan organism obligat

intraselular, pada material yang akan dikultur harus terdapat sel epitel
didalamnya. Tes amplifikasi asam nukleat (reaksi rantai polymerase) lebih
sensitif dari pemeriksaan kultur. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah tes fluoresens antibodi langsung dan enzim immunoassay.2
2.2.3

Infeksi virus herpes simplek


Virus herpes merupakan virus yang memiliki morfologi besar.

Semua virus herpes mempunyai inti DNA untai-ganda yang dikelilingi oleh
protein. Virus memasuki sel melalui peleburan dengan selaput sel setelah
berikatan dengan reseptor sel khusus berupa glikoprotein.9
Virus herpes simplek dapat berdampak pada keratokonjungtivitis
neonatus

yang

keratokonjungtivitis

diperoleh
neonatus

selama
akibat

kelahiran.

Meskipun

infeksi herpes simplek

jarang,
dapat

berhubungan dengan infeksi herpes simplek secara general. Manifestasi


klinis pada infeksi HSV biasanya lebih lama muncul dari pada infeksi
gonokokal yaitu pada minggu pertama atau kedua kehidupan.5
2.2.4

Infeksi iritan kimiawi


Larutan silver nitrat merupakan salah satu penyebab steril terbanyak

dari oftalmia neonatorum. Silver nitrat digunakan sebagai profilaksis infeksi


gonokokus okular sebagai agen yang paling efektif dalam mencegah
oftalmia neonatorum dengan inaktivasi langsung gonokokal. Metode
Credes merupakan metode yang baik dalam mencegah oftalmia neonatorum
dengan menggunakan 2% tetes silver nitrat. Kemudian, silver nitrat
ditemukan sebagai toksik bagi konjungtiva, menyebabkan konjungtivitis
neonatus kimiawi, yang pada umumnya berlangsung pada 2-4 hari.2
Konjungtivitis karena bahan kimia biasanya ditandai dengan iritasi
ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya, serta munculnya kemerahan
pada konjungtiva muncul pada 24 jam pertama setelah pemberian larutan
perak nitrat (AgNO3) atau antibiotik yang umumnya digunakan sebagai

profilaksis mata. Seiring perkembangannya, insiden oftalmia neonatorum


karena bahan kimia pada kebanyakan negara telah berkurang secara
signifikan karena profilaksis dengan silver nitrat telah digantikan dengan
neomisin dan kloramfenikol eye drops serta erithromycin ointment.5

2.3

Epidemiologi
Penyebab bakteri tersering pada oftalmia neonatorum adalah Chlamydia
trachomatis yang menyebabkan oftalmia klamidia dimana terjadi pada 2-4%
kelahiran. Oftalmia klamidia terjadi pada sepertiga hingga setengah total
kasus

konjungtivitis

neonatus

pada

negara

berkembang.

Insiden

konjungtivitis yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae di Amerika


Serikat berkisar 2-3 per 10.000 kelahiran. Keratokonjungtivitis herpetik
yang disebabkan oleh virus herpes simplek tipe 1 dan 2 merepresentasikan
kebanyakan infeksi virus.1
2.4

Faktor Risiko
Faktor risiko untuk terjadinya oftalmia neonatorum termasuk:8
1. Vaginitis pada ibu
2. Terdapatnya mekonium pada air ketuban saat bayi lahir
3. Ketuban pecah dini
4. Partus yang lama
5.Rendahnya tingkat lisozim dan imunoglobulin dalam konjungtiva neonatal
6. Kehamilan kurang dari 36 minggu
7. Tindakan pertolongan persalinan yang tidak higienis dan steril
8. Profilaksis okular setelah kelahiran yang tidak adekuat

9. Prenatal care yang buruk


10. Pajanan silver nitrat
2.5

Patofisiologi
Konjungtiva merupakan selaput lendir tipis, berdasarkan lokasi
dapat dibagi menjadi tarsal, bulbi, dan forniks. Konjungtiva terdiri dari
epitel skuamosa non-keratin, yang kaya vaskularisasi pada substantia
propria (mengandung pembuluh limfatik dan sel, seperti limfosit, sel
plasma, sel mast, dan makrofag). Konjungtiva ini juga memiliki kelenjar
lakrimal dan sel goblet.4
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel
yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya
adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan
oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.
Konjungtiva pada neonatus berada dalam kondisi steril saat lahir tapi
mudah menjadi tempat kolonisasi oleh berbagai mikroorganisme yang dapat
berupa patogenik atau non-patogen. Konjungtiva neonatus rentan terhadap
infeksi, bukan hanya karena ada rendahnya tingkat agen antibakteri dan
protein seperti lisozim dan immunoglobulin A dan G, tetapi karena kelenjar
air mata dan salurannya yang baru mulai berkembang.2,10
Patologi konjungtivitis neonatal dipengaruhi oleh anatomi dari
jaringan konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan pada konjungtiva
dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah, kemosis, dan sekresi
berlebihan. Eksotoksin dari bakteri seperti yang dapat ditemukan pada
spesies Streptococcus dan Staphylococcus dapat menginduksi terjadi

nekrosis, terutama bagi sel epitel konjungtiva. Hasil nekrosis dari epitel
tersebut akan menghasilkan sekret pada mata.1,4
Walaupun pada fase akut sebagian besar patogen akan tereliminasi,
namun pada beberapa spesies ditemukan dapat bertahan dari reaksi imun
tersebut, seperti pada spesies Chlamydia trachomatis yang dapat bertahan
dan hidup pada sel fagosit.1
2.6

Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi sesuai dengan etiologi. Gejala klinis dinilai
berdasarkan2,5,11
a. Berdasarkan masa inkubasi
Konjungtivitis gonokokal pada umumnya terjadi pada 3-5 hari setelah lahir
namun pada beberapa kasus dapat terjadi dikemudian hari
Konjungtivitis klamidia pada umumnya memiliki onset lebih lama dari
konjungtivitis gonokokal yaitu dengan masa inkubasi 5-14 hari.
Konjungtivitis kimia sekunder akibat aplikasi larutan perak nitrat pada
umumnya terjadi pada hari pertama kehidupan, menghilang secara spontan
dalam waktu 2-4 hari
Konjungtivitis herpetik pada umumnya terjadi dalam minggu pertama
setelah lahir.

b. Berdasarkan penyebab
Gambaran klinis konjungtivitis gonokokal cenderung lebih parah
dari penyebab lain ophthalmia neonatorum, yaitu: 2,11
Terdapat tanda klasik berupa konjungtivitis purulen, yang biasanya
bilateral.

Keterlibatan kornea juga telah dilaporkan, termasuk edema difus epitel dan
ulserasi yang dapat berlanjut ke perforasi kornea dan endophthalmitis.
Pasien mungkin juga memiliki manifestasi sistemik misalnya, rhinitis,
stomatitis, artritis, meningitis, infeksi anorektal, septicemia.
Karakteristik dari infeksi pada mata pada oftalmia neonatorum
akibat infeksi klamidia berupa: 11
Edema ringan, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler dengan eksudat
ringan sampai sedang.
Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan
munculnya sekret yang banyak serta terbentuknya pseudomembran.
Kebutaan dapat terjadi meskipun jarang dan jauh dan terjadi lebih lambat
daripada konjungtivitis gonokokal, bukan karena keterlibatan kornea seperti
pada konjungtivitis gonokokal; tetapi akibat dari bekas luka kelopak mata
dan pannus (seperti pada trachoma).
Pada konjungtivitis yang disebabkan bakteri lain dapat memberikan
manifestasi klinis berupa:6
- hiperemis konjungtiva
- edema palpebra
- adanya sekret pada mata.
Presentasi klinis konjungtivitis neonatal karena agen kimia biasanya
lebih ringan. Ditandai dengan infeksi bilateral, iritasi, dan sekret mukosa.
Herpes simpleks keratokonjungtivitis biasanya terjadi pada bayi dengan
adanya vesikel pada kornea yang dapat membentuk gambaran dendrit. Pada
herpes simpleks umum adanya keterlibatan epitel kornea disertai vesikula
pada kulit (yang mengelilingi mata).6
Untuk

pengendalian,

World

Health

Organization

telah

mengembangkan cara sederhana untuk mengenali klasifikasi konjungtivitis


klamidia:2

TF : Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal atas.


TI : Infitrasi difus dan hipertrofi papil konjungtiva atas yang sekurang
kurangnya menutupi 50% pembuluh profunda normal.
TS : Parut konjungtiva trachomatosa.
TT : Trikiasis atau entropion ( bulu mata terbalik ke dalam ).
CO : Kekeruhan kornea.
Adanya TF dan Ti menunjukan konjungtivitis klamidia infeksiosa
aktif yang harus diobati. TS adalah bukti cedera akibat penyakit ini. TT
berpotensi membutakan dan merupakan indikasi untuk tindakan operasi
kokreasi palpebra. CO adalah lesi yang terakhir membutakan dari
konjungtivitis klamidia.
Tabel 1. Manifestasi Oftalmia Neonatorum
Hasil
Penyebab

Onset

Temuan Klinis

Laboratorium
dan Sitologi

Bahan Kimia (perak

Dalam

1. Hiperemis
2. Sekret cair

Kultur negatif
maupun

nitrat sebagai

beberapa

profilaksis)

jam

Gonokokus

2-4 hari

Akut Purulen

Gram

setelah

Konjungtivitis

diplokokus

mukoid

lahir

negatif

intraselular pada
agar coklat dan
agar darah

Klamidia

5-14 hari 1. Konjungtivitis

Giems-positif

setelah

inklusi

lahir

mukopurulen lebih
jarang dari purulen
2. Mukus kental

sitoplasma
epitel.

sel

Kultur negatif
Bakteri lain

4-5

Konjungtivitis

Kultur

positif

(Pseudomonas

hari

mukopurulen

pada agar darah,

aeruginosa,

setelah

gram

Staphylococcus

lahir

maupun negatif.

positif

aureus, Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus)
Herpes simpleks

5-7 hari
setelah

1. Blefarokonjungtivitis
2. Keterlibatan kornea
3. Manifestasi sistemik

lahir

Multinucleated
Giant

Cell,

positif

inklusi

sitoplasma,
kultur negatif.

2.7 Cara Penegakkan Diagnosis


Studi laboratorium untuk konjungtivitis neonatal sangat penting
untuk penegakan diagnosis dan pengelolaan yang baik.1
Pemeriksaan kultur awal pada suspek infeksi Neisseria gonorrhoeae
dilakukan dengan menggunakan agar coklat atau agar Thayer-Martin. Pada
Neisseria gonorrhoeae dalam 24 jam kultur akan didapat koloni mukoid
cembung, mengkilat dan menonjol dengan diameter 1-5 mm. Koloni dapat
transaparan atau opak, tidak berpigmen dan tidak hemolitik.9
Infeksi klamidia dapat dilakukan dengan mengambil goresan
konjungtiva yang kemudian diperiksa dengan pewarnaan Giemsa yang akan
memberikan hasil ungu atau pewarnaan Macchiavello yang menghasilkan
warna merah, dimana hasil tersebut kontras dengan sel inang yang berwarna
biru. Hal ini dikarenakan Chlamydia trachomatis adalah organisme
intraseluler obligat sehingga eksudat tidak adekuat untuk dijadikan sebagai
sampel pemeriksaan, oleh karena itu spesimen konjungtiva untuk

pemeriksaan klamidia harus mengikutsertakan sel epitel konjungtiva. Selain


itu

juga

dapat

dilakukan

pemeriksaan

uji

antibodi

langsung

immunofluorescent.2,7 Pada konjungtivitis herpes, pewarnaan gram dapat


menunjukkan hasil sel raksasa multinukleat atau pewarnaan Papanicolaou
dapat menunjukkan inklusi eosinofilik intranukleat pada sel epitel.2,7
2.9 Tatalaksana
Sebagai tindakan pencegahan, ibu hamil yang mengetahui dirinya
menderita klamidia, gonorrhea, ataupun herpes genital perlu berkonsultasi
kepada

dokter

mengenai

perlunya

pengobatan

tambahan

sebelum

melahirkan. Umumnya oftalmia neonatorum dapat dicegah dengan


mengobati atau menghambat penularan penyakit melalui seksual ibu.2,5
Penatalaksanaan pada kasus oftalmia nenonatorum lebih difokuskan bahwa
pemberian profilaksis selalu lebih baik daripada pengobatan kuratif.
Profilaksis diberikan pada masa antenatal, natal dan postnatal.5
a.

Antenatal: meliputi perawatan menyeluruh ibu dan pengobatan infeksi


genital saat dicurigai terinfeksi

b.

Natal: merupakan waktu yang sangat penting, karena sebagian besar


infeksi terjadi selama persalinan
Proses melahirkan harus dilakukan dengan higienisitas tinggi dan
melakukan tindakan aseptik
Kelopak mata bayi yang tertutup harus benar-benar dibersihkan dan
dikeringkan

c.

Postnatal: langkah-langkahnya meliputi5


- Penggunaan tetrasiklin topikal 1% atau eritromisin topikal 0,5%

atau perak nitrat 1% (metode Crede 's) ke dalam mata bayi segera setelah
kelahiran.

- Suntikan tunggal ceftriaxone 50 mg / kg IM atau IV (tidak


melebihi 125 mg) harus diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu yang tidak
diobati.

Pengobatan Kuratif2,5,7
Pengobatan kuratif sebaiknya diberikan bila ada pemeriksaan
sitologi dari epitel konjungtiva ataupun kultur dari sekret konjungtiva
sebelum memulai perawatan. Hingga hasil mikrobiologi diperoleh,
penanganan oftalmia neonatorum ditatalaksana dengan antibiotik spektrum
luas seperti ofloxacin 0.3% qds.2
a.

Oftalmia neonatorum kimiawi adalah kondisi yang dapat sembuh dengan


sendirinya dalam waktu 2-4 hari dan tidak memerlukan pengobatan
apapun. Namun, penggunaan air mata buatan tetap disarankan.

b.

Oftalmia

neonatorum

yang

disebabkan

gonokokus

membutuhan

pengobatan yang tepat dan cepat untuk mencegah komplikasi seperti


perforasi kornea dan kebutaan.
Terapi topikal harus mencakup:4

Pemberian irigasi dengan larutan garam salin dianjurkan

tiap jam sampai eksudat dari konjungtiva bersih.

Antibiotik lokal seperti salep mata bacitracin atau

eritromisin 4 kali per hari digunakan sebagai terapi tambahan. Karena


strain ini resisten terhadap penisilin, terapi topikal dengan golongan
penisilin tidak dapat digunakan.Jika terjadi keterlibatan kornea maka
salep atropin sulfat harus diberikan.
Terapi sistemik12

Neonatus dengan gonokokal ophthalmia harus dirawat dengan salah


satu regimen berikut (sesuai dengan hasil kultur sensitivitas; bila hasil
kultur belum tersedia, maka digunakan antibiotik sesuai pola resistensi
lokal):
Tabel 2 Tatalaksana Konjungitivitis Neonatal pada bayi

(Dirjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. Pedoman Nasional


Infeksi Menular Seksual 2011. Kementerian Kesehatan RI 2011)

Tabel 3 Pengobatan Ibu dengan Gonorrhoea saat kehamilan

(Dirjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. Pedoman Nasional


Infeksi Menular Seksual 2011. Kementerian Kesehatan RI 2011)
c.

Oftalmia neonatorum Chlamydial2,7


Diberikan eritromisin sistemik 50 mg/kg/hari per oral, dibagi menjadi 4
dosis sehari selama 2 minggu karena pada infeksi konjungtiva oleh
Chlamydia biasanya ditemukan kolonisasi pada saluran pernapasan bagian
atas, yang dikhawatirkan bisa menyebabkan pneumonia. Tetrasiklin 1%
atau eritromisin 0,5% topikal dapat diberikan 4 kali sehari sebagai
adjuvan. Namun, tidak dianjurkan untuk hanya memberikan terapi topikal
saja. Kedua orang tua juga harus diobati dengan eritromisin sistemik.

d.

Oftalmia neonatorum oleh Herpes simpleks2,7


Diberikan dosis rendah asiklovir sistemik (30mg/kg/hari secara intravena
dibagi 3 kali) atau vidarabine (30 mg/kg/hari dalam dosis terbagi secara
intravena) selama minimal 2 minggu untuk mencegah penyebaran infeksi
secara sistemik. Pengobatan topikal dapat diberikan secara bersamaan,
yakni asiklovir salep mata 3% 5 kali sehari.

2.10 Komplikasi
Kasus yang tidak diobati, khususnya pada oftalmia neonatorum
gonokokal, dapat berkembang menjadi ulkus kornea, yang dapat
menyebabkan perforasi kornea.8 Bila tidak diketahui dan tidak segera
diobati, infeksi Pseudomonas dapat menyebabkan endoftalmitis dan bahkan
kematian. Pneumonia telah dilaporkan pada 10-20% kasus pada bayi dengan
konjungtivitis klamidia. HSV keratokonjungtivitis dapat menyebabkan
jaringan parut kornea dan ulserasi. Selain itu, infeksi HSV yang menyebar
luas sering menyebabkan keterlibatan sistem saraf pusat.5
Komplikasi pada umumnya dapat dibagi menjadi komplikasi okular
dan komplikasi sistemik. Komplikasi okular pada konjungtivitis okular
dapat berupa pembentukan pseudomembran, edema kornea, penebalan
konjungtiva palpebra, pembentukan pannus perifer, opasifikasi kornea,
stafiloma, perforasi kornea, endoftalmitis, dan kebutaan. Komplikasi
sistemik yang dapat disebabkan oleh konjungtivitis klamidia dapat berupa
pneumonitis, otitis, dan kolonisasi faring. Pneumonia telah dilaporkan pada
10-20% infan dengan konjungtivitis klamidia. Komplikasi sistemik yang
disebabkan oleh konjungtivitis gonokokus dapat berupa artritis, meningitis,
infeksi anorektal, septikemia, dan kematian. 13

2.11 Prognosis14
Infeksi klamidia: baik 80% sembuh sempurna setelah terapi.
Infeksi bakteri: jarang gagal merespon terhadap terapi.
Infeksi virus: prognosis okular dapat buruk dan sekuele sistemik dapat fatal.
Iritasi kimiawi: baik sembuh sempurna secara spontan dalam 24-36 jam.

BAB III
KESIMPULAN

Oftalmia neonatorum merupakan penyakit infeksi pada bayi baru lahir


yang insidensinya tinggi terutama pada daerah dengan insidensi penyakit menular
seksual yang tinggi. Oftalmia neonatorum adalah suatu infeksi pada konjungtiva
yang terjadi pada neonatus 28 hari setelah kelahiran. Sementara itu agen penyebab
yang paling sering menyebabkan timbulnya infeksi pada konjungtiva neonatus
adalah klamidia, gonokokal, virus herpes simpleks, serta bahan kimia seperti
silver nitrat. Gejala dan perjalanan penyakit yang dapat ditimbulkan bervariasi
berdasarkan agen penyebab masing-masing.Proses transmisi dari penyakit ini
biasanya terjadi pada saat proses kelahiran bayi dari ibu yang sudah terinfeksi
sebelumnya. Maka dari itu, pencegahan oftalmia neonatorum dapat dilakukan
dengan menjaga higienisitas jalan lahir pada saat proses persalinan dan
penggunaan aseptik yang baik.
Pencegahan

merupakan

cara

paling

efektif

untuk

mengurangi

insidensi oftalmia neonatorum. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengobati


dan memberikan profilaksis kepada ibu dan pasangan seksual yang terinfeksi
penyakit menular seksual serta edukasi kepada ibu hamil untuk menjalani
antenatal care dengan teratur. Pengobatan dengan diagnosis yang cepat dan tepat
meningkatkan tingkat kesembuhan dari oftalmia neonatorum dan mencegah
timbulnya komplikasi yang merugikan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Palafox SK, et al. 2011. Ophtalmia Neonatorum. Clinic


Experiment
Ophthalmology
Volume
2.
Available
at:
http://omicsonline.org/2155-9570/2155-9570-2-119.php.

2.

American Academy of Ophthalmology. 2011. Infectious and


Allergic Ocular Disease. In Pediatric Ophthalmology and
Strabismus Section 6. San Fransisco, hal. 186-187.

3.

McCourt EA. 2014. Neonatal Conjunctivitis. MedScape.


Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192190-overview.

4.

Milot J. 2008. Ophthalmia neonatorum of the newborn and its


treatments in Canadian medical publications. Available at
http:/www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1927783.

5.

Khurana AK. 2007. Disease of Conjunctiva. In Comprehensive


Ophthalmology Fourth Edition. New Age International (P)
Limited Publisher. New Delhi, hal. 52, 71-73.

6.

Ilyas S dan Yulianti SR. 2011. Mata Merah dengan Penglihatan


Normal. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal 126-127.

7.

Vaughan dan Asbury. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata,


Subjek Khusus yang Berkaitan dengan Pediatri. Oftalmologi
Umum. ECG, Jakarta, hal 5-6, 360.

8.

Gul SS et al. 2010. Ophtalmia Neonatorum. Journal of the


College
of
Physicians and Surgeons Pakistan Volume 20. Pakistan Available
at:http://www.jcpsp.pk/archive/2010/Sep2010/08.pdf.

9.

Jawetz et al. 1996. Neiseria, Klamidia, dan Herpesvirus.


Mikrobiologi
Kedokteran. EGC. Jakarta. Page 280-282, 340-345, 412-413.

10.

Iyamu E dan Enabuele O. 2003. A Survey on Ophthalmia


Neonatorum in Benin City, Nigeria (Emphasis on gonococcal
ophthalmic). Published Quarterly Mangalore Volume 2. JHAS.
South India. Available at: http://cogprints.org/3230/458.

11.

Birmingham and Midland Eye Centre. 2009. Treatment of


Ophthalmic
Infection.
Available
at:

http://bmec.swbh.nhs.uk/uploads/2013/03/OPHTHALMIANEONATORUM.pdf.
12.

Malika P, Asok T, Faisal H, Aziz S, Tan A, Intan G. Neonatal


Conjunctivitis - A Review. Malays Fam Physician [Internet]. 2008
[cited
7
Januari
2017];3(2):77-81.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4170304/2016.

13.

Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines. 2015.


Centers for Disease Control and Prevention, MMWR Recomm,
hal. 55-60.

14.

Abazi F, et al. 2011. Ophtalmia Neonatorum. INTECH Open


Access Publisher.

Anda mungkin juga menyukai