Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

Seorang Perempuan, 62 Tahun, Datang dengan Keluhan


Lemas Sejak 1 Hari SMRS

Oleh:
dr. Mohammad Fadhiel

Pembimbing:
dr. Edy Saputra Sp.PD,FINASIM

Pendamping:
1. dr. Melly Yusmawati
2. dr. Almal Fuad

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RS PERTAMINA PLAJU PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Seorang Perempuan, 62 Tahun, Datang dengan Keluhan


Lemas Sejak 1 Hari SMRS

Oleh :

Dr. Mohammad Fadhiel

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti progam
dokter internsip di RS Pertamina Plaju Palembang.

Palembang, Januari 2019

dr. Edy Saputra Sp.PD, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Seorang Perempuan, 62
Tahun, Datang dengan Keluhan Lemas Sejak 1 Hari SMRS”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti Program Dokter
Internsip di RS Pertamina Plaju Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Edy Saputra, Sp.PD,
FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Januari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................2
Identifikasi..............................................................................................2
Anamnesis..............................................................................................2
Pemeriksaan Fisik..................................................................................3
Pemeriksaan Tambahan..........................................................................5
Diagnosis................................................................................................5
Tatalaksana.............................................................................................5
Prognosis................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................7
Gagal Ginjal Kronis...............................................................................7
Nefrosklerosis Hipertensif ....................................................................16
Anemia pada Penyakit Ginjal................................................................22
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi
beragam yang mengakibatkan gangguan struktural atau fungsional ginjal dengan atau tanpa
penurunan progresif laju filtrasi glomerulus. Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang
ireversibel yang terjadi selama lebih dari 3 bulan. Diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria
atau jika nilai laju glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2. Penyakit ginjal kronik dibagi
menjadi lima stadium berdasarkan nilai laju filtrasi glomerulus.1

Penyebab penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara
lainnya. Menurut United State Renal Data System di Amerika Serikat, prevalensi penyakit
ginjal kronis meningkat 20-25% setiap tahun dengan diabetes (44%) dan hipertensi (27%)
menjadi etiologi tersering. Berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
pada tahun 2000 tercatat 70.000 penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di
Indonesia dengan penyebab antara lain glomerulonefritis (46%), diabetes melitus (18%),
obstruksi dan infeksi (12%), hipertensi (8%), dan sebab lainnya (13%). Angka ini akan terus
meningkat sekitar 10% setiap tahunnya.WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi
peningkatan penderita gagal ginjal pada tahun 1995-2025 sebesar 41,4%.1-3

Pada penyakit ginjal kronis, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun sehingga
menyebabkan berbagai gejala secara sistemik. Pada gagal ginjal kronis (stadium akhir) dapat
1,4
terjadi asidosis metabolik. Anemia merupakan salah satu komplikasi CKD, terjadi akibat
penurunan sintesis eritropoietin, hormon yang merangsang produksi sel darah merah
(eritropoiesis).1 Pada penyakit ginjal kronis, diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan
pengobatan penyakit yang mendasari sangatlah penting. Meskipun gagal ginjal kronis
merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penanganan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderita.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. Maryamah /Ny. M
Tanggal Lahir : 27 November 1956
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kapt. Abdullah No. 32 RT 10 RW 03 Talang Putri, Plaju, Sumatera
Selatan
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : Rabu, 09 Januari 2019
No. RM : PJ13090217

II.ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan anak penderita pada
14 Januari 2019, pukul 08.00 WIB)

II.1.Keluhan Utama:
Badan lemas sejak ±1 hari SMRS

2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit:

Ny. Maryamah/Ny. N, 62 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1
hari SMRS.
Sejak ± 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengeluh badan terasa
lemas (+), lemas terutama dirasakan ketika beraktivitas, demam (-), batuk (-), sesak
napas (-), mual (+), muntah (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), BAK berwarna kuning
jernih, frekuensi sekitar 5-6 kali sehari, volume tiap BAK sekitar ½ gelas belimbing,
BAK berpasir (-), BAK berbusa (-), BAB darah (-), BAB hitam (-). Sembab pada

6
kelopak mata di pagi hari (+), sembab pada kaki (-), gatal-gatal (+), sering merasa haus
(+), sering merasa lapar (+), pandangan kabur (-).
Sejak ± 14 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh badan terasa
semakin lemas (+), lemas dirasakan bahkan ketika istirahat, mual (+), muntah (-),
penurunan nafsu makan (+), demam (-), batuk (-), sesak napas (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), BAK berwarna kuning jernih, frekuensi sekitar 3-4 kali sehari, volume tiap
BAK sekitar ½ gelas belimbing, BAK berpasir (-), BAK berbusa (-), BAB darah (-),
BAB hitam (-). Sembab pada kelopak mata di pagi hari (+), sembab pada kaki (+), gatal-
gatal (+), pandangan kabur (-). Pasien dibawa berobat ke RS Pertamina Palembang,
Pasien dirawat inap dan mendapatkan tranfusi PRC 2 kolf.
Sejak ± 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh badan terasa
semakin lemas (+), mual (+), muntah (+) segera setelah makan, isi apa yang dimakan,
penurunan nafsu makan (+), demam (-), batuk (-), sesak napas (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), BAK berwarna kuning jernih, frekuensi sekitar 3 kali sehari, volume tiap
BAK sekitar ¼ gelas belimbing, BAK berpasir (-), BAK berbusa (-), BAB darah (-),
BAB hitam (-). Sembab pada kelopak mata di pagi hari (+), sembab pada kaki (+), gatal-
gatal (+), pandangan kabur (-). Pasien dibawa ke IGD Rumah Sakit Pertamina
Palembang.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kencing manis sejak ± 5 tahun yang lalu, pasien tidak meminum obat secara
teratur
Riwayat asma tidak ada
Riwayat batuk lama tidak ada
Riwayat sakit paru tidak ada
Riwayat hipertensi sejak ±
Riwayat BAK berpasir tidak ada
Riwayat Katarak ± 5 tahun yang lalu, dan sudah dioperasi

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat sakit paru dalam keluarga disangkal.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal dalam keluarga
disangkal.

III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik Umum

7
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 36,9º C
Nadi : 84 x/mnt
Pernapasan : 20 x/mnt
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
BB : 60 kg TB : 160 cm

Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala
Bentuk : Normochepali Deformitas : (-)
Simetris : simetris Nyeri tekan : (-)
Rambut : normal Bising : (-)

Mata
Exophtalmus :- sklera : ikterik (-/-)
Enophtalmus :- kornea : normal
Kelopak : normal pupil : normal
Conjunctiva visus : 6/6
- palpebra : anemis (+/+) gerakan : normal
- bulbi : perdarahan (+) lapangan pandang : normal

Leher
JVP : 5-2 cmH2O,
Kel. getah bening : tidak teraba Kaku kuduk :-
Kel. Gondok : tidak teraba Tumor :-
Trachea : sentral

Thorax
Jantung :Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II, batas kanan linea sternalis
dextra ICS V, batas kiri linea mid clavicularis sinistra
ICS V
Auskultasi : HR= 84x/menit, Bunyi jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Paru :Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri
Dinamis simetris kanan & kiri
Retraksi sela iga (-)
Palpasi :Stem fremitus kiri = kanan

8
Pelebaran sela iga (-)
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi :Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
Abdomen :Inspeksi :datar, venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Lemas, venektasi (-), jaringan parut (-), hepar dan lien
tak teraba, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani, shifting dulness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-)

LABORATORIUM

(9-1-2019 pukul 13.25)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hemoglobin 8.9 gr/dL 12.0-16.0 gr/dL
Hematokrit 25% 37-47%
Eritrosit 2,93x 103 /mm3 4,20-5,40x103/mm3
Leukosit 8,9 x 103 /mm3 5.0-10.0 x 103 /mm3 (9-1-2019
Trombosit 310 x 103/µL 150-450 x 103/µL pukul 18.25)
GDS 131 mg/dL <200 mg/dL
Ureum
Jenis Pemeriksaan 89 mg/dLHasil 15-39 mg/dL
Kreatinin
Golongan Darah 4.8
O mg/dL 0,60-01,10 mg/dL
Natrium
Rhesus 134.7 mg/dL
(+) Positif 135-155 mg/dL
Kalium 4.38 mg/dL 3,5-5,5 mg/dL

(10-1-2019 pukul 15.26)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Jumlah Retikulosit 2.1 % 0.5-1.5 %
Serum Iron (Fe) 53 µg/dL 59-148 µg/dL
TIBC 168 µg/dL 259-388 148 µg/dL
Saturasi Besi 31.5 % 20-55%
MCHC 33.2 g/dL 31-37 g/dL
MCH 30 pg 26-36
MCV 90.4 fL 80-97 fL

(12-1-2019 pukul 10.41)

9
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 10.7 g/dL 12-16 g/dL

(14-1-2019 pukul 13.12)

FAAL HATI

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Protein Total 6.5 g/dL 6.4-8.3 g/dL
Albumin 3.0 g/dL 3.8-5.0 g/dL
Globulin 3.5 g/dL 1.8-3.2 g/dL

FAAL GINJAL

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Kreatinin Serum 5.7 mg/dL 0.6-1.1 mg/dL
Ureum 119 mg/dL 15-39 mg/dL
Asam Urat 8.0 mg/dL 2.6-6.0 mg/dL

Menghitung Laju Fitrasi Glomerolus Berdasarkan Rumus Kockrott-Goult

LFG = (140-umur) x berat badan x 0.85/72 x kreatnin serum

LFG = (140-62) x 65/72/4.8

LFG = 12.46 ml/menit/1.73 m2

Laju filtrasi glomerolus < 15  Chronic kidney disease stage V

EKG (9-1-2019 pukul 12.05)

10
Kesan :
Sinus Rhytm
USG (10-1-2019)

11
Kesan :
- Mild Fatty liver
- Sugestif Chronic Kidney Disease kanan kiri
- Efusi Pleura Kiri
IV. DIAGNOSIS
CKD stage V ec DM Nefropati + Anemia e.c Penyakit Kronis+ Hipoalbuminemia

12
+ HHD + Dispepsia
V. DIAGNOSIS BANDING :

VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
Istirahat
Edukasi
O2 Nasal Canul 2L/m
Rencana hemodialisis

B. Farmakologis
- IVFD RL 500 cc gtt 20 x/m makro
- Inj.Ranitidin 1 x 50 mg IV/ 12 jam
- Inj Ondansentron 1 x 4 mg IV/ 12 jam
- Amlodipine 1 x 10 mg
- Candesartan 1 x 16 mg
VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam

VIII. FOLLOW UP

Tanggal/ Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi

9 Januari 2019/ S= lemas, mata merah sebelah kiri


07.00 O= sens: CM, TD: 100/70 mmHg, N: 90x/m
RR: 26x/m, T: 36,8’C
Keadaan spesifik

13
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-,
subconjungtival bleeding (+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 90x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema pretibia (-/-)
A: CKD stage V ec nefropati destruktif
Subconjungtival bleeding ec trombositopenia
ISK
Gastropati Uremikum
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
- Balance cairan
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV/ 24 jam
- Inj Ca Glukonas 1 x 1 gr IV/ 8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr IV/ 12 jam
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg IV/ 24 jam
- Asam folat 1 x 1 mg per oral/ 8 jam

19 agustus S= sesak
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 160/100 mmHg, N: 92x/m
RR: 26x/m, T: 36,4’C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)

14
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m mikro
- Inj. Furosemid 1 x20 mg IV
- Asam folat 2 x 1 mg (PO)
- Neurodex 1 x 1tab
- Clonidine 2 x 0,15 mg PO
- Valsartan 1 x 50 mg PO
20 agustus S= -
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 180/100 mmHg, N: 90x/m
RR: 21x/m, T: 36,5’C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m mikro
- Inj. Furosemid 1 x20 mg IV
- Asam folat 2 x 1 mg (PO)
- Neurodex 1 x 1tab

15
- Clonidine 2 x 0,15 mg PO
- Valsartan 1 x 50 mg PO

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


2.1.1. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ vital tubuh yang berfungsi mengatur volume dan komposisi
kimia darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Berbentuk seperti kacang, terletak di kedua sisi columna vertebralis setinggi
vertebra torakal 12 – vertebra lumbal 3. Pada umumnya, ginjal kanan sedikit lebih rendah
dari ginjal kiri karena adanya hati. Ginjal terletak di spatium retroperitoneal, yaitu di
abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan 2 iga terakhir dan 3 otot besar, yaitu
transversus abdominis, quadrates lumborum dan psoas mayor. Pada orang dewasa, panjang
ginjal sekitar 12 -13 cm, lebar 6 cm, tebal 2,5 cm dan beratnya 150 gram. Ginjal dilipisi oleh
sebuah simpai fibrosa tipis. Permukaan anterior dan posterior, kutub atas dan bawah dari
ginjal berbentuk cembung, sedangkan bagian medialnya cekung karena ada hilus. Hilus
merupakan tempat masuk atau keluarnya arteri, vena renalis, pembuluh limfatik, saraf dan
ureter. Ujung atas ureter yang disebut pelvis renalis, terbagi menjadi dua atau tiga calix
mayor. Cabang yang lebih kecil, yaitu calix minor, muncul dari setiap calix mayor. Area yang
mengelilingi calix, disebut sinus renalis, biasanya mengandung sejumlah jaringan adiposa.5,6,7

Ginjal memiliki korteks di luar dan medula di dalam. Pada manusia, medula ginjal
terdiri atas 8-15 struktur berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal, yang dipisahkan
oleh penjuluran korteks yang disebut columna renalis. Piramida ini merupakan bukaan
saluran pengumpul (tubulus kolektivus) yang membawa filtrate dari nefron korteks menuju
pelvis. Setiap piramida medula plus jaringan korteks di dasarnya dan di sepanjang sisinya
membentuk suatu lobus ginjal. Setiap ginjal terdiri atas 1-1,4 juta unit fungsional yang
disebut nefron. Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut
korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus), yaitu
tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal, yang kemudian
filtrat diteruskan ke tubulus kolektivus. 5,6,7

Korpus ginjal (Badan Malphigi) - Terdiri atas glomerulus (gulungan kapiler)


dikelilingi kapsula Bowman. Glomerulus ditutupi lapisan visceral, kapsula bowman ditutup

17
lapisan parietal. Di antaranya terdapat ruang kapsul untuk tempat filtrat. Kutub vaskular
(arteriol aferen masuk dan arteriol eferen keluar) dan kutub urinarius, tempat mulai tubulus
kontortus proximal. Lapisan parietal terdiri atas selapis epitel pipih, lamina basalis, dan serat
retikulin. Lapisan visceral, sel epitel menjadi sel podosit dengan tonjolan-tonjolan (processus)
primer dan sekunder (pedikel). Pedikel selang-seling ini merupakan salah satu 'sawar'
penyaringan di glomerulus. Selain pedikel tersebut, sawar glomerulus dibentuk oleh
fenestrase sel endotel kapiler dan membran basal glomerular yang memiliki anyaman kolagen
tipe IV yang berikatan silang pada matriks proteoglikan yang bermuatan negatif. Kapiler
glomerulus memiliki sel mesangial (dinding) yang berfungsi sebagai makrofag.7

Tubulus Kontortus Proksimal - Merupakan sambungan dari kutub urinarius, epitel


menjadi silindris atau kuboid selapis.dan mikrovili membentuk brushborder. Vesikel pinositik
dengan lisosom. Bagian Tipis dan Tebal Ansa Henle - Kedua bagian ansa henle terdiri atas
selapis epitel kuboid di dekat korteks, tetapi berupa epitel skuamosa di dalam medula. Bagian
tipis desendens sangat permeabel terhadap air, sehingga air disini direabsoprsi dengan cepat
dari tubulus karena interstisium medula yang hiperosmotik. Sebaliknya, di bagian tipis dan
tebal asendens, permeabilitas air hampir nol namun terjadi reabsorpsi sejumlah besar natrium,
klorida, dan kalium.7

Tubulus Kontortus Distal - Merupakan bagian terakhir nefron. Epitel selapis kuboid
dengan sel lebih kecil dan banyak, lumen lebih besar, lebih banyak mitokondria, tanpa
mikrovili.7

Tubulus Kolektivus - Urin mengalir dari tubulus distal ke tubulus kolektivus, yang
kemudian bergabung membentuk Duktus Papilaris Bellini. Tubulus kolektivus dilapisi epitel
kuboid, sel tampak pucat.7

Ginjal diperdarahi oleh arteri renalis, arteri renalis berasal dari aorta abdominalis
bertugas untuk memperdarahi ginjal. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga
arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Saat arteri renalis masuk ke dalam
hilus akan bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya
membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi batas-batas piramid tersebut.
Arteri arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol interlobularis yang tersusun paralel
dalam korteks. Arteriola interlobularis selanjutnya membentuk arteriola aferen. Masing-
masing arteriola aferen akan menyuplai darah ke glomerolus. Kapiler glomeruli bersatu dan

18
membentuk arteriole eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan
portal yang mengelilingi tubulus dan kadang-kadang disebut kapiler peritubular.7

Gambar 1. Anatomi ginjal

Sumber : Guyton AC & Hall J E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11 th Ed. Elsevier
Saunders

Ginjal diperfusi sekitar 1200 ml darah permenit (sama dengan 20-25% curah jantung),
lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal di distribusikan ke korteks, sedangkan sisanya di
distribusikan ke medula. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah autoregulasi aliran darah
melalui ginjal. Arteriole aferen memiliki kapasitas intrinsik yang dapat mengubah
resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteria, dengan demikian
mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus tetap konstan. Fungsi ini efektif
pada tekanan darah arteria 80-180 mmHg. Hasilnya adalah pecegahan terjadinya perubahan
besar dalam ekskresi zat terlarut dan air. Namun, pada keadaan tertentu aliran perfusi ginjal
dikorbankan dan aliran darah jantung lebih menuju ke otak walaupun tekanan darah arteri
masih dalam rentang autoregulasi.7

19
Gambar 2. Aliran darah ginjal

Sumber : Guyton AC & Hall J E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11 th Ed. Elsevier
Saunders

2.1.2 Fisiologi ginjal

Ginjal memiliki fungsi untuk ekskresi dan non ekskresi. Fungsi ekskresi ginjal yaitu
untuk membuang zat sisa yang dihasilkan dari dalam tubuh ataupun yang di konsumsi.
Fungsi lainnya yaitu untuk menghasilkan urin, mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit,
mengatur osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, mengatur tekanan darah,
mengatur keseimbangan asam-basa, sekresi-metabolisme-ekskresi hormon dan
glukoneogenesis.7

Fungsi primer ginjal adalah untuk eliminasi produk sisa atau sampah yang tak
berguna bagi tubuh dan harus dibuang. Produk sisa ini yaitu urea (berasal dari metabolisme
asam amino), kretinin (berasal dari kreatin otot), asam urat (berasam dari asam nukleat),
produk akhir dari pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit dari beberapa
hormon. Zat-zat ini harus segera dieliminasi dari tubuh, apabila menumpuk di dalam tubuh
akan bersifat toksik. Ginjal juga mengeksresi zat-zat beracun yang dikonsumsi dari dalam
tubuh seperti obat-obatan dan lain-lain.7

Untuk mempertahankan homeostasis, eksresi cairan dan elektrolit (natrium, kalium,


kloida, magnesium, hidrogen, dan fosfat) harus seimbang dengan jumlah yang masuk
(intake). Jika intake melebihi ekskresi maka jumlah zat tersebut akan meningkat di tubuh, dan
sebaliknya. Ginjal juga berperan mengatur tekanan darah arteri dengan dua jenis regulasi
yaitu panjang dan pendek. Regulasi panjang yaitu dengan cara mengatur keseimbangan
cairan dan natrium, sedangkan regulasi pendek dengan cara mensekresi enzim vasoaktif
seperti renin yang menyebabkan sustansi vasoktif lainnya (angiotensin II).7

20
Ginjal bekerjasama dengan paru dan larutan buffer tubuh dalam mengatur
keseimbangan asam dan basa, yaitu dengan cara mengekresikan air dan mengatur simpanan
cairan buffer tubuh. Ginjal merupakan satu-satunya organ tubuh yang mengeliminasi bebeapa
tipe asam dalam tubuh seperti asam sulfur, dan asam fosfor yang dihasilkn dari metabolisme
protein. Fungsi ginjal lainnya yaitu mengatur produksi eritrosit dengan cara mensintesis
eritroprotein sebagai prekursor pembentuk sel darah merah. Stimulus dihasilkannya
eritropoetin (Epo) oleh ginjal adalah hipoxia. Anemia yang terjadi pada orang dengan
penyakit ginjal disebabkan oleh berkurangnya sintesis eritropoetin oleh ginjal. Dalam
regulasi vitamin D, ginjal berperan untuk memproduksi bentuk aktif dari Vitamin D yaitu
calcitriol (1,25 Dihidroxivitamin D2). Calcitriol merupakan zat penting utukdeposisi kalsium
dalam tulang dan reabsorbsi kalsium di saluran cerna. Selain untuk mengatur regulasi
kalsium, calcitriol juga mengatur regulasi fosfat. Ginjal juga berperan dalam sintesis glukosa
dengan merubahnya dari asam amino atau prekursor lainnya selama seseorang puasa.7

2.2. Penyakit Ginjal Kronis

2.2.1 Definisi

Penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel berikut.1

Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik

a. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

1. Kelainan patologik

2. Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan


pencitraan

21
b. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
Sumber: National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease:
evaluation, classification, and stratification. American Journal of Kidney Diseases. 2002.

2.2.2 Epidemiologi

Prevalensi penyakit kronik di seluruh dunia sekitar 5-10%. Di Indonesia belum ada
data yang cukup mengenai penyakit ginjal kronik. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI) melakukan studi yang melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia
mengalami penurunan fungsi ginjal. Insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia
diperkirakan adalah sekitar 30,7 per juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta
populasi.8 Di Indonesia pasien yang menjalani hemodialisis dari tahun 2011 meningkat
sekitar 27,79% pada tahun 2012.9 Penyakit ginjal kronik seringkali berakhir dengan terapi
pengganti ginjal berupa hemodialisis atau cuci darah. Pada tahun 2009 terdapat 7748 pasien
cuci darah di Indonesia, dan penyebab terbanyak (32%) disebabkan oleh hipertensi,
selanjutnya sebanyak 23% disebabkan nefropati DM, dan sisanya oleh glomerulopati primer,
nefropati obstruksi, dan lain-lain.10

Gambar 3. Diagram presentase penyebab pasien cuci darah pada tahun 2009.10

2.2.3. Klasifikasi

22
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas derajat penyakit. Klasifikasi ini
dibuat atas dasar laju filtrasi glomerulus (LFG), yang dihitung dengan mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Di sisi lain, menurut CARI Guidelines dari Kidney Health
Australia (2012), dalam memberi klasifikasi dari stadium penyakit ginjal kronik, perlu
dikombinasilan dengan menghitung fungsi ginjal orang tersebut yakni dengan
mempertimbangkan kadar albuminuria atau proteinuria. Hal ini nantinya akan memberikan
gambaran progresifitas penyakit ginjal kronik tersebut.1,11,12

Gambar 4. Rumus Kockroft-Gault.1

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik1

LFG
(ml/menit/1,73
Derajat Penjelasan m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal / ≥90
Meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG Turun 30-59
Sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG Turun berat 15-29
5 Gagal ginjal <15

Tabel 3. Klasifikasi Kerusakan Ginjal Berdasarkan Kadar Albumin dan Protein Urin12

23
2.2.4. Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
1,6,13
(10%).

A. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang


etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu
pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel,
atau amiloidosis. Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik
yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.

B. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu


kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut

24
sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat
timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama hingga menyebabkan nefropati diabetikum.

C. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal.

D. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih
tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

2.2.5. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Ginjal mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian
terjadi proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah

25
tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut.Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai
oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulo intersitial.1,7

Gambar 5. Perubahan glomerulus dari normal menjadi patologis (penurunan jumlah nefron,
pembesaran lumen kapiler dan adhesi fokal) karena kompensasi hiperfiltrasi dan hipertrofi
sisa nefron

Pada stadium awal penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius belum muncul,
terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LGF masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai
terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan letih dan tidak bertenaga,
susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan, susah tidur, kram
otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal
dan kering, sering kencing terutama pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya.Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di bawah 15% akan terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti

26
ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada end stage atau gagal ginjal.1,11

2.2.6. Gambaran klinis

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.1,13

A. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih
dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

B. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.

C. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

D. Kelainan kulit

27
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

E. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu
indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

F. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental beratseperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

G. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.1,13

2.2.7. Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:1,6

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mencari etiologi yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan

28
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan


dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

B. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat


penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)


2. Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai
sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
3. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
4. Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
5. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
6. Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).
C. Pemeriksaan penunjang diagnosis1,6

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,yaitu:

1. Diagnosis etiologi GGK


Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi
(USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan
Micturating Cysto Urography (MCU).

2. Diagnosis pemburuk faal ginjal

29
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu modalitas
pemeriksaan radiologi yang bermanfaat untuk mengevaluasi ginjal pada pasien
PGK. Parameter sonografi yang dapat dievaluasi adalah panjang (termasuk
ketebalan korteks), volume, kontur, ekogenisitas kuantitatif, pelvokalises ginjal.
Secara umum, panjang ginjal berkolerasi dengan fungsi ginjal pada pasien PGK,
sehingga ukuran panjang bipolar ginjal hampir selalu dilaporkan pada
pemeriksaan USG ginjal dan secara luas digunakan sebagai prediktor PGK.

Gambar 6. Gambaran longitudinal sonogram umtuk penentuan

ketebalan korteks ginjal.

Perubahan pada ketebalan korteks ginjal merupakan tanda penting pada


penyakit ginjal dan telah digunakan sebagai indeks untuk mengevaluasi ginjal
sehat. Dalam penelitian sebelumnya, volume ginjal digunakan sebagai indikator
langsung ukuran ginjal, bukan panjang ginjal, tetapi mengevaluasi volume ginjal
sulit dan membutuhkan pengalaman. Renal Cortical Thickness (RCT) dan
ekogenisitas juga telah digunakan dalam diagnosis PGK. Dengan progresifitas
penyakit ginjal, RCT menurun dan ekogenisitas meningkat. Korkmaz M et al telah
melakukan penelitian mengenai ukuran ketebalan korteks ginjal pada pasien PGK
dengan menggunakan USG yang menunjukkan bahwa ukuran ketebalan korteks
memiliki hubungan yang lebih bermakna dengan laju filtrasi glomerulus
dibandingkan dengan ukuran panjang ginjal.7

2.2.8. Tatalaksana1,6,15

1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

30
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran
ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat

a. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah berhubungan dengan kejadian penyakit ginjal kronik.


Hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal telah disepakati melalui peningkatan tekanan
intraglomeruler yang menimbulkan gangguan struktural dan gangguan fungsional pada
glomerulus. Oleh karena itu, diperlukan kontrol tekanan darah yang baik. Target tekanan
darah menurut KDOQI Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive
Agents in Chronic Kidney Disease berbeda bergantung pada stadium penyakit ginjal kronis
dan laju ekskresi albumin urin (AER).17

31
Gambar 7. Target terapi hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis non dialisis

Akan tetapi menurut algoritma tatalaksana hipertensi oleh JNC VIII dan The
American Society of Hipertension (2014), target tekanan darah pada pasien dengan penyakit
ginjal kronis ialah < 140/90 mmHg. Namun, pada pasien dengan rasio albumin kreatinin ≥70
mg/mmol, target tekanan darah yang direkomendasikan oleh National Institute for Health
and Care Excellence guidelines adalah <130/80 mmHg. Pada pasien penyakit ginjal kronis
dengan terapi dialisis, target tekanan yang disarankan ialah <140 mmHg. Sebaliknya,
penurunan berlebih tekanan darah pada pasien dialisis meningkatkan mortalitas.16

Menurut pedoman KDIGO (2012), penatalaksaan hipertensi pada penyakit ginjal


kronis meliputi kombinasi perubahan pola hidup dan terapi farmakologi. Mereka
merekomendasikan diet rendah garam <2g/hari, IMT 20-25 kg/m 2 , dan olahraga sedikitnya
30 menit, 5x/minggu. Sedangkan untuk terapi farmakologi, mereka merekomendasikan dua
golongan obat antihipertensi yakni angiotensin receptor blocker (ARB) dan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) sebagai terapi utama pada pasien penyakit ginjal kronik
non dialisis dengan atau tanpa diabetes serta kadar ekskresi albumin urea >30 mg/24 jam.16

32
Gambar 8. Algoritma tatalaksana hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis

Akan tetapi, tatalaksana penyakit ginjal kronis pada pasien yang menjalani terapi
dialisis sedikit berbeda. Berdasarkan pedoman National Kidney Foundation KDOQI (2005),
status cairan dan terapi antihipertensi menjadi perhatian utama dalam manajemen tekanan
darah pasien dengan dialisis.16

Gambar 9. Algoritma tatalaksana hipertensi pada penyakit ginjal kronis dengan terapi dialisis

b. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia


akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Kontrol glikemik sangat

33
penting untuk mencegah komplikasi. Salah satu komplikasi mikrovaskular akibat
pengendalian gula darah yang buruk pada diabetes melitus ialah penurunan fungsi ginjal.
Diabetes melitus merupakan penyebab kedua gagal ginjal kronik di Indonesia. Menurut
American Diabetic Association (2016) dan Perkeni (2003), kontrol glikemik pada pasien
diabetes melitus dengan penyakit ginjal kronik berdasarkan HbA1c (gold standard), GDP dan
Glycated Albumin (GA). Indeks glikemik dinyatakan tidak terkontrol bila HbA1C ≥ 7%, GDP
≥100 mg/dL dan atau GA ≥16%.17,18

Gambar 10. Pengendalian diabetes pada penyakit ginjal kronis18

Pemilihan obat antidiabetik oral (OAD) pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2)
dengan penyakit ginjal kronik (PGK) sangatlah penting karena sebagian besar OAD
diekskresikan melalui ginjal sehingga diperlukan penyesuaian dosis. Selain itu, peran OAD
dalam menghambat progresi PGK, yang dinilai dengan perburukan laju filtrasi glomerulus
(LFG) dan/atau albuminuria, juga menjadi salah satu aspek penting yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih OAD pada pasien DMT2 dengan PGK. Pada PGK stadium
lanjut (stadium 4 dan 5), hanya ada beberapa golongan OAD yang secara farmakokinetik
aman digunakan, seperti SU kerja pendek, TZD, dan sebagian penghambat DPP-IV. Pada
PGK dengan stadium yang lebih awal, pilihannya lebih banyak. Walaupun demikian, pada
sebagian besar kasus DMT2 dengan PGK akan diperlukan penyesuaian dosis OAD. Di
Indonesia, sulfonilurea (SU) kerja pendek umum dipakai untuk pengelolaan DMT2 dengan
PGK. Sulfonilurea kerja pendek (gliklazid dan glipizid) dan penghambat SGLT-2
(empaglifozin dan canaglifozin) dapat menghambat progresi PGK pada DMT2.19

c. Gagal Jantung Kongestif

34
Tujuan dari pengobatan untuk setiap pasien dengan gagal jantung adalah memperbaiki
gejala, fungsi, dan kualitas hidup sambil mengurangi rawat inap dan kematian. Selama
beberapa dekade, manajemen kebanyakan pasien dengan gagal jantung telah menjadi jelas
dan berdasarkan bukti. Pedoman European Society of Cardiology (ESC) untuk pasien dengan
gagal jantung simptomatik menetapkan rekomendasi kelas I yang termasuk penghambatan
ACE dan β-blocker dalam dosis maksimum yang berdasarkan bukti dapat ditoleransi sebagai
terapi lini pertama, dengan penambahan mineralokortikoid antagonis reseptor (MRA) bagi
mereka yang tetap bergejala. Substitusi penghambat reseptor angiotensin (ARB) menjadi
penghambat ACE dapat diterima untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi. Semua terapi
ini bersamaan dengan diuretik, yang digunakan untuk mengurangi gejala atau tanda volume
yang berlebihan dan kongestif. Di luar ini adalah pertimbangan untuk sebuah defibrillator
cardioverter implan pada mereka dengan ejeksi fraksi yang terus menerus rendah dan
penggunaan terapi untuk subkelompok pasien terpilih yang bisa mencakup ivabradine,
digoxin, hydralazine / isosorbide dinitrate, dukungan mekanik, atau transplantasi jantung.20

d. Sindroma Nefrotik (SN)

Sindroma nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala dan tanda dengan gambaran utama
proteinuria masif yang muncul akibat adanya gangguan pada glomerulus. Tanda dari sindrom
ini, antara lain proteinuria berat (>3,5 g/24 jam/1,73m 2 pada orang dewasa atau
40mg/jam/m2 pada anak-anak), hipoalbuminemia <3,5 g/dl, hiperlipidemia dan edema
anasarka. Penatalaksanaan SN tidak hanya bertujuan untuk mengobati manifestasi klinis dari
SN, namun juga mencegah atau menghambat progresifitas PGK menuju PGTA.
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab (pada SN sekunder), dan terapi non spesifik atau terapi umum untuk mengurangi
atau menghilangkan proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Patogenesis
sebagian besar penyakit glomerular dikatikan dengan gangguan imun, dengan demikian
terapi spesifiknya adalah pemberian imunosupresif. Para pakar merekomendasikan
pemberian terapi steroid, terutama pada GNLM. Penderita SN dewasa dianjurkanuntuk
melakukan biopsi ginjal sebelum memulai terapi spesifik untuk menegakkan diagnosis
etiologi SN dan prognosisnya. Regimen penggunaan kortikosteroid pada penderita SN
bermacam-macam, diantaranya prednisone 125 mg setiap 2 hari sekali selama dua bulan
kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan (jika relaps terapi dapat
diulangi).Selain itu, dapat juga diberikan prednisone/prednisolone 1-1,5 mg/kgBB/ hari
selama 4 minggu diikuti 1 mg/kgBB selang 1 hari selama 4 minggu dan diteruskan selama

35
20-24 minggu.Regimen lain yaitu prednison 1mg/kgBB/ hari atau 60 mg/hari dapat diberikan
antara 4-12 minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Untuk terapi
non spesifik dapat dilakukan dengan pemberian Angiotensin Converting Enzyme
inhibitor (ACE-I) secara monoterapi atau bersamaan dengan Angiotensin II receptor
blocker (ARB) telah terbukti menurunkan proteinuria dan menurunkan resiko progresifitas
PGK pada penderita SN. Selain itu, dapat diberikan obat golongan diuretika untuk
mengurangi edema. Tatalaksana non farmakologi juga tidak kalah penting seperti
pembatasan asupan natrium (1-2g/hari) untuk meminimalisir edema. Sehubungan dengan
hipoalbuminemia, penderita SN diberikan diet tinggi kalori/karbohidrat yaitu 35
kalori/kgBB/hari (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan cukup
protein (0,8-1 mg/KgBB/hari).1,21

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain
hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, dan lain sebagainya.1,2

3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya


hiperfiltrasi glomerulus. Terdapat dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus,
berikut penjabarannya:

a. Pembatasan asupan protein

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt, sedangkan
di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Pada pasien gagal ginjal kronik sebelum melakukan hemodialisis,
asupan protein yang diperoleh sebesar 0,6/kgbb/hari atau setara jika menggunakan
analog keton atau kombinasi dengan diet. Pada pasien dengan diabetes tipe I dan II,
penurunan asupan protein terkait dengan perlambatan progresivitas dari nefropati
diabetikum yang nantinya menimbulkan gagal ginjal. Pada penelitian lain
menunjukkan bahwa terdapat bukti pada asupan protein 0,3 g/kgBB/hari ditambah

36
analog keton dan energi yang adekuat dapat memperlambat kebutuhan hemodialisis
tanpa adanya efek samping terhadap mortalitas. Restriksi protein yang lebih berat (<
0,3 g/kgBB/hari) mengurangi penurunan Glomerulo Filtration Rate (GFR) tetapi
membutuhkan suplemen asam amino tambahan dan membutuhkan pemantauan ketat
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan kalori dan makronutrien lainnya. Caring
for Australian with Renal Impairment (CARI) menyatakan bahwa pasien CKD
stadium 3-4 kebutuhan proteinnya adalah sebesar 0,75-1,0 g/kgBB/hari. Menurut
mereka, asupan protein kurang dari 0,6 g/kgBB/hari tidak menunjukkan hasil yang
signifikan terhadap penurunan progresivitas dari kerusakan ginjal itu sendiri. British
Dietetic Association menyatkan bahwa asupan protein pada pasien dengan
hemodialisis adalah sebesar 1,1g/kgBB/hari dan pada pasien dengan dialisis
peritoneal adalah sebesar 1,0-1,2g/kgBB/hari.22,23

Selain dengan pembatasan asupan protein, pasien dengan PGK disarankan


mendapatkan asupan energi yang adekuat di mana pada pasien berusia kurang dari 60
tahun membutuhkan 126-167 KJ/hari (hemodialisis) dan 146 KJ/hari (dialisis
peritoneal) serta lebih dari 60 tahun membutuhkan 126-146 KJ/hari. Rata-rata jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Pedoman nutrisi menurut
KDOQI merekomendasikan asupan diet tinggi protein untuk pasien penyakit ginjal
kronik stadium 3-4. Diet tersebut termasuk asupan protein yang lebih tinggi
dibandingkan populasi normal tetapi protein berasal dari sayur-sayuran, produk susu,
dan daging non merah. Protein yang disarankan adalah sebesar 0,6-0,8 g/kgBB
ideal/hari.22
Menurut National Kidney Foundation (2013), beberapa pilihan diet protein
yang dianjurkan ialah (1) diet rendah protein konventional sebesar 0,6 g/kg/hari, (2)
diet sangat rendah protein dengan suplementasi asam amino esensial sebesar
0,3g/kg/hari dan (3) diet sangat rendah protein dengan suplementasi analog keto asam
amino esensial/ diet keto sebesar 0,3g/kg/hari. Manfaat analogketo asam amino
esensial memberikan 2 manfaat penting dalam mengurangi jumlah urea yang
dihilangkan oleh ginjal: (1) asam amino keto menetralisir residu nitrogen yang
berlebihan melalui transaminasi dan membatasi produksi urea, sehingga memutuskan
lingkaran setan penyakit dan (2) suplementasi asam amino keto memungkinkan
pemeliharaan status gizi meskipun asupan protein sangat rendah pada pasien dengan
PGK. Diet hipoprotein paling sering dibahas untuk pasien dengan penyakit ginjal

37
kronis yang tidak menerima dialisis. Diet protein yang sangat rendah yang dilengkapi
dengan analogketo dari asam amino esensial (diet keto) terbukti efektif dalam
memperbaiki gangguan metabolisme PGK lanjut dan menunda inisiasi dialisis tanpa
efek merusak pada status gizi. Beberapa penelitian terbaru melaporkan bahwa diet
keto juga dapat memperlambat laju penurunan fungsi ginjal, dengan hasil yang lebih
baik setelah inisiasi dialisis. Hasil dari uji coba terkontrol menunjukkan 57%
penurunan lebih lambat dalam fungsi ginjal dengan diet keto dibandingkan dengan
diet rendah protein konvensional. Diet keto merupakan manajemen aman bagi pasien
PGK stadium 4-5 dengan efek menunda dialisis selama hampir 1 tahun dan
meningkatkan kualitas hidup.22

Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila


terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda
dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh
tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan
demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.22,23
b. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan untuk mengurangi hipertensi


intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan
darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,

38
dalam memperkecil hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus. Di samping
itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini
diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya
pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan
proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat
antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.16

4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal penting,


karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular
adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia,
pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.1,14,15

5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya


sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi, antara lain: 1,4,9

a. Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah
(misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi
(kadar besi serum, serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity,
feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya

39
hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO)
mempakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu
mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai
studi klinik adalah 11-12 g/dl.1,4

Tabel 4. Berbagai penyebab anemia pada CKD6

Defisiensi relatif eritropoietin

Usia sel darah merah berkurang

Diatesis hemoragik

Defisiensi zat besi

Hiperparatiroidisme / fibrosis sumsum tulang

Inflamasi kronis

Defisiensi asam folat atau vitamin B12

Hemoglobinopati

Kondisi komorbid: hipo/hipertiroidisme, kehamilan, HIV, penyakit


autoimun, obat-obat immunosupresan
Sumber: Harrison’s Principle of Internal Medicine 17 th Ed.

b. Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada
pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Dalam mengatasi hiperfosfatemia, dapat dilakukan beberapa hal berikut:4,15

40
1). Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada
pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.

2). Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium.Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan.Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan kalsium asetat.

3). Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium
mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek
samping yang minimal.

4). Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi


osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena
dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan,
yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan
penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu,
pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.

6. Pembatasan Cairan dan Elektrolit4,9

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular.
Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin
maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible
water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang
masuk dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi

41
asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

7. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 mI/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.24

a. Hemodialisis

Hemodialisis dilaksanakan untuk menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik
lainnya di dalam darah. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Pada gagal ginjal akut terjadi keadaan dimana fungsi ginjal
menurun secara akut dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, yang ditandai dengan
berkurangnya volume urin dalam 24 jam dan terjadi peningkatan kadar kreatinin serum.
Hemodialisis pada pasien gagal ginjal akut bersifat sementara. Adapun tujuan hemodialisis
pada gagal ginjal akut ialah untuk mempertahankan keberlangsungan hidup pasien sampai
fungsi ginjalnya pulih kembali. Sedangkan pada gagal ginjal kronis terjadi gangguan fungsi
ginjal yang progresif dan bersifat ireversibel. Oleh sebab itu, tujuan hemodialisis ialah untuk
mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan fungsi ginjal secara
keseluruhan. Hemodialisis bersifat permanan sehingga pasien akan menjalani terapi seumur
hidupnya. Akan tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat, pada pasien PGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Pada pasien penyakit ginjal kronis stadium
4 perlu dipersiapkan untuk menjalani hemodialisis inisiasi. Terapi pengganti ginjal umumnya
dilakukan pada pasien PGK stadium akhir. Keputusan untuk melakukan dialisis inisiasi harus
diambil berdasarkan penilaian gejala dan/ atau tanda yang berhubungan dengan uremia, bukti
adanya kebocoran protein plasma, dan kemampuan menangani abnormalitas metabolik dan/
atau overload volume cairan dengan terapi medikamentosa.21

Adapun indikasi dilakukannya tindakan hemodialisis, yaitu indikasi absolut/segera


dan indikasi elektif. Terdapat lima kondisi dilakukannya dialisis segera. Perlu diingat bahwa

42
dialisis hanya dilakukan apabila kondisi-kondisi berikut tidak bisa diperbaiki dengan terapi
konvensional. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu:

1. gangguan asam basa: asidosis berat (pH< 7,1)

2. intoksikasi: salisilat, metanol

3. uremia: perikarditis uremikum, ensefalopati uremikum, perdarahan, azotemia


(ureum >200 mg/dl),

4. gangguan elektrolit: hiperkalemia (K+ >6,5 mEq/L), hiperkalsemia, hipernatremia


berat (Na+ >160mEq/L), atau hiponatremia berat (Na+ <115mEq/L), muntah persisten;

5. Overload cairan: edema paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik.

Sedangkan indikasi elektif antara lain, yaitu LFG antara 5-8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.14

Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam
pemeriksaan laboratorium. Untuk mencapai adekuasi hemodialisis, maka besarnya dosis yang
diberikan harus memperhatikan hal-hal berikut: (PERNEFRI, 2003)

a. Time of Dialisis
Lama waktu pelaksanaan hemodialisis yang idealnya 10-12 jam per minggu.
Bila hemodialisis dilakukan 2 kali/minggu maka lama waktu tiap kali hemodialisis
adalah 5-6 jam, sedangkan bila dilakukan 3 kali/minggu maka waktu tiap kali
hemodialisis adalah 4-5 jam.

b. Interdialytic Time
Waktu interval atau frekuensi pelaksanaan hemodialisis yang berkisar antara 2
kali/ minggu atau 3 kali/minggu. Idealnya hemodialisis dilakukan 3 kali/minggu
dengan durasi 4-5 jam setiap sesi, akan tetapi di Indonesia dilakukan 2
kali/minggu dengan durasi 4-5 jam.

c. Quick of Blood (Blood flow)


Besaran aliran darah yang dialirkan ke dalam dialiser yang besarnya antara
200-600 ml/menit dengan cara mengaturnya pada dialisis. Pengaturan Qb 200

43
ml/menit akan memperoleh bersihan ureum 150 ml/menit, dan peningkatan Qb
sampai 400 ml/menit akan meningkatkan bersihan ureum 200 ml/menit.
Kecepatan aliran darah (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien,
ditingkatkan secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap jam.

d. Quick of Dyalisate
Besaran aliran dialisat yang menuju dan keluar dari dialiser yang dapat
mempengaruhi tingkat bersihan yang dicapai, sehingga perlu di atur sebesar 400-
800 ml/menit dan biasanya sudah disesuaikan dengan jenis atau merek mesin.
Daugirdas et al. (2007) menyebutkan bahwa pencapaian bersihan ureum yang
optimal dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah (Qb), kecepatan aliran
dialisat (Qd) dan koefisien luas permukaan dialiser.

e. Clearance of dialyzer
Klirens menggambarkan kemampuan dialiser untuk membersihkan darah dari
cairan dan zat terlarut, dan besarnya klirens dipengaruhi oleh bahan, tebal dan
luasnya membran. Luas membran berkisar antara 0,8-2,2 m2. KoA merupakan
kemampuan penjernihan ureum. Untuk mencapai adekuasi diperlukan KoA yang
tinggi diimbangi dengan Qb yang tinggi pula antara 300-400 ml/menit.

f. Tipe akses vaskular


Akses vaskular cimino (Arterio Venous Shunt) merupakan akses yang paling
direkomendasikan bagi pasien hemodialisis. Akses vaskular cimino yang
berfungsi dengan baik akan berpengaruh pada adekuasi dialisis.

g. Berat badan kering


Berat badan terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien tanpa gejala-gejala
komplikasi atau hipotensi. Berat badan kering digunakan untuk menghitung
volume ultrafiltrasi (UF) dan kecepatannya pada tiap proses dialisis. Kecepatan
ultrafiltrasi pada kelebihan kapasitas pengisian plasma dapat memicu hipotensi
yang diinduksi oleh proses dialisis.

Oleh karena itu, perhitungan adekuasi/efektivitas hemodialisis yang menjadi metode


pilihan ialah Kt/V. Kt/V menunjukkan penghilangan urea yang lebih akurat, bisa dipakai
untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan memungkinkan angka katabolisme protein yang
dinormalisir, dan bisa dipakai untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi
ginjal residual. Kt merupakan jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan volume

44
distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam
satuan menit, sedangkan V dalam satuan liter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF-DOQI yang
dikemukakan oleh Daugirdas.

Kt/V=-Ln(R-0,008xt)+(4-3,5xR)xUF/W

Keterangan:

1. Ln adalah logaritma natural.


2. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialysis
3. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
4. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
5. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Disamping yang direkomendasikan oleh NKF-DOQI, Daugirdas juga mengajukan rumus linier yang
lebih sederhana yaitu:

Kt/V=2,2 –3,3 (R-0,03)-UF/W)


Kt/V kurang dari 0,8 dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V
1,0-1,2 dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. NKF-DOQI menggunakan batasan
minimal Kt/V=1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisa 3x/minggu. Sedangkan untuk
penderita diabetes melitus dimana risiko kematian lebih tinggi, Collins menganjurkan Kt/V
menjadi 1,4. Pasien yang melakukan hemodialisis 2x/minggu sebaiknya memiliki Kt/V 1,8-
2,0.

b. Dialisis Peritoneal (DP)

Terdapat dua jenis dialisis peritoneal yakni Continuous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD) dan Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD). Akhir-akhir ini
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) sudah populer di pusat ginjal di luar
negeri maupun di Indonesia. CAPD merupakan proses dialisis dimana rongga peritoneal
berperan sebagai reservoir bagi dialisat dan peritoneum sebagai membran dialisis
semipermiabel yang memisahkan dialisat dalam rongga peritoneum dan plasma darah dalam
pembuluh darah peritoneum. Membran ini akan mengeluarkan kelebihan cairan dan larutan
termasuk zat-zat toksik uremia yang tertimbun dalam darah masuk ke dalam dialisat yang
selanjutnya akan dikeluarkan dari tubuh. CAPD akan efisien bila dilakukan selama 24 jam
per hari selama 7 hari per minggu. Pada umumnya pasien memerlukan rata-rata 4 kali

45
pergantian cairan per hari selama minimal 4 jam tiap kali pergantian karena baru akan terjadi
keseimbangan kadar ureum antara plasma darah dan cairan dialisat. Pada CAPD, 1,5-2,5 L
dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dan dibiarkan selama 4-6 jam di siang hari
dan 8 jam di malam hari. Menurut konsensus KDOQI (2002), adekuasi dialisis Kt/V pada
dialisis peritoneal ialah sebesar 1,7. Hal ini juga bergantung pada frekuensi pergantian cairan
dan volume dialisat dimana peningkatan frekuensi maupun volume dialisat dapat
meningkatkan Kt/V sebesar 18-20%.

Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

Adapun adekuasi pada peritoneal dialisis

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).


Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

1). Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.

2). Kualitas hidup normal kembali

3). Asa hidup (survival rate) lebih lama

4). Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat


imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

5). Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Tabel 5. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Stadium6

46
1,14
2.2.9. Prognosis

Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis tergantung dari derajat penurunan
fungsi ginjal dan komplikasi yang terjadi. Pada umumnya, penyebab utama kematian pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah penyakit kardiovaskuler, tanpa harus berada pada
penurunan laju filtrasi glomerulus tahap akhir.

47
BAB IV
Analisa Kasus

Tn. TAM, 41 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS.
± 1 bulan SMRS os mengeluh sesak napas, mengi (-), sesak timbul saat beraktivitas,
dan sesak hilang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, terbangun
malam hari karena sesak (-) os nyaman tidur dengan satu bantal seperti biasa. Batuk (-),
demam (-), os mengeluh bengkak pada kedua tungkai yang terjadi sepanjang hari, os merasa
BAK menjadi lebih sedikit dari biasanya dan frekuensinya menjadi berkurang, mual (-),
muntah (-), BAB tidak ada keluhan, os tidak berobat.
± 1 minggu SMRS os mengeluh sesak bertambah dan dirasakan saat aktivitas sedang,
mengi (-), sesak berkurang dengan istirahat. Bengkak pada kedua tungkai belum menghilang,
dan os belum juga berobat.
± 1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat saat berjalan ke kamar mandi, mengi
(-), sesak sedikit berkurang dengan istirahat, sesak dirasakan bertambah bila os tidur
terlentang, os nyaman tidur dengan posisi setengah duduk. Bengkak pada kedua tungkai (+),
demam (-), mual (-), muntah (-), BAK semakin berkurang hanya ±1/4 gelas, buih (-), busa (-),
berwarna keruh (-), berpasir (-), darah (-). BAB tidak ada keluhan, os lalu berobat ke RS
Lubuk Linggau dan dikatakan sakit ginjal lalu os di rujuk ke RSMH
Pasien memiliki riwayat hipertensi ada sejak usia 20 tahun, riwayat DM disangkal,
riwayat BAK berpasir tidak ada, riwayat merokok ada sejak usia 35 tahun 1 bungkus/minggu.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal dalam keluarga
disangkal.
Pasien datang dengan GCS 15 (E4M6V5), suhu 36,4º C, nadi 95 kali/menit, pernapasan
28 kali/menit, reguler, cepat dan dalam, tekanan darah 170/100 mmHg yaitu hipertensi stage
II. Pasien memiliki berat badan 55 kg dan tinggi badan 165 cm yaitu keadaan gizi
normoweight.
Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva palpebra anemis +, JVP 5-
2 cmH2O, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan thorax ditemukan ronkhi basah halus (+), cor terdapat kardiomegali.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi cembung, venektasi (-), jaringan parut (-);
palpasi lemas, venektasi (-), jaringan parut (-), hepar dan lien tak teraba; perkusi timpani,
shifting dullness (+); auskultasi bising usus (+) normal.

48
Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kondisi anemia,
hipoalbuminemia, dan ureum serta kreatinin yang tinggi. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan kardiomegali dan pembesaran ventrikel kiri yang mengindikasikan hipertensi
kronis.
Mekanisme terjadinya NH oleh hipertensi belum sepenuhnya dipahami. Ada banyak
faktor yang berperan seperti mekanisme autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak
mampu mempertahankan homeostasis tubuloglomerular feedback dan tekanan
intraglomerular, adanya iskemi glomerular, hemodinamik glomerular, dan peranan
angiotensin II intraglomerular.
Tekanan glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean
arterial pressure – MAP) atau tekanan perfusi, dan resistensi relatif dari kedua arteriole yakni
aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan
secara episodik ataupun kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal
ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi
arteriole aferen (preglomerular) untuk mempertahankan renal blod flow dan agar tekanan
hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal terhadap
peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk mencegah
diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerular. Resistensi arteriol
eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus. Hal ini berguna
untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular dan untuk
mempertahankan aliran plasma renal.
Jika MAP berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis
benigna, namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan
terjadinya nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi
endotel dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap shear
stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular dalam keadaan normal
sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat. Kompensasi yang terjadi dari sisa-
sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi yakni dengan meningkatkan laju fi ltrasi
glomerulus. Resistensi arteriol baik pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang
akan menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular. Pada kondisi
ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular
mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan fi ltrasi protein, dan
merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan jejas pada kapiler.

49
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol
aferen dan eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini
akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi. Hasilnya, akan
terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin II (AII) intrarenal.
Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan
deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.
Pasien ini didiagnosis dengan CKD stage V ec Nefrosklerosis Hipertensi serta
hipertensi stage II. Dasar diagnosis dari CKD dan kecurigaan terhadap nefrosklerosis
hipertensif adalah dari LFG pada pasien ini yang bernilai 0,71 ml/menit/1,73 2, riwayat
hipertensi lama, dan hipertrofi ventrikel kiri jantung. Penatalaksanaan farmakologis yang
dilakukan yaitu istirahat, serta O2 Nasal Canul 5L/m untuk oksigenasi yang adekuat pada
kondisi sesak. Tatalaksana farmakologis yaitu IVFD D5 gtt x/m micro, inj. Furosemid 1 x 20
mg IV untuk mengatasi edema akibat transudasi cairan ke jaringan interstitial, asam folat 2 x
1 gr (P.O), neurodex 1 x 1 gr (P.O), dan clonidine 3 x 0,15 gr (P.O) untuk tatalaksana
hipertensi yang diderita pasien.
Prognosis pasien ini untuk quo ad vitam adalah dubia ad bonam, dan quo ad
fungsionam adalah dubia ad malam.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra,K. 2014. Penyakit Ginjal Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI.
2. National Kidney Foundation. 2012. KDOQI Clinical Practice Guideline for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. American Journal of Kidney
Disease, Suppl.; 3: 1–150.
3. The united states renal data system. 2013. Incidence, prevalence, patient
characteristics and treatment modality. Available from: http//www.usrds.org/
4. Kliger, A. 2014. How CKD Affects Your Body. Agustus 17, 2014.http://www.aakp.org/
5. Pranawa, M. Yagiantoro, Chendra I. Djoko S. Nunuk M. M. Thata, dkk.2007.
Penyakit Ginjal kronis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSU Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press Surabaya.
6. Scorecki K, Green J, Brenner BM. 2008. Chronic Renal Failure. In: Kasper DL, Fauci,
Braunwald, Hauser, Longo, et all. Harisson’s Manual of Medicine ed 17, International
Edition. The McGraw Hill; 113-18
7. Korkmaz M et al. 2017. Clinical Significance of renal cortical thickness in patients
with chronic kidney disease. Korean Society of Ultrasound in Medicine;37(1):50-54.
8. Price, Wilson. 2006. Gangguan Sistem Ginjal, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyaki. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9. Tjekyan, R.M.S 2014. Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. MKS, Th. 46, No.4, Oktober 2014. P.
276-282.
10. Indonesian Renal Registry (IRR). 2013. 5th Report of Indonesian Renal Registry.
11. Chelliah, S. 2011. Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit
Ginjal Kronik Yang Menjalani Haemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun
2011. Medan: Universitas Sumatera Utara.
12. Johnson D. 2013. Diagnosis, classification, and staging of chronic kidney disease.
Kidney Health Australia.
13. National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. American Journal of
Kidney Disease.

51
14. Tanto, C., Hustrini, N.M 2014. Penyakit Ginjal Kronis. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius.
15. National Institute for Health and Care Ezcellence. 2014. Chronic Kidney Disease:
early identification and management of chronic kidney disease in adults in primary
and secondary care. National Institute for Health and Care Ezcellence.
16. Abraham G et al. 2017. Management of Hypertension in Chronic Kidney Disease:
Consensus Statement by an Expert Panel of Indian Nephrologists. Journal of The
Association of Physicians of India; 6-22.
17. American Diabetic Association. 2016. Glycemic targets and Diabetes Care. American
Diabetic Association; 39 (1):S39–46.
18. Doshi SM dan Friedman AN. 2017. Diagnostic and Management of Type 2 Diabetic
Kidney Disease. Clinical Journal of the American Society of Nephrology; 12:1366–
1373.
19. Tahapary D, Sihotang R, Ramadhani R. 2018. Efikasi dan Keamanan Obat
Antidiabetik Oral Pada Pasien DM Tipe II dengan Penyakit Ginjal Kronik. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia; Vol 5, 3:150-155.
20. House A. 2017. Management of Heart Failure in Advancing CKD. American Journal
Kidney Association. 72 (2):284-295.
21. Kodner C. Nephrotic Syndrome in Adults: Diagnosis and Management. Am Fam
Physician 2009; 80(10):1129-1134, 1136.
22. National Kidney Foundation. 2013. Effect of Low-Protein Diet Supplemented With
Keto Acids on Progression of Chronic Kidney Disease. Journal of Renal Nutrition;
Vol 23, 3:210-213.
23. Winaktu G. 2016. Pemberian Nutrisi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik. Jurnal
Kedokteran Meditek Ukrida; Vol 22: 59-62.
24. National Kidney Foundation. 2015. KDOQI Clinical Practice Guideline for
Hemodialysis Adequacy. American Journal of Kidney Disease, Suppl.; 3: 1–78.

52

Anda mungkin juga menyukai