Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan menjadi penyebab tertinggi angka kematian
dan kesakitan didunia. Sekitar 80% seluruh kasus baru berhubungan dengan
infeksi saluran nafas yang terjadi di masyarakat atau di rumah sakit.
Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut diparenkim
paru di jumpai sekitar 15-20 %. Pneumonia dalam arti umum adalah
peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme-bakteri,
virus, jamur, parasit, namun pneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan
kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu dan radiasi.
Insidensi pneumonia di Indonesia WHO pada tahun 2007 adalah
65,9% (WHO, 2013). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, pneumonia komuniti
menempati peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat
pertahun. Angka kematina pneumonia komuniti yang dirawat inap berkisar
antara 20-35%.
Pneumonia dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan
dari infeksi saluran pernafasan lainnya. Penyebab pneumonia sulit ditemukan
dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan
pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera ditangani, maka
pada awal pengobatan pneumonia diberikan antibiotic secara empiris.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami
tentang kasus pneumonia. Tulisan ini juga untuk memenuhi persyaratan dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kedokteran Paru
RSUD Sukoharjo
C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapakan dapat memberikan manfaat kepada penulis
dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai kasus pneumonia dan efusi pleura
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama Pasien
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Status Perkawinan
Agama
Suku
Tanggal Masuk RS
Tanggal Keluar

: Ny. S
: 78 tahun
: Perempuan
: Jati-Kidul 1/3 Bugel Polokarto Sukoharjo
: Swasta
: Janda
: Islam
: Jawa
: 15 Juli 2016
: 19 Juli 2016

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Batuk dan Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo dengan keluhan batuk selama 2
minggu dan disertai sesak napas selama 2 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit, sesak membaik ketika pasien duduk, memberat ketika batuk,
berbaring terlentang, batuk disertai dahak berwarna putih, tidak terdapat
nyeri dada, keringat pada saat malam hari, mudah lelah, sesak dan batuk
berdahak muncul ketika napsu makan menurun, napsu makan menurun
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan keringat
pada malam hari dan pasien merasa mudah lelah. Pasien tidak merasakan
mual dan muntah. Pasien tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya.

3. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat penyakit serupa
Riwayat Hipertensi
Riwayat Diabetes melitus
Riwayat TBC
Riwayat pengobatan dengan OAT
Riwayat asma
Riwayat batuk lama
Riwayat alergi
4. Riwayat Pribadi
Riwayat merokok
Minum-minuman beralkohol
5. Riwayat Keluarga

: Diakui
: Diakui
: Disangkal
: Diakui
: Diakui
: Disangkal
: Diakui
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

Riwayat penyakit serupa


Riwayat Hipertensi
Riwayat Diabetes mellitus
Riwayat TBC
Riwayat pengobatan dengan OAT
Riwayat asma
Riwayat batuk lama
Riwayat alergi
Riwayat menderita kanker

: Diakui
: Diakui
: Disangkal
: Diakui
: Diakui
: Disangkal
: Diakui
: Disangkal
: Disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Vital signs
Tekanan darah
: 140/80
Nadi
: 98x/menit
Respirasi rate
: 28x/menit
Suhu
: 37,0C

2. Status Lokalis
Kepala :
- Ekspresi wajah : Nampak sakit.
- Bentuk dan ukuran : pipi cekung, ukuran normal.
- Rambut : normal.
- Udema (-)
- Nyeri tekan kepala (-).
Mata :
- Simetris.
- Exopthalmus (-/-).
- Strabismus (-/-).
- Konjungtiva: anemia (-/-), hiperemia (-/-).
- Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-),
- Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-).
- Kornea : normal.
- Lensa : normal, katarak (-/-).
- Pergerakan bola mata ke segala arah : normal

Telinga :
- Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
- Lubang telinga : normal, sekret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : menurun.
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (+/+).
- Perdarahan (-/-), sekret (-/-).
- Penciuman normal.
Mulut :
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir
(-), tremor (-), lidah kotor (-).
- Mukosa : normal.
Leher :
- Simetris (-).
- Pemb.KGB (-).
- Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-).
- Pembesaran thyroid (-).
Thorax
Pulmo :
Inspeksi :
-

Bentuk: simetris.

Ukuran: normal, barrel chest (-)

Pergerakan dinding dada : simetris.

Permukaan dada : petekie (-),massa (-), sikatrik (-) hiperpigmentasi


(-).

Iga dan sela antar iga: sela iga melebar (-), retraksi (-), iga lebih
horizontal.

Fossa supraclavicula dan fossa infraclavicula : cekungan simetris

Fossa jugularis: trakea di tengah.

Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (+).

Palpasi :
-

Posisi mediastinum : trakea digaris tengah

Pergerakan dinding dada : simetris

Fremitus raba : simetris

Nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-)

Perkusi :
-

Redup (+/+).

Nyeri ketok (-).

Auskultasi :
-

Suara napas vesikuler (+/+).

Suara tambahan rhonki (-/-).

Suara tambahan wheezing (+/+).

Cor :
Inspeksi: Iktus cordis tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra, thriil (-).
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi :
- Bentuk

: distensi (-),

- Umbilicus : masuk merata.

- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), petekie (-),
purpura (-), ekimosis (-), luka bekas operasi (-), hiperpigmentasi (-).
Auskultasi :
- Peristaltik (+) normal.
- Metallic sound (-).
- Bising aorta (-).
Palpasi :
- Turgor

: normal.

- Tonus

: normal.

- Nyeri tekan (-) diseluruh kuadran abdomen


- Hepar/lien/renal tidak teraba.
Perkusi :
- Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
- Redup beralih (-)
- Nyeri ketok CVA: -/ Extremitas :
Ekstremitas atas :
-

Akral hangat : +/+

Deformitas : -/-

Edema: -/-

Sianosis : -/-

Petekie: -/-

Clubbing finger: -/-

Infus terpasang -/+

Ekstremitas bawah:
-

Akral hangat : +/+

Deformitas : -/-

Edema: -/-

Sianosis : -/-

Ptekie: -/-

Clubbing finger: -/-

Columna Vertebra :
Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-).
Genitourinaria :
Tidak dievaluasi.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah Lengkap dengan Diff Count
Senin, 15 Juli 2016
No
1
2
3
4
5

6
7
8
9
10
11
12

Nama Pemeriksaan
Lekosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Index Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
RDW-CV
PDW
MPV
P-LCR
PCT
DIFF COUNT
NRBC
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil

Hasil Pemeriksaan
H 19.4x 103/ul
L 3.55 x 106/ul
L 11.2 g/dl
L 33.5 %

Nilai Normal
3.6 - 11.0
3.80 - 5.20
11.7 15.5
35 47

94.4 fL
31.5 pg
H 33.4 g/dL
H 250 x 103/ul
13.6 %
10.4 fL
10.2 fL
26.0 %
0.61 %

80 100
26 34
RNF
150 450
11.5 14.5

0.0 %
H 83.0 %
L 5.1 %
11.50 %

01
53 75
25 40
28
2.00 4.00

Basofil
IG
13

Golongan Darah

L 0.20 %
0.20 %
0.90 %
O

0-1

Hasil Pemeriksaan
H 104 mg/dL
H 60.3 mg/dL
H 0.63 mg/dL
H 16.58 U/L
H 17.0 U/L

Nilai Normal
70 120
0 31
0.50 0.90
0 35
0 30

Hasil Pemeriksaan
Reaktif

Nilai Normal
Non Reaktif

Kimia Klinik
No
1
2
3
4
5

Nama Pemeriksaan
GDS
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT

Sero Imunologi
No
1

Nama Pemeriksaan
HBs Ag

2. Foto Rontgen Thorax


Cor :
Tambak membesar dengan
kalsifikasi arcus aorta
Pulmo:
-Tampak
perselebungan
semiopaq
batas

inhomogen

tak

hampir
parenkim
bilateral

tegas

di

seluruh
pulmo
dengan

air

bronchogram (+) kesan


gambaran
bronchopneumonia
bilateral dengan efusi
pleura sinistra.
-Diafragma dextra et sinistra baik

-Sistema tulang intact

3. EKG

Gambar 2. EKG tanggal 15juni 2016


EKG : Sinus Tachycardia
E. ASSESMENT/DIAGNOSIS KERJA DAN DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia dengan efusi pleura

10

F. TERAPI
Infus RL 14 tetes/ menit
Injeksi Cefazolin 1 gram per 12 jam
Injeksi Gentamisin per 12 jam
Injeksi Dexametasone 1 ampul per 18 jam
Injeksi Ranitidine 1 ampul per 12 jam
Furosemid -0-0
ISDN 2 x
Sucralfat syrup 3 x 1
Ambroxol
GG
Cetirizine

Capsul 3x1

Codein
Metil Prednisolon
Paracetamol 3 x 1
Ventolin nebulizer per 8 jam
Cek Laboratorium : Darah lengkap dengan diff count, EKG dan foto
Thorax
G. Lapor dokter Spesialis Paru

H. FOLLOW UP
1. Sabtu, 16 Juli 2016
S:
Batuk (+) diserta dahak (+) warna
putih, pusing (+), mual (+)saat

A:
Pneumonia
Efusi Pleura

11

makan, muntah (-), nyeri dada Cardiomegali


(+)kadang
O:
P:
TD : 120/60 mmHg
- O2
HR : 82 x/menit
- Ringer Laktat 14 tpm
RR : 32 x/menit
- Cefazolin injeksi 1gr/12 jam
S : 36,80C
- Ranitidin Injeksi 1ampul/12 jam,
KU/KS : tampak sakit / CM
- Gentamisin Injeksi 8mg/12 jam
TH : wheezing +/+
- Dexametason injeksi 1 ampul / 8 jam
rhonki-/- Nebu Ventolin
BJ I-II reguler
Abdomen : supel, peristaltic(+), - Sucralfat syrup 3 X 1
Ekstremitas hangat dan tidak terlihat - Antasida 3 x 200 mg
adanya oedema
- ISDN 2 X

Furosemid

Paracetamol 3 X 1

-0-0

Ambroxol

GG

Cetirizine

Codein

Metil Prednisolon

Capsul 3 x 1

2. Minggu, 17 Juli 2016


S:
Batuk (+) berkurang, dahak (+)
warna putih sedikit,sesak nafas
(+)berkurang, pusing (-), mual (-),
muntah (-), nyeri dada (-)
O:
TD : 120/60 mmHg
HR : 68 x/menit
RR : 26 x/menit
S : 36,40C
KU/KS : baik / CM
TH : wheezing -/rhonki-/BJ I-II regular

A:
Pneumonia
Efusi Pleura
Cardiomegali
P:

O2
Ringer Laktat 14 tpm
Cefazolin injeksi 1gr/12 jam
Ranitidin Injeksi 1ampul/12 jam,
Gentamisin Injeksi 8mg/12 jam
Dexametason injeksi 1 ampul / 8 jam
Nebu Ventolin
Sucralfat syrup 3 X 1

12

Abdomen : supel, peristaltic(+),


Ekstremitas hangat dan tidak
terlihat adanya oedema

Antasida 3 x 200 mg

ISDN 2 x

Furosemid

Paracetamol 3 X 1

-0-0

Ambroxol

GG

Cetirizine

Codein

Metil Prednisolon

Capsul 3 x 1

3. Senin, 18 juli 2016


S:
Batuk (+) jarang, Sesak nafas (+)
saat malam, dahak (-), pusing (-),
mual (-), muntah (-), nyeri dada
(-)
O:
TD : 140/90 mmHg
HR : 79 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,40C
KU/KS : baik / CM
TH : wheezing -/rhonki-/BJ I-II reguler
Abdomen : supel, peristaltic(+),
Ekstremitas hangat dan tidak
terlihat adanya oedema

A:
Pneumonia
Efusi Pleura
Cardiomegali
P:
-

O2
Ringer Laktat 14 tpm
Cefazolin injeksi 1gr/12 jam
Ranitidin Injeksi 1 ampul/12 jam,
Gentamisin Injeksi 8mg/12 jam
Dexametason injeksi 1 ampul / 8
jam
Nebu Ventolin
Sucralfat syrup 3 X 1
Antasida 3 x 200 mg

ISDN 2 x

Furosemid

Paracetamol 3 X 1
Ambroxol

-0-0

13

GG

Cetirizine

Codein

Metil Prednisolon

Capsul 3x1

4. Selasa, 19 Juli 2016 (Pulang)


S:
Batuk (+) jarang, dahak (-),
pusing (-), mual (-), muntah (-),
nyeri dada (-)
O:
TD : 120/60 mmHg
HR : 85 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,50C
KU/KS : baik / CM
TH : wheezing -/rhonki-/BJ I-II reguler
Abdomen : supel, peristaltic(+),
Ekstremitas hangat dan tidak
terlihat adanya oedema

A:
Pneumonia
Efusi Pleura
Cardiomegali
P:
- Cefixime 2 x 1
- Salbutamol 3 x 1
-

ISDN 2 x

Sucralfat syrup 3X c1
Spironolaktan tab 25 1-0-0

Ambroxol

GG 100mg

Cetirizine

Codein

Metil Prednisolon

Capsul 3x1

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Pneumonia
A. Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus
respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga
dapat mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida di paru-paru. Pada
perkembangannya, berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu pneumonia komunitas (Community-acquired pneumonia)
apabila terjadi infeksi di masyarakat, pneumonia didapat di Rumah Sakit
pneumonia nasokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP) bila infeksinya
didapat dirumah sakit, Health Care Associated Pneumonia (HCAP), dan
akibat pemakaian ventilator (Ventilator Associated Pneumonia / VAP).
Pneumonia komunitas (community-acquired pneumonia) adalah
pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih
setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun di ICU
tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Pneumonia berhubungan dengan
pemakian ventilator (ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia
yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia
yang didapat di pusat perawatan kesehatan (healthcare-associated pneumonia)
adalah pasien yang dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari
atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan
(nursing home atau long-term care facility), mendapatkan antibiotik intravena,

15

kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun
datang ke klinik rumah sakit atau klinik hemodialisa.
B.

Etiologi
1. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu:
a. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
a. Streptococcus pneumonia: merupakan bakteri anaerob facultatif.
Bakteri patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di
luar ICU sebanyak 20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas
rawat inap di ICU sebanyak 33%.
b. Staphylococcus aureus: bakteri anaerob fakultatif. Pada pasienyang
diberikan obat secara intravena (intravena drug abusers)
menyebabkan infeksi kuman ini menyebar secara hematogen dari
kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru. Kuman ini
memiliki daya tahan paling kuat, apabila suatu organ telah
terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan,
nekrosis dan pembentukan abses. Methicillin-resistant S.Aureus
(MRSA) memiliki dampak yang besar dalam pemilihan antibiotik
dimana kuman ini resisten terhadap beberapa antibiotik.
c. Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus
grup D yang merupakan flora normal usus. Penyebab pneumonia
berasal dari gram negatif sering menyerang pada pasien defisiensi
imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di rumah
sakit, di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan
dilakukan pemasangan endotracheal tube. Contoh akteri gram
negatif dibawah adalah:
Pseudomonas

aeruginosa

bakteri

anaerob,

bentuk

batang

danmemiliki bau yang sangat khas.


1) Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang
tidak berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan

16

resiko terserang kuman ini.


2) Haemophilus influenza: bakteri bentuk batang anaerob dengan
berkapsul atau tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki
virulensi tinggu yaitu encapsulated type B (HiB).
b. Atypical organisme
Bakteri yang termasuk atipikal adalah Mycoplasma sp.,chlamedia sp.,.9
2. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet,
biasanya menyerang pada pasien dengan imuno defisiensi. Diduga virus
penyebabnya adalah cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella
zooster virus.
3. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
oportunistik, dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup
udara. Organisme yang menyerang adalah Candida sp., Aspergillus sp.,
Cryptococcus neoformans.
C.

Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya
1. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini
sering di sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia
(Penicillinsensitive

and

resistant

strains),

Haemophilus

influenza

(ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella catarrhalis


(allstrains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir
85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi
atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru.
Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen
paru. Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil
fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi
akibat infeksi H. Influenza, emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella,
Streptococcus grup A, S. Pneumonia. Angka kesakitan dan kematian
infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia dan pasien dengan imuno
kompromis. Resiko kematian akan meningkat pada CAP apabila

17

ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate,


hipotensi, demam, anemia dan hipoksia.
2. Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan

America

Thoracic

Society

(ATS),

pneumonia

nosokomial (lebih dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau


Health care-associated pneumonia) didefinisikan sebagai pneumonia yang
muncul setelah lebih dari 48 jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian
intubasi endotrakeal. Terjadinya pneumonia nosokomial akibat tidak
seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri
sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang
berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa, Klebsiella
sp, S Aureus dan Pneumonia. Penyakit ini secara signifikan akan
mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.
ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya
muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya
muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early
onset pneumonia nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late
onset pneumonia nosokomial, hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant
organism sehingga mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak
kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui secara klinis,
serta dibantu dengan kultur bakteri, termasuk kultur semiku antitatif dari
sample bronchoalveolar lavange (BAL).
3. Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia
yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator
adalah alat yang dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang
di depan leher. Infeksi dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang
D.

intubasi dan masuk ke paru-paru.


Patofisiologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari
bayi sampai usia lanjut. Pencandu, alcohol, pasca operasi, orang- orang
dengan gangguan penyakit pernafasan, sedangkan pasien yang terinfeksi virus

18

atau kekebalan tubuhnya menurun yang paling beresiko. Dalam keadaan sehat
tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme diparu. Apabila terjadi
ketidak seimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan
penyakit.
Resiko terjadinya infeksi pada paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan epitel
saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai permukaan
saluran napas :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi pada permukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut yang terbanyak adalah kolonisasi. Secara
inhalasi terjadu pada infeksi virus, infeksi mikroorganisme atipikal, infeksi
mikro bacteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 mm
melalui udara dapat mecapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi mikroorganisme pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran pernapsan
bagian bawah dan terjadi inokulasi, maka hal ini merupakan awal dari infeksi
dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil secret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi yaitu 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil secret (0,001-1,1 ml) daapt memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
biasanya mikroorganisme masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan di
saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak
ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.
E.

Patologi
Basil yang masuk bersama secret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang verupa edema dari saluran alveoli disusul dengan

19

infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis dari eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosit pada waktu
terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan terdapat 4 zona pada
daerah parasitic tersebut yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang terisis dengan kuman dan xairan edema
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari dari sel-sel PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah dimana fagositosis yang aktif dengan
jumlah sel PMN yang banyak
4. Zona resolusi : daerah dimana terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, lekosit dan alveolar makrofag.
Daerah perifer dimana terdapat edema dan perdarahan disebut Red
hepatization sedang daerah konsolidasi yang luas disebut Gray hepatizatio.
F. Manifestasi Klinik
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau
bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk
karena nyeri dada.14 Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan
dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan
taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau
G.

terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.
Penatalaksanaan
1. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif
a) Istirahat di tempat tidur
b) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c) Bila panas tinggi perlu di kompres atau minum obat penurun panas
d) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
e) Pemberian antibiotic kurang dari 8 jam
2. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simtomatik
a) Pemberian terapi oksigen
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotic kurang dari 8 jam

20

3. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif


Pengobatan suportif / simptomatik
a) Pemberian terapi oksigen
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektroit
c) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pemberian antibiotic harus diberikan kurang dari 8 jam
Pemberian Antibiotik Secara Empiris Pada CAP
1. Pasien berobat jalan
Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotika
pada 3 bulan terakhir
a. Macrolide klaritromisin (500 mg PO) atau azitromisisn (500mg PO
sekali, kemudian 250 mg)
b. Doksisiklin (100mg PO)
2. Pasien dirawat, non ICU
Fluorokuinolon respirasi moksifloksasin (400 mg PO atau IV),
gemifloksasin (320 mg PO), levofloksasin (750 mg PO atau IV)
3. Pasien dirawat , ICU
laktam (sefotaksim 1-2 g IV/8h), seftriakson (2 g IV) plus
Azitromisin atau fluoroquinolon
Pemberian Antibiotik Secara Empiris Pada Pneumonia Tanpa Faktor
Resiko Multi-drug Resistant (MDR)
a. Seftriakson (2g IV/24h)
b. Moksifloksasin (400mg IV/24h), ciprofloksasin (400mg IV/8h), atau
levofloksasin (750 mg IV/24h) atau
c. Ampisilin/sulbaktam (3 g IV/6h) atau Ertapenem (1 g IV/24h)
Pemberian Antibiotik Secara Empiris Pada Pneumonia dengan Faktor
Resiko Multi-drug Resistant (MDR):
a. -laktam : seftazidim (2 g IV/8h) atau sefepim (2 g IV/8-12h) atau
Pipersilin (4,5 g IV/6h), imipenem (500 mg IV/6h)
b. Obat kedua yang aktif terhadap patogen gram negatif
Gentamisin ( 7 mg/kg IV/24h) atau amikasin (20 mg/kg IV/24h) atau
siprofloksasin (400 mg IV/8h) atau levofloksasin (750 mg IV/24h)
c. Obat aktif terhadap bakteri patogen gram positif :
Linezolid (600mg IV/12h) atau Vankomisin (15 mg/kg, sampai 1 g
IV/12h)

21

H.

Komplikasi
1. Pneumonia ekstra pulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
2. Pneumonia ekstra pulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung,
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

emboli paru dan infark miokard akut.


ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
Sepsis
Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
Abses paru
Efusi pleura
Komplikasi pneumonia yang dapat menyebabkan kematian memiliki
mekanisme sebagai berikut :
Mikroorganisme
Bronkus dan Alveoli
Pneumonia
ARDS

ENdokarditis

Sepsis
CHF
MOD
Mati
Gambar 1. Komplikasi pneumonia yang menyebabkan kematian
2. Efusi Pleura
A.

Definisi

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.


Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun
berkurangnya absorbsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada
pleura yang paling sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari
kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan
diterapi.
B.

Etiologi dan Faktor Resiko

22

a) Gagal jantung kongestif


b) Sirosis hati
c) Sindrom nefrotik
d) Dialisis peritoneum
e) Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
f) Perikarditis konstriktiva
g) Keganasan
h) Atelektasis paru
i) Pneumotoraks
j) TB paru
C. Epidemiologi

Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang
dinegara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya. Secaraumum, kejadian efusi pleura sama antara lakilaki dan perempuan. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks.
Sekitar dua per tiga efusi pleura ganas terjadi pada perempuan. Efusi pleura ganas
berhubungan secara signifikan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi
pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi
pada wanita dibanding pria.
D.

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstitial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura.

23

Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar paru. Efusi pleura
dapat berupa transudat atau eksudat.
Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga terjadi
empiema / piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Efusi cairan yang berupa transudat terjadi apabila
hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi
terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada :
1.
1.
2.
3.

Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
Menurunnya tekanan intrapleura
Penyebabnynya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal

jantung

kongestif,

sirosis

hati,

sindrom

nefrotik,

dialisis

peritoneum,

hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan,


atelektasis paru dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan
yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering
adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit, jamur, pneumonia atipik,
keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis reumatoid,
sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan
akibat radiasi.
E.

Klasifikasi
1. Transudat

(filtrasi plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh)


terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
reabsorpsi cairan pleural tergangguketidak seimbangan tekanan
hidrostatik atau onkotik.

Biasanya hal ini terdapat pada:

24

Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal

Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura

Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

F.

Gagal jantung kiri (terbanyak) Sindrom nefrotik

Obstruksi vena cava superior

Asites pada sirosis hati

Eksudat

merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran


kapiler yang permeable abnormal dan berisi protein transudat
akibat inflamasi oleh produk bakteri atautumor yang mengenai
permukaan pleural.

Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada pleura,infark paru,


karsinoma bronkogenik radiasi, penyakit dan jaringan
ikat/kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

Hidrotoraks dan pleuritis eksudativa terjadi karena infeksi

Rongga pleura berisi darah hemotoraks

Rongga pleura berisi cairan limfe kilotoraks

Rongga pleura berisi pus/nanah empiema/piotoraks

Rongga pleura berisi udara pneumotoraks

Manifestasi Klinis
Gejala:

Sesak napas
Batuk
Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit
pleura

25

Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena


ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
G.

Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis
Sesak napas
Batuk
Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit
pleura
Perlu ditanyakan faktor resiko dangan gejala dari etiologi penyakit, seperti gejalagejala pada :

Gagal jantung kongestif


Sirosis hati
Sindrom nefrotik
Dialisis peritoneum
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
Perikarditis konstriktiva
Keganasan
Atelektasis paru
Pneumotoraks.
TB paru

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik paru, dapat didapatkan :

Inspeksi : Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang

terkena. Ruang interkostal menonjol (efusi pleura berat)


Palpasi : fremitus vocal dan raba berkurang pada bagian yang terkena.
Perkusi : perkusi meredup di atas efusi pleura
Auskultasi : suara napas berkurang di atas efusi pleura

c. PemeriksaanPenunjang
1) Foto Thoraks (X-Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada
bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial pasti terdapat

26

udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru
sendiri. Terkadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura
dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan
posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan
dalam pleura juga dapat tidak membentuk kurva karena terperangkap atau
terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru yang
berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan efusi
subpulmonik. Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus
paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan
konsolidasi parenkim lobus, dapat juga mengumpul di daerah paramediastinal
dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa juga terdapat secara
parallel dengan sisi jantung sehingga terlihat sebagai kardiomegali. Cairan seperti
empiema dapat juga terlokalisasi, gambaran seperti bayangan dengan densitas
keras di atas diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain
yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya
mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Disamping itu, gambaran
foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila
terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor, adanya densitas parenkim
yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.
2)

Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk

diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien


dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada sekali
aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema
paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu
cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena
adanya tekanan intrapleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran
darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:
- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)

27

- Emboli udara (jarang terjadi)


- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan
cepat. Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari
alveoli masuk ke vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara. Untuk
mencegah emboli ini terjadi emboli pulmoner atau emboli sistemik,
pasien dibaringkan pada sisi kiri dibagian bawah, posisi kepala lebih
rendah daripada leher, sehingga udara tersebut dapat terperangkap
diatrium kanan.
H.

Tatalaksana
Tatalaksana pada efusi leura bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri dan sesak
yang dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar, mencegah fibrosis pleura, dan
mencegah kekambuhan.
a)Aspirasi cairan pleura
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik.Berikut ini cara melakukan torakosentesis :
Pasien dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan di atas bantal. Jika tidak mungkin duduk, aspirasi

dapat dilakukan dalam posisi tidur terlentang.


Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks,
atau di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea

aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup.


Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan

dengan jarum ukuran besar, misalnya nomor 18.


Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500
cc pada sekali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulangulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu

cepat.
Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:
- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
- Emboli udara (jarang terjadi)
- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri
dengan cepat. Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan
udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis, sehingga terjadi

28

emboli udara.Untuk mencegah emboli ini terjadi emboli


pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi kiri
dibagian bawah, posisi kepala lebih rendah daripada leher,
sehingga udara tersebut dapat terperangkap diatrium kanan.
Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi berulang atau dengan
pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage
(WSD).Cairan yang dikeluarkan pada setiap pengambilan sebaiknya tidak lebih
dari 1000 ml untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru
secara mendadak. Selain itu, pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara tibatiba dapat menimbulkan refleks vagal, berupa batuk-batuk, bradikardi, aritmi yang
berat, dan hipotensi.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat
namun aman dan sempurna. Pemasangan WSD dapat dilakukan sebagai berikut:
Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya diruang sela
iga 7, 8 atau 9 linea aksilaris media atauruang sela iga 2 atau 3

linea medioklavikularis
Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal

selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis


Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang
Jaringan subkutis dibebaskan dengan klem sampai menemukan

pleura parietalis
Selang dan trokar dimasukkan kedalam rongga pleura dan

kemudian trokar ditarik


Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang

toraks
Setelah posisi benar, selang dijepit dengan klem dan luka kulit

dijahit dengan serta dibebat dengan kassa dan plester


Selang dihubungkan dengan dengan botol penampung cairan

pleura
Ujung selang sebaiknya diletakkan dibawah permukaan air
sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk
kedalam rongga pleura

WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, maka cairan mungkin sudah habis dan jaringan paru sudah
mengembang.Untuk memastikan hal ini, dapat dilakukan pembuatan foto

29

toraks.Selang toraks dapat dicabut jika prosuksi cairan kurang dari 100 ml dan
jaringan paru telah mengembang, ditandai dengan terdengarnya kembali suara
napas dan terlihat pengembangan paru pada foto toraks. Selang dicabut pada
waktu ekspirasi maksimum.
Indikasi pemasangan WSD:
Hemotoraks, efusi pleura
Pneumotoraks > 25 %
Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
Kontraindikasi pemasangan WSD:
-

Infeksi pada tempat pemasangan


Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

a) Pleurodesis
Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseral dengan pleura
parietalis, dengan jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke dalam rongga
pleura sehingga terjadi keadaan pleuritis obliteratif.Pleurodesis merupakan
penanganan terpilih pada efusi keganasan.Bahan kimia yang lazim digunakan adalah
sitostatika seperti kedtiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adriamisin
dan doksorubisin.Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat
sitostatika (misalnya tiotepa 45 mg) diberikan dengan selang waktu 710 hari;
pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil,
akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan didalam rongga tersebut. Obat lain yang
murah dan mudah didapatkan adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini, WSD
harus dipasang dan paru sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg
dilarutkan kedalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan kedalam
rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal, kemudian
ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml untuk membilas selang serta 10 ml
lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh obat ini. Analgesik
narkotik yang diberikan 11.5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna juga
untuk mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam dan
posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata diseluruh bagian
rongga pleura. Apabila dalam waktu 24-48 jam cairan tidak keluar lagi, selang toraks
dapat dicabut.
b) Pembedahan

30

Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena


efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu
keganasan dan pembedahan menimbulkan resiko yang besar. Bentuk operasi yang
lain adalah ligasi duktus toraksikus dan pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan
ini terutama dilakukan pada efusi pleura keganasan akibat limfoma atau keganasan
lain pada kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dimana cairan pleura tetap terbentuk
setelah dilakukan pleurodesis.
Berikut ini adalah aspek-aspek yang dinilai dalam menegakkan diagnosis
cairan pleura:
Warna cairan, biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan
( serous-santokrom). Bila agak kemerah-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru,
keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan agak
purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah kecoklatan, ini menunjukkan
adanya abses karena amuba.

Biokimia. Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat.
Transudat

Eksudat

Kadar protein dalam efusi (g/dl)

<3

>3

Kadar protein dalam efusi

<0.5

>0.5

Kadar LDH dalam efusi (I.U)

<200

>200

Kadar LDH dalam efusi

<0.6

>0.6

Berat jenis cairan efusi

<1.016

>1.016

Rivalta

Negatif

positif

Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam serum

31

Sitologi . pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura sangat penting untuk


diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel tertentu.
Sel neutrofil : menunjukkan adanya infeksi akut
Sel limfosit : menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa
atau limfoma maligna
Sel mesotel : bila jumlahnya meningkat , ini menunjukkan adanya infark paru.
Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit
Sel mesotel maligna : pada mesotelioma
Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid
Sel L.E : pada lupus eritematosus sistemik
Sel maligna : pada tumor paru / metastasis
Bakteriologi. Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat
mengandung

mikroorganisme,

apalagi

bilacairannya

purulen

(menunjukkan

empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau
anaerob.
Biopsi pleura. Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh
jaringan pleura dapat menunjukkan 50 75 % diagnosis kasus-kasus pleuritis
tuberkulosis dan tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan,
dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks,
hematotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

I. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi tergantung pada penyakit yang
mendasari.Morbiditas dan mortalitas pada pasien efusi pleura berhubungan langsung
dengan etiologi, stadium penyakit, dan hasil pemeriksaan biokimia cairan
pleura.Pasien dengan efusi pleura maligna biasanya memiliki prognosis yang buruk.

32

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien Ny.S umur 78 tahun
datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 15 Juli 2016. Pasien ini memiliki
keluhan awal berupa batuk selama 2 minggu disertai demam dan sesak nafas 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Menurut teori yang termasuk gejala pneumonia
adalah demam menggigil, suhu tubuh meningkat, batuk berdahak mukoid atau
purulen, sesak nafas, kadang nyeri dada.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum lemah, compos mentis, vital sign :
Tekanan darah: 140/80, Nadi: 98x/menit, Respirasi rate: 28x/menit, Suhu: 37C.
Paru-paru : Inspeksi:Dada simetris, tidak ada benjolan, tidak ditemukan adanya
gerakan dada yang tertinggal, ditemukan adanya retraksi intercostae, Palpasi:
tidak terdapat adanya gerakan dada yang tertinggal pada kedua lapang paru,
fremitus menurun pada kedua lapang paru, Perkusi: terdengar suara pekak sampai
redup, Auskultasi: Suara dasar vesicular (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+).
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat lekosit meningkat yaitu 19,4x
103/ul, Hemoglobin rendah 11.2 g/dl, pada foto thorax memberikan kesan
gambaran tracheal deviasi kearah kanan, mediastinum bergeser ke arah cranial
kanan dengan gambaran cor tambak membesar dengan kalsifikasi arcus aorta,
Pulmo:tampak perselebungan semiopaq inhomogen batas tak tegas di hamper
seluruh parenkim pulmo bilateral dengan air bronchogram (+) kesan gambaran
bronchopneumonia bilateral dengan efusi pleura sinistra.
Sesuai dengan teori, pasien Ny.S juga memiliki gejala dan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai dengan teori.Penatalaksanaan pada kasus

33

ini sudah tepat, yaitu dengan pemberian antibiotik untuk mematikan


mikroorganisme yang menginfeksi paru dan mengembalikan fungsi secara
fisiologis pada paru.

BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dilaporkan kasus Ny.S dengan
diagnosis pneumoni dan efusi pleura dengan gejala sesak nafas, batuk disertai
dahak kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik
terlihat napas cuping hidung (+) pada auskultasi thorax terdapat suara tambahan
Weezing pada kedua lapang paru, pemeriksaan laboratorium terdapat lekositosis,
neutrofil meningkat, limfosit menurun, eosinofil menurun. pada pemeriksaan
radiologi hasil foto thorax memperlihatkan jantung Tampak membesar, paru :
tampak perselebungan semiopaq inhomogen batas tak tegas di hamper seluruh
parenkim pulmo bilateral dengan air bronchogram (+) kesan gambaran
bronchopneumonia bilateral dengan efusi pleura sinistra. Penatalaksanaan pada
pasien sudah sesuai dengan teori.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu
Penyakit Paru FK Unair. Surabaya.
2. Aru W, Bambang , Idrus A, Marcellus,Sti S,ed. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
IPD RSCM
3. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention

of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, Didapat

dari :http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
4. Corwin EJ 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
5. Departemen

Kesehatan

RI.

2007.

Pedoman

Penanggulangan

Tuberkulosis. Jakarta: Depkes.


6. Departemen Kesehatan RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB.
Jakarta: Depkes.
7. Djojodobroto D. 2007. Respirologi

(Respiratory Medicine). Jakarta :

EGC.
8. Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates.
Jakarta, hal 178-179.
9. Dahlan Zul. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2000
10. Kementrian

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Pedoman

nasional

penanggulangan tuberkulosis. 2011. Jakarta: Direktor at Jendral


Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan
11. Soedarsono.2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya :
departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR- RSUD Dr. Soetomo.
12. Mandanas A Romeo, MD et al. Fungal Pneumonia Overview of Fungal
Pneumonia. 2013 [updated 2013 Nov 20; cited 2013 Des 31]. Available

35

13. Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014. Tuberkulosis


(TB) Paru dalam Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta.
14. Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014. Pneumoni
dan Bronkopneumoni dalam Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta.
15. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku
Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen IPD FKUI.


16. Swierzewski, SJ. 2007.Chronic Obstructive Pulmonary Disease.(online)
http://www.pulmonologychannel.com/PPOK/complications.shtml.
17. Warsa C Usman. Buku Ajar Mikrobiologi. Edisi Revisi. Jakarta : Binarupa
Aksara. 1993 from : http://emedicine.medscape.com/article/300341overview

Anda mungkin juga menyukai