Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL PADA PASIEN


LAKI- LAKI 41 TAHUN DENGAN HEMOROID INTERNA GRADE IV
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi
Pembimbing:
dr. E. Cendra Permana Widyanaputra, Sp. An

Diajukan Oleh:
Nur Anadya Berlianawati

J 510 165 012

Dwi Ayu Metasari

J 510 165 088

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


RSUD SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
REGIONAL ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL PADA PASIEN
LAKI- LAKI 41 TAHUN DENGAN HEMOROID INTERNA GRADE IV

Disusun Oleh:
Nur Anadya Berlianawati

J 510 165 012

Dwi Ayu Metasari

J 510 165 088

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari..................tanggal..........................2016
Pembimbing :
dr. E. Cendra, Sp. An

(.............................................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. E. Cendra, Sp. An

(.............................................)

Disahkan Ka Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nirlawati

(.............................................)
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................1
BAB II
LAPORAN KASUS..............................................................................................3
A. IDENTITAS PASIEN.....................................................................................3
B. ANAMNESIS.................................................................................................3
C. PEMERIKSAAN FISIK................................................................................4
D. HASIL LABORATORIUM............................................................................6
E. DIAGNOSIS..................................................................................................6
F. TERAPI..........................................................................................................6
G. KESIMPULAN..............................................................................................6
H. DURANTE OPERASI...................................................................................6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................9
1. ANESTESI REGIONAL.............................................................................9
2. ANESTESI SPINAL/SUBARAKNOID.....................................................9
A. Definisi......................................................................................................9
B. Indikasi....................................................................................................10
C. Kontrainidikasi........................................................................................10
D.Anatomi..................................................................................................12
E.Persiapan anestesi spinal........................................................................13
F.Obat-obat pada anestesi spinal................................................................14
G.Teknik anestesi spinal............................................................................16
H.Faktor distribusi anestesi lokal...............................................................17
I.Komplikasi anestesi spinal......................................................................19
2. Hemoroiid.....................................................................................................22
1)Derajat hemoroid Interna..........................................................................23
2)Hemoroid Eksterna...................................................................................24
3)Pembedahan yang sering dilakukan..........................................................24
BAB IV
PEMBAHASAN.............................................................................................27
BAB V
KESIMPULAN..............................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Tugas

dokter

yang

utama

adalah

mempertahankan

hidup

dan

mengurangi penderitaan pasiennya. Anestesi secara umum adalah suatu tindakan


menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak
hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain
itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan lancar.
Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan

hidup dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan
nyeri menahun.1,2,3
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :3,4,5
(1) Anestesi lokal/regional, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal
tanpadisertai hilangnya kesadaran.
(2) Anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan
oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. 5,6
Pasien yang akan menjalani anestesia dan pembedahan baik elektif
maupun harus dipersiapkan dengan baik. Persiapan pra anestesia pada operasi I
sebaiknya dilakukan 1-2 hari sebelum operasi (pre-operative visit) dan

pada

operasi darurat persiapan pra anestesia dilakukan seoptimal mungkin dalam yang
singkat. Keberhasilan anestesia dan pembedahan sangat dipengaruhi

oleh

persiapan pra anestesia. Persiapan yang kurang memadai dapat meningkatkan


tejadinya kecelakaan anestesia. 7,8,9
Penatalaksanaan hemoroid adalah tindakan bedah berupa hemoroidektomi.
Pada pembedahan ini menggunakan teknik anestesi spinal (subaraknoid).
Tindakan ini melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. 10,11,12

BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. B I

Umur

: 41 tahun

Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Status Perkawinan
No. RM
Tanggal Masuk RS
Tanggal Operasi

: Laki laki
: Combongan Sukoharjo
: Islam
: Belum Kawin
: 263XXX
: 27 Oktober 2016
: 31 Oktober 2016

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :

Keluar benjolan dari anus


2. Keluhan tambahan : Tidak ada
3. Riwayat penyakit sekarang :
4. Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan yang keluar dari anus.
Keluhan dirasakan pasien sejak kelas 5 SD dan semakin membesar. Pada
tahun 2014 pernah keluar darah segar pada saat BAB. Keluhan memberat
3 bulan terakhir, ukuran benjolan sebesar ujung jari dan Benjolan keluar
dari anus namun tidak bisa masuk kembali secara spontan. Lendir darah
saat defekasi (+) banyak. Pasien mengalami kesulitan BAB, feses terasa
keras, dan diperlukan mengedan yang kuat saat defekasi. Pasien jarang
mengkonsumsi sayuran dan buah. Keluhan disertai penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan, maupun badan lemas.
5. Riwayat penyakit dahulu:
o Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
o Riwayat penyakit DM
: Disangkal
o Riwayat penyakit alergi
: Disangkal
o Riwayat penyakit asma
: Disangkal
o Riwayat operasi sebelumnya
: Disangkal
6. Riwayat penyakit keluarga :
o Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
o Riwayat penyakit DM
: Disangkal
o Riwayat penyakit alergi
: Disangkal
7. Anamnesis sistem:
o Sistem serebrospinal
: nyeri kepala (-), pusing (-), demam
o
o
o
o
o

Sistem respirasi
Sistem kardiovaskuler
Sistem pencernaan
Sistem urogenital
Sistem musculoskeletal

o Sistem integumentum

(-)
: batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-)
: nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
: mual (-), muntah (-), nyeri perut (-)
: BAK dalam batas normal
: nyeri sendi dan otot (-), ROM
normal
: ikterik (-), sianosis (-), akral hangat
(+)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum
:Baik
Kesadaran
2. Vital Sign

: Compos Mentis

Tekanan darah

:120/80mmHg

Respirasi

:16kali/menit

Nadi

:88x/menit

Suhu
3. Keadaan Umum
Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
Mulut

: 36,60C
:
: mesosefal, simetris, deformitas (-), tanda trauma(-)
: hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
: tidak ada gangguan dalam membuka

rahang,

tampak

arkus faring, uvula dan

palatum molle,
darah (-), susunan gigi baik
Leher
Pembesaran KGB (-)
Thorax
: tanda trauma (-)
Jantung
Inspeksi
: iktus kordis tidak tampak
Palpasi
: iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi
: simetris, tanda trauma (-) ketinggalan gerak (-),
retriksi (-)
Palpasi
: fremitus kanan = kiri
Perkusi
: dalam batas normal
Auskultasi : vesikuler (+), suara tambahan (-)
Abdomen
: tanda trauma (-)
Inspeksi
: simetris, sejajar dengan dinding thorax, sikatrik (-)
Auskultasi
: peristaltic (+) meningkat
Palpasi
: nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani, pekak beralih (-)
Ekstremitas
Akral hangat
Edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas (-/-)

D. HASIL LABORATORIUM
Pemeriksaan
Leukosit

Nilai
6,3 103/ul

Nilai Rujukan
3,8 -10,6

4,26 106 / mm3


11,9 g/dL
319 103/ul
36,8 %
98 mg/dl
10,20 detik
33,60 detik
B
Non reaktif

Eritrosit
Hemoglobin
Trombosit
Hematokrit
Glukosa
PT (Pasien)
APTT (Pasien)
Golongan Darah
HBsAg

4,4-5,9
13, 2 17,3
150-450
40-52
70-120
9,40-11,30
26,40-37,50

E. DIAGNOSIS
Hemoroid interna grade IV
F. TERAPI
Pasien ini dilakukan Hemoroidektomi dengan stapler dengan regional
anastesi
G. KESIMPULAN
Berdasarkan

status

fisik

pasien

praanastesi,

pasien

tersebut

diklasifikasikan dalam status fisik ASA II. Operasi hemoroidektomi


dengan regional anastesi.
H. DURANTE OPERASI
1. Pre operatif
Informed consent / persetujuan tindakan operasi dan anestesi
Pasien puasa 8 jam pre operatif, untuk mencegah aspirasi lambung

dari regurgitasi dan muntah


Keadaan umum dan vital sign baik (TD 120/80 mmHg, N 88x/menit,
RR 16 x/menit, S 36,6C)
Resusitasi cairan : Infus RL
Preloading cairan (pasien 55 kg):
= 10 x BB
= 10 x 55
= 550 cc
Pengganti puasa (PP)
= 2 cc x BB/jam
= 2 x 55
= 110 cc/jam
= 880 cc/ 8jam
Stresss operatif (SO) (jenis operasi besar) :
= 8 x BB/jam
= 8 x 55

= 440 cc
Maitenance (M)
= 2xBB/jam
= 2x55
= 110 cc/ jam
2. Kronologi jalannya operasi :
a. Pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di atas meja operasi, di ukur
kembali tekanan darah nadi dan saturasi.
TD : 122/77 mmHg, N : 84 x/menit, Saturasi O2 : 100%
b. Persiapan obat yang digunakan :
- Bupivacaine HCl 0,5 %
- Ketorolac 30 mg
- Ondancetron 4 mg
c. Premedikasi
Pasien diberikan premedikasi berupa injeksi ondansetron 4 mg dan
ketorolac 30 mg.
d. Induksi
Pasien diminta untuk duduk dan membungkuk agar tulang belakang
lebih menonjol. Dilakukan tindakan aseptik pada daerah yang akan
diinjeksi. Dilakukan spinal anestesi menggunakan jatum spinal ukuran
25 G dalam ruang sub arachnoid di antara daerah vertebra L2-L3,
setelah cairan LCS tampak keluar melalui jarum, maka diinjeksikan
bupivacine HCl 0,5 %. Setelah jarum dicabut, bekas injeksi ditutup
dengan plester, kemudian pasien diminta untuk tidur terlentang diatas
meja operasi dengan kepala di atas bantal. Setelah pasien tidak
memberikan respon sensorik maupun motorik, maka tindakan operasi
dapat dilakukan.
e. Untuk mempertahankan oksigenasi, pasien diberikan oksigen 2L/menit.
f. Selama tindakan berlangsung, tekanan darah dan nadi diawasi setiap 5
menit. Pada pasien ini, tekanan darah berada dalam kondisi yang relatif
stabil dikisaran 100-130 mmHg, nadi berada dikisaran 60-80 kali/menit
dengan saturasi oksigen 98-100%. Selama operasi berlangsung terjadi
perdarahan yang tidak terlalu masif.

3.

g. Operasi berjalan 40 menit.


Post operatif
a. Setelah operasi, pasien dipindahkan ke recovery room
b. Monitoring keadaan umum pasien dengan Bromage score, jika skor
<3 pasien boleh keluar dari recovery room.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANESTESI REGIONAL
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.1,2,3
B. Pembagian anestesi regional
Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.2,3,4
Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regiona intravena, dan lainnya 3,4,5
2. ANESTESI SPINAL/SUBARAKNOID
A. Definisi
Anestesi spinal atau disebut juga subarachnoid block adalah teknik
anestesi regional dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam

ruang subarachnoid di daerah antara vertebrae L2-L3 / L3-4 (obat lebih


mudah menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebh cenderung berkumpul
di kaudal). Indikasi penggunaan teknik anestesi spinal adalah untuk
pembedahan pada daerah abdominal bawah dan inguinal, anorektal dan
genitalia eksterna, serta ekstremitas inferior.2,5,6
Anastesi spinal dengan ukuran jarum (spinocan) 22-29 dengan
Pencil point atau Quincke point. insersi dilakukan dengan
menyuntikkan jarum sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid
yanag ditandai dengan keluarnya cairan LCS.5,6,7
B. Indikasi
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan

bawah

pediatrik

biasanya

dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan. 2,3,5


C. Kontra indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi
menjadi dua yaitu kontra indikasi absolut dan relative 1,2,3,5
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare.
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis.
Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :1,2,3,5,6

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan


apakah

diperlukan

pemberian

antibiotic.

Perlu

dipikirkan

kemungkinan penyebaran infeksi.


Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat

suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis

yang sudah ada pada pasien sebelumnya.


Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa

bertahan hingga 150 menit.


Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea

rah jantung akibat efek obat anestesi local.


Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan

atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman

D. Anatomi

Susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.1,2,4,6


Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba
ruang intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis
yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai
sekitar 1 cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini
berjalan vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam
ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika
darah yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena
epidural telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater

Subarachnoid : merupakan tempat menyuntikkan obat anestesi


spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS)
pada penusukan.

E. Persiapan anestesi spinal


Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah 2,3,4,8:
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan
ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang
akan terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis
atau kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus
spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan


alat dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :2,4,6
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
4.
5.
6.
7.
8.
F.

whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G


Betadine, alkohol untuk antiseptic.
Kapas/ kasa steril dan plester.
Obat-obatan anestetik lokal.
Spuit 3 ml dan 5 ml.
Infus set.

Obat-obat pada anestesi spinal


Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus
memenuhi syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat,
mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik
yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan
risiko toksisitas sistemik yang rendah. 3,5,7
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni
golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain,
tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain,
bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya
terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis
dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil.
Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase
dan golongan amida dimetabolisme di hati. Di Indonesia golongan ester yang
paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering
ialah lidokain dan bupivakain.4,7,8
Jenis anestesi lokal
Prokain

Lidokain

Bupivakain

Golongan

Ester

Amida

Amida

Mula kerja

2 menit

5 menit

15 menit

Lama kerja

30-45 menit

45-90 menit

2-4 jam

Metabolisme

Plasma

Hepar

Hepar

Dosis
maksimal 12
(mg/kgBB)

Potensi

15

Toksisitas

10

Anestetik lokal yang paling sering digunakan


Anestetik lokal

Berat jenis

Sifat

Dosis

1.006

Isobarik

20-100 mg (2-5 ml)

Hiperbarik

20-50 mg (1-2 ml)

Isobarik

5-20 mg (1-4 ml)

Hiperbarik

5-15 mg (-3 ml)

Lidokain
2% plain

5%
dalam 1.033
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air

1.005

0.5%
dalam 1.027
dekstrosa 8.25%

G.

Teknik anestesi spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.6,7,8
Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah
dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan
1,5cm lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke
kaudal.6,7,8
Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki
terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang
perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.
Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada
orang tua yang belum diberikan loading cairan. 2,4,8
H.

Faktor distribusi anestesi lokal


Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Faktor utama
Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran
lokal anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh
gravitasi serta posisi pasien. Larutan hipobarik ialah larutan yang
lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi,
larutan isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan
serbrospinal bersifat menetap pada tingkat daerah penyuntikkan,

larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat daripada cairan


otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian. Larutan
hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
1,3,5

Dosis dan volume anestetik local


Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal,
maka akan semakin tinggi juga area hambatan. 2,4
2. Faktor tambahan
Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang
arakhnoid dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya
umur yang membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar
atau luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke
cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih tinggi dengan
dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya
dikurangi pada umur tua. 1,3
Tinggi badan
Makin tinggi tubuh makin panjang medula spinalisnya, sehingga
penderita yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada
yang pendek. 3,6
Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam
rongga

epidural

serebrospinal.
kegemukan

yang

akan

Pengalaman
berpengaruh

mengurangi

klinis

sedikit

volume

cairan

mengindikasikan

bahwa

terhadap

penyebaran

obat

anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. 5,7


Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada
cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi
terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien
supinasi setelah penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik
lokal kearah cephalad dan mencapai kurvatura T4. 1,2,4
Arah penyuntikkan

Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran


oat akan terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah
cephalad. 4,5,6
Barbotase atau kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat
dan tingkat analgesia yang dicapai rendah. 6,7
I.

Komplikasi anestesi spinal


1) Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus
diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan
obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Henti jantung bisa terjadi
tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,
hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest
tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol
yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan
dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena
sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah
yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine
1/8-1/4mg IV. 1,2,6,8
2) Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang

bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti
jantung. 2,3,5
3) Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan
pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini
tergantung

beberapa

faktor

seperti

ukuran

jarum

yang

digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk


terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah
tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post
suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi
spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital
dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia,
mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal
adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau
hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48
jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara
cairan oral atau intravena), analgesic. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural,
seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan
meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif,
terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk
menghentikan kebocoran. 1,3,6,8
4) Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari
struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara
simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat
saja. 4,5,7
5) Retensi urin

Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot
kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter
urin bermanfaat pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian
postoperatif terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat
retensi urin yang lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang
serius.3,4,9
6) Komplikasi neurologis
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai
dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya
memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang
dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari
blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa
regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai
dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal,
dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi
spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini
terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari
vasculature korda spinal. 4,7,8,9
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi
spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat
kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis. Maka
penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia merupakan
kontra indikasi relatif. 1,4,6
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah
nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan

rigiditas nuchal. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan


anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada
area lumbal atau yang menderita selulitis. 2,3,4
3. Hemoroid
Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak pada
mukosa rektum bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi
ketika plexus vaskular ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya
dari hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal
inferior dan superior. 10,11,12
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena
hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena
hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur
berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal.10,11
Klasifikasi Hemoroid Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya,
dimana dentate line menjadi batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu: 11,12
a. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi
oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan
serabut saraf nyeri somatik
b. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi
mukosa.
c. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan
kulit pada bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri.

Skema Penampang Memanjang Anus

1) Derajat Hemoroid Internal


Berdasarkan gejala yang terjadi, terdapat empat tingkat hemorrhoid
interna, yaitu: 10,11,12
Tingkat I

: perdarahan pasca defekasi dan pada anoskopi terlihat permukaan


dari benjolan hemorrhoid.

Tingkat II : perdarahan atau tanpa perdarahan, tetapi sesudah defekasi terjadi


prolaps hemorrhoid yang dapat masuk sendiri.
Tingkat III : perdarahan atau tanpa perdarahan sesudah defekasi dengan
prolaps hemorrhoid yang tidak dapat masuk sendiri, harus
didorong dengan jari.
Tingkat IV : hemorrhoid yang terjepit dan sesudah reposisi akan keluar lagi

2) Hemorrhoid Eksterna
Hemorrhoid eksterna terjadi apabila pleksus hemorrhoid eksterna mengalami
pembengkakan. Letaknya distal dari linea pectinea dan diliputi oleh kulit biasa
di dalam jaringan di bawah epitel anus, yang berupa benjolan karena dilatasi
vena hemorrhoidalis.10,12
Ada 3 bentuk yang sering dijumpai:
1. Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.
2. Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.
3. Bentuk skin tags.

Hemoroid dibedakan atas hemorrhoid interna dan eksterna.


Tingkat I

Tingkat

II

Tingkat III

Tingkat IV

Derajat Pada Hemorrhoid Interna


Klasifikasi Tingkat Penyakit Hemoroid (IH=Internal Hemoroid, EH=External
Hemoroid, AC=Anal Canal, AT=Anchoring Tisue, PL=Pecten Ligamen.
Hemoroid Tingkat III dan IV, Pleksus Hemoroid berada diluar anal kanal.
3) Pembedahan yang sering dilakukan yaitu: 11,13
a) Terapi non bedah
1. Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %,
vegetable oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt
solution. Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi
sklerosan tersebut adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi
fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan
fibrosis pada sumukosa hemoroid.
2. Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band
menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan

menghsilkan fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi


prosedur ini adalah nyeri dan perdarahan.
3. Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan
berubah menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan
untuk mengatur banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini
menyebabkan koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik
ini singkat dan dengan komplikasi yang minimal.
4. Cryotherapy. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang
sangat rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal
yang terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan.
Namun prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup
mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan
untuk hemoroid (American Gastroenterological Association, 2004).
b) Terapi bedah
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan
menahun dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga
dapat dilakukan dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat
sembuh dengan cara terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita
hemoroid derajat IV yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat
ditolong segera dengan hemoroidektomi.10,11
Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi
yang hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi
sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan
tidak mengganggu sfingter anus. Eksisi jaringan ini harus digabung dengan
rekonstruksi tunika mukosa karena telah terjadi deformitas kanalis analis
akibat prolapsus mukosa. 11,12

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis Hemoroid grade IV didapatkan dari anamnesis, catatan rekam


medic pasien dan hasil pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum
pasien dan memastikan apakah operasi homoroidektomi dapat dilakukan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis, angka mortalitas 16%). Regional anestesi dengan teknik spinal

pada pasien ini dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif lama,
yaitu sekitar 60 menit.
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa ondansetron 4 mg dan
ketorolac 30 mg intravena. Selanjutnya dilakukan tindakan preoksigenasi dengan
Oksigen masker 4 liter/menit. Induksi anestesia dilakukan dengan pemberian
Bupivacaine HCl 0,5 % 5-20 mg (1-4 ml) dengan mengunakan posisi duduk pada
spinal anastesi. Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi
untuk membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL.
Setelah operasi selesai, dilakukan tindakan suction dan reoksigenasi dengan
Oksigen 2-3 liter/menit.
Pasien dipindah Post operatif pasien dipindahkan ke recovery room.
Kemudian dilakukan monitoring keadaan umum pasien dengan Bromage score
yang dilakukan dengan penilaian gerakan penuh dari tungkai (0), tak mampu
ekstensi tungkai (1), tak mampu fleksi lutut (2), tak mampu fleksi pergelangan
kaki (3), jika skor <3 pasien boleh keluar dari recovery room.

BAB V
KESIMPULAN
Seorang laki-laki usia 41 tahun, dengan diagnosis hemoroid interna grade
IV. Berdasarkan status fisik pasien pra-anestesi menurut American Society of
Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II.
Pasien diberikan premedikasi injeksi ondansetron 4 mg dan ketorolac 30
mg. Selama operasi dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli
anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya

dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi
mengadakan observasi pasien lebih efisien
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi spinal pada operasi
hemoroidectomy pada penderita laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

5.
6.

7.

Jatmiko, Heru D., Soenarjo. 2010. Anestesiologi. Semarang: FK Undip


Latief, Said A., Kartini A. Suryadi, M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI.
Leksana, Ery. 2010. Belajar Ilmu Anestesi. Semarang: FK Undip
Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section
#146.
Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal
dan anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on
Aug, 5, 2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841overview.
Mangku, Gde, Tjokorda Gde Agung Senapathi. 2010. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks.

8.

9.

10.
11.
12.

University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal


block
anesthesia.
[Last
Update
Jan
2013].
Available
at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm.
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8
De Jong, Wim. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta.
Hemmoroids.http/digestive.niddk.nih.gov/disease/pubs/hemorrhoids/index.
htm.p.i-5.
Johansan JF. Nonsurgical treatment of hemorrhoids. J Gastrointest Surg.
2002; 6; 290-4

Anda mungkin juga menyukai