OLEH :
(Kelompok C)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
semua petunjuk dan bimbingannya sehingga laporan kunjungan lapangan pada blok X
(kardiovaskular) ini bisa terselesaikan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para co-ass yang mendampingi, serta teman-
teman yang membantu kami saat kunjungan lapangan.
Kami sadar, bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu, kami mohon kritik serta saran yang membangun, agar dapat memperbaiki
kesalahan tersebut pada kesempatan lain. Akhir kata, kami berharap laporan ini dapat memberi
informasi yang berguna serta bermanfaat bagi pembaca.
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................ 3
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 4
4.1 Kesimpulan.................................................................................................... 35
4.2 Saran............................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 36
3
BAB I
PENDAHULUAN
Klasifikasi NYHA New York Heart Assosiation untuk Gagal Jantung Kronis
Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri
anginal
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik
ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa
mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
4
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan bermakna
pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik
yang lebih ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan
nyeri anginal.
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung
atau sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas
fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.
Klasifikasi AHA/ACC
Stage A : risiko tinggi berkembangnya HF, namun tidak ada abnormalitas struktur dan fungsi,
tidak ada tanda dan gejala.
Stage D : penyakit jantung struktural tahap lanjut dan ada gejala HF saat istirahat padahal sudah
dilakukan terapi maksimal
Gagal jantung memberikan spektrum klinis yang sangat luas. Manifestasi klinis
utama dari gagal jantung adalah sesak nafas, mudah lelah, yang mengakibatkan toleransi
aktivitas berkurang akibat kurangnya retensi air yang dapat memicu edema paru serta perifer.
Untuk edema parunya, pasien dengan respiratory distress yang berat, pernafasan yang yang
cepat, dan orthopnea dan ronchi pada seluruh lapang paru. Saturasi O 2 arterial biasanya <
90% pada suhu ruangan.
Adapun penanganan gagal jantung dapat melalui saran umun, kemudian terapi obat-
obatan serta pemakaian alat dan tindakan bedah.
5
1.2 Tujuan
1. Mengetahui kondisi klinik di rumah sakit tentang penyakit kardiovaskular
2. Dapat meningkatkan kemampuan anamnesis serta pemeriksaan fisik maupun gejala
klinik yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Sehingga dapat mengevaluasi
pasien dan menentukan penatalaksanaannya.
3. Meningkatkan pemahaman tentang penyakit di blok kardiocaskular yang sedang
dipelajari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EPIDEMIOLOGI
6
Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1 2%. Diperkirakan bahwa 5,3 juta
warga Amerika saat ini memiliki gagal jantung kronik dan setidaknya ada 550.000 kasus
gagal jantung baru didiagnosis setiap tahunnya. Pasien dengan gagal jantung akut kira-kira
mencapai 20% dari seluruh kasus gagal jantung.
Gagal jantung terutama pada lansia, diakui bahwa penuaan populasi akan memberikan
kontribusi terhadap peningkatan insiden penyakit gagal jantung, sekitar 80% pasien rawat inap
dengan gagal jantung berumur diatas 65 tahun. AHA dan ACC pertama kali mengeluarkan
pedoman penatalaksanaan dan mengevaluasi gagal jantung pada tahun 1995, dan revisi
dikeluarkan pada tahun 2001. Sejak saat itu, banyak kemajuan telah dibuat dalam pengembangan
farmakologis dan nonfarmakologis untuk pengobatan gagal jantung. Kedua organisasi ini
melakukan penilaian kembali dan merevisi pedoman untuk penatalaksanaan gagal jantung.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada Survei
Kesehatan Nasional Tahun 2010 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan
penyebab kematian utama di Indonesia (36,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2010 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10
penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia.
ETIOLOGI
Berbagai macam penyakit jantung baik yang kongenital maupun didapat bisa menimbulkan
komplikasi gagal jantung. Suatu mekanisme fisiologis yang bisa menimbulkan gagal jantung
adalah :
1. Peningkatan beban awal atau preload
2. Peningkatan beban akhir atau afterload
3. Dan penurunan kontraktilitas miokardium.
Kondisi yang bisa meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta serta cacat septum
interventrikularis. Sedangkan kondisi yang bisa menimbulkan peningkatan beban akhir seperti
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Penurunan kontraktilitas miokard bisa menurun pada
keadaan iskemia miokard dan kardiomiopati.
7
Selain hal diatas, kondisi lain yang bisa menyebabkan terjadinya gagal jantung adalah pada
penyakit katup jantung seperti stenosis katup atrioventrikularis yaitu penyakit katup trikuspid
atau katup mitral. Faktor lainnya bisa berupa tamponade jantung , perikarditis konstriktif dan
emboli paru.
Berikut adalah table penyebab keggalan pompa jantung menurut Hurst JW et al, editors:
The heart, vol 1, ed 7, New York, 1990 McGraw-Hill.
e. presbikardia
b. kelainan metabolic
c. peradangan
d. penyakit siistemik
8
3.Obstruksi terhadap 3.Takikardia atau
pengisian ventrikel bradikardia ekstrim
(stenosis mitral atau
trikuspid)
5. Pembatasan
miokardium atau
endokardium
6. Aneurisma ventrikel
7. Dissinergi ventrikel
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan terjadinya gagal jantung secara mendadak adalah
disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru serta adanya emboli paru.
- Disritmia : Disritmia akan menggangu fungsi mekanis jantung dengan cara mengubah
rangsangan listrik respon mekanis. Jika respon mekanis ini dirubah, maka akan
menghasilkan irama jantung yang tidak sinkron dan regular.
- Infeksi : Tubuh akan memberikan respon terhadap infeksi dengan cara memaksa jantung
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme yang meningkat.
- Emboli paru : Jika terjadi emboli paru secara mendadak, maka akan meningkatkan
resistensi terjadap ejeksi ventrikel kanan yang akan memicu terjadinya gagal jantung
kanan.
Karena itu, pada penanganan gagal jantung terapi yang diberikan tidak hanya
dipertimbangkan berdasarkan mekanisme fisiologis dari penyakitnya, tetapi juga perlu dilihat
dari sisi penyebab yang mencetuskan penyakit tersebut.
Faktor Resiko
1. Umur
9
karena serangan jantung dalam beberapa minggu setelah serangan
dibandingkan laki-laki.
2. Laki-laki
3. Riwayat Keluarga
4. Ras
Ras kulit hitam, hispanik, India, dan Asia memiliki risiko penyakit
jantung lebih tinggi daripada ras kulit putih.
5. Merokok
6. Kolesterol Tinggi
10
jantung, gagal ginjal, dan gagal jantung.Bila tekanan darah tinggi
diiringi dengan obesitas, merokok, kolesterol tinggi atau diabetes,
risiko serangan jantung meningkat berkali-kali lipat.
9. Kegemukan
10. Diabetes
11
MANIFESTASI KLINIS
Dispnea.
Gawat pernafasan yang terjadi akibat dari meningkatnya usaha pernafasan adalah
gejala yang paling umum. Pada gagal jantung awal, dispnea dialami hanya selama
aktivitas, namun dengan semakin berlanjutnya gagal jantung dispnea semakin agresif
dengan aktivitas yang tidak begitu berat sampai akhirnya sesak nafas timbul walaupun
pasien sedang beristirahat. Perbedaan utama antar dispnea pada orang normal dan orang
dengan gagal jantung adalah derajat aktivitas fisik yang menimbulkan gejala. Dispnea
jantung diamati, paling sering pada pasien dengan peningkatan vena pulmonalis dan
tekanan kapiler. Pasien mengalami pembendungan pembuluh darah pulmonal dan edema
paru interstisialis (yang mungkin terbukti pada pemeriksaan radiologik) dan penurunan
kelenturan paru yang oleh sebab itu meningkatkan kerja otot-otot penafasan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan paru. Aktivasi reseptor dalam paru ditunjukan dengan
adanya pernafasan cepat dan dalam yang khas dari dispnea jantung. Kebutuhan akan
oksigen semakin meningkat sebagai akibat dari kerja keras otot-otot pernafasan untuk
memasukan atau mengeluarkan udara dari paru yang mengalami kongesti (bendungan), ini
diperparah dengan berkurangnya aliran oksigen ke otot-otot ini sebagai konsekuensi dari
adanya penurunan curah jantung (cardiac output). Ketidakseimbangan ini menyebabkan
kelelahan otot-otot pernafasan dan sensasi sesak nafas.
Orthopneu
Dispnea dalam posisi berbaring biasanya merupakan manifestasi akhir dari gagal
jantung dibanding dengan dispnea pada saat aktivitas. Ortopnea terjadi karena redistribusi
cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke dada ketika berbaring, yang menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler paru yang dikombinasikan dengan elevasi diagfragma. Pasien
dengan ortopnea harus meninggikan kepalanya dengan beberapa bantal pada malam hari
dan seringkali terbangun karena sesak nafas atau batuk (sehingga disebut batuk malam
hari). Sensasi sesak nafas biasanya dapat hilang dengan duduk tegak karena posisi ini
mengurangi aliran balik vena (venous return) dan menurunnya tekanan hidrostatik pada
bagian atas paru sehingga menambah vital capacity paru. Bila gagal jantung berlanjut,
ortopnoe dapat menjadi begitu berat sehingga pasien tidak dapat berbaring sama sekali dan
12
harus tidur malam dengan posisi duduk. Disisi lain, pada pasien lain dengan gagal
ventrikel kiri berat yang telah berlangsung lama, gejala kongesti paru dapat menghilang
bersamaan dengan terganggunya fungsi ventrikel kanan.
Menunjukan kepada sesak nafas berat dan batuk yang umumnya terjadi pada malam
hari, yang biasanya membangunkan pasien dari tidur dan membuat pasien takut untuk
melanjutkan tidurnya. Walaupun pada ortopnea sederhana dapat dikurangi dengan duduk
tegak pada tempat tidur dengan tungkai tergantung, pada pasien PND , batuk dan mengi
seringkali menetap bahkan dalam posisi ini. Bronkospasme akibat kongesti pada mukosa
dan udema interstitial menekan bronki, menambah kesukaran ventilasi dan nafas sehingga
PND dan batuk malam hari yang ditandai oleh mengi sekunder terhadap bronkospasme-
terutama pada malam hari, disebut sebagai asma kaudinal. PND dapat terjadi karena
depresi pusat pernafasan selama tidur yang mengurangi ventilasi untuk menurunkan
tekanan oksigen arteri, terutama pada pasien dengan edema paru interstisial dan penurunan
compliance paru. Selain itu juga mungkin disebabkan terganggunya fungsi ventrikel pada
malam hari akibat berkurangnya rangsangan adrenergik pada fungsi miokard
Fatigue and Weakness
Keluhan ini tidak spesifik tetapi merupakan symptom umum pada gagal jantung karena
kekurangan perfusi pada otot skeletal.
Abdominal symptoms
Penderita gagal jantung mungkin mengeluh anorexia, nausea, vomiting ,
distensi, rasa penuh, sakit. Keluhan-keluhan ini mungkin disebabkan bendungan
liver dan sistem vena porta.
Cerebral symptoms
Pada gagal jantung berat terutama pada usia lanjut biasanya disertai dengan
arterosklerosis serebral, terjadi penurunan perfusi serebral, hipoksemia, kemungkinan
confusion, daya ingat berkurang, kurang konsentrasi, sakit kepala dll.
Nocturia
13
Adalah eksresi melalui ginjal yang bertambah pada posisi baring, berawal dari
udema yang terjadi pada siang hari. Cairan udema masuk ke intravaskuler,
menambah venous return, C.O dan diuresis pada malam hari.
Patofisiologi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada
disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan
kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi
miosit atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan
aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi
akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik.
Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai
respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup:
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)
Aktivasi sistem RAA menyebabkan resistensi natrium dan air oleh ginjal,
peningkatan volume ventrikel dan regangan serabut sehingga terjadi penambahan
konstriksi miokardium. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi RAA pada gagal
jantung masih belum jelas, tetapi diperkirakan terdapat sejumlah factor seperti
14
rangsangan simpatis adrenergic pada reseptor didalam apparatus jukstaglumerulus,
respon reseptor macula densa terhadap perubahan pelepasan Na ke tubulus distal dan
respon baroreseptor terhadap perubahan volume dan tekanan darah sirkulasi.
Penurunanan kardiak output pada gagal jantung akan memulai perangsagan
peristiwa seperti:
a. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glumerulus
b. Pelepasan renin dari apparatus jukstaglmerlus
c. Interaksi rennin dengan angiotensin dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I
d. Pengkonversian angiotensin I menjadi angiotensin II
e. Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal
f. Retensi Na dan H2O pada tubulus distal dan duktus koligentes
3. Hipertrofi ventrikel
Respon kompensasi terakhir pada pasien gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium. Hipertrofi miokardium akan meningkakan jumlah sarkomer dalam sel-sel
miokardium untuk meningkatkan kontrkatilitas.
15
Gagal jantung kiri
Penyakit iskemik yang paling sering mengenai ventrikel kiri. Penurunan curah
menyebabakan peningkatan EDP ventrikel kiri (preload) dan tekanan vena pulmonalis
karena darah kembali dalam sirkulasi pulmonal(kongesti pulmonal). Keadaan ini
menyebabkan jantung berdilatasi dan peningkatan tekanan kapiler pulmonal memacu
terjadinya akumulasi cairan pada jaringan interstitial paru.
Peningkatan darah dan cairan dalam paru menyebabkan paru menjadi berat,
sehingga menyebabkan dispnea. Dispnea hanya daoat terjadi bila pasien datar
(orthopnea) karena cairan terdistribusi ke paru. Dispnea episodik yang menyebabkan
pasien terbangun di malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Bila keadaan ini
berat, maka peningkatan tekanan kapiler dapat mendorong cairan ke dalam alveoli
(edema pulmonal), suatu kondisi mengancam nyawa yang menyebabkan dispnea hebat,
yang mengurangi pertukaran gas dan menyebabkan hipoksemia.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiografi thoraks
Seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio CTR> 50%), terutama bila gagal jantung sudah
kronis. Ukuran jantung yang normal tidak menyingkirkan diagnosis dan bisa didapatkan pada
gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi pada infark miokard , regurgitasi katup akut, atau
defek septum ventrikel (VSD) pasca infark. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi
ventrikel kiri atau kanan, LVH atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak
berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
16
Normalnya, perfusi paru terlihat lebih banyak di basis paru, namun dengan kongesti vena
paru (gagal LV) timbul diversi lobus atas dan ketika tekanan vena pulmonalis meningkat
melebihi 20 mmHg, terjadi edema interstisial yang menyebabkan garis septal terutama pada
basis. Ketika tekanan meningkat melebihi 25 mmHg, terjadi edema hilar dengan distribusi kupu-
kupu atau sayap kelelawar, dan edema perivaskular menyebabkan gambaran awan pada
pembuluh darah. Pembesaran vena kava superior dan vena azigos dapat terlihat. Bila gagal
jantung menyebabkan efusi pleura, maka biasanya bilateral namun bila unilateral cenderung
lebih sering terjadi pada sisi kanan. Efusi sisi kiri unilateral cenderung lebih sering terjadi pada
sisi kanan. Efusi sisi kiri unilateral harus membuat seorang dokter berpikir mengenai
kemungkinan penyebab lain seperti keganasan atau infark paru.
2. Elektrokardiografi
Memperlihatkan beberapa abnormalitas paa sebagian besar pasien (80-90%), termasuk
gelombang Q, perubahan ST-T, hipertrofi LV, gangguan konduksi, aritmia.
3. Ekokardiografi
Harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang
jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai,
dan penyakit katup jantung dapat disingkirkan. Regurgitasi mitral seringkali disebabkan
pembesaran ventrikel kiri yang menyebabkan dilatasi annulus mitral.
4. EKG ambulatory
Harus dilakukan jika diduga terdapat aritmia
5. Tes darah
Direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia untuk menyingkirkan anemia dan menilai
fungsi ginjal sebelum terapi dimulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. Di masa datang, pengukuran penanda
biokimiawi (seperti peptide natriuretik) dapat terbukti berguna dalam diagnosis gagal jantung
dan memonitor progresitivitasnya.
6. Katerisasi jantung
Harus dilakukan pada dugaan penyakit jantung koroner, pada kasus kardiomiopati atau
miokarditis yang jarang, yang membutuhkan biopsi miokard, atau bila penilaian resistensi
17
vaskular paru dibutuhkan sebelum mempertimbangkan transplantasi jantung diindikasikan,
biasanya dilakukan ventrikulografi kontras dan juga memberikan pengukuran fungsi LV lain.
TATALAKSANA
A. Terapi Non-Farmakologi
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta upaya bila
timbul keluhan dan dasar pengobatan
Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual serta rehabilitasi
Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol
Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba
Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas
Hentikan kebiasaan merokok
Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
memerlukan perhatian khusus
Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti
NSAID, anti aritmia klas I, verapamil, ditiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan
trisiklik, steroid
B.Terapi farmakologi
1. Diuretik
Bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairaan, kelebihan natrium, serta preload.
Macam jenis deuretik yang direkomendasikan :
Loop diuretic (Furosemid dosis inisial 20-40 mg 1-2X/hari, dosis maksimal 600
mg/hari, durasi aksi 6-8 jam),
18
Tiazid (HCT dosis inisial 25 mg1-2X/hari, dosis maksimal 200 mg/hari, durasi aksi 6-
12 jam),
Diuretic hemat kalium (Spironolakton dosis inisal 12,5-25 mg/hari, dosis maksimal 50
mg/hari; Amilorid dosis inisial 5 mg/hari, dosis maksimal 20 mg/hari).
2. ACEi (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor)
Memiliki efek memperbaiki status hemodinamik pasien, memperbaiki abnormalitas
factor neurohormonal yang terjadi (menurunkan kadar angiotensin II, norepineprin, dan
aldosteron, serta menaikkan kadar bradikinin), serta diketahui mengurangi tingkat
hospitalisasi dan mortalitas.
Berdasarkan randomized placebo controlled observation, obat golongan ini
seharusnya menjadi terapi paling awal (drug of choice) pada gagal gagal jantung, dengan
ARB sebagai lini ke dua.
Macam obat yyang direkomendasi, seperti Captopril, Enalapril, Lisinopril, dan
Ramipril.
3. ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
Obat yang direkomendasikan, antara lain Valsartan dan Candesartan. Losartan hanya
direkomendasikan pada stage A dan B gagal jantung, yang memberikan hasil yang sama
dengan Captopril dalam hal menurunkan tingkat kematian, namun memiliki efek samping
yang lebih minimal.
4. Beta Blocker
Secara farmakologis, akan menekan fungsi miokard pada fase akut, tetapi secara
biologis meningkatnya pada fase kronis. Pada 5 penelitian berbeda, penggunaan Bisoprolol
dapat mengurangi tingkat kematian pasien. Respon klinis biasanya baru didapatkkan
setelah 2-3 bulan.
Obat terekomendasi adalah Bisoprolol, Carvedilol, dan Metoprolol Succinate.
Asebutolol, Atenolol, dan Propanolol (biasa digunakan pada pengobatan hipertensi) tidak
direkomendasikan untuk pengobatan gagal jantung.
5. Digitalis
Berjutaan untuk meningkatkan kualitas hemodinamik, baik saat istirahat maupun
beraktivitas, memperbaiki abnormalitas factor neurohormonal yang terjadi, serta
memperbaiki gejala. Direkomendasikan untuk gagal jantung yang disertai Fibrilasi Atrium.
Sedian yang ada di Indonesia adalah Digoxin.
6. Golongan Statin dan Agen Antidiabetik
Diberikan sesuai dengan indikasi dan diharapkan dapat mengontrol factor risiko yang
ada. Metformin adalah obat lini pertama pada DM tipe 2 dengan berat badan berlebih,
sebelum insulin dipertimbangan jika target glukosa tidak tercapai.
19
Prognosis penyakit gagal jantung
20
BAB III
ANALISIS KASUS
21
dua buah bantal, riwayat keluarga ditemukan orangtua yaitu Ibu pasien menderita
penyakit jantung. Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 100 kali/menit.
B. Identitas Pasien
a. Nama : Ni Nengah Kartika
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 45 tahun
d. Alamat : Cakranegara
e. Pekerjaan : Penjahit
C. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 3 hari semakin hari semakin memberat
b. Riwayat Penyakit Sekarang atau Keluhan Penyerta
Sesak jika berjalan jauh, beraktivitas berat dan kelelahan
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Sesak jika berjalan jauh, beraktifitas berat dan kelelahan sejak tahun 2000
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Ibu pernah menderita penyakit jantung
e. Riwayat Sosial & Analisis Faktor Resiko
- Pekerjaan pasien sebagai penjahit sering terganggu karena keluhan nyeri dada
tersebut yang semakin berat jika beraktifitas berat
- Riwayat hipertensi dan diabetes melitus tidak ada
D. Pemeriksaan Fisik
- GCS : 15 (compos mentis)
- Keadaan umum : lemah
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi Radialis : frekuensi 100 x/menit, irama teratur, teraba cukup, tidak
ada bruit dan thrill
- Inspeksi umum
Kaki bengkak (-), jari tabuh (-), eksoptalmus (-), sianosis (-)
- Pemeriksaan wajah
Anemia (-), xanthelasma (-), mitral facies (-), bibir sianosis (-), sklera tidak
ikterik, konjungtiva tidak anemis
- Pemeriksaan leher
Kedua nadi carotis kiri dan kanan teraba cukup, irama teratur
Struma (-) dan pembesaran kelenjar tiroid (-)
- Pemeriksaan Tangan
Clubbing finger (-), pembengkakan (-), pendarahan ujung kuku (-)
Kedua ujung ekstremitas atas pasien dalam batas normal
- Pemeriksaan abdomen
Hepatomegali (-), asites (-)
- Pemeriksaan ekstremitas bawah
Palpasi arteri tibialis posterior teraba cukup, bruits dan thrill (-)
22
Palpasi arteri dorsalis pedis teraba cukup, bruits dan thrill (-)
Edema pitting daerah tibia (-)
Kedua ujung ekstremitas bawah pasien dalam batas normal
- Pemeriksaan bagian belakang tubuh (auskultasi paru)
Tidak dilakukan karena pasien lemas
- Pemeriksaan Jugular Venous Pressure
Tidak dilakukan karena kondisi bed pasien yang tidak dapat ditinggikan dan tidak
terdapat bantalan yang cukup untuk membuat sudut 45 derajat sehingga JVP tidak
dapat terlihat dan tidak dapat diukur
- Pemeriksaan Reflux Hepatojugular
Tidak dilakukan karena pasien tidak bersedia untuk dilakukan penekanan pada
daerah abdomen dan karena pemeriksaan JVP tidak dapat dilakukan.
- Pemeriksaan Jantung
o Inspeksi
Scar (+) pasca partum, apeks cordis terlihat di ICS 6 axillaris anterior
o Palpasi
Palpasi apeks jantung teraba lemah di ICS 6 axillaris anterior dan tidak
ditemukan thrill saat perabaan
o Perkusi
Batas jantung kanan ICS 4 lower sternal border dextra , batas jantung kiri
ICS 6 axillaris anterior
o Auskultasi
S1 dan S2 terdengar normal dan lemah, tidak terdapat bunyi murmur
sistolik
E. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
23
b. Foto polos dada
24
Analisis Foto toraks PA :
1. Kardiomegali
Cardio-thoracis ratio (CTR) = Lebar jantung terlebar
Lebar dada (dekat diafragma)
CTR = 21,5x 100% = 79 %
27
Batas CTR normal ada 48-50 %, sedangkan pada foto toraks PA pasien didapatkan nilai
CTR 79% hal ini menunjukan bahwa ukuran jantung pasien mengalami pembesaran atau
hipertrofi.
2. Gambaran vascularisasi paru meningkat menunjukan adanya Edema Paru.
3. Terlihat gambaran pembesaran ventrikel kiri
c. Pemeriksaan Laboratorium
25
26
Pemeriksaan lab yang dilakukan meliputi :
27
Hasil Lab menunjukkan bahwa Kreatinin masih dalam batas normal, tetapi kadar
ureum melebihi batas normal, menunjukkan bahwa ginjal tidak mampu mengeliminasi
nitrogen dalam darah yang tinggi. Sehingga diperkirakan ginjal pada pasien mulai
mengalami kerusakan.
F. Diagnosis Pasien
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu EKG
dan Foto thoraks maka diagnosa pasien adalah Dispneu et causa Chronic Heart Failure
Class III-IV. Diagnosis ini ditegakkan karena keluhan utama pasien adalah sesak nafas
jika beraktivitas berat. Dari gambaran foto toraks didapatkan gambaran peningkatan
vascularisasi paru. Kausa dispneu yaitu gagal jantung kongestif ditegakkan atas dasar
hasil pemeriksaan EKG yang menunjukan adanya LVH (Left Ventricular Hypertrofi) dan
dari gambaran foto thorax didapatkan CTR = 79% yang menunjukan bahwa terjadi
pembesaran ukuran jantung, selain itu pula dari hasil anamnesis telah diketahui bahwa
pasien sudah menderita penyakit jantung sejak 14 tahun lalu serta pasien mengaku sesak
nafas timbul apabila pasien melakukan aktifitas fisik yang berat dan kelelahan.
Pada gagal jantung awal, dispnea dialami hanya selama aktivitas, namun dengan
semakin berlanjutnya gagal jantung dispnea semakin agresif dengan aktivitas yang tidak
begitu berat sampai akhirnya sesak nafas timbul walaupun pasien sedang beristirahat.
Dispnea jantung diamati, paling sering pada pasien dengan peningkatan vena pulmonalis
dan tekanan kapiler. Pasien mengalami pembendungan pembuluh darah pulmonal dan
edema paru interstisialis (yang mungkin terbukti pada pemeriksaan radiologic yaitu
peningkatan vaskularisasi paru) dan penurunan kelenturan paru yang oleh sebab itu
meningkatkan kerja otot-otot penafasan yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru.
28
Aktivasi reseptor dalam paru ditunjukan dengan adanya pernafasan cepat dan dalam
yang khas dari dispnea jantung. Kebutuhan akan oksigen semakin meningkat sebagai
akibat dari kerja keras otot-otot pernafasan untuk memasukan atau mengeluarkan udara
dari paru yang mengalami kongesti (bendungan), ini diperparah dengan berkurangnya
aliran oksigen ke otot-otot ini sebagai konsekuensi dari adanya penurunan curah jantung
(cardiac output). Ketidakseimbangan ini menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan dan
sensasi sesak nafas.
Saat pemeriksaan auskultasi basal paru tidak terdengar ronkhi basah basal halus.
Hal ini diperkirakan karena pasien sudah diberikan obat furosemid, sehingga edema pada
paru sudah tidak ada lagi. Auskultasi pada irama jantung normal pada suara S1 dan S2
hanya saja suaranya sangat lemah. Pemeriksaan JVP untuk menegakkan diagnosis lebih
pasti tidak dapat dilakukan karena saat kunjungan lapangan kondisi pasien yang lemah
dan tidak dapat bangun dari tempat tidur, selain itu kondisi bed pasien yang tidak dapat
ditinggikan juga menjadi kendala.
29
2. Dasar-dasar terapi gagal jantung kongestif
a. Preload meningkat diterapi dengan retriksi garam, diuretika,
venodilator
b. Curah jantung rendah, tahanan vascular sistemik meningkat diterapi
dengan arteriolar dilator/ACEI
c. Kontraktilitas menurun diterapi dengan obat inotropik positif
3. Tatalaksana yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain:
a. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala
karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal.
b. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan
imobilitas.
c. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat
hanya diberikan pada kasus yang refrakter.
d. Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala
walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan
produksi prostaglandin untuk vasodilator renal. Efek ini dihambat
oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid,
sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
e. Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat
menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan
kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan
pengisian ventrikel serta edema paru. Dosis pemberian 2 3 mg
intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
f. Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk
pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah
bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi
menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga
dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan
antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.
g. Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien
gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian
30
nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi
hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.
h. Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal,
dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan
kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian
intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg
dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit.
i. Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik
dan atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut
dengan tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85
mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan.
Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
j. Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan
laju dan curah jantung. Pada pemberian 515 g/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan
meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik beta 1 dan beta 2,
menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 23
g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,515
g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta,
dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt.
k. Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung
akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah <70
31
mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan
darah <90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30
mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah
epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu
dengan dosis 0,050,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan
dosis 0,2 1 g/kg/mnt. Penanganan yang lain adalah terapi
penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut
de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit
jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang
dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk
menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti loop diuretik intravena, nitrat
atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena
(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda
kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan
afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine
diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan
afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai
penyakit dasar.
32
BAB IV
4.1 Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu EKG dan Foto
thoraks maka diagnosa pasien adalah Dispneu et causa Chronic Heart Failure Class III-
IV. Diagnosis ini ditegakkan karena keluhan utama pasien adalah sesak nafas jika
beraktivitas berat. Dari gambaran foto toraks didapatkan gambaran peningkatan vascularisasi
paru. Kausa dispneu yaitu gagal jantung kongestif ditegakkan atas dasar hasil pemeriksaan
EKG yang menunjukan adanya LVH (Left Ventricular Hypertrofi) dan dari gambaran foto
thorax didapatkan CTR = 79% yang menunjukan bahwa terjadi pembesaran ukuran jantung,
selain itu pula dari hasil anamnesis telah diketahui bahwa pasien sudah menderita penyakit
jantung sejak 14 tahun lalu serta pasien mengaku sesak nafas timbul apabila pasien
melakukan aktifitas fisik yang berat dan kelelahan. Saat pemeriksaan auskultasi basal paru
tidak terdengar ronkhi basah basal halus. Hal ini diperkirakan karena pasien sudah diberikan
obat furosemid, sehingga edema pada paru sudah tidak ada lagi. Auskultasi pada irama
jantung normal pada suara S1 dan S2 hanya saja suaranya sangat lemah.
4.2 Saran
Diharapkan untuk kunjunggan lapangan selanjutnya agar setiap mahasiswa
didampingi oleh petugas yang berwajib (perawat, co-ass, atau dokter) agar dapat
mengobservasi pasien dengan baik dan dapat melakukan pemeriksaan dengan tepat.
33
Daftar Pustaka
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2007. Jilid II, Edisi kelima. Editor Kepala: Aru W. Sudoyo
et.al. Pusat Penerbitan IPD FKUI. Jakarta.
Katzung, Bertran G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi IV. EGC: Jakarta
Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson. 2005. Lecture Note Kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta.
Penerbit Erlangga.
Joewono, BS. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga University Press. Surabaya
Lilly, L.S. (editor), Naik, H., Sabatine. 2007. Fourth Edition. Pathophysiology of Heart Disease.
Philadelphia. Lippincott Williams &Wilkins
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. EGC: Jakarta.
34