Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan laporan ini tepat pada
waktunya.

Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas akhir dari berbagai rangkaian tutorial
pertama dan kedua kami pada blok sepuluh untuk skenario IV. Secara keseluruhan, kami
melaporkan hasil yang kami peroleh pada step reporting, setelah belajar mandiri yang dilakukan
oleh masing-masing anggota kelompok.

Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
serta dukungan, hingga terselesaikannya laporan ini. Terutama bagi tutor kami untuk skenario
ini, dr Mayuarsih Kartika
.

Kami dari kelompok 3, menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan serta saran yang
membangun, demi penyempurnaan laporan-laporan kami selanjutnya.

Mataram, 12 Maret 2015

Scenario 3 Page 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................1

DAFTAR ISI..................................................................................................2

BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................3

1.1 Skenario............................................................................................3
1.2 Learning Objektif.............................................................................4
1.3 Mind Map.........................................................................................5

BAB II. PEMBAHASAN...............................................................................5

2.1. Gagal Jantung............................................................................................6

2.2 Diagnosis Banding.....21

2.3 Analisis Skenario ...32

BAB III. KESIMPULAN ................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA..36

Scenario 3 Page 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario

Scenario 3 Page 3
1.2 LEARNING OBJEKTIF

1. Kardiak (gagal jantung dan cor pulmonel)


Non-Kardiak (edema paru dan ppok)
2. Analisis Skenario

Scenario 3 Page 4
1.3 MIND MAP

Laki-laki, 62 tahun,
sesak nafas, batuk,
riwayat hipertensi
dan kencing manis

Diagnosis
banding

Kardiak Non Kardiak

Gagal Cor Edema PPOK


jantun Pulmona Paru
g l

Definisi
Epidemiologi
Manifestasi klinis
Penegakkan
diagnosis
Tatalaksana
Prognosis

BAB II

Scenario 3 Page 5
PEMBAHASAN

2.1 Gagal Jantung

a. Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan
sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup . Gagal
jantung juga dikatakan sebagai suatu sindroma dimana fungsi jantung berhubungan
dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan
hidup. European Society of Cardiology, 1995 juga menjelaskan adanya gejala gagal
jantung yang reversible dengan terapi, dan bukti objektif adanya disfungsi jantung.
b. Epidemiologi
Menurut National Heart Lung and Blood Institute insidensi penyakit gagal jantung
semakin meningkat setiap tahun dan rata-rata 5 juta penduduk United States menderita
gagal jantung. Penyakit gagal jantung adalah punca hospitalisasi yang utama dikalangan
pasien U.S yang berumur lebih daripada 65 tahun dan menyebabkan lebih kurang
300,000 kematian dalam setahun . Walaupun perbaikan dalam terapi, angka kematian
pada pasien dengan gagal jantung tetap sangat tinggi. Pembaruan 2010 dari American
Heart Association (AHA) memperkirakan bahwa terdapat 5,8 juta orang dengan gagal
jantung di Amerika Serikat pada tahun 2006 dan juga terdapat 23 juta orang dengan gagal
jantung di seluruh dunia

c. Klasifikasi

Scenario 3 Page 6
d. Prognosis
Data yang di peroleh dari beberapa registry terbaru dari GJA dan beberapa survey yang di
publikasikan seperti the euro-heart failure survey II, the ADHERE registry di amreika
serikat dan survey nasional dari italia, prancis dan finlandia. Namun banyak dari pasien-
pasien yang masuk dalam registry ini adalah pasien dengan usia lanjut dengan faktor-
faktor kormoboid kardio vascular dan non kardiovaskuler yang sangat banyak, dengan
prognose jangka pendek dan jangka panjang yang buruk. Sindrom coroner akut
merupakan kausa yang paling sering dari gagal jantung akut yang baru. Kematian di RS
yang tinggi didapatkan pada pasien dengan syok kardiogenik berkisa antara 40-60%.

Scenario 3 Page 7
Sangat berbeda dengan pasien gagal jantung akut hipertensif angka kematian di rumah
sakit rendah dan kebanyakan pulang dari rumah sakit dalam keadaan asimptomatik.
Rata-rata perawatan di RS akibat GJA dari the Euro Heart Survey adalah 9 hari. Dari
studi registry yang di rawak karena GJA, hamper separuh di antaranya dirawat kembali
paling tidak sekali dalam 12 bulan pertama. Estimasi kombinasi kematian dan perawatan
ulang untuk 60 hari sejak perawatan diperkirakan berkisar antara 30-50%.
Indikator prognostik selanjutnya sama dengan yang di jumpai pada gagal jantung kronik
lainnya.
e. Patofisiologi
Patofisiologi Gagal Jantung
Pada penyakit gagal jantung, seringkali terjadi kelainan kontraktilitas yang disebabkan
oleh iskemik miokardium. Iskemia miokard ini akan mengganggu pengosongan ventrikel
yang efektif. Kontraktilitas vetrikel yang menurun akan mengurang stroke volume dan
meningkatkan volume residu ventrikel, keadaan ini akan menyebabkan peningkatan
volume akhir ventrikel (EDV/ end diastolic volume) dan sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LDEV). Semua kejadian diatas akan
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel
berhubungan secara langsung pada saat diastolik.
Sindrom gagal jantung dapat dibagi dalam 2 komponen :
1) Gagal jantung miokardium (myocardium failure), yang ditandai dengan
menurunnya kontraktilitas
2) Respon sistemik terhadap menurunnya fungsi miokardium, dapat meningkatkan
aktivitas sistem simpatetik dan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan stimulasi
pelepasan vasopresin, serta vasokontriksi arteria renalis
Gangguan fisiologik gagal jantung adalah kompleks, tetapi pada semua gagal jantung
terdapat gangguan pada kemampuan jantung sebagai pompa dan ini tergantung pada
bermacam-macam faktor yang saling terkait. Menurunnya kontraktilitas miokard
memegang peranan penting pada gagal jantung, akan tetapi kontraktilitas miokard sulit
untuk diukur.
Mekanisme Kompensasi
Pada gagal jantung terjadi penyesuaian kompensatorik yang bertujuan mempertahankan
tekanan darah dan perfusi jaringan.
Mekanisme instrinsik jantung berupaya meningkatkan curah jantung dengan cara
mekanis, yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi dan perubahan bentuk ventrikel. Bila
perubahan-perubahan tersebut efektif, secara klinik tidak nampak adanya sindrom gagal

Scenario 3 Page 8
jantung meskipun ventrikel sudah mengalami perubahan (hipertrofi dan perubahan
bentuk) stadium disfungsi ventrikel kiri asimtomatik (compensated failure)
Bila perubahan-perubahan kompensatorik pada jantung tersebut sering tidak cukup
menunjang sirkulasi, selanjutnya terjadinya perubahan-perubahan auto-regulatorik,
melalui sistem neuro-endokrin untuk mempertahankan tekanan darah dengan
vasokontriksi, retensi cairan dan meningkatnya stimulasi adrenergik. Terjadi redistribusi
aliran darah dari daerha yang mengalami vasokontriksi (ginjal, otot skelet),
mengakibatkan edema, kelelahan, dan sesak nafas-stadium disfungsi ventrikel
simtomatik, sindrom klinik gagal jantung (decompensated heart failure).
Aktivasi sistem simpatetik terjadi pada masa awal gagal jantung, mula-mula untuk
menstimulasi kontraktilitas instrinsik miokard dan frekuensi jantung, tetapi kemudian
juga menimbulkan vasokontriksi perifer. Dasar perubahan-perubahan sistem neuro-
endokrin pada gagal jantung kongestif adalah aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS) yang menyebabkan vasokontriksi renal, vasokontriksi sistemik dan
retensi cair, di samping itu angiotensin II mempunyai efek jaringan yang kuat yang
menstimulasi hipertrofi dan fibrosis pada ventrikel.
Perubahan-perubahan auto-regulatorik ini meskipun mungkin awalnya dapat
menstabilkan tekanan darah, akan tetapi kemudian dapat mengakibatkan peubahan-
perubahan kompensatorik pada jantung dan sirkulasi, dan perubahan-perubahan
kompensatorik ini yang kemudian nampak sebagai sindrom gagal jantung.
Vasokontriksi berlebihan menurunkan curah jantung, meningkatkan afterload dan kerja
mekanis ventrikel kiri, memperberat disfungsi ventrikel.
Meskipun hipertrofi pada awalnya bermanfaat, tetapi cendrung memperlambat pengisian
saat diastole dan memberi predisposisi iskemia subendokardium, miosit yang hipertrofi
lebih mudah kelelahan dan digantikan jaringan fibros.
Takikardi yang berlebihan mengurangi masa diastole dan menurunkan curah jantung, lagi
pula takikardi meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium dan menambah iskemia
miokard.
Kadar catecholamine yang tinggi di samping menambah afterload, juga toksik pada
miokardium yang fungsinya sudag menurun.
Retensi cairan akibat vasoktriksi (melalui respon neuro-endokrin) diimbangi dengan
meningkatnya atrial natriuretic peptide (ANP) dab prostaglandin renal yang
menimbulkan vasodilatasi/diuresis.
Gagal Jantung mungkin lebih buruk karena.

Scenario 3 Page 9
1. Progresi dari penyakit primer miokard
2. Siklus visiosus yang menyebabkan bertambahnya disfungsi ventrikel

f. Manifestasi Klinis

Dispnea
Gawat pernafasan yang terjadi akibat dari meningkatnya usaha pernafasan adalah
gejala yang paling umum. Pada gagal jantung awal, dispnea dialami hanya selama
aktivitas, namun dengan semakin berlanjutnya gagal jantung dispnea semakin agresif
dengan aktivitas yang tidak begitu berat sampai akhirnya sesak nafas timbul walaupun
pasien sedang beristirahat. Perbedaan utama antar dispnea pada orang normal dan orang
dengan gagal jantung adalah derajat aktivitas fisik yang menimbulkan gejala. Dispnea
jantung diamati, paling sering pada pasien dengan peningkatan vena pulmonalis dan
tekanan kapiler. Pasien mengalami pembendungan pembuluh darah pulmonal dan edema
paru interstisialis (yang mungkin terbukti pada pemeriksaan radiologik) dan penurunan
kelenturan paru yang oleh sebab itu meningkatkan kerja otot-otot penafasan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan paru. Aktivasi reseptor dalam paru ditunjukan dengan
adanya pernafasan cepat dan dalam yang khas dari dispnea jantung. Kebutuhan akan
oksigen semakin meningkat sebagai akibat dari kerja keras otot-otot pernafasan untuk
memasukan atau mengeluarkan udara dari paru yang mengalami kongesti (bendungan), ini
diperparah dengan berkurangnya aliran oksigen ke otot-otot ini sebagai konsekuensi dari
adanya penurunan curah jantung (cardiac output). Ketidakseimbangan ini menyebabkan
kelelahan otot-otot pernafasan dan sensasi sesak nafas.

Orthopneu
Dispnea dalam posisi berbaring biasanya merupakan manifestasi akhir dari gagal
jantung dibanding dengan dispnea pada saat aktivitas. Ortopnea terjadi karena redistribusi
cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke dada ketika berbaring, yang menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler paru yang dikombinasikan dengan elevasi diagfragma. Pasien
dengan ortopnea harus meninggikan kepalanya dengan beberapa bantal pada malam hari
dan seringkali terbangun karena sesak nafas atau batuk (sehingga disebut batuk malam
hari). Sensasi sesak nafas biasanya dapat hilang dengan duduk tegak karena posisi ini
mengurangi aliran balik vena (venous return) dan menurunnya tekanan hidrostatik pada

Scenario 3 Page 10
bagian atas paru sehingga menambah vital capacity paru. Bila gagal jantung berlanjut,
ortopnoe dapat menjadi begitu berat sehingga pasien tidak dapat berbaring sama sekali dan
harus tidur malam dengan posisi duduk. Disisi lain, pada pasien lain dengan gagal
ventrikel kiri berat yang telah berlangsung lama, gejala kongesti paru dapat menghilang
bersamaan dengan terganggunya fungsi ventrikel kanan.

Paroksismal Noktural Dyspnea

Menunjukan kepada sesak nafas berat dan batuk yang umumnya terjadi pada malam
hari, yang biasanya membangunkan pasien dari tidur dan membuat pasien takut untuk
melanjutkan tidurnya. Walaupun pada ortopnea sederhana dapat dikurangi dengan duduk
tegak pada tempat tidur dengan tungkai tergantung, pada pasien PND , batuk dan mengi
seringkali menetap bahkan dalam posisi ini. Bronkospasme akibat kongesti pada mukosa
dan udema interstitial menekan bronki, menambah kesukaran ventilasi dan nafas sehingga
PND dan batuk malam hari yang ditandai oleh mengi sekunder terhadap bronkospasme-
terutama pada malam hari, disebut sebagai asma kaudinal. PND dapat terjadi karena
depresi pusat pernafasan selama tidur yang mengurangi ventilasi untuk menurunkan
tekanan oksigen arteri, terutama pada pasien dengan edema paru interstisial dan penurunan
compliance paru. Selain itu juga mungkin disebabkan terganggunya fungsi ventrikel pada
malam hari akibat berkurangnya rangsangan adrenergik pada fungsi miokard
Fatigue and Weakness

Keluhan ini tidak spesifik tetapi merupakan symptom umum pada gagal jantung karena
kekurangan perfusi pada otot skeletal.

Abdominal symptoms
Penderita gagal jantung mungkin mengeluh anorexia, nausea, vomiting ,
distensi, rasa penuh, sakit. Keluhan-keluhan ini mungkin disebabkan bendungan
liver dan sistem vena porta.

Cerebral symptoms

Scenario 3 Page 11
Pada gagal jantung berat terutama pada usia lanjut biasanya disertai dengan
arterosklerosis serebral, terjadi penurunan perfusi serebral, hipoksemia, kemungkinan
confusion, daya ingat berkurang, kurang konsentrasi, sakit kepala dll.
Nocturia
Adalah eksresi melalui ginjal yang bertambah pada posisi baring, berawal dari
udema yang terjadi pada siang hari. Cairan udema masuk ke intravaskuler,
menambah venous return, C.O dan diuresis pada malam hari.
g. Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan di mulai dari

anamnesis
menayakan tentang keluhan yang dirasakan, apakah ada keluhan dyspnea, orthopnea,
paroxysmal nocturnal dyspnea, atau terjadi edema paru.

pemeriksaan fisik (sign)


pemeriksaan fisik adalah salah satu kunci untuk menetapkan diagnose dan kuantifikasi derajat
gagal jantung. Disamping itu dengan pemeriksaan fisik dapat menetukan kausa atau etiologi
gagal jantung.
Nadi biasanya pengisian kecil, takikardia. Dari pemeriksaan nadi sering dapat diketahui adanya
stenosis aorta, regurgitasi aorta, fibrilasi atrium.
Tekanan/pulsasi vena jugularis. Biasanya meninggi kecuali bila penderita sudah mendapat
diuretika. Dengan pengamatan pulsasi vena jugularis dapat dikenali adanya disfungsi vetrikel
kanan, stenosis pulmonalis, regurgitasi tricuspid dan lain-lain
Impuls apical yang dapat dipalpasi dengan penderita berbaring kesebelah kiri. Impuls ganda
(sesuai dengan s4) menunjukan adanya disfungsi ventrikel bermaksa. Impuls yang diffuse dan
sutain menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kiri atau hipertrofi.
Auskultasi jantung harus dilakukan dengan bagian bell dari stetoskop diletakkan pada apex untuk
mencari s3, s4 dan bising mid-diastolik yang menggenderang dari stenosis mitral. Dengan
meletakkan bagian diafragma dari stetoskop pada apex dan tepi sternum kiri untuk mencari
suara-suara jantung dan bising-bising lainnya.

Scenario 3 Page 12
Auskultasi paru untuk mencari ronkhi sebagai tanda-tanda dari edma paru, seringkali sulit
dibedakan dengan ronkhi pada penyakit paru. Perlu dilakukan radiografi paru.
Edema mula-mula terlihat pada pergelangan kaki atau daerah sacrum (pada penderita berbaring)
Pulsasi alternans. Nadi teraba teratur dengan kekuatan yang berubah-ubah,
Suara paru kedua (P2) menguat. Pada gagal kiri tekanan arteri pulmonal meningkat sekunder
akibat meningkatnya tekanan vena paru, dan P2 menjadi lebih keras daripada A2.
Effusi pleura biasanya bilateral, paling sering pada paru kanan.
Asites dapat timbul pada gagal jantung lanjut.

Pemeriksaan Penunjang

elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi frekuensi debar
jantung, irama jantung, system konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan segmen ST;
berupa ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) atau Non STEMI. Gelombang Q petanda
infark transmural sebelumnya. Adanya hipertropi, bundle branch block, disinkroni eletrikal,
intervasi QT yang memanjang, disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan.

Foto thorax
harus diperiksakan secepat mungkin saat masuk pada semua pasien yang diduga GJA, untuk
menilai derajat kongesti paru dan untuk mengetahui adanya kelainan paru dan jantung yang lain,
sperti efusi pleura, infiltrat atau kardiomegali.

Ekokardiografi
Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting untuk evaluasi kelainan structural dan
fungsional dari jantung yang berkaitan dengan GJA. Penemuan dengan ekokardiografi bisa
langsung menetukan strategi pengobatan. Pencitraan echo/dopler diperiksakaan untuk evaluasi
dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan secara regional dan global, fungsi
diastolic, struktur dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis dari infark akut,
adanya disinkroni, juga dapat menilai semi kuantitatif, non invasive, tekanan pengisian dari

Scenario 3 Page 13
ventrikel kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri pulmonalis, yang dengan demikian
bisa menentukan strategi pengobatan.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, creatinin, gula darah, albumin, enzyme hati, dan
INR harus merupakan pemeriksaan awal pada semua penderita GJA. Kadar sodium yang rendah,
urea, dan creatinin yang tinggi memberikan prognose buruk pada GJA. Peninggian sedikit dari
cardiac troponin bila terlihat pada GJA, walau tidak ada SKA. Peningkatan dari Troponin yang
disertai dengan SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik.

Analisa gas darah Arterial


Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita menilai oksigenasi (pO2) fungsi respirasi (PcO2)
dan keseimbangan asam basa (pH) dan harus dinilai pada setiap pasien dengan respiratory
distress berat. Asidosis petanda perfusi jaringan yang buruk atau retensi CO2 dikaitkan dengan
prognose buruk. Pengukuran dengan pulse oxymetri dapat mengganti analisa gas darah arterial.
Tetapi tidak bisa memberikan informasi pCO2 atau keseimbangan asam basa dan tidak bisa
dipercaya pada sindrom low output yang berat atau vasokontriksi dan status syok.

h. Penatalaksanaan

Scenario 3 Page 14
Scenario 3 Page 15
o ACE Inhibitors
Menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II, sehingga terjadi
vasodilatasi dan menurunkan sekresi aldosteron. Selain itu degradai bardikinin juga

Scenario 3 Page 16
dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi ACE Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan retensi kalium.
o -adrenergik reseptor blocker
Beta blocker therapy mewakili kemajuan utama pengobatan pada pasien dengan depresi
EF. Cara kerjanya yaitu, pertama, dengan menurunkan frekuensi denyut jantung
jantungdan kontraktilitas miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung. Kedua, yaitu
dengan menghambat sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal sehingga menurunkan
produksi angiotensin II. Ketiga, yaitu efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf
simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, dan perubahan aktivitas neuron
adrenergik. Jika Beta blocker dikombinasikan dengan ACE inhibitor, disini Beta blocker
menghambat proses remodeling LV, menyembuhkan gejala pasien, mencegah pasien
untuk dirawat di rumah sakit, dan memperpanjang hidup. Oleh karena itu Beta blocker
diindikasikan untuk pasien dengan simptomatik atau asymptomatic HF dan depresi
EF<40%.
o Angiotensin reseptor blockers
Obat ini diberikan pada pasien yang intolerant terhadap ACE inhibitors karena dapat
mengakibatkan batuk, ruam pada kulit, dan angioedema. ARB sebaiknya digunakan
terhadap pasien simptomatik dan asimptomatik dengan EF<40% pada pasien yang
intoleran terhadap ACE inhibitors yang mengalami hyperkalemia atau insufficiency renal.
Meskipun ACE inhibitors dan ARB menghambat sistem renin-angiotensin, tetapi
keduanya memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Dimana ACE inhibitors memblok
enzim yang merubah angiotensin I menjadi angiotensin II, sedangkan ARB memblok
efek dari angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe 1. Beberapa percobaan klinik
mendemonstrasikan keuntungan terapi untuk menambahkan ARB pada pasien dengan
CHF. Jika ARB dikombinasikan dengan Beta blockers, disini ARB menghambat proses
remodeling LV, menyembuhkan gejala pasien, mencegah pasien untuk dirawat di rumah
sakit, dan memperpanjang hidup.
o Antagonis reseptors aldosteron
Meskipun digolongkan dalam diuretik hemat kalium, obat yang memblok efek dari aldosterone
(spironolactone atau eplerenone) memiliki efek yang berguna yaitu sebagai agen dalam sodium
balance. Meskipun ACE inhibitor menurunkan sekresi aldosterone, dengan therapy chronic disini
aldosterone akan cepat kembali ke level serupa sebelum penghambatan ACE. Jadi, aldosterone

Scenario 3 Page 17
antagonists direkomendasikan untuk pasien dengan NYHA class IV atau class III HF yang
memiliki depresi EF<35% dan yang mendapatkan terapi yang standard, meliputi diuretik, ACE
inhibitors, dan Beta blocker.

o Digoxin
Digoxin direkomendasikan untuk pasien dengan gejala LV systolic dysfunction yang
disertai atrial fibrillation, dan perlu dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien yang
memiliki tanda dan gejala HF saat diberikan terapi standard, meliputi ACE inhibitors dan
Beta blockers. Terapi dengan digoxin biasanya dengan dosis 0,125-0,25 mg per hari.
Untuk beberapa pasien, dosisnya sebaiknya diberikan 0,125 mg per hari, dan level serum

Scenario 3 Page 18
digoxin sebaiknya<1,0 ng/mL, terutama pada pasien tua, pasien dengan penurunan fungsi
renal, dan pasien dengan massa lemak tubuh yang rendah.

o Algoritma pengobatan berdasarkan stage gagal

2.2 Diagnosis Banding

Scenario 3 Page 19
a. Cor Pulmonale

Cor pulmonale (CP) adalah suatu keadaan dimana terdapat hipertrofi dan atau dilatasi dari
ventrikel kanan sebagai akibat dari hipertensi pulmonale yang disebabkan oleh penyakit intrinsik
dari parenkim paru, dinding thorax maupun vaskuler paru. Karena itu untuk mendiagnosa CP
maka harus disingkirkan adanya stenosis mitral, kelainan jantung bawaan atau gagal janttung kiri
yang juga dapat menyebabkan dilatasi dan hipertropi ventrikel kanan. CP dapt bersifat akut
akibat adanya emboli paru yang masif, dapat juga bersifat kronis. Beberapa penyebab dari CP
disebutkan seperti dibawah ini.

Etiologi

Secara garis besar dapat dibagi menjadi seperti di bawah ini

1. Penyakit parenkim paru

Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) merupakan penyebab tersering dari CP kronis, bronki
ektasis, sistik fibrosis, penyakit paru restriktif, pneumoconiosis, sarcoidosis.

2. Kelainan dinding thorax dan otot pernafasan

Kiposkoliosis, amiotrofik lateral sklerosis (ALS), miastenia gravis.

3. Sindroma pickwikian dan sleep apnea

4. Penyakit vaskuler paru

Emboli paru berulang dan emboli paru masif, emboli paru yang masih masif merupakan
penyebab tersering dari CP akut sedangkan emboli paru berulang dapat menyebabkan CP kronis,
hipertensi pulmonale primer, anemia sel sabit, schistosomiasis, scleroderma.

Pathogenesis

Scenario 3 Page 20
1. Cor pulmaonale akut

Pada emboli paru yang masif terjadi obstruksi akut yang luas pada pembuluh darah paru.
Akibatnya adalah.

Tahanan vaskuler paru meningkat

Hipoksia akibat gangguan pertukaran gas pada kapiler paru

Tahanan vaskuler paru yang meningkat dan vasokontriksi menyebabkan tekanan pembuluh darah
arteri paru yang meningkat (hipertensi pulmonal)

Gagal jantung kanan mulai terjadi jika tekanan arteri pulmonalis meningkat tiba-tiba melebihi
40-45 mmHg. Gagal jantung kanan yang akut ditandai dengan sesak nafas kebal yang terjadi
secara tiba tiba, curah jantung menurun samoai syok, JVP meningkat, liver yang membengkak
dan nyeri dan bising insufisiensi tricuspid

2. Cor pulmanale kronis

Pada penyakit paru kronis maka akan terjadi penurunan vaskuler bed paru, hipoksia, dan
hiperkapnea/asidosis respiratorik. penurunan vaskuler bed paru, hipoksia, dan
hiperkapnea/asidosis respiratorik dapat menyebabkan hipertensi pulmonale. Hipertensi ini
selanjutnya bisa menyebabkan terjadinya dilatasi atau hipertropi ventrikel kanan.

Gambaran klinis

1. Anamnesis

CP akut akibat emboli paru keluhannya adalah sesak tiba tiba saat istirahat, kadang kadang
disertai dengan batuk dan hemoptisis. Pada penderita CP dengan PPOM sebagai penyebab
dasarnya maka keluhannya adalah sesak nafas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
Pada CP dengan hipertensi pulmonale primer, keluhannya berupa sesak nafas dan sering pingsan
jika beraktifitas.

2. Pemeriksaan fisik

Tanda yang biasanya didapatkan :

Scenario 3 Page 21
Takipnea

Sianosis

Jari tabuh

JVP yang meningkat

Abnormalitas dinding thorax

Suara jantung yang lemah

Pulsasi jantung kanan

Bising insufisiensi tricuspid

Hepatomegali

Asites dan bengkak kaki

3. Pemeriksaan EKG

Biasanya menunjukkan hipertropi ventrikel kanan dan abnormalitas atrium kanan. Sering pula
didapatkan aritmia ventrikular dan atau supraventrikular. Poor progression of R pada sadapan
prekordial merupakan tanda yang sering didapatkan jika penyebab CP adalah PPOM sehingga
seringkali disalahartikan sebagai infark miokard lama.

4. Pemeriksaan foto thorax

Tanda yang sering didapatkan :

Kelainan pada parenkim paru, pleura maupun dinding thorax tergantung penyakit
dasarnya

Pelebaran trunkus pulmonalis pada daerah hilus disertai penurunan gambaran vaskuler
paru yang drastis di daerah perifer, sehingga menimbulkan gambaran pohon gundul.

Pembesaran ventrikel kanan

Pelebaran vena cava superior

Scenario 3 Page 22
5. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia dan hiperkapnea/asidosis
respiratorik. Pada beberapa penderita CP analisa gas darahnya normal pada saat istirahat tapi
pada saat beraktivitas pemeriksaannya menunjukkan adanya hipoksia berat disertai hiperkapnea,
hal ini membuktikan bahwa etiologi sesak nafasnya adalah kelainan paru.

6. Pemeriksaan ekokardiografi

Biasanya tampak adanya pembesaran ventrikel kanan, tanpa adanya kelainan struktur pada
jantung kiri. Pada pemeriksaan M mode, katup pulmonale menunjukkan tanda hipertensi
pulmanale. Pemeriksaan ekokardiografi dengan Doppler dan color mapping dapat ditunjukkan
adanya regurgitasi trikupid dan katup pulmonale.

b. Edema Paru

Edema paru merupakan suatu keadaan dimana terjadinya akumulasi cairan pada jaringan
interstisial paru yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan
onkotik di dalam pembuluh darah kapiler paru dengan jaringan di sekitarnya. Edema paru dapat
disebabkan akibat adanya kelainan pada jantung (kardiak) maupun kelainan di luar jantung (non
kardiak). Edema paru paling sering dijumpai pada pasien yang mengalami gagal jantung baik
gagal jantung akut maupun kronis, namun tidak banyak data mengenai insiden edema paru ini.

Patofisiologi dari edema paru ini berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan yang
normal terjadi pada pembuluh darah kapiler. Secara umum terdapat empat gaya yang
mempengaruhi perpindahan cairan yang menembus dinding kapiler dan masuk ke jaringan
interstisial paru yaitu (1) tekanan darah kapiler yaitu tekanan hidrostatik yang mendorong cairan
keluar dari kapiler, (2) tekanan onkotik merupakan tekanan yang disebabkan oleh protein-protein
dalam plasma yang menarik cairan agar tetap di dalam kapiler, (3) tekanan hidrostatik cairan di
interstisial paru, dan (4) tekanan onkotik cairan interstisial paru. Pada keadaan normal cairan
merembes melalui celah sempit antara sel-sel endotel kapiler, sehingga perpindahan protein yang
berukuran besar dapat dibatasi dan dipertahankan di dalam plasma. Cairan yang difiltrasi akan
memasuki jaringan interstisial alveoli dan tidak menembus masuk ke alveoli melainkan akan
dialirkan kembali menuju sirkulasi sistemik melalui sistem limfe.

Scenario 3 Page 23
Edema paru dapat terjadi apabila terdapat kelebihan jumlah cairan yang difiltrasi melebihi
kapasitas sistem limfe yang dapat disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler.
Hal tersebut terjadi pada edema paru kardiogenik yang disebabkan karena adanya peningkatan
tekanan pada atrium kiri dan tekanan diastolik ventrikel kiri. Pada edema paru non-kardiogenik
yang terjadi biasanya adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah di paru sehingga banyak
cairan yang masuk ke paru bahkan protein plasma dapat merembes juga. Berbeda dengan yang
kardiogenik dimana tidak ada protein yang merembes. Selain itu pada edema non-kardiogenik
tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya normal.

Dari manifestasi klinis, terdapat perbedaan pada edema paru kardiak dan non-kardiak:

Kardiak Non-Kardiak
Riwayat Penyakit jantung akut Penyakit dara di luar jantung
penyakit Orthopnoe
Pemeriksaan Akral dingin Akral hangat
klinis S3 gallop Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronkhi basah Tidak ada distensi vena jugular
Ronkhi kering
Pemeriksaan EKG dan Ekokardiograf abnormal EKG dan Ekokardiograf normal
penunjang Tekanan kapiler paru >20mmHg Tekanan kapiler paru <20mmHg
Kadar Brain Natriuretic Peptide Kadar Brain Natriuretic Peptide
>500pg/ml <100pg/ml
Penatalaksanaa dari edema paru terutama dengan penyebab kardiak mempunyai 3 tujuan utama
yaitu:

Mengurangi preload untuk menurunkan tekanan hidrostatik dari kapiler paru dan
mengurangi cairan transudat dari interstisium paru dan alveoli. Dalam hal ini dapat
menggunakan obat vasodilator dan diuretik

Mengurangi afterload untuk meningkatkan cardiac output dan perfusi ginjal dalam pasien
dengan kelebihan cairan

Pemberian inotropik pada beberapa kasus misalnya pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
atau gangguan katup.

Scenario 3 Page 24
c. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit limitasi aliran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. PPOK terdiri atas emfisema (gangguan anatomis berupa dekstrusi dan
pelebaran alveoli) dan bronkitis kronik (penyempitan saluran napas dan batuk lama minimal 3
bulan dalam setahun).

Faktor Resiko

Merokok Aktif: berdasarkan beberapa penelitian merokok adalah faktor resiko terbesar
PPOK.
Hipersensitivitas Saluran Napas: Jumlah metakolin dan histamin yang berlebih dapat
menyebabkan respon bronkokontriksi yang abnormal pada zat-zat eksogen.
Infeksi Saluran Napas: contohnya pada TBC dan Pneumonia.
Terpapar polutan karena pekerjaan: misalnya pada pekerja tambang dan tekstil.
Polusi Udara: hal ini dikarenakan zat polutan yang dihirup.
Merokok Pasif: berdasarkan beberapa penelitian merokok pasif juga merupakan salah
satu faktor resiko PPOK.
Genetik: defisiensi 1 antitrypsin

Patogenesis

PPOK terdiri atas emfisema dan bronkitis kronik. Pada bronkitis kronik terdapat
pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos
pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Scenario 3 Page 25
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi
otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Penegakan Diagnosis

A. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
B. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema
tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi

Scenario 3 Page 26
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemah
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh

Keterangan:

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada
gagal napas kronik.

C. Pemeriksaan Penunjang Rutin


1 Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

Scenario 3 Page 27
2 Pemeriksaan Darah Rutin: Hb, Ht, leukosit
3 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik:

- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

D. Pemeriksaan Penunjang Khusus (tidak rutin)

1 Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2 Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3 Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4 Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5 Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6 Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi

Scenario 3 Page 28
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
- Mengetahui fungsi respirasi paru
7 Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8 Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9 Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
10 Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1 Edukasi
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas
2 Obat obatan (bronkodilator, antiinflamasi, antibiotika, antioksidan, mukolitik, antitusif,
3 Terapi oksigen
4 Ventilasi mekanik
5 Nutrisi
6 Rehabilitasi (Memperbaiki Kualitas Hidup)

1.2 Analisis Skenario

Scenario 3 Page 29
Dari keempat diagnosis banding yang dikemukakan, yang paling mendekati untuk kasus pada
skenario adalah gagal jantung. Beberapa pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan untuk
lebih menggali informasi dan dapat menegakan diagnosa seperti pemeriksaan foto thoraks,
pemeriksaan EKG serta pemeriksaan ekokardiograf

Laki-laki, 62 tahun

Berdasarkan dari epidemiologinya, gagal jantung banyak terjadi pada usia dewasa hingga lanjut
usia. Perkembangan prevalensi gagal jantung meningkat seiring bertambahnya umur, mengenai 1
dari 5 individu berusia di atas 40 tahun di Eropa. Insiden gagal jantung lebih rendah pada wanita
dari pada pria (P : 50% populasi pasien HF).

Sesak nafas

Sesak nafas disebabkan karena adanya peningkatan kerja napas akibat kongesti paru yang
berkelanjutan. Pasien sudah merasakan sesak nafas sejak 1 tahun terakhir saat aktivitas berat
yang dapat digolongkan dalam gagal jantung kelas 2. Namun sejak 3 minggu terakhir sampai 5
hari yang lalu memberat bahkan sesak saat istirahat sudah dapat digolongkan gagal jantung kelas
4.

Batuk berdahak

Batuk merupakan suatu refleks yang dilakukan untuk mengeluarkan benda asing yang berada
pada sistem respirasi. Batuk dalam hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya cairan di paru
sehingga untuk dapat mengeluarkannya kembali ke sirkulasi dilakukan refleks batuk yang
mengakibatkan tekanan dalam alveolus meningkat drastis dan cairan dapat dikeluarkan

Riwayat Kencing manis

Scenario 3 Page 30
Kencing manis dapat menjadi faktor resiko gagal jantung dikarenakan beberapa mekanisme yang
ditimbulkan yaitu kardiomiopati dilatasi yang berkaitan dengan pembesaran ventrikel kiri serta
aterosklerosis pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot jantung karena
kecilnya lumen pembuluh darah.

Riwayat Hipertensi

Hipertensi juga merupakan suatu keadaan dimana komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal
jantung. Terjadi peningkatan beban akhir (regangan dinding ventrikel selama sistol) karena pada
hipertensi terjadi vasokonstriksi arteri yang menyebabkan aliran darah ke jantung meningkat dan
banyak darah yang harus dipompa oleh jantung

Nadi : 110x/mnt, RR : 30x/mnt, T : 36,5C

Peningkatan denyut nadi dan frekuensi nafas merupakan kompensasi terjadinya sesak dan
peningkatan metabolisme tubuh. Sedangkan suhu tubuhnya masih dalam batas normal

Iktus kordis jelas terlihat dan teraba dan perkusi batas jantung kiri 5 cm lateral linea
midklavikula sinistra

Dari hasil yang didapatkan diduga pasien mengalam kardiomegali karena iktus kordis biasanya
terlihat jelas secara fisiologis pada orang yang kurus atau secara patologi kemungkinan terdapat
kardiomegali. Batas jantung kiri yang normal adalah tepat pada linea midklavikula sinistra
sehingga didapatkan adanya tanda hipertrofi pada ventrikel.

Ronki basah

Scenario 3 Page 31
Kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran
udara, disertai dengan edema pulmoner interstisial yang menyebabkan peningkatan resistensi
saluran udara sehingga terdengar suara ronkhi saat auskultasi

BAB III

Scenario 3 Page 32
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for Thr Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure

Joewono, BS, 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press

Kasper, D. L., et al., 2005. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th Edition. New York:
McGraw Hill

Scenario 3 Page 33
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available at:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf. [Accessed, March 12th 2015]

Rosendorff, C., 2006. Essential cardiology: Principles and practice: Second edition, Available
at: www.humanapress.com.

Sudoyo, dkk, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Sudoyo, dkk, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Scenario 3 Page 34

Anda mungkin juga menyukai