Kelompok 4
Kata pengantar................1
Daftar isi.........2
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
BAB II : PENUTUP
3.1Kesimpulan...32
DAFTAR PUSTAKA....33
BAB I
1.1 Skenario 6
DD
Gagal Jantung
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan fisik
Penunjang
BAB II
PEMBAHASAN
Epidemologi
Faktor resiko
Umur: kejadian gagal jantung paling banyak terjadi pada kelompok umur
lebih dari 65 tahun keatas, sebesar 88,5%.
Kondisi yang bisa meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta serta cacat
septum interventrikularis. Sedangkan kondisi yang bisa menimbulkan peningkatan
beban akhir seperti stetosis aorta dan hipertensi sistemik. Penurunan kontraktilitas
miokard bisa menurun pada keadaan iskemia miokard dan kardiomiopati.
Selain hal diatas, kondisi lain yang bisa menyebabkan terjadinya gagal jantung
adalah pada penyakit katup jantung seperti stenosis katup atrioventrikularis yaitu
penyakt katup tricuspid atau katup mitral. Factor lainnya bisa berupa tamponade
janung , perikarditis konstriktif dan emboli paru.
Berikut adalah table penyebab keggalan pompa jantung dari Hurst JW et al, editors:
The heart, vol 1, ed 7, New York, 1990 McGraw-Hill.
Patofisologi
Pada penyakit gagal jantung, seringkali terjadi kelainan kontraktilitas yang
disebabkan oleh iskemik miokardium. Iskemia miokard ini akan mengganggu
pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas vetrikel yang menurun akan
mengurang stroke volume dan meningkatkan volume residu ventrikel, keadaan ini
akan menyebabkan peningkatan volume akhir ventrikel( EDV/ end diastolic volume)
Peningkatan tekanan atrium kiri diteruskan kebelakang ke dalam vena pulmonalis dan
selanjutnya ke dalam pembuluh darah paru, akibatnya akan terjadi peningkatan
tekanan kapiler dan vena paru-paru. Jika pada paru tekanan hidrostatik anyaman
kapiler paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan
kedalam interstisial. Kalau kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase
limfatik akan terjadi edema interstisial. Peningkatan tekanan yang lebih lanjut akan
menyebabakan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.
Hipertensi pulmonal akibat proses diatas juga akan mengganggu aliran darah dari
jantung kanan. Peningkatan tahanan terhadap ejeksi ventrkel kanan akan membuat
tekanan diatrium menjadi tinggi karena atrium kiri tidak mampu mengalirkan darah
ke ventrikel kanan akibat adanya volume sisa di ventrikel kanan yang meningkat.
Tekanan yang tinggi di atrium kanan akan diteruskan kebelakang ke vena cava dan
selanjutnya ke sistemik. Efek dari hal ini adalah terjadinya edema dan kongesti
sistemik.
Respon kompensatorik
Respon kompensasi yang dilakukan tubuh untuk menghadapi kondisi akibat gagal
jantung adalah
Efek negatif yang bisa ditimbulkan dari respon komensatorik pada penyait
gagal ginjal
Pada awal terjadinya gagal jantung, segala bentuk respon kompensasi akan sangat
memberikan keuntungan, tapi pada akhirnya jika respon kompensatorik ini terus
berlanjut akan menimbulkan efek egatif.
Vasokontriksi arteri dan redistribusi aliran darah akan mengganggu perfusi jaringan
pada vascular yang terkena. Gejala yang bisa terlihat adalah tubuh menjadi lemah.
Pada pasien dengan gagal jantung awal, nilai JVP dapat ditemukan normal saat
istirahat, namun dapat ditemukan peningktan abnormal jika dilakukan tes
hepatojugular reflux.
c. Pemeriksaan paru
Pada pasien dengan edema paru, dapat ditemukan ronkhi dan wheezing. Ketika
hal-hal ini ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, hal ini merupakan tanda
spesifik untuk gagal jantung.
d. Pemeriksaan jantung
Pada pasien dengan gagal jantung kronis, sering ditemukan kaheksia dan
penurunan berat badan. Walaupun mekanisme kaheksia tidak sepenuhnya dimengerti,
kaheksia termasuk diantaranya peningkatan laju metabolic saat istirahat; anoreksia,
mual, dan muntah akibat kongestif hepatomegaly dan abdominal fullness;
peningkatan konsentrasi sitokin tersirkulasi seperti TNF, dan ketidakseimbangan
absorpsi intestinal akibat kongesti vena-vena intestinal. Kaheksia menunjukkan
prognosis yang buruk.
Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Laboratorium rutin
Pasien dengan gagal jantung onset baru, kronis, atau dekompensasi akt hatus
memiliki complete blood count, pemeriksaan elektrolit, urea nitrogen darah, serum
kreatinin, enzim-enzim hepatic, dan urinalisis. Beberapa pasien memerlukan
pemeriksaan untuk diabetes mellitus (serum glukosa puasa atau tes toleransi glukosa
oral), dyslipidemia (lemak puasa), dan abnormalitas tiroid (level TSH)
b. EKG
Level dari peptide natriuretic yang tersirkulasi merupakan alat penentu penting pada
pasien dengan gagal jantung. BNP dilepaskan oleh jantung yang rusak, dan merupkan
marker sensitive untuk membuktikan terjadinya gagal jantung dengan penurunan
fraksi ejeksi. Namun perlu diingat bahwa level dari peptide natriuretic ini meningkat
sejalan dengan usia dan ketidakseimbangan ginjal, lebih meningkat pada wanita, dan
dapat meningkat pada gagal jantung kanan oleh karena berbagai akibat. Konsentrasi
normal dari peptide natriuretic pada pasien yang belum diterapi sangat penting untuk
mengeksklusi diagnosis gagal jantung. Biomarker lain contohnya troponin T dan I.
protein C reaktif, reseptor TNF, dan uric acid.
e. Exercise Test
Tes olahraga seperti treadmill berguna untuk menilai perlu tidaknya dilakukan
transplantasi jantung pada pasien dengan gagal jantung lanjut. Uptake oksigen puncak
(VO2) <14 mL/kg per menit menunjukkan prognosis yang buruk dan membutuhkan
transplantasi seger.
Terapi Non-Farmakologi
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan.
Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual serta
rehabilitasi.
Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol.
Terapi Farmakologi
Obat dalam golongan ini dianjurkan sebagai lini pertama baik dengan atau
tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival,
memperbaiki symptom, dan mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit. Harus
diberikan sebagai terapi awal jika tidak ditemui retensi cairan. Bila ditemukan
bersama dengan retensi cairan harus diberikan bersama dengan diuretic. Harus segera
diberikan bila ditemui gagal jantung, segera sesudah infrak jantung, untuk
meningkatkan survival. Menurunkan angka reinfrak serta kekerapan rawat inap.
Harus disertai sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis,
bukan berdasarkan perbaikan gejala.
3. Beta Blocker
Braunwald, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. Vol
2. Mc-Graw Hill: Boston.
Guyton, Arthur C, Hall, John E, 2007. Fisiologi Kedokteran, edisi 11. EGC : Jakarta
Joewono, BS. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga University Press. Surabaya
Fauci, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. USA :
The McGraw-Hill Companies, Inc
Lilly, Leonard S. 2007. Pathophysiology of Heart Disease.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins