Anda di halaman 1dari 4

Kata syariah yang sering kita dengar adalah pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-Syarah al-

Islmiyyah. Karena asalnya dari kata Arab maka pengertiannya harus kita pahami sesuai dengan
pengertian orang-orang Arab sebagai pemilik bahasa itu. Tentu tidak boleh kita pahami menurut
selera orang Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik bahasa
itu sendiri. Jadi orang non arab untuk memahami istilah syariah itu harus merujuk kepada pengertian
orang arab.

Menurut Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa arab asli
dalam bukunya Lisn alArab .[1] secara bahasa syariah itu punya beberapa arti. Diantara artinya
adalah masyraah al-m (sumber air). Hanya saja sumbr air tidak mereka sebut syarah kecuali
sumber itu airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering). Kata syarah itu asalnya dari kata
kerja syaraa. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtr-us Shihah,[2] bisa berarti nahaja
(menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al maslik (menunjukkan jalan). Sedangkan
ungkapan syaraa lahum yasyrau syaran artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut
Al-Jurjani, syarah bisa juga artnya mazhab dan tharqah mustaqmah /jalan yang lurus.[3] Jadi arti
kata syarah secara bahasa banyak artinya. Ungkapan syariah Islamiyyah yang kita bicarakan
maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa itu.

Suatu istilah, sering dipakai untuk menyebut pengertian tertentu yang berbeda dari arti bahasanya.
Lalu arti baru itu biasa dipakai dan mentradisi. Akhirnya setiap kali disebut istilah itu, ia langsung
dipahami dengan arti baru yang berbeda dengan arti bahasanya. Contohnya kata shalat, secara
bahasa artinya doa. Kemudian syariat menggunakan istilah shalat untuk menyebut serangkaian
aktivitas mulai dari takbirat-ul ihram dan diakhiri salam, atau shalat yang kita kenal. Maka setiap
disebut kata shalat, langsung kita pahami dengan aktivitas shalat, bukan lagi kita pahami sebagai
doa.

Kata syarah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syarah dengan arti selain arti
bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarah, langsung dipahami dengan artinya
secara tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarah artinya adalah agama yang ditetapkan
oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan.[4] Hukum
dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang
menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul Manzhur syariat itu artinya
sama dengan agama.[5]

Pengertian syariat Islam bisa kita peroleh dengan menggabungkan pengertian syariat dan Islam.
Untuk kata Islam, secara bahasa artinya inqiyd (tunduk) dan istislm li Allah (berserah diri kepada
Alah). Hanya saja al-Quran menggunakan kata Islam untuk menyebut agama yang diturunkan oleh
Allah kepada nabi Muhammad saw. Firman Allah menyatakan :

[






]

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-
Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (TQS. al-Midah [05]: 3)

[1] Ibn al-Manzhur, Lisn al-Arab, juz I hal.175

[2] Ar-Razi, Mukhtr ash-Shihah, hal. 294

[3] Al-Jurjani, at-Tarift, hal. 167

[4] Imam al-Qurthubi, Tafsr al-Qurthubi, juz XVI hal. 163

[5] Ibn al-Manzhur, Lisn al-Arab, juz XI, hal. 631

Pengertian Syariah dan Fiqh


Salah satu argumentasi yang kerap dilontarkan kelompok liberal-sekuler untuk menolak
syariah Islam adalah dekonstruksi makna syariah dan fikih. Syariah disebut memang berasal
dari Allah SWT sementara fiqh adalah hasil pikiran manusia yang lepas dari syariah. Pada
gilirannya dikatakan penerapan hukum Islam oleh negara adalah sekedar persoalan fiqh,
karenanya tidak berhubungan dengan Allah SWT. Berikut ini kami memaparkan makna
syariah dan fiqh berdasarkan pandangan ulama. Intinya fiqh tidak bisa dilepaskan dari syariah
Islam . Fiqh adalah adalah syariah Islam yang berdasarkan dalil yang rinci yang tetap
bersumber pada Al Quran dan as Sunnah. Fiqh bukanlah semata-mata hasil pikiran manusia
yang tidak berpijak pada hukum syara yang bersumber dari al Quran dan as Sunnah. Jadi
yang menolak fiqh adalah juga berarti menolak syariah Islam.

Menelusuri Kembali Makna Fikih dan Syariat


Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-ilm wa al-fahm (ilmu
dan pemahaman). (Imam al-Ghazali, Al-Mustashf f Ilm al-Ushl, hlm. 5. Lihat juga: Imam
al-Razi, Mukhtr ash-Shihh, hlm. 509; Imam asy-Syaukani, Irsyd al-Fuhl, hlm. 3; Imam
al-Amidi, Al-Ihkm f Ushl al-Ahkm, I/9). Sedangkan menurut Taqiyyuddin al-Nabhani,
secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm). (Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-
Syakhshiyyah al-Islmiyyah, III/5).
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (amaliyyah) yang
digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshl). (An-Nabhani, ibid., III/5).
Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang
yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan
landasan dalam masalah akidah. (Al-Amidi, op.cit., I/9).
Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
rinci. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm.3).
Sedangkan syariat/syariah (syarah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:
Syariat adalah perintah Asy-Syri (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-
perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidh (ketetapan), takhyr (pilihan), atau wadhi
(kondisi) (khithb asy-Syri al-mutaallaq bi afl al-ibd bi al-iqtidh aw al-takhyr, aw al-
wadli (An-Nabhani, op.cit., III/31).
Syariat adalah perintah Asy-Syri (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (khithb asy-Syri al-mutaallaq bi afl al-mukallafn. (Al-Amidi, op.cit.)
Syariat adalah perintah Asy-Syri (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-
perbuatan hamba (khithb asy-Syri al-mutaallaq bi afl al-ibd (Al-Amidi, ibid., I/70-
71).
Syariat adalah perintah Asy-Syri (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-
perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidh (ketetapan), takhyr (pilihan), atau wadhi
(kondisi) (khithb asy-Syri al-mutaallaq bi afl al-ibd bi al-iqtidh aw al-takhyr, aw al-
wadli. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm. 7).
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi
yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling
berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.
Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang
bersifat rinci. Sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan
manusia. Menurut Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah yang
ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang bersifat rinci. Contohnya, penunjukkan
sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah tanpa wali secara khusus. (Al-Ghazali,
op.cit., hlm. 5). Sedangkan hukum syariat adalah perintah Asy-Syri yang berhubungan
dengan perbuatan hamba, baik dengan iqtidh, takhyr, maupun wadhi.
Baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijma
Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada.
Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang
di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan
dengan keduanya.

Secara bahasa syariat berasal dari kata syara yang berarti menjelaskan dan menyatakan
sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy Syariatu yang berarti suatu tempat yang dapat
menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak ada habis-habisnya sehingga
orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya.
Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan
hubungan manusia dengan alam semesta.
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat,
tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah
dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh
syariah Islam.
Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk
mewujudkan sosok individu yang saleh.

Lebih lanjut tentang: Pengertian Syariah

Anda mungkin juga menyukai